Senin, 08 Agustus 2011

Riwayat Shaum dalam Peradaban Islam

Mulai Puasa
Perintah berpuasa Ramadhan bagi umat Nabi Muhammad SAW mulai turun pada 10 Sya’ban, satu setengah tahun setelah umat Islam hijrah ke Madinah.
Arti Puasa
Secara bahasa, puasa berasal dari bahasa Arab, Shaum (jamaknya Shiyam) yang bermakna al-Imsak (menahan), sedangkan menurut istilah, puasa itu menahan makan dan minum serta semua yang membatalkannya dari terbit fajar hingga terbenam matahari.
Ulama terkemuka Syekh Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan puasa sebagai menahan diri dari segala keinginan syahwat, perut serta faraj (kemaluan), dan dari segala sesuatu yang masuk ke kerongkongan, baik berupa makanan, minuman, obat, dan semacamnya pada waktu tertentu-mulai terbit fajar hingga terbenam matahari.

Menurut Syekh az-Zuhaili, puasa dilakukan oleh Muslim yang berakal, tidak haid, dan juga tidak nifas dengan melakukannya secara yakin. Setiap Muslim yang beriman diwajibkan berpuasa selama satu bulan penuh pada bulan Ramadhan. Perintah berpuasa telah ditegaskan dalam surah al-Baqarah [2] ayat 183:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu menjadi orang-orang yang bertakwa.”
Perintah berpuasa Ramadhan bagi umat Nabi Muhammad SAW mulai turun pada 10 Sya’ban, satu setengah tahun setelah umat Islam hijrah ke Madinah. “Ketika itu, Nabi Muhammad baru saja diperintahkan untuk mengalihkan arah kiblat dari Baitulmakdis (Yerusalem) ke Ka’bah di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi,” tulis Ensiklopedi Islam.
Waktu Puasa
Puasa Ramadhan dimulai ketika melihat atau menyaksikan bulan pada awal bulan tersebut. Apabila langit dalam keadaan berawan yang mengakibatkan bulan tak dapat dilihat dan disaksikan, bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari.
Kewajiban puasa sebulan penuh pada Ramadhan baru dimulai pada tahun kedua Hijriah. Itu artinya, umat Nabi Muhammad SAW secara turun-temurun telah melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan selama 1.430 kali. Tahun ini, Ramadhan memasuki tahun 1432 H. Lalu, apakah ada kewajiban puasa bagi umat Rasulullah sebelum puasa Ramadhan?
Sebelum turunnya ayat yang memerintahkan puasa wajib di bulan Ramadhan, menurut H Sismono dalam Puasa pada Umat-Umat Dulu dan Sekarang, pada mulanya kaum Muslimin memandang puasa Asyura (10 Muharam) sebagai hari puasa wajib mereka. Keyakinan tersebut mungkin mengacu kepada puasa yang dilaksanakan umat Yahudi pada Hari Raya Yom Kippur yang jatuh pada tanggal 10 bulan Tishri.
Hari Asyura merupakan hari raya terbesar umat Yahudi dan hingga saat ini masih dirayakan oleh orang-orang Yahudi Khaibar (dekat Madinah). Mereka yang melaksanakan puasa pada hari itu akan mengenakan pakaian yang serbaindah, berbelanja makanan, minuman, dan lain sebagainya.
Imam Syafii pernah mengutip hadis Nabi SAW yang menyatakan, “Sangat disukai berpuasa tiga hari, yakni hari kesembilan, kesepuluh, dan kesebelas Muharam.” Imam Hanafi juga berkata, “Tak ada yang salah dalam urusan hari Asyura, selain berpuasa pada hari itu saja. Orang-orang Rawafidh mengada-adakan bid’ah kesedihan pada itu; orang-orang jahil Suni mengada-adakan bid’ah kesukaan.”
Menurut riwayat lain, sebelum turunnya perintah puasa Ramadhan, Rasulullah bersama sahabat-sahabatnya serta kaum Muslimin melaksanakan puasa pada setiap tanggal 13, 14, dan 15 bulan-bulan Qomariyah. Selain itu, mereka juga biasa berpuasa tanggal 10 Muharam, sampai datang perintah puasa wajib di bulan Ramadhan.
Berdasarkan penjelasan di atas, tampaklah bahwa puasa Asyura tak ada hubungannya dengan peringatan wafatnya Husain bin Ali bin Abi Thalib yang biasa diperingati oleh penganut Syiah. Namun demikian, sebagian umat Islam, termasuk di Indonesia, ada yang rutin melaksanakan puasa Asyura.
Rasulullah pun terbiasa berpuasa pada hari Asyura. Bahkan, Rasul SAW memerintahkan kaum Muslimin untuk juga berpuasa pada hari itu. Menurut Ibnu Umar RA, Rasulullah pernah berpuasa pada hari Asyura dan menyuruh dia (Ibnu Umar) untuk berpuasa juga. Namun, saat datang perintah puasa Ramadhan, puasa Asyura itu ditinggalkan oleh Rasulullah SAW.
Tentang perintah Rasulullah untuk berpuasa Asyura, menurut Bukhari, Ahmad dan Muslim adalah sesudah beliau tiba di Yatsrib (Madinah). Tepatnya, sekitar setahun setelah Rasul SAW dan sahabat-sahabatnya tinggal di Madinah. Menurut riwayat, Rasul SAW tiba di kota itu pada Rabiul Awal, sedangkan perintah puasa Asyura itu disampaikan pada awal tahun kedua.
Kemudian, pada tahun kedua hijrah saat memasuki bulan Ramadhan, turunlah wahyu yang berisi perintah kepada umat Islam akan diwajibkannya puasa pada bulan Ramadhan. Dan puasa Asyura hanya satu kali dilaksanakan sebagai puasa wajib.
Wajib puasa
Perintah untuk melaksanakan puasa Ramadhan ini diwajibkan kepada setiap Muslim, terutama yang sudah dewasa (baligh), dan tidak diwajibkan pada anak-anak, orang sakit, tua, dan lemah, serta orang yang sedang dalam perjalanan (musafir). Kewajiban itu berlaku selama sebulan dalam setahun.
Mengapa puasa itu diwajibkan pada bulan Ramadhan, tidak di bulan lainnya seperti Syawal, Muharram, Rabiul Awal, atau lainnya? Tidak ada penjelasan yang komprehensif mengenai masalah ini. Tentu saja, semua itu adalah rahasia Allah.
Namun, sejumlah pihak menduga, ada beberapa hal yang menjadi sebab diwajibkannya puasa pada bulan itu, yakni pada bulan tersebut Allah menurunkan wahyu pertama Alquran kepada Nabi Muhammad. Menurut pendapat yang muktabar, wahyu pertama diturunkan pada malam 17 Ramadhan saat Rasul SAW sedang bertafakur di Gua Hira. Dan pada malam itu pula, Rasul SAW dikukuhkan sebagai Nabi dan Rasul Allah SWT.
Selain itu, pada bulan Ramadhan terdapat satu malam yang kemuliaannya lebih baik daripada seribu bulan. (QS Al-Qadar [97]: 1-5). Itulah malam Lailatul Qadar. Dan keutamaan lainnya yang terdapat pada bulan Ramadhan dan tidak ditemukan di bulan lainnya adalah shalat Tarawih.
Rasulullah SAW bersabda, barang siapa yang berdiri melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan, dengan penuh keimanan dan keikhlasan (karena Allah), maka diampuni segala dosa-dosanya yang telah lalu. (HR Bukhari).
Macam-macam puasa
Dalam Islam, dikenal berbagai macam puasa.
Pertama, puasa wajib, yang meliputi puasa Ramadhan, puasa kafarat (denda atau tebusan), dan puasa nazar. Puasa kafarat adalah puasa yang dilakukan seseorang karena sebab-sebab tertentu, seperti bersetubuh di siang hari bulan Ramadahan, sedangkan puasa nazar adalah puasa yang diwajibkan atas seseorang karena suatu nazar.
Kedua, puasa haram. Puasa bisa menjadi haram hukumnya jika dilakukan pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Puasa pada hari tasyrik atau 11, 12, dan 13 Zulhijah juga hukumnya haram. Bahkan, puasa sunah seorang istri yang dilakukan tanpa izin suaminya juga hukumnya haram. Puasa yang dilakukan seorang wanita dalam keadaan haid dan nifas juga haram.
Ketiga, puasa sunah. Salah satunya, puasa Senin-Kamis, serta puasa Nabi Daud AS-sehari puasa, besoknya tidak. Keempat, puasa makruh. Puasa jenis ini terbagi menjadi tiga macam. Pertama, puasa hari Jumat, kecuali beberapa hari sebelumnya telah puasa. Kedua, puasa wisal, yakni puasa yang dilakukan secara bersambung tanpa makan dan minum pada malam harinya. Ketiga, puasa dahri atau puasa yang dilakukan secara terus-menerus.
Tujuan dan Keutamaan Puasa
Puasa merupakan salah satu ibadah yang sangat mulia dan disyariatkan dalam Islam. Dan setiap ibadah itu, tentu saja mengandung hikmah dan tujuan. Shalat misalnya, tujuannya adalah mencegah perbuatan keji dan mungkar. (QS al-Ankabuut ayat 45).
Demikian pula dengan puasa, tujuannya secara tegas dijelaskan dalam Alquran surah al-Baqarah [2]: 183 adalah untuk membentuk pribadi Muslim yang bertakwa kepada Allah, yakni mengerjakan semua perintah Allah dan menjauhi semua yang dilarang Allah.
Berkaitan dengan hal ini, Rasul SAW menegaskan bahwa sesungguhnya puasa itu ada tiga tingkatan, yakni puasanya orang awam, puasa khawas, dan puasanya khawasul khawas. Puasanya orang awam (umum) adalah sekadar menahan haus dan lapar dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari.
Sedangkan puasanya orang khawas adalah menahan makan dan minum serta semua perbuatan yang membatalkannya. Misalnya mulutnya ikut berpuasa dengan tidak berkata kotor, mencaci, mengumpat, atau mencela orang lain. Demikian juga dengan tangan dan kakinya dipergunakan untuk perbuatan yang baik dan terpuji. Sementara telinganya hanya dipergunakan untuk mendengarkan hal-hal yang baik. Puasa khawas ini adalah puasanya orang yang alim dan fakih.
Adapun puasanya khawasul khawas adalah tidak hanya sekadar menahan makan dan minum serta hal-hal yang membatalkannya, termasuk menahan seluruh anggota pancaindera, tetapi hatinya juga ikut berpuasa. Menurut para ulama, inilah jenis puasanya para Nabi dan Rasul Allah. Puasa yang demikian itulah yang akan diberikan oleh Allah secara langsung.
Sesungguhnya seluruh amal anak Adam itu untuk diri mereka sendiri, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku, dan Akulah yang akan membalasnya. (Hadis Qudsi).
Puasa yang mampu mencegah dirinya dari perbuatan keji dan mungkar inilah yang mampu membentuk pribadi Muslim yang bertakwa sebagaimana penjelasan QS Al-Baqarah [2] ayat 183 di atas.Ahli Tafsir terkemuka Muhammad Ali a-Sabuni mengatakan, ibadah puasa memiliki yang sangat besar.
Pertama, puasa menjadi sarana pendidikan bagi manusia agar tetap bertakwa kepada Allah SWT. Kedua, puasa merupakan media pendidikan bagi jiwa untuk tetap bersabar dan tahan dari segala penderitaan dalam menempuh dan melaksanakan perintah Allah SWT.
Ketiga, puasa menjadi sarana untuk menumbuhkan rasa kasih sayang dan persaudaraan terhadap orang lain sehingga tumbuh rasa empati untuk menolong sesama yang membutuhkan. Keempat menanamkan rasa takwa kepada Allah SWT.
Puasa itu Sehat
Selain memiliki tujuan spiritual, juga mengandung manfaat dan hikmah bagi kehidupan. Misalnya, puasa itu menyehatkan baik secara fisik maupun psikis (kejiwaan). Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan standar kesehatan yang meliputi empat dimensi, yaitu sehat fisik, psikis, sosial, dan spiritual.
Ibadah puasa dapat memenuhi semua dimensi standar kesehatan yang ditetapkan oleh WHO itu. Bahkan, Dokter Alexis Carrel (1873-1944) yang pernah meraih hadiah Nobel dua kali menyatakan, Apabila pengabdian, shalat, puasa, dan doa yang tulus kepada Sang Maha Pencipta disingkirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat, itu artinya kita telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut.
Ahmad Syarifuddin dalam Puasa Menuju Sehat Fisik dan Psikis, mengungkapkan, rumusan kesehatan psikis yang ditetapkan WHO ini bisa dipenuhi dengan puasa yang dilakukan secara baik. Dalam beberapa hal, puasa bahkan memiliki keunggulan dan nilai lebih. Secara kejiwaan, sikap takwa sebagai buah puasa, mendorong manusia mampu berkarakter ketuhanan (rabbani).
sumber : republika

Tidak ada komentar: