JAKARTA, KOMPAS.com — Korupsi
politik berawal dari politisi. Biaya politik yang mahal, terutama untuk
pemilihan umum, memaksa para politisi melakukan berbagai cara termasuk
korupsi.
Demikian disampaikan pengamat politik dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti, dalam diskusi
"Indonesiaku Dibelenggu Koruptor" di Warung Daun, Jakarta Selatan,
Sabtu (4/6/2011).
"Korupsi politik awalnya dari politisi. Itu
segalanya harus benar-benar diperhatikan. Biaya untuk jadi politisi ini
semakin mahal. Ada yang menyatakan biayanya Rp 2 miliar sampai Rp 3
miliar untuk jadi anggota DPR. Ada juga yang menyatakan tidak kurang
dari setengah miliar. Kemudian ada yang bilang, kalau rajin di lapangan
(saat kampanye), maka biaya hanya ratusan juta. Ini yang memaksakan
mereka untuk melakukan berbagai cara untuk memenuhi biaya politiknya,"
ujar Ikrar dalam diskusi itu.
Menurut Ikrar, seorang wakil ketua
DPR pernah menuturkan kepadanya bahwa sering kali anggota DPR yang tidak
memiliki bisnis, selain menjadi anggota dewan, melakukan upaya-upaya
untuk korupsi. Namun, Ikrar tidak menyebut siapa wakil ketua DPR RI yang
dimaksud.
"Saya pernah mendengar, sumbernya wakil ketua DPR RI.
Katanya, 'Saya masih punya bisnis, jadi bisa membiayai biaya politik.
Teman-teman yang enggak punya duit itulah yang lakukan (korupsi)'. Jadi,
bukan mustahil terjadi korupsi, baik di lembaga pemerintahan maupun
non-pemerintahan," ungkapnya.
Ketika menjadi politisi di Senayan,
lanjut Ikrar, berbagai upaya untuk korupsi bisa saja dilakukan para
anggota Dewan. Salah satunya dengan menyedot dana dari APBN, terutama
untuk proyek atau tender tertentu.
"Anggaran paling banyak diambil dari anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (APBNP). Di situ ada mark-up. Misalnya nilai Rp 300 miliar dinaikkan menjadi Rp 500 miliar. Sisanya, Rp 200 miliar, untuk mereka," paparnya.
Kepala
Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade
Irawan menyatakan, korupsi biasanya juga dilakukan untuk proyek di
daerah dengan kerja sama bersama pemerintah daerah (pemda).
Ia
menuturkan, sebelum proyek dijalankan, pembagian jatah untuk anggota
dewan yang terlibat sudah ditentukan terlebih dulu. Hal ini dilakukan
agar tak terjadi konflik, baik di antara mereka maupun dengan pemain di
daerah. Ia menyebut orang-orang tersebut sebagai mafia anggaran dalam
Senayan.
Potensi korupsi lainnya, lanjut Ade, adalah penggunaan
kewenangan dari politisi di DPR untuk menerima suap dalam pemilihan
posisi pejabat tinggi tertentu. Ia langsung merujuk pada kasus dugaan
suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia
Miranda Swaray Goeltom. Dalam kasus itu, sekitar 26 anggota Dewan
periode 1999-2004 diduga mendapat cek pelawat yang totalnya mencapai Rp
24 miliar.
"Potensi lainnya dalam pemilihan pejabat untuk posisi
penting atau calon kepala daerah. Yang penting ada transaksi. Kadang
orang yang dipilih tidak ada hubungan antara bidang dan jabatan.
Ujung-ujungnya untuk kepentingan partai politik. Tidak hanya untuk
kepentingan mereka sendiri. Mereka ada juga yang terpaksa rampok uang
negara beramai-ramai. Cari sumber-sumber untuk pertahankan kekuasaan
atau jabatan," paparnya.
Ade menilai, kondisi politisi mencari
sumber dana bagi partainya inilah yang menyebabkan partai cenderung
melindungi anggotanya yang diduga melakukan korupsi.
"Pengakuan
dari teman-teman partai itu begitu. Biaya politik mahal sehingga mereka
melakukan segala cara mencari sumber dana untuk partai. Inilah makanya
partai tidak akan tegas untuk menindak anggotanya, bahkan cenderung
melindungi. Itu karena pemilu dan kegiatan politik butuh uang yang
sangat besar," ujarnya.
Melihat korupsi politik yang muncul dari
politisi ini, Ikrar menyatakan perlu adanya kewaspadaan dari Komisi
Pemilihan Umum (KPU), baik pusat maupun daerah, dalam melihat
calon-calon yang akan mengikuti pemilihan umum. Kalau tidak, maka akan
muncul bibit-bibit koruptor yang siap memangsa uang negara untuk biaya
politik dan kekuasaan ke depan.
Selain itu, independensi Mahkamah
Konstitusi (MK) diharapkan tetap terjaga karena mereka sering menjadi
tempat terakhir dalam penyelesaian sengketa pemilihan umum (pemilu).
"KPU dan KPUD, Panwaslu, juga Mahkamah Konstitusi harus teliti dan
bersih menentukan siapa yang akan menjadi pemenang pemilu," tandas
Ikrar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar