Selasa, 12 Maret 2013


Pemilukada Berbuah Konflik


Beberapa tahun lalu, Amerika melalui lembaga National Intelligence Council (NIC)yang bermarkas di Kantor Central Intelligence Agency (CIA) di LangleyVirginia, meramalkan empat skenario 2020. Dalam laporan berjudul Mapping the Global Future, NIC salah satunya meramalkan bahwa AS bakal memimpin perubahan global pada tahun 2020, di mana dunia hanya didominasi oleh satu kekuatan yakni,“one world one society with the difference culture,” dengan AS sebagai komandonya.
Tentu ramalan itu bukan suatu ramalan yang bersifat “ilmiah”, tapi lebih kepada propaganda negara Paman Sam itu untuk menunjukkan diri sebagai negara yang punya masa depan untuk menguasai dunia.
Namun, sebelum ramalan itu, Amerika sebenarnya sudah menyiapkan tahapan-tahapan dalam rangka menjalankan strategi besar untuk menguasai dunia itu. Indonesia, sebagai negara kaya di Asia Tenggara, tentu tidak luput dari skenario yang dibuatnya.
Saat ini, strategi besar negara adidaya itu sudah berjalan, mereka secara diam-diam (invisible) telah menguasai sektor publik, ekonomi, pemerintahan, legislatif, dan militer di negeri ini. Mereka juga telah melancarkan aksi memecah belah bangsa ini—dengan dalih demokratisasi—agar kelak menjadi “negara-negara kecil”, sehingga dengan begitu mereka dapat menghemat biaya dalam penguasaan negeri yang luar biasa luasnya ini. AS tentu menganggap lebih mudah menguasai negara-negara pecahan dibanding harus mengusai NKRI yang masih utuh seperti sekarang ini.
Dalam skenario mereka, bangsa ini bakal dijadikan potongan-potongan kecil dan rakyatnya akan sedikit “dimakmurkan” sehingga rakyat merasa puas dan mudah dikendalikan. Mereka melakukan pengkaderan tokoh-tokoh reformis sebagai agen neoliberalisme, baik di kalangan sipil, militer, maupun pengusaha. Dari sini pulalah kemudian upaya penguasaan secara permanen sumber-sumber kekayaan alam Indonesia dilakukan. Mereka mengembangkan manipulasi-manipulasi dan konspirasi sistem-sistem kontrak dan perjanjian.
Jadi, upaya penjajahan pihak Asing ini, khususnya Amerika, telah dilakukan secara konsepsional, sistematis, dan berjalan simultan, metodenya perlahan tapi pasti disesuaikan dengan karakteristik masyarakat Indonesia. Sehingga masyarakat Indonesia tidak sadar bahwa bangsanya sedang dijajah dengan cara-cara baru.
Asing, dalam hal ini Amerika, misalnya melakukan anarkisme konstitusional dengan mengintervensi legislatif untuk mengamandemen UUD 1945, yang antara lain membuat UUD 1945 pasal 33 ayat (4) menjadi pintu masuk Asing menguasai sumber daya alam yang seharusnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Fakta yang terjadi saat ini adalah, kekerasan dan konflik terjadi di mana-mana di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Baik itu diakibatkan oleh masalah politik, sosial, ekonomi, dan budaya, maupun masalah lainnya. Ini artinya sedikit demi sedikit skenario AS itu tengah berjalan.
Dampak Liberalisasi Pemilukada
Dari skenario itu muncullah Pemilihan kepala daerah (Pemilukada) langsung. Perhelatan pemilihan pemimpin daerah yang didasarkan pada undang-undang yang diduga keras ada intervensi asing itu, justru menimbulkan konflik tak berkesudahan. Bahkan, dalam kasus tertentu, seperti yang terjadi di Papua, masalah pemilukada bisa mengarah pada disintegrasi bangsa. Sementara karena UU itu pula, pemilukada menjadi berlangsung sepanjang tahun, yang tentu menghabiskan dana dan korban tidak sedikit.
Sebut saja, pelaksanaan pemilukada Mojokerto (Jawa Timur), dan Kabupaten Puncak (Papua) pada 8 Agustus 2011 silam. Kedua pilkada itu berbuntut kerusuhan anarkis massa. Di Mojokerto terjadi pengrusakan terhadap 17 kendaraan yang dihancurkan dan dibakar massa. Sedangkan di Kabupaten Puncak, Papua, dua orang meninggal dunia.
Kerusuhan tersebut dilatar belakangi oleh ketidakpuasan terhadap pilkada, ketidaksiapan mental calon kepala daerah menerima kekalahan, sosialisasi pemilukada kurang dipahami masyarakat setempat, serta makna demokrasi yang tidak dimengerti oleh masyarakat di dua wilayah tersebut.
Jadi, bisa dikatakan bahwa undang-undang pemilukada yang banyak menimbulkan korban ini memang tidak kompatibel dengan kondisi sosial-masyarakat Indonesia. Diduga kuat pula, para elite di parlemen dalam menyusun undang-undang tersebut mengadopsi mentah-mentah konsep demokrasi yang diajukan Asing, tanpa sama sekali mempertimbangkan kondisi sosio-kultural masyarakat Indonesia. Jika ini diteruskan, akan sangat berbahaya bagi masa depan bangsa. Dan skenario Amerika pun benar-benar akan terjadi di 2020 nanti, tentu ketika Indonesia sudah tercerai berai menjadi beberapa negara bagian, sesuatu kondisi yang sama sekali tidak kita inginkan.
Sejak dimulainya pemilukada langsung oleh rakyat, pada 1 Juni 2005 dengan dasar UU No 34/2004 tentang Pemerintahan Daerah, benih-benih konflik di tengah masyarakat mulai muncul. Masyarakat gagap dengan sistem baru ini, sehingga mereka tak tahu harus bersikap seperti apa menghadapi kontestasi politik yang langsung dan amat liberal ini. Akibatnya, tak jarang timbul permusuhan di antara saudara, keluarga, tetangga, antar-desa, dan seterusnya akibat perbedaan calon pemimpin yang didukungnya.
Masyarakat yang semula terbiasa memecahkan persoalan-persoalan sosial dan kemasyarakatan termasuk memilih pemimpin dengan cara bermusyawarah yang dipimpin ketua adat, tokoh masyarakat, ketua kampung , dan sebagainya tiba-tiba dihadapkan dengan sistem yang memaksa mereka masing-masing bersuara secara langsung (one men one vote). Sementara, bersamaan dengan itu mereka tidak diberikan pendidikan politik dan demokrasi yang baik, akibatnya esensi demokrasi tidak tercapai seperti yang diinginkan. Pemilukada langsung tidak hanya emnimbulkan kegaduhan, juga menjadi arena transaksi politik uang dan cenderung melahirkan pemimpin-pemimpin kosmetis belaka.
Pemilukada langsung yang awalnya diniatkan untuk mendorong partisipasi masyarakat luas dalam menentukan pemimpin, justru hanya membuat ongkos politik sangat mahal, baik bagi penyelenggara maupun calon kepala daerah, bahkan cenderung mengembangbiakkan perilaku korup. Selain itu, pemilukada langsung juga lebih banyak melahirkan pemimpin berkualitas rendah, tidak efektif memimpin pemerintahan daerah, menjadikan politisasi birokrasi dan yang paling memalukan adalah banyaknya kepala daerah tersandung persoalan hukum, seperti korupsi.
Dari data Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, selama periode 1 Juni 2005 hingga 2012 tidak kurang dari 290 kepala daerah dan wakil kepala daerah dari 877 pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih (16,53%) berurusan dengan aparat penegak hukum. Yang memprihatinkan, dari 290 kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terkena masalah hukum itu, 250 orang di antaranya terlibat kasus korupsi, 9 orang pemalsuan dokumen, 8 orang suap, 7 orang penipuan dan 6 orang penganiayaan dan 5 orang penyalahgunaan izin tambang atau kehutanan.
Rinciannya, kepala daerah dan wakil kepala daerah dari Jatim menempati posisi tertinggi, 33 orang (21,15%), disusul Jateng 24 orang (16,6%), Jabar 22 orang (20,37%), Sumut 17 orang (17,50%) dan NTT 13 orang (14,77%).
Pemilukada tentu hanya sebagian kecil saja dari dampak penerapan sistem demokrasi yang tidak memperhatikan kondisi sosial dan masyarakat. Masih banyak lagi dampak dari demokratisasi yang tidak terkonsep dengan baik ini, terutama setelah bangsa ini menjalani proses reformasi di segala sektor kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di negara-negara mapan dan penganut demokrasi, konflik atau perseteruan politik mampu diselesaikan melalui mekanisme aturan permainan yang demokratis, karena aspek pengawasan dan transparansi itu berfungsi sepenuhnya. Penegakkan hukum pun berjalan dengan baik (equality before the law). Berbeda dengan di kita, konflik di tengah masyarakat tidak mampu diselesaikan dengan baik dan tuntas, sehingga akhirnya membawa dampak negatif berupa gejolak yang justru mengancam keharmonisan hubungan antar-masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal lain, di negara maju prosentase kelas menengah juga tinggi sehingga keharmonisan dapat terjaga walaupun terjadi perseteruan di kalangan elite politiknya. Sementara, di negeri ini penduduk dalam kategori miskin masih sangat tinggi, akibatnya perseteruan di kalangan elite mengundang potensi konflik di kalangan masyarakat, ditambah lagi penegakkan hukum juga lemah.
Di satu sisi, pemilukada langsung memang mempunyai nilai positif, terutama jika dikaitkan dengan pengejawantahan kedaulatan rakyat melalui pemiliahan langsung. Selain itu juga akan menjadikan akseptabilitas kandidat semakin kuat karena dipilih melalui mekanisme pemilihan secara langsung.
Namun di sisi lain, pemilukada langsung memiliki banyak kelemahan, dari mulai menimbulkan konflik vertikal maupun horisontal hingga politik biaya tinggi yang memicu korupsi. Oleh karena itu, untuk menutupi kelemahan-kelemahan ini, perlu dibuat aturan main yang akseptabel dan kompatibel dengan kondisi sosial masyarakat yang pada umumnya rendah secara pendidikan, dan kurang secara ekonomi.
Pada akhirnya, konflik-konflik yang terjadi akibat perseteruan politik di sejumlah daerah selama ini mengafirmasi dugaan kuat bahwa seluruh komponen regulasi UU maupun aturan teknis lain yang dibuat di parlemen dan eksekutif merupakan bagian dari skenario Asing untuk menguasai bangsa ini.
Pemilukada secara langsung justru malah menjadi sebab paling utama kemunduran otonomi daerah yang membuat bangsa ini lemah, memunculkan perilaku trasaksional dalam kepemimpinan, mengakibatkan penjarahan sumber daya alam daerah, bahkan lebih parah lagi, bangsa ini diseret arus penipuan kapitalisme dan liberalisasi dalam kemasan demokratisasi.


24  BUMN Berpotensi Terkorup

Pemilu 2014, Waspadai Hibah Asing


ndonesia adalah surga mata-mata asing. Segala sesuatu informasi mudah didapat, Tentu, para mata-mata itu tidak berjaket CIA, atau berkaos KGB seperti banyak dijual di pasar loak. Melainkan bisa hadir sebagai diplomat, turis, pebisnis, konsultan, pengamat dan bahkan donatur LSM. Yang jelas, kedatangan mereka ke Indonesia membawa misi mengais sebanyak mungkin informasi untuk kepentingan negaranya.
Tanpa disadari pula, tidak sedikit politisi Indonesia, baik disengaja maupun tidak disengaja, masuk perangkap sebagai orang binaannya. Bermula dari hubungan personal, dan politisi kita biasanya bangga punya teman bule, hubungan itu berlanjut ke hal-hal yang lebih serius. Misal mengorek info-info yang tidak beredar di media sehingga mata-mata asing itu dapat info gratisan.
Ada satu lembaga asing, sebut saja The National Democratic Institute for International Affairs (NDI) yang sejak 1998 hingga sekarang, rajin memberikan paket-paket pelatihan ke sejumlah partai politik. Biasanya pengurus partai di tingkat kabupaten ke bawah. Para pengurus yang bingung mau membuat kegiatan apa di partainya, biasanya pula dengan mudah menerima itu. Dari sanalah pembinaan dan pengorekan informasi dimulai.
Jadi tidak terlalu mengherankan, bila mata-mata asing itu dengan mudah menyusupkan agendanya ke produk-produk legislasi kita, karena memang sudah punya contact person di tubuh partai politik yang sudah relatif lama digarap. Dari sana pula ruh neo-liberalisme masuk ke produk-produk perundangan, sehingga tidak sejiwa lagi dengan UUD 1945.
Ada kalanya pula, lewat contact person yang sudah digarap, mata-mata asing itu menyiapkan dana cukup besar untuk meng-entertaint dan mengamplopi anggota dewan lainnya. Para intelijen ini sangat tahu, pada umumnya para politisi ini membutuhkan banyak uang sebagai sarana mereka untuk menyuap mendapatkan kedudukan, atau kepentingan pribadi ataupun kepentingan partainya. Untuk mencegah kebobolan lebih jauh dari penyusupan para intelijen asing ini yang beroperasi seperti tak ada yang mengawasi, maka ada benarnya apa yang dikatakan Suripto, Mantan Kabakin (kini Komisi I DPR Fraksi PKS), sebaiknya para politisi itu mengerti ilmu tentang intelijen.
Untuk menjalani tugas keintelijenan, dana mereka tergolong cukup besar sehingga para intelijen asing ini bisa secara leluasa menyuap, menyamar, berpindah-pindah tempat dari satu hotel ke hotel yang lain, bahkan mampu mendanai anak bangsa yang bersedia menjadi ‘sepatu bot’ (informan) dengan sejumlah imbalan yang menggiurkan. Tanpa diketahui siapa mereka sebenarnya, bahkan mengatasnamakan demi berkembangnya demokrasi di tanah air, banyak pemuda yang bersedia menjadi pengikutnya dengan mendirikan LSM yang sebenarnya,hakikatnya telah menjadi ‘boneka’ bagi kepentingan asing.
Salah satu LSM asing yang menjadi sorotan dan kegelisahan dari para elite politik kita adalah tentang eksistensi dan kiprah berbagai lembaga asing yang bergerak di bidang demokrasi, antara lain NDI--yang aktif memfasilitasi dan memberikan bantuan teknis atas beberapa badan yang berkaitan dengan pemilu di Indonesia. Bahkan, disinyalir terjadinya amandemen UUD 1945 merupakan campur tangan pihak asing.
Kesan yang sama juga pernah disampaikan oleh Kwik Kian Gie selagi menjabat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan nasional/Kepala Bappenas, bahwa para menteri Kabinet Gotong Royong cenderung mempunyai kesan yang sama tentang kuatnya campur tangan pengamat asing dalam pembentukan opini publik berkaitan dengan pemilihan presiden melalui mekanisme survei ataupun penghitungan cepat (Kompas, 9/7/2004). Apa yang berkembang di sidang kabinet tersebut merupakan potret sensitivitas para elite politik atas kiprah dan peran pihak asing dalam proses demokrasi (terkhusus penyelenggaraan pemilu) di Indonesia. Sensitivitas semacam ini, khususnya pasca-Orde Baru, pernah terlontar antara lain saat proses amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Ketika menjelang Pemilu 2009 lalu, kita mencatat setidaknya ada beberapa lembaga internasional tercatat mendaftarkan diri pada KomisiPemilihan Umum (KPU) untuk menjadi tim pemantau Pemilu 2009. Sebanyak tujuh lembaga yang mendapatkan akreditasi dari KPU yakni:National Democratic Institute (NDI), International Foundation for Electoral System (IFES), Friedrich Naumann Stiftung furdie Freiheit (FNS), Anfrel Foundation (Asian Network for Free Elections Foundation), Australia Election Commission) The Charter Center, dan International Republican Institute (IRI). International Foundation of Electoral System (IFES), misalnya, diduga menjadi menyediakan teknologi dan dana untuk penyelenggaraan hitung cepat. Lembaga donor asal Amerika Serikat (AS) tersebut diketahui membantu proses penyediaan server, termasuk teknologi tabulasi sms KPU. Tim kampanye pasangan Mega-Pro menganggap campur tangan IFES itu bertentangan dengan prinsip independensi KPU.
Umumnya, sebagian besar lembaga pemantau Asing bernaung di bawah USAID. Juga ada delegasi Uni Eropa, Comelec Uni (KPU Philipines), KPU Afghanistan, KPU Timor Leste, Ausaid (Kedutaan Australia), Duta Besar Brunei Darusallam, dan Duta Besar Pakistan. Bagi negara tetangga atau negara sahabat seperti Pakistan, Brunei, Afganistan, Timor Leste, bisa jadi kedatangan mereka sebagai pemantau dari negara tetangga, niatnya hanya ingin belajar pemilu dari Indonesia karena Indonesia dinilai oleh Amerika sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan India. Tapi bagi Uni Eropa atau Amerika, tentu bukan proses pemilu yang terpenting. Mengingat mereka dari negara yang mereka klaim sebagai kampiun demokrasi.
Demi melanggengkan misi-visi mereka, lembaga-lembaga internasional ini berkolaborasi dengan LSM lokal, karena dengan begitu, mereka dengan leluasa bergerak secara aman menelusuri ke setiap pelosok Indonesia. Dan tidak berhenti di situ, intervensi asing ini pun mengucurkan dana miliaran rupiah untuk kegiatan pemilu, baik legislatif maupun pemilu presiden. Dalam hal ini ada catatan penting yang perlu kita ketahui, bahwa Pemerintahan Inggris telah mengucurkan hibahnya senilai 1 juta pounsterling (US1,4 juta) untuk membiayai kegiatan Pemilu 2009 di Indonesia, yang hibahnya disalurkan lewat Donor Program yang dikoordinasi oleh United Nationals Development Programme (UNDP).
Martin Hatfull, Duta Besar Inggris untuk Indonesia yang menandatangani nota kesepakatan pemberian hibah dengan Hakan Bjorkman (Country Director UNDP untuk Indonesia) ini mengatakan, dana hibah Inggris ini difokuskan untuk mendukung dan meningkatkan partisipasi serta keterwakilan perempuan pada Pemilu 2009. Selain Inggris, juga Australia dan Belanda sebesar USD 1 juta, Spanyol USD 1,8 juta, dan lewat USAID, Amerika menyumbang dana sebesar USD 7 juta.
Kemudian, oleh UNDP, dana yang semuanya terkumpul sebesar USD 37,58 juta itu disalurkan ke sejumlah 26 LSM lokal sebesar USD 1,428 juta dengan ‘alasan’ untuk program kegiatan pendidikan dan informasi pemilihan Pemilu 2009. Juga untuk sosialisasi Pemilu 2009, UNDP menyalurkan kepada ormas-ormas (Civil Society organization [SCO] dengan besaran yang variatif antara Rp 50 juta hingga Rp 1,2 miliar per ormas. Hibah ini secara khusus diberikan untuk program sosialisasi pemilih pemula, pemilih perempuan, pemilih difabel [cacat] serta pemilih kaum marginal seperti narapidana, waria, juga pekerja seks komersil [PSK]).
Uang memang mampu menaklukan segalanya, dan hal ini sungguh terbukti dalam kenyataannya bertindak bagaikan Direkturnya KPU. Ketika iklan KPU muncul di berbagai media (cetak dan elektronik/televisi), nama UNDP pun ada di sana. Di sini KPU bekerja seperti sudah disetir oleh kemauan UNDP. Dalam hal ini, kita pun bisa menangkap esensinya, bahwa semua itu tentu saja sangat berkaitan erat dengan strategi globalisasi.
Sedangkan demokrasi adalah alat bagi globalisasi perdagangan dan investasi. Thomas Friedman (2000) menyebutkan globalisasi sebagaiAmerikanisasi. Globalisasi, yang di dalamnya ada liberalisasi perdagangan, demokrasi, HAM, lingkungan hidup dan hak paten, menjadi kebutuhan survivality, bagi Amerika agar tetap menjadi adidaya dan mengeruk kekayaan alam dunia, inilah jawaban mengapa pihak asing (Barat) khususnya Amerika ingin tetap mengendalikan Indonesia.
Suatu fakta yang tak terbantahkan adalah Indonesia tidak pernah merdeka secara hakiki. Sejarah Indonesia mencatat, sebelum merdeka pun pihak asing sudah mengeruk kekayaan alam Indonesia. Hampir 3,5 abad Indonesia dijajah Belanda. Sebelumnya Portugis pun menikmati kekayaan Indonesia beberapa lama, Jepang juga tak ketinggalan keberadaannya di Indonesia bukan sekadar mampir tetapi berkuasa penuh sebagai penjajah. Dan kini, setelah merdeka keadaan Indonesia tidak lebih baik dari waktu semasa zaman penjajahan.
Intervensi asing memang selalu membidik kekayaan Indonesia yang luar biasa. Di era Bung Karno, Indonesia memang cenderung condong keBlok Timur, namun Barat dengan ketekunannya mencari celah-celah konflik internal di Indonesia, akhirnya Soekarno yang berani bilang Go To Hell With Your Aids itu justru terpental dari singgasana kekuasaannya. Sejak itu Indonesia kembali menjadi lahan jarahan Negara-negara yang disebut Soekarno Nekolim (Neo imperialisme neo kolonialisme) itu.
Lama kelamaan Indonesia malah jatuh ke Blok Barat hanya dalam hitungan beberapa tahun saja. Lewat pemberian utang luar negeri yang dikucurkan secara deras, akhirnya Indonesia seperti dijerat oleh Barat karena terus berada di bawah bayang-bayang utang luar negeri yang semakin menumpuk hingga sekarang ini.
Di awal-awal berdirinya Orde Baru, Barat seperti mendapatkan surga yang mengasyikkan di Indonesia. dan orang pun tahu, munculnya Mafia Berkeley adalah hasil dari kekuatan Barat membangun membangun jaringan orang-orang lokal yang mengabdi kepada mereka. Mafia Berkeley adalah sekelompok ahli ekonomi lulusan Amerika yang memiliki paradigma berpikir khas Amerika. Disusul pula munculnya sekelompok intelektual yang tergabung dalam CSIS yang kemudian menjelma sebagai think tank pemerintahan Soeharto dalam memutuskan seluruh kebijakan pembangunan nasional.
Padahal semua tahu bahwa CSIS ini kiblatnya adalah Amerika. Lewat antek-antek inilah akhirnya pihak asing secara leluasa mampu mempengaruhi semua kebijakan yang membuat Indonesia ‘dicucuk hidungnya’ demi melayani kepentingan asing. dari sini pula, kekayaan Indonesia yang menguasai hajat hidup orang banyak ternyata dikuras perusahaan asing dan tentu saja dengan pola kerja sama yang saling menguntungkan antara perusahaan asing dengan para rezim Orde Baru yang terbuka peluang untuk memperkaya diri, keluarga dan golongan mereka saja.
Sedangkan rakyat hanya bisa gigit jari. Demi melanggengkan ‘kolonialisasi’ gaya barunya ini, para iblis kapitalis ini menancapkan kukunya dengan menempatkan lembaga dunia seperti Bank Dunia (World Bank) dan IMF yang kemudian hari berperan mendikte arah pembangunan Indonesia sampai sekarang, dan hasilnya Indonesia selalu mengikuti kemauan dari pihak asing yang telah menjadi ‘tuan besar’ di negara ini.
Reformasi yang banyak diharapkan akan membawa perubahan pada kenyataannya tidak mengubah apapun sampai sekarang. Karena, reformasi yang diusung oleh sejumlah tokoh tempo hari tidak mempunyai program yang jelas apa yang bakal dikerjakan untuk rakyat pasca-reformasi. Mindset-nya tentang ekonomi pun sejak Orde Baru sampai saat ini tidak berubah. Lebih parah dari yang kita duga semula, karena mereka, tim ekonomi, membuat dan menjalankan kebijakan ekonomi yang bukan untuk kepentingan nasional, melainkan menjalankan misi kepentingan pemilik modal di luar negeri seperti Amerika dan Jepang, baik di bidang pertambangan maupun manufaktur.
Selain itu, campur tangan asing dalam pembuatan UU, pemilihan pejabat publik serta cara berpikirnya masih mengacu kepada Konsesus Washington, liberalisme yang diusung oleh IMF dan seterusnya. Pasca reformasi bukannya membuat kebijakan yang membatasi kepentingan asing dan lebih pro kepada rakyat tetapi malah memberikan peluang keterilbatan asing yang hampir dan ada batasnya di dalam pengelolaan kekayaan alam Indonesia. pihak asing diberikan kesempatan yang amat luas untuk membuka pasar Indonesia dengan modal yang begitu besarnya. Dan kita bisa lihat sendiri bagaimana Bank Dunia memberikan dana kepada DPR untuk membuat RUU hingga jadi UU yang sesuai dengan kepentingan kapitalis global atau demi kepentingan juragan kapitalis dari Amerika.
Sejumlah LSM yang pro-demkorasi pada waktu itu pernah juga mendirikan Koalisi Mandiri. Mereka mendesak KPU untuk tidak lagi menerima bantuan asing. tetapi, sayangnya, di dalam Pakta Integritas yang dibuat Koalisi Mandiri dan ditandatangani KPU, pointer yang tercantum pada draf awal Pakta menghentikan bantuan asing itu hilang.
Setidaknya, ada lima alasan, kata Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin, mengapa penyelenggaraan pemilu harus menyetop bantuan asing. pertama, semua UU Pemilu tegas melarang ada bantuan pihak asing kepada peserta pemilu, salah satu alasannya terkait kemandirian. Kedua, dalam putusan MK No. 108-109/2009, penafsir Konstitusi telah meminta kepada KPU dan Bawaslu supaya bantuan dari pihak asing dihindari agar tidak menimbulkan kecurigaan dan menganggu netralitas penyelenggara pemilu. Ultimatum ini disampaikan MK tanpa harus diawali oleh adanya bukti-bukti bahwa bantuan asing merupakan manisfestasi dari campur tangan pihak asing dalam penyelenggaraan pemilu.
Ini berangkat dari kasus bantuan IFES pada Pilpres 2009 yang dinilai sebagai kecurangan pemilu oleh dua pasangan capres. Ketiga, terbukanya peluang duplikasi anggaran dari pos APBN dan bantuan pihak asing yang boleh jadi berujung pada penyimpangan anggaran. Keempat, dana asing seringkali dimanfaatkan oleh anggota dan jajaran kesekretariatan penyelenggaran pemilu untuk memproleh honor-honor tambahan. Honor-honor inilah yang dikhawatirkan bisa mengikis habis kemandirian, netralitas, bahkan nasionalisme. Kelima, munculnya sikap manja anggota KPU, Bawaslu, pegiat pemilu hingga kepada masyarakat dari sejumlah uang yang digelontorkan oleh pihak asing itu. Semua itu dapat memunculkan sikap pragmatisme seiring memudarnya secara perlahan semangat kesukarelaan, solidaritas, bahkan idealisme serta spirit kemandirian yang merupakan modal dasar bagi bangsa ini.
Standarkiaa Latief, Ketua Umum Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI) mewanti-wanti agar mewaspadai menjelang Pilpres 2014 karena akan makin banyak campur tangan demi kepentingan asing mengingat begitu banyaknya perusahaan asing yang bercokol di Indonesia. hampir 80 persen ekonomi Indonesia dikuasai pihak asing seperti tambang emas Freeport, Newmont dan lannya.
Semenjak periode kekuasaan SBY (2004-2009) hingga awal 2010 terpilih kembali, setidaknya ada 72-an produk undang-undang itu diintervensi asing sehingga membahayakan keselamatan negara. Negara sebetulnya dalam krisis karena undang-undang itu semuanya bermuara kepada kepentingan asing termasuk pengelolaan sumberdaya alam dan perbankan. Jika didiamkan, kekuasaan akan berjalan semau-maunya dan cenderung makin besarnya transaksi dalam penyelesaian masalah pada kasus-kasus sosial, ekonomi, politik dan masalah HAM.
Dari semua kejadian itu, ada hal yang mengenaskan bagi kita, saking dalamnya campur tangan itu, sehingga membuat calon presiden Indonesia harus datang kepada negara-negara kapitalis, memohon restu agar bisa ‘bertengger’ menduduki jabatan puncak. Tentu saja, pihak asing akan menganalisa dan menilai siapa saja yang tepat dan pantas untuk dijadikan anteknya. Hal ini bisa dibuktikan pada menjelang Pemilu 2009 yang lalu, ketika Duta Besar Inggris Martin Hatfull mendatangi sejumlah parpol peserta pemilu, walau rakyat tak ada yang tahu apa saja isi pembicaraan itu.
Kini, Indonesia dalam kesulitan besar untuk mencari calon pemimpin yang benar-benar anti asing dan pro kepada rakyatnya. Pada umumnya, Capres potensial untuk dijadikan antek akan didekati oleh pihak asing. Telah jadi catatan penting, terjadinya modus yang sama yaitu jelang Pemilu 2004, Indonesia didatangi Jimmy Carter dan Collin Powell serta mantan Perdana Menteri Thailand Chuan Leekpai untuk memimpin para pemantau dari The Carter Center.
Seakan Pemilu harus dapat restu dari Amerika, Carter pun turut mengecek kesiapan KPU dalam penyelenggaraan Pilpres juga mengenai hubungan KPU dengan Panwaslu Carter juga bertemu dengan para calon presiden dan wakil presiden saat itu. Sementara pada saat Pemilu 2004, Menlu AS Collin Powell bertemu dengan salah seorang Capres RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Amin Rais yang juga merupakan salah satu kandidat dalam Pemilu 2004, mengungkapkan bahwa dirinya pernah ditawari sejumlah uang dari kalangan di Amerika sana sebagai modal bagi usahanya maju menjadi Calon Presiden pada saat itu.
Intervensi asing juga bekerja dengan cara memantau seleksi untuk mengisi kursi kepemimpinan di kabinet. Kebanyakan dari para menteri yang terpilih untuk menduduki posnya sebagai pejabat publik hampir bisa dipastikan mereka adalah orang-orang yang mendapat restu asing seperti Amerika dan IMF.
Untuk mencari tipe pemimpin ideal yang anti asing dan pro rakyat pada saat ini memang terasa menyulitkan. Karena, pihak asing selain telah berhasil menanamkan antek-anteknya di berbagai lini baik luar dan dalam juga bisa langsung mendikte mereka yang mencoba menentang. Intervensi asing di Indonesia ini telah dikukuhkan dengan hadirnya lembaga-lembaga yang membiayai kader-kader intelijen yang bekerja untuk kepentingan asing.
Hal semacam ini bisa disimak dengan munculnya LSM-LSM seperti The ASIA Foundation yang hadir sejak 1955/1956. Sedangkan mekanisme kerjanya dilakukan dengan mengintervensi pembuatan berbagai produk perundang-undangan, lewat konsultan-konsultan dan tim asistensi program. Dengan cara seperti itulah mereka bisa memetakan dan memiliki informasi seakurat mungkin. Mereka juga membuat perencanaan pengendalian, dengan rencana taktik melakukan pecah belah atau merencanakan politik belah bambu.
Tahap berikutnya, menyusun kebijakan yang cocok untuk mendukung agar masyarakat secara ekonomi dan politik Indonesia tetap di bawah kendalinya. Sementara intervensi di dalam militer, dilakukan lewat lembaga pendidikan militer.
Kalau kita ingat di tahun 1950-an di militer Indonesia ada lembaga pendidikan yang namanya Sesko. Di situlah mereka merekrut militer, mereka kemudian memberikan beasiswa dan memberi kesempatan kepada militer-militer Indonesia melalui program IMET (Indonesia Militery Education Training).
Intervensi AS secara ekonomi dan politik lebih jauh dijalankan di awal masa Orde Baru. Amerika menitipkan kepentingan ekonomi politik mereka lewat IMF, dengan kucuran dan bantuan sebagai bargaining terhadap kepentingan tersebut. Salah satu kepentingan AS terhadap Indonesia bukanlah semata-mata bersifat politis. Hal ini terungkap dalam buku Gouda dan Zaalberg (2008), melainkan motif ekonomi. Menurut Gouda, ketika Indonesia merdeka, aset ekonomi AS di Indonesia mencapai sekitar 300 juta dolar AS. Aset ini terutama terdiri atas sektor migas dan perkebunan. Di era Orba, Amerika menitipkan kepentingan ekonomi politik mereka lewat IMF, dengan kucuran dan bantuan sebagai bargaining terhadap kepentingan tersebut.
Amerika semakin kuat menanamkan pengaruhnya di Indonesia sejak terpilihnya SBY sebagai presiden pada Pemilu tahun 2004. Munculnya lembaga-lembaga seperti Freedom Institute dan modernisator yang berkiblat ke Barat melingkari dalam lingkungan pemerintahan presiden SBY. Rizal Ramli pernah menceritakan bagaimana dia waktu itu dinominasikan sebagai salah satu calon Menteri Ekonomi. Namun karena dia tidak terlalu Pro-IMF, maka ia tidak Amerika (Diungkapkan oleh Rizal Ramli dalam Ceramah Umum di Universitas Jayabaya pada bulan Maret 2009).
Hal ini berbeda dari kenyataan ketika Menteri Keuangan RI sekarang dibawah pemerintahan SBY, yaitu Sri Mulyani dengan mudah menjadi pembantu presiden RI, karena dia adalah pegawai IMF. Begitu juga dengan digandengnya Budiono sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) dari pasangan SBY, yang merupakan pegawai dari World Bank. Amin Rais mengungkapkan dalam sebuah ceramah umum di Universitas Jayabaya, pada Oktober 2008, bahwa pemerintahan SBY itu tidak ubahnya seperti Amangkurat II di Jawa yang suka menjual wilayahnya kepada kaum Kompeni Belanda (Penjajah).
Dari kondisi perpolitikan Indonesia masa kini, kita bisa melihat betapa parpol telah gagal melahirkan pemimpin yang rakyat harapkan, yakni yang secara integritas berani menomorsatukan kepentingan rakyat dan berani menolak segala tekanan asing. Padahal, setiap parpol memiliki sarana dan wadah untuk menyiapkan lahirnya calon pemimpin yang mumpuni. Secara kasatmata, hal ini bisa disebabkan oleh parpol yangtidak memiliki basis ekonomi yang mapan. Sehingga proses pemilihan legislatif kecenderungan mengimpor orang dari luar partai, dan itulah yang kini tengah terjadi. Orang luar atau kelompok pragmatis yang memiliki basis dana dan modal yang besar akan mengalahkan orang jujur dan berkompeten untuk maju menjadi calon pemimpin yang sebenarnya.
Dengan berkembangnya kondisi semacam ini, bisa diprediksi pada pemilu nanti bakal muncul kasus-kasus baru dalam pemilihan legislatif dan lahirnya tokoh-tokoh muda di daerah di mana akan semakin banyak politisi muda terlibat korupsi, sedangkan tokoh tua semakin “ngeyel’ tidak mau turun melepaskan jabatannya.
Melihat kasus per-kasus ini, maka kita (rakyat ) sudah seharusnya berhati-hati dalam memilih pemimpin bangsa karena jangan sampai kita dibohongi lagi oleh penguasa yang lebih memihak kepada pihak asing atau perusahaan asing. Begitu pula untuk menjadi kader pada salah satu parpol yang ada, seharusnya pula pandai memilih mana parpol yang benar-benar berani dan mampu membuat program untuk menjalankan misinya membela rakyat.
Memang agak sulit di sini, karena banyak parpol pada umumnya membuat janji-janji yang sama dengan misi membela kepentingan rakyat, tetapi begitu berkuasa, mereka menunjukkan jati diri yang asli dengan membela kepentingan asing, dan itu memang terbukti dengan parpol yang tengah berkuasa dan bersinergi dengan sejumlah parpol lain yang mendapat kursi dalam pemerintahan pada KIB II.
Kendala kita untuk mencalonkan capres independen terletak pada UU No.42 Tahun 2008, yang hanya mengakomodir capres dan cawapres yang hanya boleh diusung oleh satu parpol atau lebih. Hal itu termaktub dalam Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 3: Gabungan Partai Politik adalah gabungan 2 (dua) Partai Politik atau lebih yang bersama-sama bersepakat mencalonkan 1 (satu) Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Menurut Habiburokhman, satu dari empat Anggota Partai Gerindra yang pernah uji materiil Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Capres dan Cawapres, di MK, mengatakan, bahwa pasal 9 UU No.42 Tahun 2008 yang secara garis besar mengatur pasangan capres-cawapres hanya bisa diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol yang memiliki 20% kursi DPR jelas bertentangan dengan Pasal 6 a ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi; “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
Menurut Habiburokhman dalam pasal UUD 1945 ini, sama sekali tidak ada syarat  jumlah minimum perolehan kursi parlemen atau jumlah minimum perolehan suara nasional dalam Pasal 6 a ayat (2). Yang penting partai politik pengusul capres-cawapres tersebut merupakan peserta pemilu. Sehingga batas minimum perolehan suara parpol untuk mengajukan capres-cawapres harusnya sama dengan batas minimum parpol untuk dapat duduk di parlemen yaitu 3,5%. Ketentuan Presidential Treshold (PT) 20%  tersebut lanjut Habiburokhman telah atau setidaknya berpotensi menimbulkan kerugian konstitusional bagi kami yaitu hilangnya hak untuk untuk turut serta dalam menentukan pemerintahan sebagaimana diatur Pasal 28 D ayat (3) UUD 1945.
Kita tentu ingat bagaimana pemerintah Orde Baru menjadikan paket 5 UU Politik untuk menjegal siapapun yang membawa ide-ide perubahan. Jika ketentuan Pasal 9 UU Nomor 42 tahun 2008 tidak diubah maka rakyat tidak akan mempunyai cukup pilihan untuk menentukan siapa yang layak menjadi Presiden pada Pemilu 2012 yang akan datang. Kondisi tersebut bisa memicu keresahan sosial karena aspirasi rakyat untuk mewujudkan perubahan pengelolaan negara tidak dapat disalurkan secara demokratis melalui Pemilu.
Selain Habiburokhman, Yusril Ihza Mahendra yang Mantan Menteri Hukum dan HAM, juga akan mengajukan uji materi Undang-Undang 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden (Pilpres) kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Karena, menurutnya, UU Pilpres tersebut menghambat dirinya untuk maju sebagai calon presiden. UU Pemiihan Presiden itu menghambat tokoh-tokoh yang memiliki potensi dan kualitias untuk dipilih oleh masyarakat. Memang sudah saatnya untuk direvisi agar benar-benar demokratis. Jangan ada beberapa partai yang mau menghambat potensi orang yang bisa menang, dipilih oleh masyarakat. Partai politik ini membatasi orang yang punya perahu tapi tak punya pendayung atau sebaliknya.
Tentu saja UU Pilpres terwujud pun tak lepas dari kemauan pihak asing. Dengan segala kepentingannya di Indonesia, pihak asing seperti total football bermain untuk memenangkan siapa ‘jagonya’ yang bakal membela kepentingan mereka tatkala kelak menjadi presiden, dan untuk itu perlu dielus-elus dahulu sebelum ‘ayam jago’ itu diadu. Tentu saja untuk bermain curang, sebelum bertanding harus ada orang-orang yang dikalahkan dulu agar jagonya secara mulus berhasil melewati rintangan. Maka, menggelontorkan dana yang begitu besar untuk kepentingan Pemilu dan Pilpres bukanlah masalah besar bagi kaum kapitalis. Karena, di balik pemberian hibah tentu saja tersimpan maksud lain yang jahat, yakni memiskinkan rakyat Indonesia lewat sepak terjang pemimpinnya sendiri yang akan manut membela kepentingan kaum pemodal asing. Memang betul kata pepatah: Tak ada ‘makan siang’ yang gratis!