Rabu, 24 Agustus 2011

Penyusunan Perda Partisipatif

Kebijakan otonomi daerah telah melahirkan sejumlah perubahan-perubahan yang cukup penting, terutama di daerah. Di bidang politik, otonomi daerah berdampak positif bagi perkembangan demokrasi lokal. Indikatornya antara lain misalnya, berfungsinya DPRD sebagai lembaga legeslatif daerah. Pada era diberlakukannya UU No.5/1974, DPRD hanyalah kelengkapan eksekutif daerah.
Pada era otonomi daerah ini, DPRD benar-benar sebagai lembaga legeslatif dan mitra sejajar eksekutif daerah. Indikator lain masyarakat bisa turut berpartisipasi dalam setiap kebijakan pemerintah daerah. Hal tersebut bisa terjadi karena pendeknya rantai birokrasi yang menjadikan rakyat bisa dengan cepat mengikuti setiap kebijakan baru yang dibuat pemerintah daerah.
Di sisi lain kebijakan otonomi daerah juga memendam banyak persoalan. Di antara persoalan tersebut adalah lemahnya SDM daerah yang sangat berpengaruh terhadap produk kebijakan daerah. Hal ini terlihat misalnya dari banyaknya produk Perda yang bermasalah.Disinyalir misalnya, dalam rentang waktu setahun setelah otonomi daerah saja, dari 1053 Perda yang diinventarisasi Departemen Dalam Negeri, 105 Perda diantaranya bermasalah.
Pada konteks inilah, dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, penyusunan Perda, perlu mengikutsertakan masyarakat dengan tujuan agar dapat mengakomodir kepentingan masyarakat. Peran serta masyarakat tersebut akan mempermudah sosialisasi dan penerapan substansi apabila Perda ditetapkan dan diundangkan
I. Mengapa Partisipasi diperlukan

Kebijakan Otonomi Daerah telah melahirkan angin segar untuk pelibatan masyarakat, karena kebijakan ini diambil dengan tujuan meningkatkan pelibatan masyarakat. Pemerintahan lokal secara fisik memang lebih dekat dengan masyarakat sehingga masyarakat lebih mudah mengetahui kebijakan yang diambil pemerintah. Dan kebijakan yang diambil umumnya langsung berkaitan dengan keseharian masyarakat. Dampaknya jika ada kebijakan yang kurang sesuai masyarakat dapat segera mengkritisi kebijakan tersebut dan penyelenggara pemerintahan yang hidup ‘bersama’  masyarakatnya mau-tidak mau harus merespon aspirasi masyarakatnya.  Penyelengaraan pemerintahan lokal yang lebih dinamis ini telah menimbulkan suatu kebutuhan bersama untuk mengatur  pelibatan masyarakat.
II. Hak Masyarakat, Kewajiban Pemerintah dan Mekanisme Partisipasi

Hak Masyarakat

Sebagaimana tertuang dalam PP nomer 68 tahun 1999 berkenaan dengan  peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara, maka masyarakat mendapatkan hak-haknya sebagai berikut;
  1. Hak mencari dan memperoleh informasi mengenai penyelenggaraan negara
  2. Hak menyampaikan saran dan pendapat
  3. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara
  4. Hak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan hak-haknya diatas
Kewajiban Pemerintah
Sebagai konsekwensi adanya pengakuan terhadap hak masyarakat maka penyelenggara pemerintahan  mempunyai kewajiban untuk  mendengar pendapat masyarakat (yang berkepentingan) dalam proses perumusan dan penetapan  kebijakan yang menyangkut kepentingan masyarakat.  Dengan demikian penyelenggara pemerintahan sebagai penerima mandat masyarakat  berkepentingan untuk menjamin terlaksananya hak-hak masyarakat.  Dan terjaminnya hak-hak masyarakat  menjadi salah satu indikator  keberhasilan penyelenggaraan pamerintahan.
Mekanisme Partisipasi

Mekanisme yang memungkinkan  pelibatan aktif masyarakat minimal harus menjamin terlaksananya hak masyarakat  sehingga dalam mekanisme pelibatan masyarakat ini  minimal harus mengatur:
1. Penyampaian informasi tentang kebijakan yang akan diambil termasuk jadwal dan prosedur  pelibatan masyarakat
2. Tanggapan terhadap aspirasi masyarakat
3. Hasil akomodasi masyarakat dan
4. Keberatan
III. Tingkatan Dan Bentuk Partisipasi Masyarakat
Derajat
Partisipasi Masyarakat
Contoh
Tinggi Memiliki Kontrol Lembaga Pemerintah, legislatif, LSM, mendorong masyarakat, untuk mengindentifikasikan masalah, tujuan,  maksud dan kesimpulan-kesimpulan kunci. Lembaga memiliki kemauan membantu masyarakat dalam setiap langkah-langkahdalam menyelesaikan tujuan-tujuan tersebut.

Memiliki Kekuasaan yang terlegasi Lembaga – pemerintah, legislatif, LSM  –  mengidentifikasikan masalah dan menyampaikannya kepada masyarakat, mendefinisikan keterbatatasan serta membuat keputusan-keputusan yang dapat digabungkan dalam suatu rencana yang diterima

Keterlibatan dalam perencanaan Lembaga - pemerintah, legislatif, LSM – menyampaikan perencanaan tentative dan terbuka untuk menerima perubahan dari subjek yang dipengaruhi. Mengharapkan perubahan rencana paling sedikit dan mungkin lebih dari itu.

Saran Lembaga - pemerintah, legislatif, LSM – menyampaikan rencana dan mengundang tanggapan masyarakat. Rencana hanya dipersiapkan untuk dimodifikasi, jika memang diperlukan

Dikonsultasi Lembaga  - pemerintah, legislatif, LSM – mencoba menawarkan rencana. Mencari dukungan agar, memperoleh penerimaan atau memberi sanksi, sehingga pengadaan administrasi tercapai seperti yang diharapkan.

Menerima informasi sosialisasi Lembaga – pemerintah, legislatif, LSM – membuat perencanaan dan mengumumkannya. Masyarakat dikerahkan untuk tujuan mendengarkan informasi. Masyarakat berkumpul menjadi suatu yang diharapkan.
Rendah Tidak ada sama sekali Masyarakat tidak mengetahui sama sekali.
Sumber: Community participation for health for all. London, Community participation group of the United Kingdom for all network, 1991 dalam Suhardi Suryadi dan Julmansyah 2001
IV.  Alur Partisipasi Dalam Proses Penyusunan Peraturan Daerah
Dalam penyusunan peraturan daerah, partisipasi dikatakan optimal bila  masyarakat terlibat  secara aktif dari awal proses penyusunan hingga  peraturan daerah itu disahkan menjadi produk hukum.  Hal ini dapat dilakukan bila masyarakat dan lembaga legislatif saling berjalan sinergis untuk mewujudkan produk hukum yang terbaik untuk daerah.
Dalam fungsinya sebagai Lembaga legilslasi, DPRD perlu menyerap aspirasi sebanyak-banyaknya dari masyarakat (selain menyerap masukan dari inisiatif anggota DPRD atau masukan dari Pemda) untuk bahan penyusunan kebijakan daerah.   Semua aspirasi yang masuk dicatat dan didokumentasikan dengan baik.  Selanjutnya DPRD melakukan proses seleksi dengan memperhitungkan berbagai aspek seperti sumberdaya, sumber dana, tingkat keperluan dan berbagai keterbatasan-keterbatasan lainya.   Tujuan dari proses seleksi ini adalah untuk menyusun prioritas usulan-usulan yang akan dibahas lebih lanjut di DPRD.
Untuk mendapatkan partisipasi yang optimal, sebelum dibahas lebih lanjut di DPRD, usulan yang sudah diprioritaskan tersebut perlu disosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat luas.  Paling tidak masyarakat mengetahui dari sekian aspirasi yang masuk di DPRD ada priotitas yang akan dibahas lebih lanjut.  Langkah ini dilakukan selain untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, juga merupakan  bentuk Transparansi lembaga Legislasi kepada publik.  Dari sini masyarakat akan mengetahui aspirasi mana yang menjadi prioritas DPRD dan mengapa aspirasi tersebut yang dipilih.
Setelah disosialisasikan, DPRD perlu menyerap aspirasi dari masyarakat.   Aspirasi  dari masyarakat cukup penting karena akan menjadi bahan pertimbangan dalam pembahasan.  Upaya untuk menyerap aspirasi tersebut dapat dilakukan melalui dua cara, yakni cara pasif dan aktif.  Cara pasif DPRD menunggu reaksi masyarakat setelah usulan-usulan prioritas disosialisasikan.  Sedangkan cara aktif,  DPRD mengundang atau mengajak bekerjasama dengan elemen masyarakat yang berkepentingan untuk melakukan pembahasan.
Setelah mendapatkan masukan dari masyarakat, usulan prioritas di bahas di DPRD melalui Rapat Paripurna (I dan II).   Dari rapat ini, usulan-usulan prioritas tersebut akan ditetapkan untuk dibahas lebih mendalam dalam rapat-rapat komisi.  Jumlah usulan yang ditetapkan tergantung dari hasil pembahsan dalam rapat paripurna.
Selama sidang komisi, DPRD kembali membuka ruang publik untuk mendapatakan masukan-masukan dari masyarakat.  Bila perlu Draft Raperda yang telah dibahas di sidang komisi disosialisasikan dan dibahas bersama masyarakat untuk mendapatkan masukan-masukan.  Cara yang ditempuh sebagaimana telah disebutkan diatas, yakni melalui dua cara.  Cara pasif menunggu reaksi masyarakat setelah draft disebarluaskan.  Sedangkan Cara aktif mengajak berbagai elemen yang berkepentingan dimasyarakat untuk melakukan pembahasan bersama.
Selanjutnya setelah melakukan pembahasan disidang komisi, masyarakat perlu mengetahui proses pengesahan Raperda dalam sidang paripurna DPRD.  Keterlibatan masyarakat terlibat dalam proses pengesahan merupakan ujung dari proses partisipasi masyrakat dalam penyusunan Peraturan Daerah.
Alur proses Partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan daerah bisa dilihat dalam gambar berikut:
{mosimage}
I. Pendahuluan
Meningkatnya kebutuhan akan berbagai peraturan perundang-undangan tidak dapat dihindari, tidak saja untuk menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat saat ini (termasuk akibat diberikannya otonomi kepada daerah), tetapi merupakan perangkat yang dibutuhkan dalam era globalisasi.
Peningkatan kuantitas peraturan perundang-undangan tersebut seyogyanya diimbangi dengan peningkatan kualitas. Peraturan perundang-undangan hendaknya disusun secara hati-hati dan seksama dengan mengikuti syarat-syarat teknis dan juridis tanpa mengabaikan kaidah-kaidah filosofis dan sosiologis. Suatu kajian hukum/perundang-undangan perlu dilakukan dengan penelitian-penelitian kepustakaan dan empiris, guna memperoleh suatu peraturan dengan kualitas yang baik dan dapat berlaku efektif dalam masyarakat.
Penelitian terhadap peraturan perundang-undangan tidak saja dilakukan dalam rangka pembuatan rancangan peraturan, tetapi juga perlu dilakukan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, apakah peraturan tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, rasa keadilan, hak-hak asasi manusia, dan lain-lain.
II. Keperluan Penelitian

Sebuah penelitian perlu dilakukan karena :
  1. Hasil penelitian yang baik akan menjamin proses pengambilan keputusan darimana Rancangan Peraturan Daerah tersebut berawal
  2. Garis besar yang disarankan dalam penelitian dapat dijadikan sebagai peta untuk menuntun pembuat rancangan dalam mengumpulkan dan menyusun bukti-bukti yang ada.
  3. Garis besar yang sama memastikan bahwa para pembuat rancangan menyusun fakta-fakta tersebut secara logis.
  4. Laporan hasil penelitian merupakan perangkat kenadali mutu dari RUU
Sedangkan fungsi penelitian akan bermanfaat untuk:
  1. Memaparkan fakta-fakta apa adanya
  2. Memperlihatkan penjelasan atau bukti yang diperlukan untuk meyakinkan bahwa tujuan-tujuan yang dicapai akan berhasil.
III.  Metodologi Penelitian

Belum ada standar baku dalam membuat metodologi penelitian untuk penyusunan rancangan peraturan perundangan.  Berbagai alternatif metodologi terbuka kemungkinan digunakan asalkan hasilnya dapat membantu mencapai tujuan penelitian itu sendiri, yakni menjawab persoalan dalam rangka penyusunan rancangan peraturan daerah.
Salah satu metodologi penilitian yang dapat digunakan untuk keperluan penyusunan peraturan daerah adalah metodologi pemecahan masalah. Suatu laporan hasil penelitian dari seorang pembuat rancangan perlu menyertakan metodologi pemecahan masalah untuk menunjukkan bahwa rancangan undang-undang yang diusulkan bertumpu kepada dasar pemikiran yang berdasarkan pengalaman.  Ada empat langkah pemecahan masalah:
  1. Mengenali kesulitannya
    Umumnya sebuah produk peraturan perundangan seperti peraturan daerah dibuat karena ada kesulitan-kesulitan yang ingin dipecahkan.  Pembuat rancangan peraturan daerah dalam hal ini perlu mengenali lebih jauh letak kesulitan-kesulitan tersebut secara cermat.    Pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan dalam hal ini adalah kesulitan-kesulitan apakah yang terjadi? Apakah fakta-fakta dilapangan menunjukkan bahwa kesulitan-keulitan itu benar-benar terjadi?  Pada langkah awal pembuat rancangan peraturan daerah ini perlu membuat deskripsi dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi dengan disertai fakta-fakta yang ditemukan dilapangan.
  2. Mengusulkan dan menjamin penjelasannya
    Setelah deskripsi kesulitan di dipaparkan dengan disertai fakta-fakta dilapangan, maka langkah selanjutnya adalah meneliti lebih lanjut mengapa kesulitan-kesulitan dapat terjadi.  Penyebab-penyebab apa sajakah yang melatarbelakangi kesulitan tersebut.  Penelitian dalam hal ini diharapkan dapat membantu mencari akar masalah dari kesulitan-kesulitan yang ditemukan dilapangan secara cermat.
  3. Pengusulan Solusi
    Setelah penyebab dari kesulitas dapat diketahui dengan jelas, maka langkah selanjutnya adalah memberikan solusi.  Upaya memberikan solusi ini diharapkan mampu menjawab akar masalah dari kesulitan-kesulitan yang sejak semula diajukan.  Solusi ini dibuat sudah dengan sendirinya sudah memperhatikan dampak-dampak yang terjadi dimasyarakat bila solusi diterapkan dilapangan.  Dari pemberian solusi inilah selanjutnya dirinci menjadi rancangan peraturan daerah.
  4. Memantau dan Menilai pelaksanaan
    Pada akhirnya laporan hasil penelitian harus membuktikan bahwa rancangan undang-undang menyertakan mekanisme pemantauan dan penilaian yang cukup.  Para pembuat undang-undang memerlukan masukan untuk menentukan apakah perilaku sosial berperilaku sebagaimana yang ditentukan dan akan menghasilkan akibat sebagaimana yang diharapkan.
IV. Langkah-Langkah Penelitian

Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam proses Penelitian Raperda
1. Membentuk Tim Peneliti

Dengan keterbatasan-keterbatasan anggota DPRD untuk membantu melakukan kerja-kerja penelitian dalam penyusunan peraturan daerah, DPRD perlu membentuk tim peneliti. Tim ini idealnya mereka yang mengetahui tentang persoalan penelitian dan juga menyangkut persoalan-persoalan hukum/peraturan. Dalam hal ini mereka yang duduk dalam tim bisa dari kalangan anggota legeslatif sendiri yang dianggap mampu untuk itu atau pihak luar yang ditunjuk karena kemampuannya (pakar/akademisi) atau gabungan antara kalangan legeslatif dan pihak luar.
2. Melengkapi penelitian awal

Kerja tim peneliti adalah melakukan pengkajian dan penelitian terhadap permasalahan atau topik yang akan menjadi Perda. Pada proses kegiatan penelitian awal ini, paling tidak menyangkut:
  1. Studi literatur/pustaka
  2. Penelitian yang lengkap tentang undang-undang yang ada
  3. Menyerap dan mengkaji masukan dari berbagai pihak seperti pengacara, kaum akademisi, anggota parlemen, LSM, Pers dan berbagai kelompok yang memiliki kepentingan langsung dengan masalah yang akan menjadi Perda.
  4. Penelitian tentang perda terkait yang ada di daerah lain.
3. Menyusun Naskah Akademik (Kertas Kerja I)
Setelah melakukan penelitian awal, tim peneliti perlu merumuskan hasil penelitiannya ke dalam bentuk naskah akademik. Tujuan menyusun naskah akademis ini adalah sebagai acuan untuk merumuskan pokok-pokok pikiran yang akan menjadi bahan dan dasar bagi penyusunan rancangan peraturan daerah.
Muatan naskah akademis ini paling tidak bisa menjawab persoalan sebagaimana yang dijelaskan dalam metodologi penyelesaian masalah, yakni memperjelas peta masalah, mencari sebab-sebab dari timbulnya masalah yang dihadapi dan solusi-solusi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah.
Naskah akademik ini selanjutnya menjadi Kertas Kerja I tim peneliti untuk dikonsultasikan ke pihak yang lebih luas.
4. Melaksanakan pembahasan dengan elemen terbatas

Untuk menyempurnakan hasil penelitian awal, naskah akademik yang telah disusun dikonsultasikan kepada sejumlah elemen terbatas (di luar tim peneliti). Pihak-pihak tersebut bisa dari kalangan akademisi, LSM, praktisi hukum, tokoh masyarakat atau pihak-pihak yang bersentuhan langsung dengan masalah.
5. Penyempurnaan Naskah Akademik (Kertas Kerja Ii)

Setelah kertas kerja I dikonsultasikan elemen terbatas (di luar tim), maka hasil yang didapat adalah masukan-masukan. Berbagai masukan tersebut selanjutnya diolah sedemikian rupa sehingga akan menyempurnakan naskah akademik yang telah dibuat. Hasil penyempurnaan ini merupakan kertas kerja II tim peneliti untuk dikonsultasikan kepada pihak yang luas (publik). Kertas kerja II idealnya harus lebih sempurna dan lebih kuat posisinya dibandingkan dengan kertas kerja I.
6. Melaksanakan pembahasan dengan publik

Penyempurnaan akhir kertas kerja tim peneliti adalah melakukan konsultasi dengan publik melalui kegiatan seminar/diskusi umum
7. Menyusun draft Raperda

Setelah hasil penelitian mendapatkan penyempurnaan-penyempurnaan maka langkah selanjutnya adalah merumuskannya ke dalam Draft Raperda. Draf ini kemudian diserahkan oleh tim peneliti kepada pemberi mandat.
Undang-Undang
  • UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
  • UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
  • UU No.34/2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
  • UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara
  • UU No.22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
  • UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara
  • UU No.10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
  • UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
  • UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Menggantikan UU N0.22/1999
Peraturan Pemerintah
  • PP No.16/2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
  • PP No.25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom
  • PP No.84/2000 tentang Pedoman Organisai Perangkat Daerah
  • PP No.104/2000 tentang Dana Perimbangan
  • PP No.105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
  • PP No.106/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
  • PP No.107/2000 tentang Pinjaman Daerah
  • PP No.108/2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban Kepala Daerah
  • PP No.109/2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
  • PP No.110/2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD
  • PP No.129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah
  • PP No.2/2001 tentang Pengamanan dan Pengalihan Barang Milik/Kekayaan Negara dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah
  • PP No.11/2001 tentang Informasi Keuangan Daerah
  • PP No.20/2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
  • PP No.39/2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi
  • PP No.52/2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan
  • PP No.56/2001 tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
  • PP No.65/2001 tentang Pajak Daerah
  • PP No.66/2001 tentangRetribusi Daerah
  • PP No.76/2001 tentang Pedoman Umum Mengenai Desa
  • PP No.84/2001 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No.104/2000 tentang Dana Perimbangan
  • PP No.3/2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  • PP No.65 /2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal
  • PP No.72/2005 tentang Desa
  • PP No.7/2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
  • PP No.78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penggabungan dan Penghapusan Daerah
Keputusan Presiden
  • Keppres No.49/2000 tentang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
  • Keppres No.52/2000 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Tindak Lanjut Pelaksanaan UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
  • Keppres No.157/2000 tentang Pembentukan Tim Kerja Pusat Implementasi UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
  • Keppres No.159/2000 tentang Pedoman Pembentukan Badan Kepegawaian Daerah
  • Keppres No. 181/2000 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota 2001
  • Keppres No.5/2001 tentang Pelaksanaan Pengakuan Kewenangan Kabupaten/Kota
  • Keppres No.74/2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
  • Keppres No.131/2001 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota 2002
Keputusan Menteri Dalam Negeri
  • Kepmendagri No.188.2-198 tentang Pembentukan Tim Kerja Pusat Percepatan Implementasi tentang UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999
  • Kepmendagri No.16 tahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan Asosiasi Pemerintah Daerah dan Penetapan Wakil Asosiasi Perintah Daerah sebagai Anggota DPOD
  • Kepmendagri No.50 tahun 2000 tentang Pedoman Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah
  • Kepmendagri No.11 tahun 2001 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah dan Manual Adiministrasi Barang Daerah

Tidak ada komentar: