Rabu, 10 Agustus 2011

Nilai-Nilai Kepemimpinan dan Peran Pemimpin Aparatur Pemerintah

Pemimpin dan kepemimpinannya merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat manusia dan berperan sentral dalam menjalankan roda organisasi. Bahkan, pemimpin dengan kepemimpinannya menentukan maju atau mundurnya suatu organisasi, dan dalam lingkup lebih luas menentukan jatuh dan bangunnya suatu bangsa dan negara.

Dalam situasi bangsa dan negara mengalami berbagai krisis, yang dikenal dengan krisis multidimensi, yaitu krisis ekonomi, politik, budaya, hukum dan keamanan, kita menyadari bahwa semua krisis itu bersumber dari krisis moral dan kepercayaan terutama pada mereka yang diberi kepercayaan oleh rakyat untuk menjadi pemimpin pada hampir semua profesi. Krisis-krisis tersebut mengakibatkan krisis kepercayaan rakyat terhadap para pemimpinnya karena para pemimpin belum berhasil membawa bangsa ini keluar dari krisis multidimensi yang berkepanjangan. Hal ini diperparah lagi dengan adanya krisis ekonomi global yang melanda dunia di mana kita merupakan bagian yang tidak terpisahkan daripadanya. Dewasa ini kita tengah berada di Era Globalisasi yang bercirikan suatu interdependensi, yaitu saling ketergantungan dan ditandai dengan semakin canggihnya sarana komunikasi.
Era Reformasi, keterbukaan dan demokratisasi yang telah kita masuki menumbuhkan harapan-harapan baru kepada masyarakat akan datangnya perubahan ke arah yang lebih baik. Namun di sisi lain, demokrasi yang sedang kita jalani belum diimbangi dengan pemimpin-pemimpin berkualitas yang benar-benar menjalankan amanat kepemimpinannya. Kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan, korupsi dan berbagai skandal penyimpangan menghiasi pemberitaan media massa hampir setiap hari.
Untuk itu diperlukan suatu gerakan “back to basics” , kembali ke masalah-masalah dasar kepemimpinan yaitu dengan kembali kepada nilai-nilai kepemimpinan yang diperlukan bagi seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya. Nilai-nilai kepemimpinan itu juga merupakan “roh” nya pemimpin, pedoman sekaligus rambu-rambu peringatan agar pemimpin dapat menjalankan kepemimpinannya dengan efektif dan efisien.
Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang nilai-nilai kepemimpinan yang perlu dimiliki seorang pemimpin dan bagaimana peran pemimpin aparatur pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bahan ceramah ini dipergunakan khusus untuk kepentingan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat II Angkatan XXVI Kelas G di Kupang, Nusa Tenggara Timur tahun 2009.
Hakikat Kepemimpinan
Apa sebenarnya hakikat kepemimpian itu ? Ada banyak buku-buku yang ditulis para pakar kepemimpinan dan berbagai definisi yang telah dirumuskan berdasarkan sejumlah pengalaman, penelitian dan pengamatan. Dari berbagai rumusan tentang kepemimpinan, ada rumusan sederhana yang menggambarkan hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin. Kepemimpinan adalah suatu seni (art) dan ilmu (science) untuk mempengaruhi orang lain atau orang-orang yang dipimpin sehingga dari orang-orang yang dipimpin timbul suatu kemauan, respek, kepatuhan dan kepercayaan terhadap pemimpin untuk melaksanakan yang dikehendaki oleh pemimpin, atau tugas-tugas dan tujuan organisasi, secara efektif dan efisien. Seni kepemimpinan mengandung arti suatu kecakapan, kemahiran dan keterampilan tertentu untuk mempengaruhi orang-orang yang dipimpin. Sedangkan ilmu kepemimpinan mengandung sejumlah ajaran atau teori kepemimpinan yang telah dibuktikan berdasarkan pengalaman, yang dapat dipelajari dan diajarkan. Dari berbagai pengertian tentang kepemimpinan dan kualitas yang harus melekat pada diri seorang pemimpin, dapat dirumuskan dalam sebuah kalimat singkat bahwa : Pemimpin adalah Pengaruh.
Kualitas pemimpin tidak ditentukan oleh besar atau kecil hasil yang dicapainya, tetapi ditentukan oleh kemampuan pemimpin mencapai hasil tersebut dengan perantaraan orang lain, yaitu melalui pengikut-pengikutnya, serta pengaruh yang dipancarkan oleh pemimpin terhadap pengikutnya. Robert Kelley, seorang profesor di bidang bisnis dan konsultan serta pelopor pengajaran Followership and Leadership, dalam bukunya : The Power of Followership (1992) mengungkapkan hasil penelitiannya yang dilakukan selama tujuh tahun bahwa para pengikut (followers) ternyata mampu memberikan kontribusi sebanyak 80 persen bagi keberhasilan setiap proyek, sedangkan pemimpin (leader) memberikan kontribusi  20 persen. Pemimpin harus mampu menggerakkan pengikutnya agar mereka bekerja dengan semangat dan memiliki komitmen untuk mencapai keberhasilan tugas.  
Untuk mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya, seorang pemimpin dapat menggunakan tipe dan gaya kepemimpinan yang otokratis (tipe direktif, semua terpusat pada diri pemimpin), demokratis (partisipatif dan konsultatif), paternalistik (ke-“bapak”-an), birokratis (memimpin berdasarkan aturan), bebas (laissez-faire, melimpahkan kepada anak buah), kepemimpinan yang melayani (servant leadership), atau gabungan dari beberapa tipe kepemimpinan tersebut. Kadang-kadang tipe kepemimpinan itu melekat sebagai karakter dari seorang pemimpin, tetapi bisa juga tipe kepemimpinan tersebut digunakan secara situasional untuk mencapai suatu tujuan pada jangka waktu tertentu.
Dahulu ada anggapan bahwa hanya orang-orang tertentu yang dilahirkan dengan bakat sebagai pemimpin (leaders are born). Namun dalam perkembangan zaman sebagian besar pemimpin diciptakan melalui suatu proses, tumbuh dan berkembang dari bawah, ditempa oleh berbagai pengalaman, ketekunan, kerja keras, disiplin yang tinggi serta tidak pernah berhenti belajar sepanjang hidupnya (leaders are made).
Para pemimpin dikenal bukan hanya karena posisi atau jabatannya tetapi terutama karena ciri-ciri kepemimpinan dan ajaran-ajarannya yang berguna bagi masyarakat, bangsa dan generasi yang akan datang. Di Indonesia kita mengenal Presiden Soekarno sebagai Proklamator Kemerdekaan dan Pemimpin Bangsa dengan ajarannya Nation and Character Building, Jenderal Soedirman pemimpin pejuang yang tidak mengenal menyerah, Ki Hajar Dewantara tokoh pendidikan nasional dan sebagainya. Di India dikenal tokoh Mahatma Gandhi yang diakui sebagai salah seorang tokoh terbesar sejarah serta penggerak ahimsa (menghindari /anti kekerasan) dan satyagraha (praktek menjalankan kebenaran).
Nilai-Nilai Kepemimpinan
Nilai-nilai kepemimpinan adalah sejumlah sifat-sifat utama yang harus dimiliki seorang pemimpin agar kepemimpinannya dapat efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Sifat-sifat utama tersebut ibarat “roh” nya pemimpin yang membuat seseorang mampu menjalankan kepemimpinannya dengan berhasil guna. Tanpa roh kepemimpinan maka posisi atau jabatan seseorang sebagai pemimpin tidak ada artinya.
Beberapa nilai kepemimpinan yang perlu dimiliki seorang pemimpin antara lain adalah sebagai berikut :
  • Integritas dan moralitas. Integritas menyangkut mutu, sifat dan keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Moralitas menyangkut ahlak, budi pekerti, susila, ajaran tentang baik dan buruk, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket, adat sopan santun. Persyaratan integritas dan moralitas penting untuk menjamin kepemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (termasuk perubahan-perubahannya) pada Bab V Pasal 133 disebutkan : Pengembangan karier pegawai negeri sipil daerah (PNSD) mempertimbangkan integritas dan moralitas, pendidikan dan pelatihan, pangkat, mutasi jabatan, mutasi antar daerah, kompetensi. Di tengah sorotan publik tentang kinerja sebagian pemimpin aparatur pemerintah yang kurang memuaskan dengan terjadinya kasus-kasus korupsi dan berbagai penyimpangan, maka nilai-nilai integritas dan moralitas pemimpin perlu mendapat perhatian utama.     
  • Tanggung jawab. Seorang pemimpin harus memikul tanggung jawab untuk menjalankan misi dan mandat yang dipercayakan kepadanya. Pemimpin harus bertanggungjawab atas apa yang dilakukan dan tidak dilakukannya untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam organisasi. Ia harus memiliki keberanian untuk mempertanggungjawabkan tindakan yang telah dilakukan dan mengambil risiko atau pengorbanan untuk kepentingan organisasi dan orang-orang yang dipimpinnya. Tanggung jawab dan pengorbanan adalah dua hal yang saling berhubungan erat. Pemimpin harus mengutamakan kepentingan organisasi daripada kepentingan pribadi atau keluarga termasuk pengorbanan waktu. Di sisi lain, pemimpin harus melatih bawahan untuk menerima tanggung jawab serta mengawasi pelaksanaan tugasnya.   
  • Visi Pemimpin. Kepemimpinan seorang pemimpin nyaris identik dengan visi kepemimpinannya. Visi adalah arah ke mana organisasi dan orang-orang yang dipimpin akan dibawa oleh seorang pemimpin. Pemimpin ibarat seorang nakhoda yang harus menentukan ke arah mana kapal dengan penumpangnya akan di arahkan. Visi sama pentingnya dengan navigasi dalam pelayaran. Semua awak kapal menjalankan tugasnya masing-masing tetapi hanya nakhoda yang menentukan arah kapal untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Visi pemimpin akan menginspirasi tindakan dan membantu membentuk masa depan. Visi adalah masa depan yang realistis, dapat dipercaya dan menjembatani masa kini dan masa depan yang lebih baik sesuai kondisi (sosial politik, ekonomi, budaya) yang diharapkan. Visi juga mengandung harapan-harapan, atau bahkan “mimpi” yang memberi semangat bagi orang-orang yang dipimpin. Pemimpin adalah “pemimpi” yang sanggup mewujudkan mimpinya menjadi kenyataan. Burt Nanus dalam bukunya Kepemimpinan Visioner mengatakan : “ Tak ada mesin penggerak organisasi yang lebih bertenaga dalam meraih keunggulan dan keberhasilan masa depan, kecuali visi yang menarik, berpengaruh dan dapat diwujudkan serta mendapat dukungan luas.
  • Kebijaksanaan. Kebijaksanaan (wisdom) yaitu kearifan seorang pemimpin dalam memutuskan sesuatu sehingga keputusannya adil dan bijaksana. Kebijaksanaan memiliki makna lebih dari kepandaian atau kecerdasan. Pemimpin setiap saat dihadapkan kepada situasi yang rumit dan sulit untuk mengambil keputusan karena terdapat perbedaan kepentingan antar kelompok masyarakat dan mereka yang akan terkena dampak keputusannya. Seringkali pemimpin seperti menghadapi “buah simalakama”, sulit untuk menentukan pilihan karena sama-sama berrisiko. Selain upaya manusia menekuni dan mencari kebijaksanaan, perlu upaya meminta kebiaksanaan kepada Tuhan sebagai sumber untuk memutuskan keputusan yang terbaik dan bijaksana.
  • Keteladanan. Keteladanan seorang pemimpin adalah sikap dan tingkah laku yang dapat menjadi contoh bagi orang-orang yang dipimpinnya. Keteladanan berkaitan erat dengan kehormatan,  integritas dan moralitas pemimpin. Keteladanan yang dibuat-buat atau semu dan direkayasa tidak akan langgeng. Pemimpin sejati melakukan hal-hal baik dengan wajar tanpa pamrih, bukan sekedar untuk mendapat pujian manusia. Sifat-sifat baiknya dirasakan orang lain sehingga dapat mempengaruhi lingkungan dan masyarakat luas sebagai suatu teladan yang hidup.     
  • Menjaga Kehormatan. Seorang pemimpin harus menjaga kehormatan dengan tidak melakukan perbuatan tercela karena semua perbuatannya menjadi contoh bagi bawahan dan orang-orang yang dipimpinnya. Ia tidak boleh mudah terjebak dalam godaan “Tiga Ta” yaitu “harta” (memperoleh materi atau uang secara tidak sah/ melanggar hukum), “tahta” (mendapatkan kekuasaan dengan menghalalkan sebagal cara) dan “wanita” ( perselingkuhan, hubungan seks di luar pernikahan) yang sering menjatuhkan kehormatan sebagai pemimpin. Budaya lokal (Jawa) juga mengajarkan pemimpin harus menghindari 5 M (Mo Limo ) yaitu maling (mencuri/ korupsi), madat  (narkoba), madon (main perempuan), main (berjudi) dan minum (mabuk alkohol). Setiap daerah atau suku bangsa memiliki rambu-rambu kehormatan yang tidak boleh dilanggar oleh seorang pemimpin. Mahatma Gandhi mengatakan ada 7 dosa sosial yang mematikan yaitu : “kekayaan tanpa kerja”, “kenikmatan tanpa nurani”, “ilmu tanpa kemanusiaan”, “pengetahuan tanpa karakter”, “politik tanpa prinsip”, “bisnis tanpa moralitas” dan “ibadah tanpa pengorbanan.” Semua itu merupakan rambu-rambu peringatan bagi pemimpin untuk menjaga kehormatannya.    
  • Beriman. Beriman kepada Tuhan Yang Mahaesa sangat penting karena pemimpin adalah manusia biasa dengan semua keterbatasannya secara fisik, pikiran dan akal budi sehingga banyak masalah yang tidak akan mampu dipecahkan dengan kemampuannya sendiri. Iman dapat menjembatani antara keterbatasan manusia dengan kesempurnaan yang dimiliki Tuhan, agar kekurangan itu dapat diatasi. Iman juga merupakan perisai untuk meredam keinginan dan nafsu-nafsu duniawi serta godaan untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam menjalankan kepemimpinannya. Penting bagi seorang pemimpin untuk selalu menyadari bahwa Tuhan itu Mahakuasa, Mahamengetahui dan Mahahadir. “Mahakuasa” berarti tidak ada satu pun yang bisa terjadi tanpa perkenan dan pengendalian-Nya. “Mahamengetahui” berarti tidak ada satu pun bisa terjadi tanpa pengetahuan dan keterlibatan-Nya. “Mahahadir” berarti tidak ada satu pun bisa terjadi tanpa Ia ada di sana. Implikasi pemahaman seperti itu bagi pemimpin adalah sesgala sesuatu yang terjadi, termasuk kepemimpinan yang dijalankannya, bukan sekedar kebetulan atau by chance belaka. Pemimpin yang beriman menyadari bahwa semua perbuatannya diketahui dan diawasi Tuhan yang hadir di mana-mana sehingga ia takut mengkhianati amanat sebagai pemimpin. Apabila mengalami kesulitan dan masalah yang berat, ia harus bersandar kepada Tuhan karena tidak ada satu pun kejadian tanpa perkenan dan pengendalian-Nya. Tuhan itu Pemilik kehidupan, Penyelenggara dan Pemberi apa yang  kita butuhkan.   
  • Kemampuan Berkomunikasi. Suatu proses kepemimpinan pada hakikatnya mengandung beberapa komponen yaitu : pemimpin, yang dipimpin, komunikasi dan interkasi antara pemimpin dan yang dipimpin, serta lingkungan dari proses komunikasi tersebut. Peter Koestenbaum, seorang pakar kepemimpinan, melalui bukunya berjudul : Leadership, The Inner Side of Greatness” (1991) mengatakan bahwa : “Kepemimpinan yang bermoral adalah suatu proses moralitas untuk mencapai suatu tingkat atau keadaan dimana para pemimpin mampu mengikat (dalam arti berkomunikasi dan berinteraksi) dengan yang dipimpinnya berdasarkan kebersamaan motif, nilai dan tujuan – yaitu berdasarkan kebutuhan-kebutuhan hakiki para pengikut maupun pemimpin itu sendiri.” Di sini tampak bahwa antara pemimpin dan yang dipimpin terdapat suatu ikatan kuat sebagai satu keutuhan dan memiliki ketergantungan satu sama lain. Untuk mencapai hal tersebut maka seorang pemimpin harus mampu membangun komunikasi dengan orang-orang yang dipimpinnya sehingga kepemimpinannya dapat efektif dan efisien. Sebaliknya, kegagalan dalam menjalankan komunikasi dapat menimbulkan keadaan yang kurang harmonis dalam organisasi bahkan dapat menjurus kepada situasi konflik yang mengganggu pelaksanaan tugas. Kemampuan berkomunikasi juga diperlukan untuk menggalang para tokoh masyarakat (tomas), tokoh agama (toga) dan tokoh adat (todat) karena mereka memiliki pengaruh dan pengikut di masyarakat.  
  • Komitmen Meningkatkan Kualitas SDM. Sumber daya manusia (SDM) adalah faktor strategis dan penentu dalam kemajuan organisasi, dan pemimpin harus memiliki komitmen kuat untuk meningkatkan kualitas SDM. Ada pepatah kuno yang kurang lebih berbunyi sebagai berikut : “Kalau Anda ingin memetik hasil jangka pendek, tanamlah jagung atau padi. Kalau ingin memetik hasil jangka panjang, tanamlah pohon kelapa. Tetapi kalau ingin memetik hasil sepanjang masa, didiklah manusia !” Dari semua sumber daya yang tersedia bagi manajemen – uang, bahan, peralatan dan manusia – maka sumber terpenting adalah manusia. SDM merupakan faktor strategis yang menentukan suatu proses produksi atau pembangunan ekonomi, tetapi ironisnya ada kecenderungan umum untuk lebih memperhatikan investasi aset modal atau finansial, material, dan pembangunan fisik ketimbang aset manusia atau SDM. Dari 16 bab dan 240 pasal dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (termasuk perubahan-perubahannya) hanya ada 1 bab dan 7 pasal yang berkaitan dengan sumber daya manusia  yaitu Bab V tentang Kepegawaian Daerah.
Selain nilai-nilai tersebut di atas ada azas-azas kepemimpinan yang dipakai oleh kepemimpinan TNI dan bisa dipakai juga dalam kepemimpinan aparatur pemerintah. Azas tersebut adalah Takwa (beriman kepada Tuhan Yang Mahaesa), Ing Ngarsa Sung Tulada (memberi teladan kapada anak buah), Ing Madya Mangun Karsa (menggugah semangat di tengah anak buah), Tut Wuri Handayani (mendorong dari belakang), Waspada Purbawisesa (selalu waspada dan sanggup beri koreksi), Ambeg Parama Arta (memilih yang harus didahulukan), Prasaja (sederhana), Satya (sikap loyal), Gemi Nastiti (membatas pengeluaran pada yang benar-benar diperlukan), Belaka (berani mempertanggungjawabkan tindakannya), Legawa (keikhlasan menyerahkan tanggung jawab dan kedudukan kepada generasi berikutnya). Azas Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa dan Tut Wuri Handayani bisa disebut sebagai nilai keluwesan seorang pemimpin menghadapi situasi dan pengikut yang berbeda-beda.
Peran Pemimpin Aparatur Pemerintah
Pemimpin menjalankan peran sentral dalam menjalankan roda pemerintahan. Sebagai pemimpin aparatur pemerintah ia menjalankan kepemimpinan birokratis atau “memimpin berdasarkan peraturan” tetapi bisa juga gabungan dengan kepemimpinan demokratis, kepemimpinan yang melayani atau dengan salah satu tipe lainnya. Perilaku pemimpin birokratis ditandai dengan batasan-batasan peraturan dan prosedur bagi pemimpin dan anak buahnya. Sebenarnya gaya kepemimpinan ini mirip dengan kepemimpinan otokratis, hanya bedanya dalam kepemimpinan otokratis semua perintah terpusat pada pemimpin (leadership center) sedangkan pada kepemimpinan birokratis yang berlaku adalah peraturan-peraturan dan prosedur yang sudah ditentukan. Peraturan-peraturan tidak hanya berfungsi untuk mendapatkan kepatuhan dari yang dipimpin tetapi juga berlaku sebagai alat kontrol  bagi pemimpin. Bila terjadi kesalahan atau penyimpangan dalam penerapan peraturan dapat timbul sengketa yang kadang-kadang berakhir di pengadilan (PTUN).
Untuk dapat meningkatkan kinerja organisasi, gaya kepemimpinan seorang pemimpin harus bersifat dinamis serta menonjolkan aspek kolektivitas organisasi, yang pada gilirannya akan menghasilkan dinamika kelompok (group dinamics) yang sangat diperlukan dalam ajang persaingan yang makin keras. Dalam hal ini pemimpin perlu mengembangkan kemampuan komunikasi dan interaksi yang lebih aktif dan positif yang bersifat multidimensi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Bab IV, Pasal 25 butir a disebutkan bahwa Kepala Daerah memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD. Selanjutnya pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan dengan :
  • Pemberian pedoman/ arah, pengendalian kebijakan dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan.
  • Pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan.
  • Pemberian perintah dan pemberian motivasi (dorongan).
  • Penyelengaraan pendidikan dan pelatihan.
  • Perencanaan penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan.
  • Koordinasi antara badan-badan / lembaga terkait (vertikal dan horisontal).
  • Evaluasi secara terus menerus untuk meningkatkan kinerja organisasi.
Dalam lingkup kepemimpinan yang lebih luas, pemimpin aparatur pemerintah dapat berperan multifungsi sebagai berikut :
  1. Seorang pemimpin yang memegang kendali (komando) dalam pemerintahan,
  2. Seorang pembina (sifat membangun ke arah perbaikan),
  3. Seorang “bapak” (sifat mengayomi),
  4. Seorang “guru” (sifat keteladanan dan tempat bertanya),
  5. Seorang  mitra kerja (teman berdiskusi dan memecahkan masalah).
Lima peran (wajah) pemimpin dimaksud adalah sebagai berikut : Pertama, sebagai pemimpin birokratis ia menjalankan kepemimpinan berdasarkan peraturan dan prosedur yang berlaku. Tetapi semua itu belum cukup bagi seorang pemimpin untuk mempengaruhi pengikutnya melakukan apa yang dikehendaki pemimpin dan tujuan organisasi. Ia harus konsekuen menghayati nilai-nilai kepemimpinan dan mengamalkannya sehingga mendapatkan respek, kepatuhan dan kepercayaan dari orang-orang yang dipimpinnya. Untuk itu pemimpin harus memiliki standar etika yang tinggi. Etika merupakan kunci dalam menjalankan kepemimpinannya karena ia merupakan dasar dari semua interaksi kelompok dan pembuatan keputusan. Etika profesional mengisyaratkan pemimpin untuk memelihara etika tinggi untuk mengontrol kelakuan pribadi dalam segala situasi, sehingga pegawai dapat bersandar (secara moral dan moril) kepadanya dalam mereka bertindak. Dalam beberapa kasus, kita melihat sebagian pemimpin dengan posisi jabatan strategis tetapi tidak diimbangi dengan etika profesional yang memadai sehingga berakibat kegagalan dalam menjalankan kepemimpinan karena terlibat skandal moralitas atau kriminalitas.
Kedua, seorang pemimpin juga berperan sebagai pembina yaitu membangun kehidupan berorganisasi ke arah yang lebih baik. Ia harus mampu menerapkan sistem reward and punishment dalam membina SDM sehingga dari waktu ke waktu terdapat perbaikan kinerja pribadi, kelompok dan organisasi. Secara sederhana dapat dikatakan sifat pembina adalah memperbaiki yang salah dan meningkatkan yang benar. Pembina yang baik tidak membiarkan kesalahan kecil berkembang menjadi kesalahan besar, tetapi memperbaiki dan mencegah agar tidak terjadi kesalahan serupa. Di sisi lain, pembina harus mendorong anak buah yang berprestasi agar keberhasilannya dapat memberi kontribusi positif bagi kemajuan organisasi.
Ketiga, pemimpin juga berperan sebagai “bapak” bagi bawahan dan anak buahnya. Pengertian “bapak” di sini mengandung sifat-sifat mengayomi agar bawahan dan anak buah merasa tenang dalam bekerja karena merasa mendapat pengayoman dari pemimpinnya. Selain itu seorang pemimpin memimpin aparatur pemerintah sebagai manusia dengan segala kompleksitas permasalahan termasuk masalah keluarganya. Perhatian terhadap kesejahteraan keluarga merupakan kewajiban pemimpin, karena ia adalah “bapak” bagi masyarakat.
Keempat, pemimpin juga berperan sebagai “guru” dalam arti menjadi teladan bagi anak buah, tempat untuk bertanya serta mendapatkan solusi  untuk mengatasi kesulitan dalam pelaksanaan tugas. Oleh sebab itu kualitas intelektual seorang pemimpin biasanya di atas rata-rata kelas. Seorang pemimpin harus senantiasa belajar, bukan hanya melalui pendidikan formal, tetapi melalui pendidikan sepanjang hayat dengan banyak membaca dan menimba pengetahuan lewat pendidikan non formal.
Kelima, pemimpin juga bisa berperan sebagai mitra atau teman terhadap bawahan dan anak buahnya. Dengan memperlakukan bawahan sebagai mitra dalam berbagai aktivitas (diskusi, olah pikir, kegiatan bersama lainnya) maka pemimpin bisa mendapatkan beberapa manfaat, yaitu komunikasi dan interaksi yang lebih baik, menggunakan kelebihan bawahan untuk meningkatkan kinerja organisasi, dan menggalang kepengikutan (followership) yang lebih luas.


Faktor-faktor yang Berpengaruh
Beberapa faktor berpengaruh yang bisa menimbulkan hambatan dan penyimpangan dalam menjalankan kepemimpinan adalah sebagai berikut :
  1. Berkembangnya faham-faham (isme) dewasa ini yang mempengaruhi pola dan gaya kehidupan masyarakat yaitu materialisme (mendewakan materi), hedonisme ( hidup untuk bersenang-senang) dan konsumerisme (mengikuti naluri konsumtif). Orang cenderung ingin memiliki materi lebih (dimensi having) ketimbang menjadi manusia yang lebih bermartabat (dimensi being). Sementara di sisi lain gaji / penghasilan PNS belum dapat sepenuhnya mencukupi kebutuhan hidup keluarga ( perumahan, biaya pendidikan anak-anak dsb).  Seringkali timbul hal-hal yang dilematis, misalnya pilihan untuk hidup jujur atau mengikuti “arus” dengan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan (melanggar aturan), dan sebagainya. Semua ini secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh dalam pelaksanaan kepemimpinan.
  2. Praktek korupsi yang menghambat kemajuan organisasi dan melemahkan peran pemimpin. Korupsi (corruption) mengandung makna : korup (corrupt) berarti jahat, busuk, rusak, curang dan tidak jujur (dishonest). Korupsi bukan hanya kejahatan menyelewengkan uang negara atau perusahaan, tetapi juga suatu kejahatan peradaban atau moral yang buruk. Pemimpin yang melakukan korupsi akan berakibat bawahan meniru perbuatan korupsi dan terjadi pembusukan dalam organisasi. Bahkan korupsi tidak lagu dilakukan secara sendiri-sendiri tetapi secara bersama-sama. Tindakan korupsi bisa menghancurkan pemimpin dan berakibat kepemimpinan yang dijalankan tidak efektif lagi.
  3. Proses rekrutmen pemimpin yang hanya berorientasi mengejar kekuasaan dan uang. Demokratisasi dan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung selain sisi positifnya, juga mengandung kelemahan yaitu hanya mereka yang memiliki modal (uang) yang cukup banyak dapat maju sebagai calon kepala daerah / wakil. Akibatnya, setelah calon terpilih terpaksa harus memikirkan “balas jasa” kepada sponsor politik dalam bentuk kemudahan-kemudahan usaha yang melanggar aturan, membayar “hutang politik” kepada para pendukung dalam penempatan jabatan yang terkadang mengabaikan segi kualitas. Masih diperlukan waktu yang cukup panjang untuk mengeliminer dampak-dampak negatif tersebut dalam proses demokratisasi yang tengah dijalankan.

Tidak ada komentar: