Minggu, 21 Agustus 2011

Pemimpin dan Kepemimpinan

Pemimpin dan Kepemimpinan

Coba bayangkan gambaran situasi berikut. Setelah pemilu usai, politisi melakukan transaksi jual-beli suara, KPU menyulap hasil suara. Caranya dengan memindahkan sejumlah suara kepada kandidat tertentu, terutama dari partai atau calon legislatif peserta pemilu yang tak memiliki saksi sejak tingkat TPS. Pemindahan atau penggelembungan suara partai atau calon legislatif memiliki banderol harga. Suara pemilih seenaknya diperjual-belikan. Calon dengan suara minim digelembungkan. Dalam iklim politik yang demikian, kita sedang mencari dan memilih pemimpin formal. Maka, pertanyaannya adalah: pemimpin formal macam apa yang bisa kita dapat dalam iklim seperti itu? Jika pemimpin diperoleh dalam cuaca politik seperti di atas maka harapan untuk membangun suatu kepemimpinan yang kuat dan bermartabat semakin tipis bahkan lenyap.
Di sisi lain, kita juga menemukan pemimpin informal yang muncul di berbagai kelas sosial. Namun, banyak diantara kepemimpinan mereka yang terbentuk atas dasar supremasi etnisitas, agama, dan golongan. Dukungan diperoleh karena keberhasilannya membangun sentimen dan rasa benci pendukungnya terhadap “yang-lain” dan “bukan mereka”. Kedua model pemimpin demikian sedang menguat dan mengakar di Indonesia hari ini.
Pemimpin lain yang muncul di tingkat lokal (terutama tingkat kabupaten) juga berangkat dengan pola tak jauh berbeda. Umumnya adalah para pengusaha, birokrat ataupun para jago (preman) yang memiliki banyak uang. Beberapa diantaranya disokong pendamping dari kalangan artis untuk membantu pendulangan suara. Pada tingkat ini, pemimpin-pemimpin yang muncul kebanyakan adalah figur yang menjadi tempat bergantung hidup bagi tidak sedikit orang. Merujuk studi Onghokham, The Thugs, the Curtain Thief, and the Sugar Lord (2003), mereka layaknya para sikep di Jawa era kolonial Belanda, yakni pemilik tanah dan sawah. Warga desa non-sikep menumpang (bergantung) hidup, dengan cara bekerja di sawah/tanah para sikep, mendapat tempat tinggal di tanah sang sikep, namun tenaga kerjanya menjadi milik para sikep. Para sikep memiliki kekuasaan yang besar, karena kekuasaan monarki Mataram-Jawa tak lagi mampu menyentuh mereka yang jauh dari pusat kerajaan, plus kekuasaan kolonial yang mampu mengerdilkan. Kekuasaan para penguasa lokal hari ini pun nyaris serupa, tak bisa lagi dikontrol semaunya oleh kekuasaan pusat atau nasional.
Politik lokal hari ini memiliki kemiripan dengan pola hubungan sikep di era kolonial. Banyak orang menjadi tokoh lokal karena menjadi tempat bergantung hidup bagi banyak orang lainnya. Hubungan-hubungan inilah yang menopang jalinan kekuasaan yang dibangun. Pertarungan politik lokal menjadi pertarungan antara para “sikep”. Dalam situasi seperti ini kita dihadapkan pada persoalan pencarian pemimpin dan bagaimana membangun kepemimpinan nasional. Para sikep adalah pemimpin yang berhitung atas dasar untung-rugi dan akumulasi kekayaan. Karakter ini yang juga menurun pada pemimpin lokal hari ini. Para sikep era modern ini secara politik kekuasaannya jauh dari jangkauan kekuasaan pusat (presiden), karena juga dipilih melalui mekanisme pemilihan umum yang membuatnya punya legitimasi dukungan rakyat. Tak sedikit dari mereka yang mengeluarkan aturan yang bertentangan dengan peraturan di atasnya, bahkan bertentangan dengan konstitusi. Penguasa pusat tak kuasa lagi seenaknya menindak mereka sebagaimana di era Orde Baru. Muncullah kekuasaan lokal yang menguat, dan parahnya dipimpin para medioker.
Kalau merujuk studi klasik Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962), ada dua jenis kepemimpinan yang muncul di era pergerakan nasional dan pasca revolusi, yakni “administrator” dan “solidarity maker”. Para “administrators” meyakini bahwa kemampuan untuk mencapai kekuasaan haruslah didasarkan pada keahlian teknis, dan juga status melalui pencapaian atas penguasaan terhadap kemampuan teknis atau biasa disebut mencapai kepakaran. Para administrators menilai bahwa posisi kepemimpinan haruslah berada di tangan orang-orang seperti mereka, baik di dalam birokrasi sipil, militer, dan partai-partai politik. Menjabat atas dasar kemampuan pemikiran atau ide, sebagaimana pernah dikembangkan oleh kolonialisme sebagai bagian dari upaya rasionalisasi, yaitu kaum terdidiklah yang memiliki hak untuk memerintah. Ditambahkan juga bahwa martabat sosial haruslah merujuk pada pertimbangan serupa, yakni bagi mereka-mereka yang memiliki kualifikasi akademis, keahlian professional dan juga pengetahuan atau pengalaman seseorang dengan budaya dan dunia intelektual.
Sementara, di sisi yang lain, para solidarity-makers meyakini bahwa kompetisi seharusnya didasarkan pada tuntutan dan dukungan massa, demikian juga dengan pencapaian status. Para solidarity makers menilai bahwa posisi kepemimpinan, baik di dalam birokrasi maupun partai politik, haruslah didasarkan pada kedekatannya dengan rakyat dan memahami apa yang diinginkan rakyat. Mereka juga menekankan bahwa martabat atau prestise sosial tidaklah ditentukan oleh kualifikasi formal, melainkan pada kepemimpinan (politik) sebagai bentuk kepemimpinan yang sesungguhnya, yang bertujuan untuk melayani kepentingan bangsa dan negara. Para solidarity makers lebih banyak mengungkapkan ide-ide normatif dan cita-cita masa depan seperti: revolusi merupakan jembatan penghubung kepada masa depan Indonesia yang penuh dengan kesejahteraan, keadilan, keharmonisan dan kuat. Model administrator biasanya merujuk pada Mohammad Hatta, sedangkan solidarity-maker merujuk pada Sukarno.
Pascarevolusi, kepemimpinan model administrator lebih mudah beradaptasi dengan situasi baru, yakni keahlian sesuai dengan tipe negara modern. Sementara tipe solidarity maker, seperti pimpinan gerilyawan, komandan tentara regional, propagandis politik dan para pemimpin keagamaan sangat sulit beradaptasi dalam situasi damai karena kekurangan keahlian yang dibutuhkan negara modern. Dalam situasi ini mereka pun mulai mengubah peran mereka menjadi administrator. Ada pola kepemimpinan yang muncul di era awal Indonesia berdiri, yakni para pemimpin tumbuh karena intelegensia, keutamaan, keahlian dan kecakapan, dan sebagian ditambah dukungan rakyat, dengan ide dan semangat membangun demokrasi, pluralisme dan pengormatan kepada hak asasi manusia.
Namun, kualitas itu hilang saat ini. Para “administrators” masa kini sibuk menyulap kekayaan, lewat pencucian uang, suap, penggelapan pajak, pemalsuan sertifikat tanah, pengadaan letter of credit fiktif, impor daging manipulatif, transaksi pasal perundangan, dan lainnya. Sementara model solidarity maker masa kini banyak yang sibuk menebar benih kebencian di mana-mana, menciptakan sosok “yang-lain” dalam ujud ras, etnis, agama lain sebagai musuh. Yang terjadi adalah, munculnya para penggalang kebencian, ketimbang penggalang solidaritas. Para solidarity maker era kini justru menggali dan memaksimalkan kebencian massa sebagai basis dukungan. Sementara para administrator menguras keahliannya untuk memperkaya diri, dan menularkan perilakunya kepada kehidupan sosial dan mendorong politik menjadi arena tukar-menukar kepentingan pribadi.
Studi Feith dan Onghokham bisa membantu untuk melihat konteks kekinian, di mana justru segala keburukannya kita temukan hari ini, namun semuanya bermuara pada satu hal pasti: ketiadaan kepemimpinan! Coba kita lihat data berikut: selama tahun 2004-2011 ada 158 kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) tersangkut kasus korupsi! Selama 2008-2011 ada 42 anggota DPR terseret kasus korupsi! 30 anggota DPR periode 2004-2009 diduga terlibat kasus suap pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia! Merekalah para pemimpin pilihan rakyat yang diharapkan membangun suatu kepemimpinan baik lokal maupun nasional.
Para pemimpin era reformasi membangun kekuasaan politiknya bukan karena keahlian ala administrator, maupun dukungan massa layaknya solidarity maker, melainkan lewat transaksi dan politik uang dengan juga memanipulasi pilihan publik lewat media massa. Uang dan citra menjadi rumus baru untuk menjadi pemimpin. Gelar akademik pun ramai-ramai dibeli, bahkan ada yang sama sekali tanpa pernah menginjakkan kakinya di almamater tempat ia mendapatkan ijazah. Politik dikelola dengan bersandar pada hubungan darah dan kekerabatan. Uang menjadi syarat pertama dalam politik, untuk membeli suara dan membentuk citra.
Semenjak merumuskan reformasi sebagai titik pijak perubahan, kita selalu terbentur pada persoalan pencarian kepemimpinan. Gus Dur—pemimpin terpilih era reformasi yang dijatuhkan oleh orang yang sebelumnya selalu ia dukung—yang meski hanya memerintah selama sekitar dua setengah tahun, namun membuat sejumlah terobosan, yakni menggelar peradilan hak asasi manusia untuk kasus Timor-Timur dan Tanjung Priok. Juga pemimpin dan pelopor yang gigih memperjuangkan nilai-nilai pluralisme. Gus Dur, adalah solidarity maker yang percaya pada cita-cita kebangsaan, demokrasi dan pluralisme serta giat memperjuangkannya.
Meskipun demikian, karena reformasi pada dasarnya tidak diupayakan untuk membawa perubahan kualitatif yang revolusioner, maka ampas masa lalu masih banyak melekat dalam kehidupan sosial-politik kita. Memang muncul pemimpin, namun bukan kepemimpinan dan yang muncul adalah pemimpin bagi serangkaian kegiatan dagang dan tukar-menukar, baik terang maupun gelap, di dalam pasar politik.
Akibatnya, kita mendapatkan para pemimpin medioker. Pemimpin yang karena ketidakbecusannya mengambil sikap tegas dan menjalankannya, sehingga praktik kekerasan dan intoleransi menyebar luas. Praktik korupsi, suap, dan “maling” meruak, yang bahkan datang dari dalam dirinya sendiri (partai bentukannya). Baik di tingkat nasional maupun lokal, para pemimpin medioker merebak lewat jalur pemilu dan pemilukada. Mereka memperlihatkan ketidakmampuan kepemimpinan sambil mengenakan jubah pragmatisme politik. Pemimpin medioker ini mempermainkan kecemasan dan kekhawatiran publik dan menjadikannya keuntungan bagi kepemimpinan politik mediokernya.
Pada titik ini, maka pilihan harus ditujukan kepada pemimpin yang memiliki kemampuan administrator dengan dukungan solidaritas publik, yang punya ketegasan dan bukan pragmatisme politik. Kalau mau disimpulkan dengan sederhana Ia adalah pemimpin yang berintegritas, yang dalam dirinya kepemimpinan sebagaimana pernah dimiliki Indonesia di era-era awal kemerdekaan akan dapat ditemukan kembali.

Tidak ada komentar: