Pemimpin dan Kepemimpinan
Coba bayangkan gambaran situasi berikut.
Setelah pemilu usai, politisi melakukan transaksi jual-beli suara, KPU
menyulap hasil suara. Caranya dengan memindahkan sejumlah suara kepada
kandidat tertentu, terutama dari partai atau calon legislatif peserta
pemilu yang tak memiliki saksi sejak tingkat TPS. Pemindahan atau
penggelembungan suara partai atau calon legislatif memiliki banderol
harga. Suara pemilih seenaknya diperjual-belikan. Calon dengan suara
minim digelembungkan. Dalam iklim politik yang demikian, kita sedang
mencari dan memilih pemimpin formal. Maka, pertanyaannya adalah:
pemimpin formal macam apa yang bisa kita dapat dalam iklim seperti itu?
Jika pemimpin diperoleh dalam cuaca politik seperti di atas maka harapan
untuk membangun suatu kepemimpinan yang kuat dan bermartabat semakin
tipis bahkan lenyap.
Di sisi lain, kita juga menemukan pemimpin
informal yang muncul di berbagai kelas sosial. Namun, banyak diantara
kepemimpinan mereka yang terbentuk atas dasar supremasi etnisitas,
agama, dan golongan. Dukungan diperoleh karena keberhasilannya membangun
sentimen dan rasa benci pendukungnya terhadap “yang-lain” dan “bukan
mereka”. Kedua model pemimpin demikian sedang menguat dan mengakar di
Indonesia hari ini.
Pemimpin lain yang muncul di tingkat lokal
(terutama tingkat kabupaten) juga berangkat dengan pola tak jauh
berbeda. Umumnya adalah para pengusaha, birokrat ataupun para jago
(preman) yang memiliki banyak uang. Beberapa diantaranya disokong
pendamping dari kalangan artis untuk membantu pendulangan suara. Pada
tingkat ini, pemimpin-pemimpin yang muncul kebanyakan adalah figur yang
menjadi tempat bergantung hidup bagi tidak sedikit orang. Merujuk studi
Onghokham, The Thugs, the Curtain Thief, and the Sugar Lord (2003), mereka layaknya para sikep di Jawa era kolonial Belanda, yakni pemilik tanah dan sawah. Warga desa non-sikep menumpang (bergantung) hidup, dengan cara bekerja di sawah/tanah para sikep, mendapat tempat tinggal di tanah sang sikep, namun tenaga kerjanya menjadi milik para sikep. Para sikep
memiliki kekuasaan yang besar, karena kekuasaan monarki Mataram-Jawa
tak lagi mampu menyentuh mereka yang jauh dari pusat kerajaan, plus
kekuasaan kolonial yang mampu mengerdilkan. Kekuasaan para penguasa
lokal hari ini pun nyaris serupa, tak bisa lagi dikontrol semaunya oleh
kekuasaan pusat atau nasional.
Politik lokal hari ini memiliki kemiripan dengan pola hubungan sikep
di era kolonial. Banyak orang menjadi tokoh lokal karena menjadi tempat
bergantung hidup bagi banyak orang lainnya. Hubungan-hubungan inilah
yang menopang jalinan kekuasaan yang dibangun. Pertarungan politik lokal
menjadi pertarungan antara para “sikep”. Dalam situasi seperti
ini kita dihadapkan pada persoalan pencarian pemimpin dan bagaimana
membangun kepemimpinan nasional. Para sikep adalah pemimpin
yang berhitung atas dasar untung-rugi dan akumulasi kekayaan. Karakter
ini yang juga menurun pada pemimpin lokal hari ini. Para sikep
era modern ini secara politik kekuasaannya jauh dari jangkauan kekuasaan
pusat (presiden), karena juga dipilih melalui mekanisme pemilihan umum
yang membuatnya punya legitimasi dukungan rakyat. Tak sedikit dari
mereka yang mengeluarkan aturan yang bertentangan dengan peraturan di
atasnya, bahkan bertentangan dengan konstitusi. Penguasa pusat tak kuasa
lagi seenaknya menindak mereka sebagaimana di era Orde Baru. Muncullah
kekuasaan lokal yang menguat, dan parahnya dipimpin para medioker.
Kalau merujuk studi klasik Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962), ada dua jenis kepemimpinan yang muncul di era pergerakan nasional dan pasca revolusi, yakni “administrator” dan “solidarity maker”. Para “administrators”
meyakini bahwa kemampuan untuk mencapai kekuasaan haruslah didasarkan
pada keahlian teknis, dan juga status melalui pencapaian atas penguasaan
terhadap kemampuan teknis atau biasa disebut mencapai kepakaran. Para administrators menilai bahwa posisi
kepemimpinan haruslah berada di tangan orang-orang seperti mereka, baik
di dalam birokrasi sipil, militer, dan partai-partai politik. Menjabat
atas dasar kemampuan pemikiran atau ide, sebagaimana pernah dikembangkan
oleh kolonialisme sebagai bagian dari upaya rasionalisasi, yaitu kaum
terdidiklah yang memiliki hak untuk memerintah. Ditambahkan juga bahwa
martabat sosial haruslah merujuk pada pertimbangan serupa, yakni bagi
mereka-mereka yang memiliki kualifikasi akademis, keahlian professional
dan juga pengetahuan atau pengalaman seseorang dengan budaya dan dunia
intelektual.
Sementara, di sisi yang lain, para solidarity-makers meyakini bahwa kompetisi seharusnya didasarkan pada tuntutan dan dukungan massa, demikian juga dengan pencapaian status. Para solidarity makers
menilai bahwa posisi kepemimpinan, baik di dalam birokrasi maupun
partai politik, haruslah didasarkan pada kedekatannya dengan rakyat dan
memahami apa yang diinginkan rakyat. Mereka juga menekankan bahwa
martabat atau prestise sosial tidaklah ditentukan oleh kualifikasi
formal, melainkan pada kepemimpinan (politik) sebagai bentuk
kepemimpinan yang sesungguhnya, yang bertujuan untuk melayani
kepentingan bangsa dan negara. Para solidarity makers lebih
banyak mengungkapkan ide-ide normatif dan cita-cita masa depan seperti:
revolusi merupakan jembatan penghubung kepada masa depan Indonesia yang
penuh dengan kesejahteraan, keadilan, keharmonisan dan kuat. Model administrator biasanya merujuk pada Mohammad Hatta, sedangkan solidarity-maker merujuk pada Sukarno.
Pascarevolusi, kepemimpinan model administrator lebih mudah beradaptasi dengan situasi baru, yakni keahlian sesuai dengan tipe negara modern. Sementara tipe solidarity maker,
seperti pimpinan gerilyawan, komandan tentara regional, propagandis
politik dan para pemimpin keagamaan sangat sulit beradaptasi dalam
situasi damai karena kekurangan keahlian yang dibutuhkan negara modern.
Dalam situasi ini mereka pun mulai mengubah peran mereka menjadi administrator.
Ada pola kepemimpinan yang muncul di era awal Indonesia berdiri, yakni
para pemimpin tumbuh karena intelegensia, keutamaan, keahlian dan
kecakapan, dan sebagian ditambah dukungan rakyat, dengan ide dan
semangat membangun demokrasi, pluralisme dan pengormatan kepada hak
asasi manusia.
Namun, kualitas itu hilang saat ini. Para “administrators” masa kini sibuk menyulap kekayaan, lewat pencucian uang, suap, penggelapan pajak, pemalsuan sertifikat tanah, pengadaan letter of credit fiktif, impor daging manipulatif, transaksi pasal perundangan, dan lainnya. Sementara model solidarity maker
masa kini banyak yang sibuk menebar benih kebencian di mana-mana,
menciptakan sosok “yang-lain” dalam ujud ras, etnis, agama lain sebagai
musuh. Yang terjadi adalah, munculnya para penggalang kebencian,
ketimbang penggalang solidaritas. Para solidarity maker era kini justru menggali dan memaksimalkan kebencian massa sebagai basis dukungan. Sementara para administrator
menguras keahliannya untuk memperkaya diri, dan menularkan perilakunya
kepada kehidupan sosial dan mendorong politik menjadi arena
tukar-menukar kepentingan pribadi.
Studi Feith dan Onghokham bisa membantu untuk
melihat konteks kekinian, di mana justru segala keburukannya kita
temukan hari ini, namun semuanya bermuara pada satu hal pasti: ketiadaan
kepemimpinan! Coba kita lihat data berikut: selama tahun 2004-2011 ada
158 kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) tersangkut kasus korupsi!
Selama 2008-2011 ada 42 anggota DPR terseret kasus korupsi! 30 anggota
DPR periode 2004-2009 diduga terlibat kasus suap pemilihan Deputi Senior
Gubernur Bank Indonesia! Merekalah para pemimpin pilihan rakyat yang
diharapkan membangun suatu kepemimpinan baik lokal maupun nasional.
Para pemimpin era reformasi membangun kekuasaan politiknya bukan karena keahlian ala administrator, maupun dukungan massa layaknya solidarity maker,
melainkan lewat transaksi dan politik uang dengan juga memanipulasi
pilihan publik lewat media massa. Uang dan citra menjadi rumus baru
untuk menjadi pemimpin. Gelar akademik pun ramai-ramai dibeli, bahkan
ada yang sama sekali tanpa pernah menginjakkan kakinya di almamater
tempat ia mendapatkan ijazah. Politik dikelola dengan bersandar pada
hubungan darah dan kekerabatan. Uang menjadi syarat pertama dalam
politik, untuk membeli suara dan membentuk citra.
Semenjak merumuskan reformasi sebagai titik
pijak perubahan, kita selalu terbentur pada persoalan pencarian
kepemimpinan. Gus Dur—pemimpin terpilih era reformasi yang dijatuhkan
oleh orang yang sebelumnya selalu ia dukung—yang meski hanya memerintah
selama sekitar dua setengah tahun, namun membuat sejumlah terobosan,
yakni menggelar peradilan hak asasi manusia untuk kasus Timor-Timur dan
Tanjung Priok. Juga pemimpin dan pelopor yang gigih memperjuangkan
nilai-nilai pluralisme. Gus Dur, adalah solidarity maker yang percaya pada cita-cita kebangsaan, demokrasi dan pluralisme serta giat memperjuangkannya.
Meskipun demikian, karena reformasi pada
dasarnya tidak diupayakan untuk membawa perubahan kualitatif yang
revolusioner, maka ampas masa lalu masih banyak melekat dalam kehidupan
sosial-politik kita. Memang muncul pemimpin, namun bukan kepemimpinan
dan yang muncul adalah pemimpin bagi serangkaian kegiatan dagang dan
tukar-menukar, baik terang maupun gelap, di dalam pasar politik.
Akibatnya, kita mendapatkan para pemimpin
medioker. Pemimpin yang karena ketidakbecusannya mengambil sikap tegas
dan menjalankannya, sehingga praktik kekerasan dan intoleransi menyebar
luas. Praktik korupsi, suap, dan “maling” meruak, yang bahkan datang
dari dalam dirinya sendiri (partai bentukannya). Baik di tingkat
nasional maupun lokal, para pemimpin medioker merebak lewat jalur pemilu
dan pemilukada. Mereka memperlihatkan ketidakmampuan kepemimpinan
sambil mengenakan jubah pragmatisme politik. Pemimpin medioker ini
mempermainkan kecemasan dan kekhawatiran publik dan menjadikannya
keuntungan bagi kepemimpinan politik mediokernya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar