Rabu, 10 Agustus 2011

TIMAH


Pengelolaan lingkungan khususnya sewaktu dan pasca penambangan merupakan kewajiban bagi pihak penambang sesuai ketentuan yang berlaku. Perusahaan pertambangan berkewajiban melakukan analisa atas dampak penting kegiatannya, menyusun rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan di wilayah kerjanya, dan mentaati setiap ketentuan dalam Amdal, RKL/RPL, dan kontrak kerjanya. Lebih lanjut, kedua Perusahaan berkewajiban mereklamasi dan merevegetasi lahan dan kolong tanah bekas penambangan, sehingga lahan tersebut memiliki daya dukung dan fungsi lingkungan yang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah setempat. Kedua perusahaan telah melakukan Amdal dan menyusun RKL/RPL.
Permasalahan yang timbul terkait pengelolaan lingkungan sektor pertambangan timah di Provinsi Babel antara lain keberadaan lahan-lahan kritis, kolong tanah dan lahan bekas tambang, penambangan ilegal, smelter-smelter tanpa sumber produksi dan komitmen pengelolaan lingkungan yang jelas, serta pengelolaan mineral ikutan yang mengandung unsur radioaktif.
Dari luas daratan Provinsi Babel seluas 16.422,14 km2 (1.642.214 ha), sekitar 5,2% berupa lahan kritis, seluas 13.198,07 ha atau 0,8% berupa lahan bekas pertambangan yang belum direklamasi, dan seluas 1.712,65 hektar atau 0,1% berupa kolong-kolong tanah.
Permasalahan terkait penambangan ilegal oleh masyarakat atau yang lebih dikenal dengan Tambang Inkonvensional (TI) karena pada umumnya tidak memiliki kapasitas dan komitmen pengelola lingkungan, serta lemahnya penegakan hukum oleh aparat yang berwenang. Pada tahun 2001 tercatat sebanyak 5.257 buah TI yang beroperasi di Bangka dan 734 buah di Belitung, walaupun angka sebenarnya tidak dapat dipastikan. Saat ini, para TI apung juga menambang di laut dengan mengikuti atau berada di sekeliling kapal keruk milik PT Timah Tbk Diperkirakan jumlah TI apung sebanyak 4.000 buah. Produksi bijih timah oleh para TI secara keseluruhan diperkirakan sebesar 42.000 ton/thn, yang sebagian besar mengalir ke luar negeri baik melalui jalur resmi maupun penyelundupan, dan jumlah tersebut melebihi kapasitas produksi PT Timah Tbk (40.000 ton/thn).
Maraknya penambangan ilegal memicu munculnya pabrik peleburan bijih timah (smelter) yang dioperasikan pihak-pihak swasta selain PT Timah Tbk dan PT Koba Tin. Smelter-smelter tersebut pada umumnya memiliki ijin operasi dari Pemda setempat/Deperindag, dan memproduksi logam timah tanpa merk dan/atau dengan kualitas yang rendah untuk kemudian diekspor dan dimurnikan di Malaysia atau Singapura. Di seluruh Provinsi Babel diperkirakan terdapat 20 unit peleburan berizin daerah, dan beberapa di antaranya langsung melakukan ekspor timah tanpa label atau merek ke Singapura dengan harga murah. Hal ini mengurangi pendapatan negara dari royalti dan mempengaruhi harga timah dunia.
Pengelolaan mineral ikutan–Monazite, Ilmenite, Xenotime dan Zircon–yang berunsur radioaktif (umumnya Uranium, Thorium dan Radium) dilaksanakan oleh kedua perusahaan dan diawasi langsung oleh BAPETEN dan IAEA, khususnya terkait dengan Additional Protocols to Safeguard Agreement antara Pemerintah Indonesia dengan IAEA. Perlu ditelaah lebih lanjut mengenai pengelolaan mineral ikutan tersebut oleh pihak-pihak selain PT Timah Tbk dan PT Koba Tin, mengingat kapasitas produksi mereka yang signifikan dan kurangnya komitmen terhadap pengelolaan lingkungan hidup.
Hasil pemeriksaan menunjukkan adanya ketidakpatuhan terhadap peraturan perundangan dan kelemahan dalam pelaksanaan kegiatan, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pemerintah dan Perusahaan kurang memiliki pengendalian yang memadai untuk meminimalisir kerusakan lingkungan, mengakibatkan tidak terjaminnya kualitas pengelolaan lingkungan
67
khususnya yang dilaksanakan oleh para penambang inkonvensional, yang disebabkan oleh kedua Perusahaan belum memiliki langkah-langkah konkrit dan holistik-sistemik yang mampu mengatasi kompleksitas permasalahan tambang inkonvensional di area Kuasa Pertambangan yang dikelolanya, serta lemahnya pengawasan dari Pemda setempat.
2. Ketidakpatuhan atas ketentuan pengelolaan lingkungan yang berlaku, yaitu:
a. Penghentian dan/atau penundaan reklamasi oleh PT Timah Tbk dan PT Koba Tin dalam periode Tahun 2003–2006 atas areal lahan seluas 10.544,95 ha, yang disebabkan oleh kebijakan Direksi kedua perusahaan yang menghentikan upaya reklamasi lahan bekas penambangan, serta pengawasan oleh Pemerintah Daerah setempat terhadap kegiatan perusahaan maupun Tambang Skala Kecil atau Tambang Inkonvensional masih lemah.
b. Pelaksanaan reklamasi oleh PT Timah Tbk Tahun 2005–2006 di Belitung tidak sesuai dengan rencana teknis, mengakibatkan kurang tanam sebanyak 19.228 batang pohon serta tidak secara optimal memulihkan kualitas, fungsi, dan daya dukung ekosistem, yang disebabkan oleh rekanan mitra kerja tidak melaksanakan tugas yang dipercayakan padanya sesuai dengan rencana teknis, dan PT Timah Tbk lemah dalam mengawasi dan mengendalikan kegiatan lapangan
c. Penanganan lahan ex-tambang oleh PT Timah Tbk tidak seluruhnya sesuai dengan Studi Evaluasi Lingkungan (SEL) dan/atau Rencana Pengelolaan/Pemantauan Lingkungan (RKL/RPL) mengakibatkan kualitas tanah lahan tidak terehabilitasi secara optimal, berkurangnya keanekaragaman hayati, yang disebabkan oleh Perusahaan tidak mentaati ketentuan dalam RKL/RPL dan minimnya peran Pemda setempat dalam pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan lingkungan oleh kedua perusahaan.
d. Pengelolaan mineral ikutan radioaktif dan slag II pada PT Timah Tbk dan PT Koba Tin kurang memadai, sehingga mengakibatkan kemungkinan pencemaran lingkungan yang dapat membahayakan manusia dan pencurian terhadap mineral radioaktif, yang terjadi karena Direksi PT Timah Tbk belum melaksanakan seluruh ketentuan yang terkait dengan pengamanan limbah radioaktif, belum melaksanakan rekomendasi Audit Lingkungan Tahun 1995, dan belum menindaklanjuti seluruh rekomendasi hasil inspeksi BAPETEN dan IAEA, serta Direksi PT Koba Tin belum memberikan perhatian penuh atas pengelolaan limbah radioaktif.
3. Ketidakpatuhan atas ketentuan PNBP, yaitu:
a. Pembayaran kewajiban iuran tetap (landrent) PT.Timah Tbk tidak melalui Kas Negara sebesar Rp679.200.000,00, kurang bayar sebesar Rp396.200.000,00 serta terdapat denda keterlambatan sebesar Rp2.705.976.186,40 yang disebabkan oleh: (1) Kebijakan Bupati Karimun dan Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Karimun, serta Direksi PT Timah Tbk dalam hal pembayaran iuran tetap yang menyimpang dari ketentuan; (2) Ketidakcermatan Direksi PT Timah Tbk dalam menghitung kewajiban dan jadwal pembayaran iuran tetap dan kelemahan pengendalian pelaksanaan tugas; dan (3) Dirjen Minerbapabum kurang memperhatikan ketentuan terkait dengan jatuh tempo pembayaran.
b. Kekurangan pembayaran oleh PT Timah Tbk sebesar total USD1,260,530.79 dan Rp18.838.729,00 yang terdiri dari royalti sebesar US$1,215,198.81 dan denda keterlambatan pembayaran royalti sebesar US$45,331.98 dan Rp18.838.729,00, serta tertundanya penerimaan dari PT Koba Tin sebesar USD278,538.57 yang terdiri dari royalti sebesar US$250,160.44 dan denda keterlambatan pembayaran royalti sebesar US$28,378.13. Hal ini disebabkan PT Timah Tbk tidak cermat dalam menghitung royalti yang menjadi hak pemerintah dan PT Koba Tin kurang memahami aturan pembayaran royalti serta Dirjen Minerbapabum kurang sepenuhnya melaksanakan pengawasan dan pengendalian atas penerimaan royalti

Tidak ada komentar: