Baru-baru ini Menteri Keuangan menyatakan belanja pegawai semakin
membebani anggaran. Fakta ini tidak dapat dipungkiri. Belanja pegawai
pada APBN 2011 membengkak hingga 233% atau Rp. 126,5 trilyun
dibandingkan tahun 2005. Namun, peningkatan belanja ini tidak dirasakan
dampaknya terhadap perbaikan layanan birokrasi kita. Potret yang sama
terjadi di daerah. FITRA menemukan 124 daerah yang belanja pegawainya
di atas 60% dan 16 daerah diantaranya bahkan di atas 70%. Jika kondisi
ini dibiarkan terjadi, maka tujuan anggaran sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat, sebagaimana diamanatkan pasa 23 konstitusi
berpotensi untuk dilanggar.
FITRA mencatat, membengkaknya ongkos birokrasi disebabkan oleh 10 hal berikut:
- Pemberian Remunerasi. Pemberian remunerasi sebagai bagian reformasi birokrasi, karena dianggap rendahnya gaji merupakan penyebab birokrasi yang korup
dan kinerja rendah. Mulai tahun 2007, Kemkeu mempelopori pemberian
remunerasi pejabat dengan grade I di Kemkeu memperoleh remunerasi
hinga, Rp.46,9 juta. Remunerasi terus diberlakukan ke Kementerian lain
termasuk Polri dan Mahkamah Agung. Bahkan pada APBN-P 2010 dianggarkan
Rp. 13,4 trilyun untuk remunerasi. Besarnya ongkos remunerasi yang
dikeluarkan mengekang birokrasi korup. Kasus Gayus, dan Hakim Imas
mengkonfirmasi hal ini.
- Kenaikan Gaji Pegawai. Dalam lima tahun
terakhir berturut-turut Pemerintah meningkatkan gaji PNS, TNI/Polri
antara 5% sampai 15%, terakhir 2011. Kenaikan tunjangan struktural dan
fungsional, pemberian gaji ke 13, pemberian uang makan mulai tahun
2007, penyesuaian pokok pensiun dan pemberian bulan ke 13 untuk pensiun.
- Istana Menggemukan Birokrasi. Disadari
atau tidak, lingkaran istana tidak menjadi lokomotif reformasi
birokrasi. Sejak presiden terpilih kedua kalinya, membentuk kabinet
yang mengakomodasi seluruh anggota koalisinya dengan jumlah 34,
meskipun Kementerian ini merupakan batas maksimal yang diberikan UU No.
39 tahun 2008 tentang Kementerian/Lembaga. Tidak cukup sampai di sana,
Presiden-pun menambah 10 jabatan Wakil Menteri yang sampai saat ini
belum jelas pembagian kerjanya dengan Menteri maupun Pejabat Esselon I.
- Banjir Komisi. Lembaga Kepresidenan
justru tidak mampu memberikan contoh bagi Kementerian/ Lembaga lain.
Lembaga Kepresidenan semakin gemuk dengan struktur. Maka dibentuk lagi,
lembaga di lingkungan Istana Presiden seperti, staff khusus, staff
pribadi, juru bicara, unit kerja, dewan pertimbangan Presiden, satgas
mafia hukum dan terakhir Satgas TKI (tenaga Kerja Indonesia). Ironinya,
pembentukan lembaga-lembaga ini tidak pernah dievaluasi efektifitasnya,
bahkan cenderung menambah beban anggaran Negara. Dari catatan FITRA,
setidaknya terdapat 9 badan, komisi, satuan ataupun Tim yang berada di
lingkungan istana (lihat lampiran).
- Kebijakan Pegawai tanpa Mempertimbangkan Anggaran. Sebagai
bendahara Negara seharusnya Menkeu mampu memprediksi setiap kebijakan
berkaitan dengan pegawai akan berdampak pada belanja pegawai “budget constraint”. Terlebih belanja ini bersifat fix cost
yang mudah diprediksi. Kemkeu seharusnya sudah memprediksi, kebijakan
sektoral yang berimplikasi pada beban belanja pegawai seharusnya sudah
dapat dilihat bebannya terhadap anggaran, seperti kebijakan
pengangkatan Sekdes menjadi PNS dan sertifikasi Guru, serta
pengangkatan pegawai honorer.
- Tunjangan Pegawai Daerah. PP No 58 tahun
2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah memperbolehkan daerah
memberikan tambahan tunjangan pada pegawai daerah. Di DKI Jakarta,
pejabat eselon I mendapatkan tambahan penghasilan sampai dengan Rp. 50
Juta, dan staff mendapat tambahan antara Rp. 4,7 – 2,9 juta. Perbedaan
tambahan tunjangan ini menjadi penyebab beratnya belanja pegawai dan
distribusi pegawai yang tidak merata, untuk mengejar tambahan
penghasilan, sehingga pada daerah-daerah dengan tambahan penghasilan
akan semakin berat beban belanja pegawainya. Ketidak jelasan batasan
pemberian tunjangan daerah menyebabkan belanja pegawai membengkak.
- Skema Dana Perimbangan. Skema dana
perimbangan saat ini belum berpihak pada daerah. Sejak otonomi daerah
sebanyak 70% urusan didesentralisasikan ke Daerah, sementara pusat
memegang lima kewenangan utama. Namun berbanding terbalik dari sisi
fiscal, sejak tahun 2005 rata-rata belanja transfer daerah 31% dari
APBN. Membengkaknya belanja pegawai, juga disebabkan oleh formula DAU
yang tidak memberikan insentif daerah. Formula DAU saat ini
memperhitungkan kebutuhan belanja pegawai sebagai alokasi dana dasar
dan selisih antara kebutuhan dengan kapasitas fiscal suatu daerah.
Dengan formula ini daerah yang mampu melakukan efisiensi belanja
pegawai dan meningkatkan kapasitas fiskalnya, otomatis akan berkurang
jatah DAU-nya. Ini membuat daerah malas melakukan perampingan birokrasi
dan meningkatkan PAD-nya.
- Politisasi Birokrasi. Sistem rekrutment
yang sarat KKN terhadap PNSD dan politisasi birokrasi masih terjadi di
daerah. Meski pusat memiliki control untuk menilai formasi pegawai yang
dibutuhkan dan rekrutment, namun tidak dapat dibantah aroma suap masih
tercium saat rekurtmen. Rekrutmen juga tidak terlepas dari politisasi,
menjelang Pilkada, Kepala Daerah sebagai Pembina PNSD akan merekrut
lebih banyak PNSD untuk meraih dukungan. Juga paska Pilkada, sebagai
imbal jasa tim sukses Kepala Daerah menjadi PNSD tanpa melalui
mekanisme juga terjadi.
- Tidak Ada Rasio Pegawai Berdasarkan Karakteristik Daerah.
Sampai saat ini pemerintah belum memiliki rasio jumlah pegawai yang
ideal untuk melakukan pelayanan publik. Ketiadaan rasio ini menjadi
penyebab terus menerus dilakukan rekurtment pegawai tanpa memperhatikan
kebutuhan.
- Pemekaran Daerah. Pemekaran daerah juga
menjadi pemicu membengkaknya belanja pegawai di daerah. Sebagai
konsekuensi daerah baru, kebutuhan akan pegawai merupakan keharusan,
ditambah rekrutmen yang masih mengutamakan putra daerah dibandingkan
profesionalitas. DAU yang menjadi tumpuan membiayaai pegawai daerah,
secara tidak langsung berkurang. Sebagai contoh, pada tahun 2008
terdapat 481 daerah dan tahun 2009 naik menjadi 477 daerah, karena
terjadinya pemekaran, rata-rata penerimaan DAU berkurang, dari 358
milyar pada tahun 2008 menjadi 351,7 miliar pada tahun 2009.
Dari 10 Penyebab membengkaknya belanja birokrasi, Pemerintah
bermaksud melakukan moratorium rekrutmen PNS. Seknas FITRA mendukung
langkah tersebut, namun yang perlu diingat Moratorium PNS saja tidaklah
cukup. Persoalan sebenarnya tidak hanya pada jumlah pegawai yang terus
meningkat. Dari hasil kajian FITRA, rata-rata kenaikan jumlah pegawai
dalam 5 tahun terakhir adalah 2 persen, sementara kenaikan belanja
pegawai jauh lebih signifikan yakni 20%. Artinya, beratnya belanja
pegawai lebih disebabkan semakin meningkatnya ongkos pegawai
dibandingkan jumlah Pegawai.
Pemberlakuan moratorium saja tidak akan siginifikan mengurangi beban
Negara. Oleh karenanya, Moratorium sebagai bagian kerangka reformasi
birokrasi harus dipandang sebagai pintu masuk untuk melakukan berbagai
pembenahan berbagai sistem kepegawaian yang menjadi penyebab
membengkaknya belanja pegawai, yakni:
- Mengkaji ulang pemberlakuan remunerasi. Pemberian remunerasi tanpa
disertai punishment tidak akan efektif meningkatkan kinerja birorkasi
dan mengurangi korupsi. Terbuknya kasus Gayus dan hakim Imas,
menunjukan remunerasi di Kemenkeu dan MA tidak mampu menaha laju
korupsi di birokrasi.
- Pembuktian terbalik terhadap Pegawai yang memiliki harta tidak wajar.
- Penyusunan rasio jumlah pegawai berdasarkan variable jumlah penduduk, kondisi geografis, kemampuan keuangan dan fungsi.
- Reformulasi skema dana perimbangan yang memberikan insentif bagi
daerah yang melakukan efisiensi jumlah pegawai dan disisentif bagi
terjadinya pemekaran daerah baru.
- Pengaturan pemberian tunjangan pejabat dan PNS daerah.
- Pembenahan dan Pembatasan pembentukan lembaga-lembaga ad hoc (Tim,
Satgas, Komite, Badan, Dewan, Komisi) dan Lembaga Non-Struktural
lainnya.
Jakarta, 24 Juli 2011
Yuna Farhan
SekJend FITRA
Tabel. Komisi/Satgas/Tim/Dewan Di lingkungan Setneg, Presiden/ Wapres
No
|
Lembaga
|
Anggaran (Rp.)
|
1
|
Komisi Hukum Nasional (Setneg)
|
11,7 milyar
|
2
|
Dewan Pertimbangan Presiden
|
48,8 milyar
|
3
|
Tim Nasional Penanggulangan Kemiskinan (Wapres)
|
14,7 milyar
|
4
|
Satgas Reformasi Birokrasi (Wapres)
|
1,1 milyar
|
5
|
UKP4
|
79,6 milyar
|
6
|
Tim Satgas PMH
|
10,8 milyar
|
7
|
Tim REDD+
|
3,1 milyar
|
8
|
Tim Sinergi Pusat-Daerah
|
2,2 milyar
|
9
|
Tim Penyempurnaan Peraturan Pertanahan
|
2,4 milyar
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar