Manusa alam jatnika
Tadi rapih engke rapih
Puasa sapanjang hayang
Salatri saliring eling
Mahi pengeusi diri
La ilaha illallohu
Taya itu taya eta
Jabaning adeg pribadi
Runtag alam kari jatnika sorangan
(Haji Hasan Mustapa)
Tentu puasa bukan sekadar bagaimana kita menahan lapar dan dahaga,
memenjarakan hubungan seksual sejak terbit hingga terbenam, namun juga
puasa adalah petanda dari kehendak diri untuk tidak terkendali hasrat
dangkal yang dapat menurunkan harkat kita sebagai manusia.
Puasa sesungguhnya adalah simbol dari tekad luhur membangun harmoni
transendental dengan Tuhan sekaligus menciptakan relasi humanitas dengan
sesama. Dalam kearifan lama ditegaskan bahwa mereka yang tidak bisa
berdamai dengan bumi tidak mungkin dapat merakit pertemanan intim dengan
Langit.
Mengapa harus disimbolisasikan dengan tapabrata puasa? Jawabannya sangat
sederhana namun kita acapkali mengalami kemuskilan untuk
menerjemahkannya dalam lajuning laku hidup sehari hari. Karena dengan
puasa kita kosongkan perut sehingga diharapkan akan terinjeksikan
sensitivitas rasa sebagai modal sosial untuk menghadirkan Tuhan dan
membangun empatik sosial.
“Perut” dalam peradaban manapun juga adalah lambang dari sikap tamak,
metafora dari pusaran tersemaikannya faham materialisme hedonistik.
Dalam teologi dikatakan bahwa dari perut dosa bermula, neraka
kemungkinan menemukan asal usul habitat primordialnya. Merebaknya
korupsi harus kita baca sebagai tanda bagaimana kita belum dapat
menyelesaikan hal ihwal yang bertautan dengan perut.
Negara kleptokrasi yang ditandai dengan berjamaahnya korupsi yang
dilakukan sektor swasta dan negeri, juga eksekutif, legislatif, dan
yudikatif alamat hakikatnya karena kita sebagai bangsa ternyata masih
sibuk dengan persoalan remeh temeh “isi perut”. Baik perut dirinya,
keluarganya, partainya yang sama sekali tidak memiliki garis sebanding
lurus dengan kepentingan orang banyak.
Peralihan orde baru ke orde reformasi dengan banyak menyediakan panggung
bagi politisi muda ternyata tidak menjadi jaminan ruang Negara menjadi
lebih santun, justru kebalikannya: korupsi kian laten dan nyaris
menyebar merata ke berbagai pelosok dengan menumpang otonomi daerah yang
dipahami secara salah kaprah. 176 kepala daerah lebih yang tengah
berurusan dengan kejaksaan dan banyak rekening gendut tidak wajar
gubernur, bupati, dan walikota sebagaimana dilaporkan sebuah majalah
nasional adalah fakta telanjang bagaimana kita jatuh dari satu kutub
ekstrem yang satu ke kutub ekstrem yang lain: dari sistem korupsi
sentralistik bergerak domain ke korupsi desentralisasi.
Jauh panggang dari api dengan manusia pergerakan pra kemerdekaan.
Bagaimana mereka melakukan perjuangan kebangsaan dengan “perut lapar”
namun kepala penuh gagasan. Ruang negara tidak gaduh dengan perebutan
kepentingan tapi justru ramai dengan diskusi mencerahkan, wacana yang
sarat pengetahuan dan isu-isu yang berkelindan dengan hajat orang
banyak. Kita baca misalnya sosok-sosok Haji Agus Salim, Tan Malaka,
Syahrir, Hatta, Natsir, Soekarno, Syafrudin Prawiranegara, Wahid Hasyim,
Otto Iskandar Dinata adalah pribadi-pribadi sederhana, pakaian yang
alakadarnya namun ternyata mereka telah menampilkan dirinya sebagai
negarawan dengan gagasan cemerlang, infrastruktur kognitifnya sangat
memadai untuk menjadi pemimpin.
Hari ini, kita justru menyaksikan fenomena yang membuat kita miris.
Bahkan Marzuki Alie, yang notabene adalah pimpinan puncak wakil rakyat
selalu menyampaikan pernyataan yang membuat kita malu sebagai rakyat.
Pernyataannya bukan hanya asbun (asal bunyi) namun juga mencerminkan
bagaimana isi kepalanya sangat kosong. Mulai dari kasus Mentawai, gedung
DPR sampai yang terakhir ihwal pembubaran KPK dan usulan pemutihan
semua kasus korupsi.
Nyanyian nyaring Muhammad Nazarudin, anggota PKS asal pemilihan Ciamis
yang ketahuan sedang nontong adegan porno saat paripurna, perampokan
APBD, Century yang ngabuntut bangkong, Andi Nurpati yang terus
cengengesan walaupun diindikasikan memalsukan surat MK, dan masih banyak
yang lainnya. Atmosfer politik kita betul-betul bising dengan perebutan
“isi perut”, dengan akrobat kata yang penuh dusta.
Situasi tragis yang persis dengan apa yang digambarkan Acep Zamzam Noor
dalam teks tajamnya: Ada banyak cara/Untuk melacurkan diri/Salah
satunya/Menjadi politisi//Ada banyak cara/Untuk menjadi menteri/Salah
satunya/Dengan berdagang sapi//Ada banyak cara/Untuk poligami/Salah
satunya /Menjadi bupati//Ada banyak cara/Untuk menjadi bupati/Salah
satunya/Mempunyai uang satu peti//Ada banyak cara/Untuk menimbun
harta/Salah satunya/Menjadi walikota//Ada banyak cara/ Untuk menjadi
walikota/Salah satunya/Berani menggusur kaki lima//Ada banyak cara/Untuk
hidup makmur/Salah satunya/Menjadi gubernur//Ada banyak cara/Untuk
menjadi gubernur/Salah satunya/Mengusulkan provinsi baru//Ada banyak
cara/Untuk tidak konsisten/Salah satunya/Menjadi presiden//Ada banyak
cara/Untuk menjadi presiden RI/Salah satunya/Rajin istighosah bersama
kiai//Ada banyak cara/Untuk disebut kiai/Salah satunya/Memakai sorban
dan kopiah haji
Dahulu pernah ada seorang Sidharta Gautama di puncak karir politiknya,
dia melepaskan semua atribut kemewahan dunia, menghentikan capaian
kuasanya karena melihat bahwa politik pada masanya itu telah melenceng
dari nilai-nilai, sudah sangat hitam dan terpelanting dari tujuan luhur
yang semula ditambatkannya. Sesudah melepaskan semua itu, ia memilih
untuk terus berpuasa sambil bersemedi di bawah pohon Budhis.
Sang Budha dengan laku puasanya yang total itu akhirnya mendapatkan
pencerahan dan menemukan kebeningan batin. Puasa yang telah dilakoninya
itu telah mengantarkannya menjadi pribadi yang luhur, visioner, jernih.
Sang Budha kembali ke “dunia politik” dengan wajah baru. Kembali tak
ubahnya bayi yang baru lahir dari ibunya. Lingkunganpun dibersihkan
tidak dengan “sapu kotor” apalagi “maling teriak maling” tapi dengan
“sapu bersih,” dengan nalar yang telah berada dalam terang Ilahiah.
Itulah yang dahulu juga dilakukan Musa, Isa, Muhammad saw, al-Hallaj,
Ibnu Sina, Rabiah Adawiyah, al-Ghazali, Sa’di, Jaluddin Rumi, Imam
Khamaeni, dan lain sebagainya. Mereka terkenal sebagai pribadi-pribadi
yang rajin berpuasa. Bukan sekadar puasa raga namun mampu menyelami
“mataholang” dari puasa itu sendiri, mengendalikan hasrat perut dan
napsu diri yang dapat merontokkan ajen dan memburamkan peradaban yang
ditawarkannya.
Itulah pigur-pigur yang telah mencapai kesempurnaan puasa. Tidak
berlebihan kalau kata-katanya mewarnakan aroma sastrawi dengan nafas
estetika yang tinggi. Kata-kata yang bukan sekadar ornamen tanpa makna
tapi fundamen bagi tegaknya kebudayaan yang berkeadaban, kata-katanya
sebagai bocoran dari pengalaman spiritualitasnya yang selalu dirawat
diantaranya dengan berpuasa, selalu diruwat biasanya dengan terjaga di
malam buta. Kata-katanya dapat menyembuhkan negara yang tengah sakit.
Inilah barangkali konteks ungkapan, “Jika lingkungan sakit, sastra dapat
menjadi obat penawarnya”.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar