Senin, 08 Agustus 2011

Puasa, Satra, dan Ruang Negara

Manusa alam jatnika
Tadi rapih engke rapih
Puasa sapanjang hayang
Salatri saliring eling
Mahi pengeusi diri
La ilaha illallohu
Taya itu taya eta
Jabaning adeg pribadi
Runtag alam kari jatnika sorangan
(Haji Hasan Mustapa)

Tentu puasa bukan sekadar bagaimana kita menahan lapar dan dahaga, memenjarakan hubungan seksual sejak terbit hingga terbenam, namun juga puasa adalah petanda dari kehendak diri untuk tidak terkendali hasrat dangkal yang dapat menurunkan harkat kita sebagai manusia.
Puasa sesungguhnya adalah simbol dari tekad luhur membangun harmoni transendental dengan Tuhan sekaligus menciptakan relasi humanitas dengan sesama. Dalam kearifan lama ditegaskan bahwa mereka yang tidak bisa berdamai dengan bumi tidak mungkin dapat merakit pertemanan intim dengan Langit.
Mengapa harus disimbolisasikan dengan tapabrata puasa? Jawabannya sangat sederhana namun kita acapkali mengalami kemuskilan untuk menerjemahkannya dalam lajuning laku hidup sehari hari. Karena dengan puasa kita kosongkan perut sehingga diharapkan akan terinjeksikan sensitivitas rasa sebagai modal sosial untuk menghadirkan Tuhan dan membangun empatik sosial.
“Perut” dalam peradaban manapun juga adalah lambang dari sikap tamak, metafora dari pusaran tersemaikannya faham materialisme hedonistik. Dalam teologi dikatakan bahwa dari perut dosa bermula, neraka kemungkinan menemukan asal usul habitat primordialnya. Merebaknya korupsi harus kita baca sebagai tanda bagaimana kita belum dapat menyelesaikan hal ihwal yang bertautan dengan perut.
Negara kleptokrasi yang ditandai dengan berjamaahnya korupsi yang dilakukan sektor swasta dan negeri, juga eksekutif, legislatif, dan yudikatif alamat hakikatnya karena kita sebagai bangsa ternyata masih sibuk dengan persoalan remeh temeh “isi perut”. Baik perut dirinya, keluarganya, partainya yang sama sekali tidak memiliki garis sebanding lurus dengan kepentingan orang banyak.
Peralihan orde baru ke orde reformasi dengan banyak menyediakan panggung bagi politisi muda ternyata tidak menjadi jaminan ruang Negara menjadi lebih santun, justru kebalikannya: korupsi kian laten dan nyaris menyebar merata ke berbagai pelosok dengan menumpang otonomi daerah yang dipahami secara salah kaprah. 176 kepala daerah lebih yang tengah berurusan dengan kejaksaan dan banyak rekening gendut tidak wajar gubernur, bupati, dan walikota sebagaimana dilaporkan sebuah majalah nasional adalah fakta telanjang bagaimana kita jatuh dari satu kutub ekstrem yang satu ke kutub ekstrem yang lain: dari sistem korupsi sentralistik bergerak domain ke korupsi desentralisasi.
Jauh panggang dari api dengan manusia pergerakan pra kemerdekaan. Bagaimana mereka melakukan perjuangan kebangsaan dengan “perut lapar” namun kepala penuh gagasan. Ruang negara tidak gaduh dengan perebutan kepentingan tapi justru ramai dengan diskusi mencerahkan, wacana yang sarat pengetahuan dan isu-isu yang berkelindan dengan hajat orang banyak. Kita baca misalnya sosok-sosok Haji Agus Salim, Tan Malaka, Syahrir, Hatta, Natsir, Soekarno, Syafrudin Prawiranegara, Wahid Hasyim, Otto Iskandar Dinata adalah pribadi-pribadi sederhana, pakaian yang alakadarnya namun ternyata mereka telah menampilkan dirinya sebagai negarawan dengan gagasan cemerlang, infrastruktur kognitifnya sangat memadai untuk menjadi pemimpin.
Hari ini, kita justru menyaksikan fenomena yang membuat kita miris. Bahkan Marzuki Alie, yang notabene adalah pimpinan puncak wakil rakyat selalu menyampaikan pernyataan yang membuat kita malu sebagai rakyat. Pernyataannya bukan hanya asbun (asal bunyi) namun juga mencerminkan bagaimana isi kepalanya sangat kosong. Mulai dari kasus Mentawai, gedung DPR sampai yang terakhir ihwal pembubaran KPK dan usulan pemutihan semua kasus korupsi.
Nyanyian nyaring Muhammad Nazarudin, anggota PKS asal pemilihan Ciamis yang ketahuan sedang nontong adegan porno saat paripurna, perampokan APBD, Century yang ngabuntut bangkong, Andi Nurpati yang terus cengengesan walaupun diindikasikan memalsukan surat MK, dan masih banyak yang lainnya. Atmosfer politik kita betul-betul bising dengan perebutan “isi perut”, dengan akrobat kata yang penuh dusta.
Situasi tragis yang persis dengan apa yang digambarkan Acep Zamzam Noor dalam teks tajamnya: Ada banyak cara/Untuk melacurkan diri/Salah satunya/Menjadi politisi//Ada banyak cara/Untuk menjadi menteri/Salah satunya/Dengan berdagang sapi//Ada banyak cara/Untuk poligami/Salah satunya /Menjadi bupati//Ada banyak cara/Untuk menjadi bupati/Salah satunya/Mempunyai uang satu peti//Ada banyak cara/Untuk menimbun harta/Salah satunya/Menjadi walikota//Ada banyak cara/ Untuk menjadi walikota/Salah satunya/Berani menggusur kaki lima//Ada banyak cara/Untuk hidup makmur/Salah satunya/Menjadi gubernur//Ada banyak cara/Untuk menjadi gubernur/Salah satunya/Mengusulkan provinsi baru//Ada banyak cara/Untuk tidak konsisten/Salah satunya/Menjadi presiden//Ada banyak cara/Untuk menjadi presiden RI/Salah satunya/Rajin istighosah bersama kiai//Ada banyak cara/Untuk disebut kiai/Salah satunya/Memakai sorban dan kopiah haji
Dahulu pernah ada seorang Sidharta Gautama di puncak karir politiknya, dia melepaskan semua atribut kemewahan dunia, menghentikan capaian kuasanya karena melihat bahwa politik pada masanya itu telah melenceng dari nilai-nilai, sudah sangat hitam dan terpelanting dari tujuan luhur yang semula ditambatkannya. Sesudah melepaskan semua itu, ia memilih untuk terus berpuasa sambil bersemedi di bawah pohon Budhis.
Sang Budha dengan laku puasanya yang total itu akhirnya mendapatkan pencerahan dan menemukan kebeningan batin. Puasa yang telah dilakoninya itu telah mengantarkannya menjadi pribadi yang luhur, visioner, jernih.
Sang Budha kembali ke “dunia politik” dengan wajah baru. Kembali tak ubahnya bayi yang baru lahir dari ibunya. Lingkunganpun dibersihkan tidak dengan “sapu kotor” apalagi “maling teriak maling” tapi dengan “sapu bersih,” dengan nalar yang telah berada dalam terang Ilahiah.
Itulah yang dahulu juga dilakukan Musa, Isa, Muhammad saw, al-Hallaj, Ibnu Sina, Rabiah Adawiyah, al-Ghazali, Sa’di, Jaluddin Rumi, Imam Khamaeni, dan lain sebagainya. Mereka terkenal sebagai pribadi-pribadi yang rajin berpuasa. Bukan sekadar puasa raga namun mampu menyelami “mataholang” dari puasa itu sendiri, mengendalikan hasrat perut dan napsu diri yang dapat merontokkan ajen dan memburamkan peradaban yang ditawarkannya.
Itulah pigur-pigur yang telah mencapai kesempurnaan puasa. Tidak berlebihan kalau kata-katanya mewarnakan aroma sastrawi dengan nafas estetika yang tinggi. Kata-kata yang bukan sekadar ornamen tanpa makna tapi fundamen bagi tegaknya kebudayaan yang berkeadaban, kata-katanya sebagai bocoran dari pengalaman spiritualitasnya yang selalu dirawat diantaranya dengan berpuasa, selalu diruwat biasanya dengan terjaga di malam buta. Kata-katanya dapat menyembuhkan negara yang tengah sakit. Inilah barangkali konteks ungkapan, “Jika lingkungan sakit, sastra dapat menjadi obat penawarnya”.***

Tidak ada komentar: