Defisit Moral Kejaksaan Agung
Kisah
mengenai praktik korupsi di lembaga-lembaga yudisial sudah kerap
didengar telinga masyarakat bahkan semenjak pemerintahan Orde Baru,
bahkan mungkin semenjak sebagian kita masih kanak-kanak. Bagaimana
perkara-perkara bisa diselesaikan dengan uang sudah diamini oleh publik,
yang bahkan di zaman Orde Baru dianggap sebagai “perilaku
umum dan wajar ”. Akronim canda “kasih uang habis perkara” untuk KUHP
lahir dari aktualitas dan faktualitas dunia yudisial kita. Namun saat
kasus jaksa Urip terungkap, terutama saat rekaman pembicaraan telepon
antara Artalyta dengan sejumlah petinggi Kejaksaan Agung diperdengarkan
dalam pengadilan Tipikor oleh media-media televisi dan radio, tokh kita
semua terkesiap. Bagi mereka yang tak pernah berurusan secara ketat
dengan dunia yudisial, mitos mengenai mega-korupsi di lembaga yudisial
akhirnya menemukan pembuktiannya.
Keterkejutan kita mungkin bukan pada “pembuktian” bahwa lembaga yudisial memang sarat korupsi, tapi akhirnya itu diungkapkan secara terbuka. Akhirnya ada
saat di mana kebiadaban Kejaksaan Agung dibongkar secara publik,
dipermalukan secara terbuka, suatu hal yang amat sangat ditabukan dalam kultur masyarakat kita yang hipokrit. Apa yang dilakukan KPK dianggap nyeleneh
dari fatsun publik, yakni menelanjangi “kebiadaban” kejaksaan agung
secara terbuka dan telanjang. Yang mengerikan adalah jika sampai apa
yang dilakukan oleh KPK dianggap membahayakan tatanan sosial, di mana tindak korupsi merupakan hal yang biasa, dan berlaku jujur adalah kebodohan.
Apa
yang terungkap dalam pengadilan Tipikor beberapa waktu yang lalu adalah
hal yang luar biasa. Percakapan antara para jaksa dan Artalyta
menggidikan bulu roma. Semua dibicarakan dengan dingin, santai, tenang,
sesekali tertawa bengis dan culas, seperti membicarakan suatu rencana
kencan di akhir Minggu. Sepertinya percakapan itu sama sekali tidak
menyiratkan bahwa ada suatu pengkhianatan sedang berlangsung dan ada
suatu kejahatan besar sedang terjadi. Mereka dengan tenang, santai, enjoy
tengah merugikan, merusak dan membawa negara Republik Indonesia menuju
kehancuran. Meskipun nada percakapannya seperti senang dan riang
gembira, namun aroma pemerasan cukup tercium dari perbincangan tersebut.
Fakta
di atas menggambarkan suatu bentuk defisit moral Kejagung sebagai sebuah
badan yudisial. Korupsi oleh pejabat negara lembaga yudisial secara
etis tidak memiliki dasar pembenaran apapun, karena mereka digaji besar,
dan mendapatkan sejumlah tunjangan yang lebih dari cukup untuk hidup.
Seorang pencopet punya argumen etis, yakni mencopet untuk makan,
meskipun tidak bias dibenarkan secara hukum, namun korupsi sama sekali
tidak memiliki argumen etis. Ini menunjukkan adanya defisit moral yang
melanda Kejagung, di mana korupsi dan pemerasan diperlakukan sebagai
suatu hal yang lumrah dan biasa, kalau tertangkap dihitung sial, dan
lain kali harus dilakukan secara lebih baik. Dalam defisit moral yang
demikian parah, cara terbaik untuk mengobatinya adalah dengan merombak
Kejagung secara total, namun dengan proses yang ditata baik.
Merombak Total Kejagung
Apa yang terjadi dalam lingkup yudisial, dalam hal ini Kejaksaaan Agung, untuk jangka pendek hanya bisa dilakukan dengan memecat dan menganti sejumlah petinggi
Kejaksaan Agung yang terlibat dalam kasus Urip dan Artalyta. Jaksa
agung merupakan salah satu posisi yang harus segera diganti, karena ini
merupakan salah satu bentuk bagaimana mengembalikan kepercayaan publik
kepada lembaga kejaksaan. Suka atau tidak suka, publik
sudah terlanjur menerima asumsi dasarbahwa, baik langsung maupun tidak,
jaksa agung dianggap terlibat dalam kasus Artalyta. Kalaupun terbukti
tidak terlibat, adalah tetap suatu tindakan terpuji jika
presiden memberhentikan jaksa agung, karena kasus itu menunjukan bukti
kegagalannya dalam mengurus dan mengelola institusi kejaksaan. Selain
tentu saja pemerintah dan KPK harus tetap menelusuri kasus
Urip dan Artalyta seluas-luasnya, agar efek psikologis yang membuat jera
bisa menyebar di institusi-institusi negara lainnya, baik eksekutif,
legislatif, dan yudikatif.
Hanya yang menarik jika diajukan sebuah pertanyaan: siapa yang akan mengantikan
jaksa agung? Jika menengok kedalam lembaga kejaksaan agung, dengan
tingkat kepercayaan publik yang demikian rendah, serta wibawa lembaga
kejaksaan yang nyaris ambruk, maka akan sangat sulit mendorong pengganti dari dalam kejaksaan agung. Hampir semua pejabat kejaksaan agung setingkat Jaksa Agung
Muda (JAM) terlibat secara langsung dalam kasus tersebut. Sementara
yang tidak terlibat langsung, oleh publik sudah divonis “setidaknya
mengetahui”, terutama setelah rencana kejaksaan menangkap Artalyta
setelah Urip ditangkap KPK terkuak ke hadapan publik.
Jadi
salah satu cara terbaik adalah dengan mengangkat jaksa agung baru yang
berasal dari luar kejaksaan agung. Mungkin di awal-awalnya akan
mendapatkan resistansi kuat dari dalam aparat kejaksaan agung, apalagi
jaksa agung baru menerapkan cara-cara tangan besi dalam melakukan
pembenahan dan dalam menangani aparat kejaksaan yang ”culas” dan korup.
Namun jika dilakukan terus menerus dengan konsisten dan sepenuhnya di
dukung oleh pemerintah dan legislatif, kerusakan didalam kejaksaan agung
bisa diperbaiki. Sekalian juga membenahi lembaga yang memiliki fungsi
yudisial lainnya yakni kehakiman, kepolisian dan mahkamah agung.
Melihat kebobrokan yang sudah bersifat “wabah epidemik”, maka jalan terbaik adalah melakukan
perombakan secara besar-besaran, bukan semata-mata di wilayah fisik,
seperti mengganti atau memberhentikan orang melainkan juga diwilayah
mental. Mental bobrok yang dibawa semenjak seseorang masuk menjadi
aparat lembaga yudisial. Sebut saja satu cerita bagaimana seseorang yang
sedang mengikuti pendidikan calon jaksa di Jakarta, pada akhir
pendidikan menerima pemberitahuan dari salah seorang jaksa yang
menyelenggarakan pendidikan.
Dalam
pendidikan calon jaksa, banyak ditemui bentuk-bentuk “pungutan liar”
terhadap siswa-siswa perserta pendidikan calon jaksa. Apakah ini
kemudian dijadikan bentuk “pelajaran pertama” para calon jaksa pada saat
mereka menjalankan praktik sebagai jaksa? Jika itu yang terjadi maka
aksi pemerasan yang dilakukan terhadap mereka, akan mereka subtitusikan
kepada orang yang berperkara. Yang kemudian terpampang di depan kita
adalah hasil penyadapan terhadapan “pemerasan” Jaksa Urip terhadap
Artalyta, sebagai suatu bentuk momen kebenaran dalam dunia hukum kita.
Suatu momen yang mengafirmasi bahwa benar dunia yudisial kita sedemikian
bobroknya.
gkah
pemerintah untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap kejaksaan
agung, sekaligus juga menegakkan wibawa politik pemerintah, harus tepat
dan jelas. Menganti jaksa agung merupakan salah satu langkah paling
tepat dan baik saat ini. Tentu saja itu kemudian harus diikuti dengan
pembenahan dan perbaikan secara total seluruh format kejaksaan, sampai
ketingkat pendidikan jaksa.
Kalau
ini tidak segera dilakukan, maka yang ditakutkan adalah “para pencoleng”
dalam lembaga-lembaga yudisial akan melakukan konsolidasi, dan
merapatkan barisan mereka untuk menata kerja-kerja “perampokan” secara
lebih baik dan terorganisir. Apalagi jika “biang-biang” nya tidak segera
dicabut dan ditumpas, maka akan menjadi bahaya laten di masa depan.
Maka satu langkah penting yang harus segera dilakukan dengan cepat
adalah pembersihan dalam kejaksaan agung dari puncuk yang paling tinggi,
agar hukum bisa berfungsi sebagaimana mestinya di negara yang mengaku
republik.
Dari
sini jaksa agung yang baru, dan berasal dari luar system kejaksaan yang
ada sekarang, harus mulai melakukan perombakan serius dalam proses
perekrutan dan pembenahan pendidikan calon jaksa. Jaksa-jaksa yang akan
bekerja adalah mereka-mereka yang tahu betul apa artinya: Untuk Keadilan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar