Minggu, 21 Agustus 2011

Defisit Moral Kejaksaan Agung

Defisit Moral Kejaksaan Agung


Kisah mengenai praktik korupsi di lembaga-lembaga yudisial sudah kerap didengar telinga masyarakat bahkan semenjak pemerintahan Orde Baru, bahkan mungkin semenjak sebagian kita masih kanak-kanak. Bagaimana perkara-perkara bisa diselesaikan dengan uang sudah diamini oleh publik, yang bahkan di zaman Orde Baru dianggap sebagai “perilaku umum dan wajar ”. Akronim canda “kasih uang habis perkara” untuk KUHP lahir dari aktualitas dan faktualitas dunia yudisial kita. Namun saat kasus jaksa Urip terungkap, terutama saat rekaman pembicaraan telepon antara Artalyta dengan sejumlah petinggi Kejaksaan Agung diperdengarkan dalam pengadilan Tipikor oleh media-media televisi dan radio, tokh kita semua terkesiap. Bagi mereka yang tak pernah berurusan secara ketat dengan dunia yudisial, mitos mengenai mega-korupsi di lembaga yudisial akhirnya menemukan pembuktiannya.
Keterkejutan kita mungkin bukan pada “pembuktian” bahwa lembaga yudisial memang sarat korupsi, tapi akhirnya itu diungkapkan secara terbuka. Akhirnya ada saat di mana kebiadaban Kejaksaan Agung dibongkar secara publik, dipermalukan secara terbuka, suatu hal yang amat sangat ditabukan dalam kultur masyarakat kita yang hipokrit. Apa yang dilakukan KPK dianggap nyeleneh dari fatsun publik, yakni menelanjangi “kebiadaban” kejaksaan agung secara terbuka dan telanjang. Yang mengerikan adalah jika sampai apa yang dilakukan oleh KPK dianggap membahayakan tatanan sosial, di mana tindak korupsi merupakan hal yang biasa, dan berlaku jujur adalah kebodohan.
Apa yang terungkap dalam pengadilan Tipikor beberapa waktu yang lalu adalah hal yang luar biasa. Percakapan antara para jaksa dan Artalyta menggidikan bulu roma. Semua dibicarakan dengan dingin, santai, tenang, sesekali tertawa bengis dan culas, seperti membicarakan suatu rencana kencan di akhir Minggu. Sepertinya percakapan itu sama sekali tidak menyiratkan bahwa ada suatu pengkhianatan sedang berlangsung dan ada suatu kejahatan besar sedang terjadi. Mereka dengan tenang, santai, enjoy tengah merugikan, merusak dan membawa negara Republik Indonesia menuju kehancuran. Meskipun nada percakapannya seperti senang dan riang gembira, namun aroma pemerasan cukup tercium dari perbincangan tersebut.
Fakta di atas menggambarkan suatu bentuk defisit moral Kejagung sebagai sebuah badan yudisial. Korupsi oleh pejabat negara lembaga yudisial secara etis tidak memiliki dasar pembenaran apapun, karena mereka digaji besar, dan mendapatkan sejumlah tunjangan yang lebih dari cukup untuk hidup. Seorang pencopet punya argumen etis, yakni mencopet untuk makan, meskipun tidak bias dibenarkan secara hukum, namun korupsi sama sekali tidak memiliki argumen etis. Ini menunjukkan adanya defisit moral yang melanda Kejagung, di mana korupsi dan pemerasan diperlakukan sebagai suatu hal yang lumrah dan biasa, kalau tertangkap dihitung sial, dan lain kali harus dilakukan secara lebih baik. Dalam defisit moral yang demikian parah, cara terbaik untuk mengobatinya adalah dengan merombak Kejagung secara total, namun dengan proses yang ditata baik.
Merombak Total Kejagung
Apa yang terjadi dalam lingkup yudisial, dalam hal ini Kejaksaaan Agung, untuk jangka pendek hanya bisa dilakukan dengan memecat dan menganti sejumlah petinggi Kejaksaan Agung yang terlibat dalam kasus Urip dan Artalyta. Jaksa agung merupakan salah satu posisi yang harus segera diganti, karena ini merupakan salah satu bentuk bagaimana mengembalikan kepercayaan publik kepada lembaga kejaksaan. Suka atau tidak suka, publik sudah terlanjur menerima asumsi dasarbahwa, baik langsung maupun tidak, jaksa agung dianggap terlibat dalam kasus Artalyta. Kalaupun terbukti tidak terlibat, adalah tetap suatu tindakan terpuji jika presiden memberhentikan jaksa agung, karena kasus itu menunjukan bukti kegagalannya dalam mengurus dan mengelola institusi kejaksaan. Selain tentu saja pemerintah dan KPK harus tetap menelusuri kasus Urip dan Artalyta seluas-luasnya, agar efek psikologis yang membuat jera bisa menyebar di institusi-institusi negara lainnya, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Hanya yang menarik jika diajukan sebuah pertanyaan: siapa yang akan mengantikan jaksa agung? Jika menengok kedalam lembaga kejaksaan agung, dengan tingkat kepercayaan publik yang demikian rendah, serta wibawa lembaga kejaksaan yang nyaris ambruk, maka akan sangat sulit mendorong pengganti dari dalam kejaksaan agung. Hampir semua pejabat kejaksaan agung setingkat Jaksa Agung Muda (JAM) terlibat secara langsung dalam kasus tersebut. Sementara yang tidak terlibat langsung, oleh publik sudah divonis “setidaknya mengetahui”, terutama setelah rencana kejaksaan menangkap Artalyta setelah Urip ditangkap KPK terkuak ke hadapan publik.
Jadi salah satu cara terbaik adalah dengan mengangkat jaksa agung baru yang berasal dari luar kejaksaan agung. Mungkin di awal-awalnya akan mendapatkan resistansi kuat dari dalam aparat kejaksaan agung, apalagi jaksa agung baru menerapkan cara-cara tangan besi dalam melakukan pembenahan dan dalam menangani aparat kejaksaan yang ”culas” dan korup. Namun jika dilakukan terus menerus dengan konsisten dan sepenuhnya di dukung oleh pemerintah dan legislatif, kerusakan didalam kejaksaan agung bisa diperbaiki. Sekalian juga membenahi lembaga yang memiliki fungsi yudisial lainnya yakni kehakiman, kepolisian dan mahkamah agung.
Melihat kebobrokan yang sudah bersifat “wabah epidemik”, maka jalan terbaik adalah melakukan perombakan secara besar-besaran, bukan semata-mata di wilayah fisik, seperti mengganti atau memberhentikan orang melainkan juga diwilayah mental. Mental bobrok yang dibawa semenjak seseorang masuk menjadi aparat lembaga yudisial. Sebut saja satu cerita bagaimana seseorang yang sedang mengikuti pendidikan calon jaksa di Jakarta, pada akhir pendidikan menerima pemberitahuan dari salah seorang jaksa yang menyelenggarakan pendidikan.
Dalam pendidikan calon jaksa, banyak ditemui bentuk-bentuk “pungutan liar” terhadap siswa-siswa perserta pendidikan calon jaksa. Apakah ini kemudian dijadikan bentuk “pelajaran pertama” para calon jaksa pada saat mereka menjalankan praktik sebagai jaksa? Jika itu yang terjadi maka aksi pemerasan yang dilakukan terhadap mereka, akan mereka subtitusikan kepada orang yang berperkara. Yang kemudian terpampang di depan kita adalah hasil penyadapan terhadapan “pemerasan” Jaksa Urip terhadap Artalyta, sebagai suatu bentuk momen kebenaran dalam dunia hukum kita. Suatu momen yang mengafirmasi bahwa benar dunia yudisial kita sedemikian bobroknya.
gkah pemerintah untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap kejaksaan agung, sekaligus juga menegakkan wibawa politik pemerintah, harus tepat dan jelas. Menganti jaksa agung merupakan salah satu langkah paling tepat dan baik saat ini. Tentu saja itu kemudian harus diikuti dengan pembenahan dan perbaikan secara total seluruh format kejaksaan, sampai ketingkat pendidikan jaksa.
Kalau ini tidak segera dilakukan, maka yang ditakutkan adalah “para pencoleng” dalam lembaga-lembaga yudisial akan melakukan konsolidasi, dan merapatkan barisan mereka untuk menata kerja-kerja “perampokan” secara lebih baik dan terorganisir. Apalagi jika “biang-biang” nya tidak segera dicabut dan ditumpas, maka akan menjadi bahaya laten di masa depan. Maka satu langkah penting yang harus segera dilakukan dengan cepat adalah pembersihan dalam kejaksaan agung dari puncuk yang paling tinggi, agar hukum bisa berfungsi sebagaimana mestinya di negara yang mengaku republik.
Dari sini jaksa agung yang baru, dan berasal dari luar system kejaksaan yang ada sekarang, harus mulai melakukan perombakan serius dalam proses perekrutan dan pembenahan pendidikan calon jaksa. Jaksa-jaksa yang akan bekerja adalah mereka-mereka yang tahu betul apa artinya: Untuk Keadilan!

Tidak ada komentar: