Mencari Kepemimpinan Otentik
Politik kita saat ini hanya dijalankan oleh
penguasa, bukan pemimpin. Kepemimpinan yang berkualitas sukar muncul
dalam politik yang penuh tawar-menawar antar-elit, ketokohan yang
mengandalkan “darah biru”, dengan modus operandi lewat politik
pencitraan. Kepemimpinan yang berkualitas adalah kepemimpinan yang mampu
menggerakkan, menjadi inspirasi bagi banyak orang. Kepemimpinan semacam
itu tampak menjadi utopia di era ini karena kualitas politisi kita yang
jauh dari etos kenegarawanan.
Sejarah Kepemimpinan
Jika puncak kepemimpinan di Indonesia adalah
posisi presiden, maka hanya beberapa presiden Republik Indonesia yang
kepemimpinannya memberi dampak kepada Indonesia, sebagai sebuah bangsa.
Meskipun pada akhirnya sejarah pula yang membuktikan bahwa semuanya
tidak mampu mempertahankan konsistensi kepemimpinan yang berdampak
positif bagi nilai-nilai demokrasi dan kewarganegaraan.
Harus diakui bahwa Soekarno permah menjadi
pemimpin yang inspiratif. Ia mampu menampung harapan sebagian besar
bangsa Indonesia untuk mau menyatu menjadi satu bangsa yang merdeka. Ia
mampu membakar rasa bangga sebagai bangsa Indonesia dengan pidatonya
yang khas. Kerajaan-kerajaan di nusantara sebagai suatu sistem
masyarakat yang sudah lebih dahulu ada, bersedia menyatu di bawah Negara
Republik Indonesia berkat pendekatan dari Soekarno. Ia menggerakkan
kepresidenan berdasar ide-ide besar. Soekarno adalah tipikal
kepemimpinan politik berbasis ide yang sarwa besar. Maka sebagai
“pemimpin idea”, Soekarno menggagas perlunya politik sebagai panglima,
bahkan atas kebudayaan. Dengan ini, ia menggelar lembaran diskursif bagi
pertarungan politik dalam kancah kebudayaan: haruskah kebudayaan
mendaulat politik sebagai panglima, ataukah ia otonom sehingga bebas
dari politik? Hingar-bingar dan cacian ideologis antara kubu LEKRA dan
Manikebu ini, tentu tak akan terjadi di era Soeharto karena kebudayaan
telah membirokrasi, atau di era SBY di mana budaya turun derajat menjadi
jualan pariwisata. Soekarno mencoba sejumlah gagasan besar, menyatukan
ideologi nasionalisme, agama dan komunisme. Dengan cerdas ia mengubah
terma buruh Marxian menjadi kaum Marhein (marhaenisme). Di tengah
ide-ide besar itu, ia mendaulat diri sebagai Pemimpin Besar Revolusi,
menciptakan ide demokrasi terpimpin. Secara perlahan ia tidak lagi
mendengar kritik dan mulai membungkam teman seperjalanan dalam
perjuangan kemerdekaan yang dianggap menghambat jalannya revolusi.
Soeharto memiliki konsep jelas: pembangunan,
tepatnya hanya pembangunan ekonomi. Sesaat ia memberikan dampak yang
baik dalam era kepemimpinan bagi Indonesia. Ekonomi bertumbuh,
pembangunan fisik infrastruktur juga berjalan. Pancasila sebagai
ideologi bangsa menyebar luas di dalam sistem pendidikan nasional dan
juga lewat jalur birokrasi pemerintah. Hampir semua warga negara
merasakan dampak positif dari konsep pembangunan Orde Baru, terutama
efek kontras terhadap orde sebelumnya. Meskipun demikian, kontrol yang
berlebihan menciptakan pengekangan. Kita bertumbuh secara ekonomi tapi
tak bertumbuh sebagai warga negara yang sehat. Bagi Soeharto pembangunan
politik hanya menimbulkan konflik yang menghambat pertumbuhan ekonomi.
Itu sebabnya, kepemimpinannya berjalan secara totalitarian, mengontrol
hampir semua aspek kehidupan warga negara, memberangus kebebasan,
melakukan pelanggaran HAM. Pengekangan politik berdampak ke wilayah
ekonomi, tidak boleh ada kekuatan ekonomi yang independen dari
kekuasaan. Tidak heran jika pertumbuhan ekonomi yang diciptakannya
bermasalah dalam hal distribusi. Ia terkumpul dilingkaran kroni dan
menciptakan ketimpangan sosial. Terhambatnya arus demokrasi politik dan
ekonomi menyebabkan demonstrasi besar yang memaksanya turun sebagai
pemimpin di negara.
Era kepemimpinan Gus Dur memberi pelajaran
hidup sebagai warga sipil. Ia memberi pembelajaran bahwa hidup dalam
masyarakat yang beragam adalah hidup yang saling menghargai satu dengan
lainnya dalam ruang kehidupan bersama. Ini yang mencirikan warga negara
sebagai manusia yang beradab (sipil). Cara koersif tentunya perlu
dikeluarkan dari ruang bersama yang mengutamakan dialog. Dengan
kepemimpinan di tangannya Gus Dur berani mengambil keputusan yang
beresiko secara politis. Dalam politik keberagaman, ia mengakui Kong Hu
Cu, menjalin dialog hangat dengan kelompok agama lain, juga kepada
korban stigma komunisme di Indonesia. Ia melontarkan gagasan yang paling
sensitif dan dianggap sesat: membangkitkan Marxisme-Leninisme untuk
bebas dipelajari kembali, melalui penghapusan TAP MPRS No.
XXV/1966.Supremasi sipil ditegakkannya dengan menghapus Dwifungsi ABRI,
arus informasi dibebaskan lewat pembubaran departemen penerangan,
birokrasi koruptif dibersihkan dalam pembubaran departemen sosial. Dalam
menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM, Gus Dur memancing banyak
kontroversi, tapi kita tahu bahwa gagasan itu baik adanya bagi
pembangunan karakter bangsa. Akan tetapi, kontroversi korupsi dari
orang-orang di dekatnya, terlebih sebagai Presiden RI ia bertemu dengan
narapidana Tommy Soeharto. Kepemimpinannya pun berakhir lewat krisis
politik.
Pemimpin Kebetulan
Kepemimpinan di masa sekarang sering dianggap
tidak jelas. Presiden dianggap tidak tegas dalam mengambil sikap.
Apakah presiden kita memang hanya pandai bercitra? Menggunakan politik pencitraan dengan
mencipta realitas semu dalam iklan, tentang senyumnya yang menawan,
perawakannya yang gagah, ucapannya yang santun, dan karakter militernya
yang amat sipil. Tentu kita pun mafhum dengan karakter seperti ini.
Sebuah karakter minus-kepemimpinan yang terbentuk, akibat pola politik
yang tidak jelas. Tidak jelas dalam artian hampa nilai, konsep dan
ideologi. Tidak jelas dalam artian murni pragmatisme “dagang sapi”.
Artinya, minus kepemimpinan memang dibentuk
oleh kondisi pluralisme politik Schumpeterian. Satu kondisi di mana
demokrasi hanya menjadi mekanisme kompetisi elit. Dalam situasi ini,
aktor, partai, kepentingan dan kekuatan politik bersifat plural. Ia
tidak hanya dimiliki oleh SBY dan partainya. Ia harus mendapat sokongan
dari kekuatan yang majemuk. Dari sini kita mafhum, kenapa SBY tetap
memelihara Golkar dan PKS dalam koalisi partai, padahal kedua partai ini
terbukti membelot dari kesepakatan koalisi dalam kasus hak angket pajak
kemarin. Jawabnya jelas: SBY sadar bahwa dalam politik pluralis, hal
terpenting adalah menjaga sokongan kekuatan dari dukungan yang majemuk.
Dalam kondisi ini, mustahil SBY bisa bersikap tegas. Alasan sederhana:
memperbanyak kawan, dengan menutupi kesalahan kawan-lawan. Ketegasan
dalam kepemimpinan menjadi mustahil, ketika politik hanya dimaknai
sebagai perawatan dukungan demi terjaganya kekuasaan. Akan ada banyak
pesanan kepentingan dari kawan-lawan yang membuat sang presiden,
mustahil bisa bersikap tegas.
Sementara itu pada tataran umum, kepemimpinan
menjadi utopia ketika rekrutmen pemimpin politik (partai) kita yang
masih mengandalkan “darah biru” dan simbol sang patron. Maka PDI-P akan
tetap menjadikan Megawati sebagai ketua umum partai dan calon presiden.
Alasan sederhana: meskipun Sang Ibu hampa konsep, bukan pemimpin yang
paham filsafat, etika, dan detail pemerintahan, namun ia adalah anak
Soekarno. Cukup itu saja menjadi modal bagi peraupan suara kaum Marhein.
Hal sama dengan Partai Demokrat yang akan tetap bernaung di bawah
bayangan besar SBY. Atau PKB dan Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia yang
tak mau lepas dari keramat Gus Dur. Juga Partai Golkar yang menciptakan
patron bagi mereka yang paling tinggi kekayaannya.
Rekrutmen kepemimpinan partai kita yang hanya
berlandas pada “keturunan biologis dan materilis” dan bukan “keturunan
konseptual” inilah yang memberangus karakter kepemimpinan dari para
ketua partai itu. Pemimpin politik kita tidak lahir dari perjalanan
panjang dalam terang pergulatan intelektual dan perjuangan demokrasi.
Para pemimpin kita adalah “pemimpin kebetulan”, kebetulan berada pada
garis keturuanan tokoh tertentu atau kebetulan mendapat restu dari sang
tokoh. Atau kebetulan ia adalah orang paling kaya di dalam partai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar