Minggu, 21 Agustus 2011

Mencari Kepemimpinan Otentik

Mencari Kepemimpinan Otentik

Politik kita saat ini hanya dijalankan oleh penguasa, bukan pemimpin. Kepemimpinan yang berkualitas sukar muncul dalam politik yang penuh tawar-menawar antar-elit, ketokohan yang mengandalkan “darah biru”, dengan modus operandi lewat politik pencitraan. Kepemimpinan yang berkualitas adalah kepemimpinan yang mampu menggerakkan, menjadi inspirasi bagi banyak orang. Kepemimpinan semacam itu tampak menjadi utopia di era ini karena kualitas politisi kita yang jauh dari etos kenegarawanan.
Sejarah Kepemimpinan
Jika puncak kepemimpinan di Indonesia adalah posisi presiden, maka hanya beberapa presiden Republik Indonesia yang kepemimpinannya memberi dampak kepada Indonesia, sebagai sebuah bangsa. Meskipun pada akhirnya sejarah pula yang membuktikan bahwa semuanya tidak mampu mempertahankan konsistensi kepemimpinan yang berdampak positif bagi nilai-nilai demokrasi dan kewarganegaraan.
Harus diakui bahwa Soekarno permah menjadi pemimpin yang inspiratif. Ia mampu menampung harapan sebagian besar bangsa Indonesia untuk mau menyatu menjadi satu bangsa yang merdeka. Ia mampu membakar rasa bangga sebagai bangsa Indonesia dengan pidatonya yang khas. Kerajaan-kerajaan di nusantara sebagai suatu sistem masyarakat yang sudah lebih dahulu ada, bersedia menyatu di bawah Negara Republik Indonesia berkat pendekatan dari Soekarno. Ia menggerakkan kepresidenan berdasar ide-ide besar. Soekarno adalah tipikal kepemimpinan politik berbasis ide yang sarwa besar. Maka sebagai “pemimpin idea”, Soekarno menggagas perlunya politik sebagai panglima, bahkan atas kebudayaan. Dengan ini, ia menggelar lembaran diskursif bagi pertarungan politik dalam kancah kebudayaan: haruskah kebudayaan mendaulat politik sebagai panglima, ataukah ia otonom sehingga bebas dari politik? Hingar-bingar dan cacian ideologis antara kubu LEKRA dan Manikebu ini, tentu tak akan terjadi di era Soeharto karena kebudayaan telah membirokrasi, atau di era SBY di mana budaya turun derajat menjadi jualan pariwisata. Soekarno mencoba sejumlah gagasan besar, menyatukan ideologi nasionalisme, agama dan komunisme. Dengan cerdas ia mengubah terma buruh Marxian menjadi kaum Marhein (marhaenisme). Di tengah ide-ide besar itu, ia mendaulat diri sebagai Pemimpin Besar Revolusi, menciptakan ide demokrasi terpimpin. Secara perlahan ia tidak lagi mendengar kritik dan mulai membungkam teman seperjalanan dalam perjuangan kemerdekaan yang dianggap menghambat jalannya revolusi.
Soeharto memiliki konsep jelas: pembangunan, tepatnya hanya pembangunan ekonomi. Sesaat ia memberikan dampak yang baik dalam era kepemimpinan bagi Indonesia. Ekonomi bertumbuh, pembangunan fisik infrastruktur juga berjalan. Pancasila sebagai ideologi bangsa menyebar luas di dalam sistem pendidikan nasional dan juga lewat jalur birokrasi pemerintah. Hampir semua warga negara merasakan dampak positif dari konsep pembangunan Orde Baru, terutama efek kontras terhadap orde sebelumnya. Meskipun demikian, kontrol yang berlebihan menciptakan pengekangan. Kita bertumbuh secara ekonomi tapi tak bertumbuh sebagai warga negara yang sehat. Bagi Soeharto pembangunan politik hanya menimbulkan konflik yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Itu sebabnya, kepemimpinannya berjalan secara totalitarian, mengontrol hampir semua aspek kehidupan warga negara, memberangus kebebasan, melakukan pelanggaran HAM. Pengekangan politik berdampak ke wilayah ekonomi, tidak boleh ada kekuatan ekonomi yang independen dari kekuasaan. Tidak heran jika pertumbuhan ekonomi yang diciptakannya bermasalah dalam hal distribusi. Ia terkumpul dilingkaran kroni dan menciptakan ketimpangan sosial. Terhambatnya arus demokrasi politik dan ekonomi menyebabkan demonstrasi besar yang memaksanya turun sebagai pemimpin di negara.
Era kepemimpinan Gus Dur memberi pelajaran hidup sebagai warga sipil. Ia memberi pembelajaran bahwa hidup dalam masyarakat yang beragam adalah hidup yang saling menghargai satu dengan lainnya dalam ruang kehidupan bersama. Ini yang mencirikan warga negara sebagai manusia yang beradab (sipil). Cara koersif tentunya perlu dikeluarkan dari ruang bersama yang mengutamakan dialog. Dengan kepemimpinan di tangannya Gus Dur berani mengambil keputusan yang beresiko secara politis. Dalam politik keberagaman, ia mengakui Kong Hu Cu, menjalin dialog hangat dengan kelompok agama lain, juga kepada korban stigma komunisme di Indonesia. Ia melontarkan gagasan yang paling sensitif dan dianggap sesat: membangkitkan Marxisme-Leninisme untuk bebas dipelajari kembali, melalui penghapusan TAP MPRS No. XXV/1966.Supremasi sipil ditegakkannya dengan menghapus Dwifungsi ABRI, arus informasi dibebaskan lewat pembubaran departemen penerangan, birokrasi koruptif dibersihkan dalam pembubaran departemen sosial. Dalam menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM, Gus Dur memancing banyak kontroversi, tapi kita tahu bahwa gagasan itu baik adanya bagi pembangunan karakter bangsa. Akan tetapi, kontroversi korupsi dari orang-orang di dekatnya, terlebih sebagai Presiden RI ia bertemu dengan narapidana Tommy Soeharto. Kepemimpinannya pun berakhir lewat krisis politik.
Pemimpin Kebetulan
Kepemimpinan di masa sekarang sering dianggap tidak jelas. Presiden dianggap tidak tegas dalam mengambil sikap. Apakah presiden kita memang hanya pandai bercitra? Menggunakan politik pencitraan dengan mencipta realitas semu dalam iklan, tentang senyumnya yang menawan, perawakannya yang gagah, ucapannya yang santun, dan karakter militernya yang amat sipil. Tentu kita pun mafhum dengan karakter seperti ini. Sebuah karakter minus-kepemimpinan yang terbentuk, akibat pola politik yang tidak jelas. Tidak jelas dalam artian hampa nilai, konsep dan ideologi. Tidak jelas dalam artian murni pragmatisme “dagang sapi”.
Artinya, minus kepemimpinan memang dibentuk oleh kondisi pluralisme politik Schumpeterian. Satu kondisi di mana demokrasi hanya menjadi mekanisme kompetisi elit. Dalam situasi ini, aktor, partai, kepentingan dan kekuatan politik bersifat plural. Ia tidak hanya dimiliki oleh SBY dan partainya. Ia harus mendapat sokongan dari kekuatan yang majemuk. Dari sini kita mafhum, kenapa SBY tetap memelihara Golkar dan PKS dalam koalisi partai, padahal kedua partai ini terbukti membelot dari kesepakatan koalisi dalam kasus hak angket pajak kemarin. Jawabnya jelas: SBY sadar bahwa dalam politik pluralis, hal terpenting adalah menjaga sokongan kekuatan dari dukungan yang majemuk. Dalam kondisi ini, mustahil SBY bisa bersikap tegas. Alasan sederhana: memperbanyak kawan, dengan menutupi kesalahan kawan-lawan. Ketegasan dalam kepemimpinan menjadi mustahil, ketika politik hanya dimaknai sebagai perawatan dukungan demi terjaganya kekuasaan. Akan ada banyak pesanan kepentingan dari kawan-lawan yang membuat sang presiden, mustahil bisa bersikap tegas.
Sementara itu pada tataran umum, kepemimpinan menjadi utopia ketika rekrutmen pemimpin politik (partai) kita yang masih mengandalkan “darah biru” dan simbol sang patron. Maka PDI-P akan tetap menjadikan Megawati sebagai ketua umum partai dan calon presiden. Alasan sederhana: meskipun Sang Ibu hampa konsep, bukan pemimpin yang paham filsafat, etika, dan detail pemerintahan, namun ia adalah anak Soekarno. Cukup itu saja menjadi modal bagi peraupan suara kaum Marhein. Hal sama dengan Partai Demokrat yang akan tetap bernaung di bawah bayangan besar SBY. Atau PKB dan Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia yang tak mau lepas dari keramat Gus Dur. Juga Partai Golkar yang menciptakan patron bagi mereka yang paling tinggi kekayaannya.
Rekrutmen kepemimpinan partai kita yang hanya berlandas pada “keturunan biologis dan materilis” dan bukan “keturunan konseptual” inilah yang memberangus karakter kepemimpinan dari para ketua partai itu. Pemimpin politik kita tidak lahir dari perjalanan panjang dalam terang pergulatan intelektual dan perjuangan demokrasi. Para pemimpin kita adalah “pemimpin kebetulan”, kebetulan berada pada garis keturuanan tokoh tertentu atau kebetulan mendapat restu dari sang tokoh. Atau kebetulan ia adalah orang paling kaya di dalam partai.
Indonesia memerlukan pemimpin yang kecakapannya lahir secara alamiah, melewati proses dan bukan garis tangan. Tolak ukurnya sederhana, seorang pemimpin dengan riwayat kerja profesional, kinerjanya mendapatkan pengakuan dari banyak pihak, baik bawahan, rekan sejawat atau pun lingkungan eksternalnya. Kepemimpinan otentik mampu menginspirasi. Ia mampu menggerakkan individu yang secara struktural berada di bawahnya yang bergerak berdasarkan tujuan bersama dan bukan instruksi semata. Mereka mau digerakkan karena melihat ketulusan dari sang pemimpin, kejelasan konsep dan kosnistensi dari kebijakan yang dijalankan, terlebih lagi keberanian mengambil tanggung jawab, tanpa mengorbankan bawahan. Pemimpin yang tidak mengambil keuntungan dari kekuasaan yang dipegangnya.

Tidak ada komentar: