Rabu, 10 Agustus 2011

Tanggung Jawab Seorang Pemimpin

Ya Allah, siapa yang sedikit saja menguasai urusan umatku, kemudian ia mempersulit mereka, maka sulitkanlah ia. Dan siapa yang sedikit saja mengurusi umatku, kemudian ia mengasihi mereka, maka kasihanilah ia.” (HR. Muslim: 3407)



Tanggung Jawab Seorang Pemimpin

Oleh : Dr. KH. Zakky Mubarak, MA



Artinya : Diberitakan dari Abdullah bin Umar, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda, “Kamu semua adalah pemelihara (pemimpin) dan bertanggung jawab kepada pemeliharaannya. Seorang imam adalah pemelihara, ia bertanggung jawab kepada pemeliharaannya. Seorang suami adalah pemelihara keluarganya, ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang istri adalah pemelihara di dalam rumah suaminya, ia bertanggung jawab kepada pemeliharaannya. Seorang pembantu adalah pemelihara harta majikannya, ia bertanggung jawab kepada pemeliharaannya.” Perawi berkata, “Aku menyangka bahwa Rasulullah sungguh bersabda, “Seorang lelaki (anak) adalah pemelihara harta ayahnya, ia bertanggung jawab kepada pemeliharaannya. Kamu semua adalah pemelihara dan bertanggung jawab kepada pemeliharaannya.” (HR. Mutafaq’alaih, al-Bukhari: 844 dan Muslim: 3408)

1. Definisi Pemimpin

Pemimpin atau pemelihara yang dalam hadis di atas disebut dengan kata “ra’in” adalah pemelihara yang selalu berusaha untuk menciptakan kemaslahatan bagi setiap anggota yang berada dalam pemeliharaannya. Ia adalah orang yang diberikan kepercayaan untuk mengurus dan memelihara segala sesuatu yang menjadi beban atau tugas yang harus dilaksanakannya (ra’iyyah).

Dari definisi di atas, tidak ada seorang pun yang tidak menjadi ra’in (pemimpin), meskipun ranah ra’iyyah yang diembannya berbeda-beda. Masing-masing dari mereka memiliki tanggung jawab untuk berbuat baik dan menciptakan kemaslahatan bagi semua yang berada di bawah pemeliharaannya. Kepala negara bertanggung jawab kepada rakyatnya, kepala sekolah bertanggung jawab kepada staff guru dan murid-muridnya, kepala keluarga bertanggung jawab kepada istri dan anak-anaknya, dan lain sebagainya. Bahkan seorang anak, tukang, pedagang, petani, atau pelayan sekalipun, mereka bertanggung jawab kepada wilayah pemeliharaannya (ra’iyyah). Apabila seorang ra’in tersebut dapat mengemban dan menjalankan fungsinya untuk menjaga dan memelihara ra’iyyahnya, maka ia benar-benar telah menjalankan amanat Allah sebagai khalifah di muka bumi ini. Kata ra’iyyah (yang dipimpin) kemudian diambil menjadi kosa-kata dalam Bahasa Indonesia dengan arti rakyat. Maka tersebutlah ada pemimpin (ra’in) dan ada rakyat (ra’iyyah).

2. Tugas Seorang Pemimpin

Seorang pemimpin, baik sebagai kepala negara, raja, gubernur, walikota, bupati, camat, kepala desa,RW, RT maupun yang lainnya, didaulat penuh oleh rakyat untuk mengemban amanah sebaik-baiknya. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus senantiasa menegakkan supremasi hukum dengan adil dan bijaksana, memberikan hak-hak rakyat, menjamin kemerdekaan berpendapat, berserikat, menjalankan ibadah menurut keyakinan mereka masing-masing. Mereka juga harus mendukung setiap langkah yang positif untuk membangun bangsa yang beradab, adil, dan sejahtera.

Selain itu, ia juga harus memperhatikan tuntutan nurani rakyat, menjaga keamanan dan kenyamanan mereka dari segala gangguan dan ancaman, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar wilayah kekuasaannya. Dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya, ia harus mempertanggung-jawabkan semuanya itu di hadapan Allah s.w.t.. Demikian beratnya tugas seorang pemimpin, Umar bin Abdul Aziz, salah seorang Khalifah Dinasta Umayah yanga arif dan bijaksana, ketika didaulat sebagai Khalifah, kalimat yang pertama kali ia katakan adalah “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”, kalimat istirja’ yang diucapkan ketika menerima suatu musibah. Bagi dirinya, jabatan pemimpin (khalifah) bukan suatu anugerah yang harus dibanggakan, melainkan amanah rakyat yang harus ia tunaikan dengan jujur, adil, dan bijaksana. Tepat sekali apa yang dikatakan seorang ahli politik nasional, Andi Mallarangeng, “The state that never sleep” (negara yang tak pernah tidur) untuk kinerja pemerintah yang tak mengenal lelah bekerja keras demi merealisasikan kemaslahatan umat, mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, aman, dan sejahtera.

3. Pemimpin yang Dzalim

Kesan pemimpin adalah sosok yang kharismatik bagi rakyatnya, ditangannyalah, segala kebijakan menyangkut nasib rakyat ditentukan. Pemimpin yang adil tentu akan membawa rakyatnya kepada kesejahteraan. Sedangkan pemimpin yang dzalim (otoriter) akan membawa mereka kepada kesengsaraan yang berkepanjangan. Banyak negara yang sejahtera karena dipimpin oleh presiden yang adil, tetapi kemudian runtuh dan sengsara karena dilimpahkan kepada generasi penerusnya yang dzalim. Oleh karena itu, tepat sekali apa yang dicantumkan dalam sebuah kaidah fiqh: “Kebijakan seorang imam harus berdasarkan pada kemaslahatan masyarakatnya.” Dengan demikian, barometer kebijakan seorang pemimpin, bukanlah nafsu kekuasaan yang bersifat politis, melainkan amanat rakyat yang diembankan kepadanya. Apabila seorang pemimpin tidak memperhatikan nasib rakyatnya, bahkan ia menzalimi mereka dengan melakukan tindakan-tindakan yang merugikan kepentingan bersama, maka ia termasuk pemimpin yang tidak jujur.

Ketidakjujuran seorang pemimpin terlihat dari perilakunya yang lalai dalam menunaikan hak-hak rakyatnya. Ia sering memanipulasi kepentingan mereka demi kepentingannya pribadi. Bahkan ia tak segan memeras keringat rakyat dan memakan harta milik mereka dalam bentuk korupsi dan kolusi serta penyalahgunaan kekuasaan. Pemimpin seperti ini akan menanggung dosa umat dan bangsa secara keseluruhan. Di dunia, ia akan dijerat oleh hukum negara atas tindakannya yang berbuat aniaya semasa berkuasa. Dan di akhirat nanti, ia akan mendapat siksa yang menyakitkan. Dalam hal ini, Sahabat Ma’qil bin Yasar al-Muzanni menjelang wafatnya menyampaikan sebuah hadis sebagai berikut:

Artinya : “Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda, “Tidak ada seorang hamba yang diamanatkan oleh Allah untuk mengurusi rakyatnya, kemudian ia meninggal dalam keadaan sedang menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan sorga baginya.” (HR. al-Bukhari: 6618 dan Muslim: 203)

Lebih jauh lagi, seorang pemimpin hendaknya selalu memberikan kemudahan bagi masyarakat yang dipimpinnya, bukan malah mempersulitnya. Oleh karena itu, pantas sekali jika pemimpin yang mempermudah urusan umatnya di dunia, maka Allah akan mempermudah urusannya nanti di akhirat. Tetapi, jika ia mempersulit atau menunda-nunda amanah yang diembannya, sehingga menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat yang berkepanjangan, maka Allah s.w.t. akan mempersulit kebutuhannya nanti di akhirat. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis:

Artinya : Diberitakan dari Aisyah ra, Rasulullah s.a.w. bersabda, “Ya Allah, siapa yang sedikit saja menguasai urusan umatku, kemudian ia mempersulit mereka, maka sulitkanlah ia. Dan siapa yang sedikit saja mengurusi umatku, kemudian ia mengasihi mereka, maka kasihanilah ia.” (HR. Muslim: 3407)

Hadis ini ditegaskan juga oleh sebuah riwayat dari Abu Maryam al-Azdiy, Rasulullah s.a.w. bersabda:

Artinya : “Siapa yang telah dikuasakan oleh Allah untuk memegang sebuah urusan kaum muslimin, kemudian ia menghalangi kepentingan dan kebutuhan mereka, maka Allah akan menghalangi kepentingan dan kebutuhannya..” (HR. Abu Dawud: 2559)

Abu Awwanah dalam Shahih-nya menegaskan bahwa pemimpin demikian itu akan memperoleh bahlatullah, yakni laknat Allah (Fatchurrahman:1966:132

Tidak ada komentar: