Tanggung Jawab Seorang Pemimpin
Ya Allah, siapa yang
sedikit saja menguasai urusan umatku, kemudian ia mempersulit mereka,
maka sulitkanlah ia. Dan siapa yang sedikit saja mengurusi umatku,
kemudian ia mengasihi mereka, maka kasihanilah ia.” (HR. Muslim: 3407)
Tanggung Jawab Seorang Pemimpin
Oleh : Dr. KH. Zakky
Mubarak, MA
Artinya : Diberitakan dari Abdullah bin
Umar, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda, “Kamu semua
adalah pemelihara (pemimpin) dan bertanggung jawab kepada
pemeliharaannya. Seorang imam adalah pemelihara, ia bertanggung jawab
kepada pemeliharaannya. Seorang suami adalah pemelihara keluarganya, ia
bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang istri adalah
pemelihara di dalam rumah suaminya, ia bertanggung jawab kepada
pemeliharaannya. Seorang pembantu adalah pemelihara harta majikannya, ia
bertanggung jawab kepada pemeliharaannya.” Perawi berkata, “Aku
menyangka bahwa Rasulullah sungguh bersabda, “Seorang lelaki (anak)
adalah pemelihara harta ayahnya, ia bertanggung jawab kepada
pemeliharaannya. Kamu semua adalah pemelihara dan bertanggung jawab
kepada pemeliharaannya.” (HR. Mutafaq’alaih, al-Bukhari: 844 dan Muslim:
3408)
1. Definisi Pemimpin
Pemimpin atau pemelihara
yang dalam hadis di atas disebut dengan kata “ra’in” adalah pemelihara
yang selalu berusaha untuk menciptakan kemaslahatan bagi setiap anggota
yang berada dalam pemeliharaannya. Ia adalah orang yang diberikan
kepercayaan untuk mengurus dan memelihara segala sesuatu yang menjadi
beban atau tugas yang harus dilaksanakannya (ra’iyyah).
Dari
definisi di atas, tidak ada seorang pun yang tidak menjadi ra’in
(pemimpin), meskipun ranah ra’iyyah yang diembannya berbeda-beda.
Masing-masing dari mereka memiliki tanggung jawab untuk berbuat baik dan
menciptakan kemaslahatan bagi semua yang berada di bawah
pemeliharaannya. Kepala negara bertanggung jawab kepada rakyatnya,
kepala sekolah bertanggung jawab kepada staff guru dan murid-muridnya,
kepala keluarga bertanggung jawab kepada istri dan anak-anaknya, dan
lain sebagainya. Bahkan seorang anak, tukang, pedagang, petani, atau
pelayan sekalipun, mereka bertanggung jawab kepada wilayah
pemeliharaannya (ra’iyyah). Apabila seorang ra’in tersebut dapat
mengemban dan menjalankan fungsinya untuk menjaga dan memelihara
ra’iyyahnya, maka ia benar-benar telah menjalankan amanat Allah sebagai
khalifah di muka bumi ini. Kata ra’iyyah (yang dipimpin) kemudian
diambil menjadi kosa-kata dalam Bahasa Indonesia dengan arti rakyat.
Maka tersebutlah ada pemimpin (ra’in) dan ada rakyat (ra’iyyah).
2.
Tugas Seorang Pemimpin
Seorang pemimpin, baik sebagai kepala
negara, raja, gubernur, walikota, bupati, camat, kepala desa,RW, RT
maupun yang lainnya, didaulat penuh oleh rakyat untuk mengemban amanah
sebaik-baiknya. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus senantiasa
menegakkan supremasi hukum dengan adil dan bijaksana, memberikan hak-hak
rakyat, menjamin kemerdekaan berpendapat, berserikat, menjalankan
ibadah menurut keyakinan mereka masing-masing. Mereka juga harus
mendukung setiap langkah yang positif untuk membangun bangsa yang
beradab, adil, dan sejahtera.
Selain itu, ia juga harus
memperhatikan tuntutan nurani rakyat, menjaga keamanan dan kenyamanan
mereka dari segala gangguan dan ancaman, baik yang berasal dari dalam
maupun dari luar wilayah kekuasaannya. Dengan kekuatan dan kekuasaan
yang dimilikinya, ia harus mempertanggung-jawabkan semuanya itu di
hadapan Allah s.w.t.. Demikian beratnya tugas seorang pemimpin, Umar bin
Abdul Aziz, salah seorang Khalifah Dinasta Umayah yanga arif dan
bijaksana, ketika didaulat sebagai Khalifah, kalimat yang pertama kali
ia katakan adalah “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”, kalimat
istirja’ yang diucapkan ketika menerima suatu musibah. Bagi dirinya,
jabatan pemimpin (khalifah) bukan suatu anugerah yang harus dibanggakan,
melainkan amanah rakyat yang harus ia tunaikan dengan jujur, adil, dan
bijaksana. Tepat sekali apa yang dikatakan seorang ahli politik
nasional, Andi Mallarangeng, “The state that never sleep” (negara yang
tak pernah tidur) untuk kinerja pemerintah yang tak mengenal lelah
bekerja keras demi merealisasikan kemaslahatan umat, mewujudkan
masyarakat yang adil, makmur, aman, dan sejahtera.
3.
Pemimpin yang Dzalim
Kesan pemimpin adalah sosok yang
kharismatik bagi rakyatnya, ditangannyalah, segala kebijakan menyangkut
nasib rakyat ditentukan. Pemimpin yang adil tentu akan membawa rakyatnya
kepada kesejahteraan. Sedangkan pemimpin yang dzalim (otoriter) akan
membawa mereka kepada kesengsaraan yang berkepanjangan. Banyak negara
yang sejahtera karena dipimpin oleh presiden yang adil, tetapi kemudian
runtuh dan sengsara karena dilimpahkan kepada generasi penerusnya yang
dzalim. Oleh karena itu, tepat sekali apa yang dicantumkan dalam sebuah
kaidah fiqh: “Kebijakan seorang imam harus berdasarkan pada kemaslahatan
masyarakatnya.” Dengan demikian, barometer kebijakan seorang pemimpin,
bukanlah nafsu kekuasaan yang bersifat politis, melainkan amanat rakyat
yang diembankan kepadanya. Apabila seorang pemimpin tidak memperhatikan
nasib rakyatnya, bahkan ia menzalimi mereka dengan melakukan
tindakan-tindakan yang merugikan kepentingan bersama, maka ia termasuk
pemimpin yang tidak jujur.
Ketidakjujuran seorang pemimpin
terlihat dari perilakunya yang lalai dalam menunaikan hak-hak rakyatnya.
Ia sering memanipulasi kepentingan mereka demi kepentingannya pribadi.
Bahkan ia tak segan memeras keringat rakyat dan memakan harta milik
mereka dalam bentuk korupsi dan kolusi serta penyalahgunaan kekuasaan.
Pemimpin seperti ini akan menanggung dosa umat dan bangsa secara
keseluruhan. Di dunia, ia akan dijerat oleh hukum negara atas
tindakannya yang berbuat aniaya semasa berkuasa. Dan di akhirat nanti,
ia akan mendapat siksa yang menyakitkan. Dalam hal ini, Sahabat Ma’qil
bin Yasar al-Muzanni menjelang wafatnya menyampaikan sebuah hadis
sebagai berikut:
Artinya : “Aku mendengar Rasulullah s.a.w.
bersabda, “Tidak ada seorang hamba yang diamanatkan oleh Allah untuk
mengurusi rakyatnya, kemudian ia meninggal dalam keadaan sedang menipu
rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan sorga baginya.” (HR. al-Bukhari:
6618 dan Muslim: 203)
Lebih jauh lagi, seorang pemimpin
hendaknya selalu memberikan kemudahan bagi masyarakat yang dipimpinnya,
bukan malah mempersulitnya. Oleh karena itu, pantas sekali jika
pemimpin yang mempermudah urusan umatnya di dunia, maka Allah akan
mempermudah urusannya nanti di akhirat. Tetapi, jika ia mempersulit atau
menunda-nunda amanah yang diembannya, sehingga menimbulkan kesengsaraan
dan penderitaan rakyat yang berkepanjangan, maka Allah s.w.t. akan
mempersulit kebutuhannya nanti di akhirat. Hal ini sebagaimana
disebutkan dalam sebuah hadis:
Artinya : Diberitakan dari
Aisyah ra, Rasulullah s.a.w. bersabda, “Ya Allah, siapa yang sedikit
saja menguasai urusan umatku, kemudian ia mempersulit mereka, maka
sulitkanlah ia. Dan siapa yang sedikit saja mengurusi umatku, kemudian
ia mengasihi mereka, maka kasihanilah ia.” (HR. Muslim: 3407)
Hadis ini ditegaskan juga oleh sebuah riwayat dari Abu Maryam
al-Azdiy, Rasulullah s.a.w. bersabda:
Artinya : “Siapa yang
telah dikuasakan oleh Allah untuk memegang sebuah urusan kaum muslimin,
kemudian ia menghalangi kepentingan dan kebutuhan mereka, maka Allah
akan menghalangi kepentingan dan kebutuhannya..” (HR. Abu Dawud: 2559)
Abu
Awwanah dalam Shahih-nya menegaskan bahwa pemimpin demikian itu akan
memperoleh bahlatullah, yakni laknat Allah (Fatchurrahman:1966:132
Tidak ada komentar:
Posting Komentar