Senin, 08 Agustus 2011

Korupsi Struktural

Pemberantasan korupsi adalah semangat seluruh rakyat maka pihak yang melakukan pemberantasan korupsi setuntas-tuntasnya akan didukung oleh seluruh rakyat
Semua orang sudah tentu mengenal ular. Ular termasuk binatang yang menakutkan serta menyakitkan bahkan bisa menimbulkan kematian. Sering kali, ketika bertemu dengan ular, respon kita ada dua, memukulnya hingga mati atau membiarkannya karena ketidakberanian untuk membunuhnya. Jelas kalau, kebanyakan orang responnya adalah tidak menyukai ular.
Binatang ular ini bisa kita analogikan seperti seorang koruptor. Koruptor sangat tidak disukai semua orang. Akan tetapi, bentuk ketidaksukaan kita tersebut sering hanya terpendam dalam diri kita dengan sikap pasrah menerima perlakuan yang dilakukan koruptor tersebut dan hanya berharap bahwa kita tidak dirugikan atau kita turut dalam menikmati kemenangan Sang koruptor.
Melek Korupsi, Marak Koruptor
Wacana korupsi dan pemberantasannya adalah wacana yang mengawali jaman Reformasi. Pada tahun 1998, ketika masa penggulingan kekuasaan Soeharto, hal pertama sebagai langkah tindak lanjut pemberian hukuman kepada Soeharto adalah mengungkit kasus korupsi yang dilakukannya selama menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Sejak saat itu, bangsa ini seakan melek korupsi. Korupsi menjadi kejahatan yang tidak bisa mendapat pengampunan karena tindakan tersebut sama saja telah membohongi semua orang—dalam lingkungan kasus korupsinya. Jika koruptornya adalah Gubernur maka koruptor tersebut telah menipu masyarakat satu provinsi. Kalau koruptornya adalah seorang Menteri berarti koruptor tersebut telah menipu seluruh masyarakat satu negara.
Korupsi sama saja dengan penindasan, kesemena-menaan, serta pembodohan kepada masyarakat. Seharusnya pemahaman seperti ini melekat pada diri kita sebagai kaum awam sehingga tidak ada pengampunan bagi para koruptor. Selain itu, kita dapat dengan suara lantang untuk melawan dan menindak para koruptor serta kita tidak turut dalam melakukan tindakan tercela itu.
Melek korupsi saat ini, sepertinya bertentangan dengan kenyataannya. Masyarakat semakin paham bahwa korupsi merupakan tindakan yang tidak benar dan paham akan bagaimana ciri-ciri tindakan korupsi. Akan tetapi, koruptor malah marak dimana-mana. Persoalan korupsi menjadi masalah yang tidak ada ujung penyelesaiannya.
Instansi menjadi ladang subur bagi terjadinya korupsi, baik itu instansi pemerintah maupun milik swasta. Untuk instansi milik swasta punya pribadi tidak menjadi sebuah masalah yang akut saat ini, sebab hak dan wewenang dalam instansi tergantung pemiliknya, asal saja tidak merugikan hak para pekerjanya maka tidak jadi masalah.
Instansi yang sarat terjadinya korupsi adalah instansi pemerintah sebab hak dan wewenang para birokrat di instansi pemerintah sudah tentu akan berkaitan dengan masyarakat. Instansi tersebut berdiri karena sumbangsih masyarakat, bisa dikatakan bahwa perputaran uang dan kekuasaan dalam instansi tersebut sangat dipengaruhi oleh masyarakat.
Oleh karena itu, masyarakat menjadi sebuah mainan demokrasi untuk mencapai harta dan kekuasaan yang ada di instansi pemerintah. Masyarakat memperoleh iming-iming kehidupan yang lebih baik, eh malah ditelantarkan demi memuaskan ke-ego-an sebagai manusia duniawi.
Kenyataan maraknya korupsi semakin mengkhawatirkan. Semua instansi telah mengidap korupsi, baik yang di Pusat maupun di Daerah. Seperti sebuah ‘gunung es’, di permukaan hanya kasus korupsi kecil-kecilan yang terlihat, padahal kasus tersebut di topang oleh kasus yang lebih besar lagi.
Sama seperti kasus-kasus sekarang ini, mulai dari kasus Bank Century oleh Robert Tantular yang menyeret nama RI 2, kasus Gayus yang tidak ada ujung tanduknya hingga kasus Nazarudin yang menghebohkan partai penguasa serta seakan menantang para penegak hukum di negeri ini.
Ke-akut-an masalah korupsi telah memasuki wacana baru—stok lama. Terjadi korupsi massal dalam suatu instansi. Korupsi massal menjadi sebuah kekuatan yang sulit diungkap. Orang-orang satu instansi jadi ‘kotor’ semuanya. Semua terlibat korupsi maka semua saling menguatkan untuk menutupi kasus tersebut. Kita saksikan saja bagaimana korupsi yang sering terjadi jika diungkap akan menyeret kasus korupsi yang lainnya bahkan sampai ke instansi lain.
Top Down
Akhir-akhir ini, kita kecewa mendengar pemberitaan mengenai penanganan korupsi hanya terputus pada koruptor kelas ‘curut’ saja. Sudah jelas bahwa ada koruptor yang lebih besar dari koruptor ‘kelas curut’ tersebut, tetapi tetap saja energi penegakan hukum dihabiskan sengaja dihabiskan untuk memberangus koruptor kecil-kecilan tersebut. sama saja itu dengan perbuatan yang sia-sia.
Masyarakat menanti dengan gemas untuk mendengar kabar penangkapan koruptor ‘kelas laba-laba’. Eh, malah ceritanya sudah berakhir ketika koruptor ‘kelas curut’ tersebut di jatuhi hukuman. Masyarakat pun tidak puas dengan kinerja yang seperti itu, malah membuat prasangka negatif muncul, dan dengan tabah memakluminya.
Sampai kapan ya koruptor benar-benar tidak ada lagi? Mungkin inilah pertanyaan renungan yang sangat mudah dijawab dengan situasi saat ini. Koruptor akan tetap ada.
Korupsi telah merusak semua sistem negara ini dan malah menjadi tren. Seorang pemimpin tidak akan disegani jika hanya memakai motor datang ke kantor sehingga pemimpin tersebut mencari celah—memang mudah menemukan celah—untuk memuluskan niatnya tersebut sehingga esoknya dia sudah bisa menikmati AC dalam mobil pribadinya.
Pemberantasan korupsi sama seperti membunuh ular. Jika ekor ular yang kita pukul maka kita akan mati karena kepalanya akan menggigit kita. Sama halnya dengan pemberantasan korupsi, jika pemberantasannya hanya berhenti pada koruptor ‘kelas curut’, berhati-hatilah sebab koruptor ‘kelas laba-laba’ akan datang menyengat dan membunuh kita.
Seharusnya, pengusutan koruptor ‘kelas curut’ bukanlah untuk menemukan kesalahannya sehingga ada jerat hukum yang tepat untuk menghukum koruptor tersebut, tetapi harus lebih difokuskan untuk mengetahui siapa dan di mana koruptor ‘kelas laba-labanya’ berada, jangan sampai dia hanya meninggalkan jaringnya yang membuat kita repot padahal laba-labanya sendiri telah lari.
Demikian juga dengan para pemberantasnya, hendaknya tidak memakai instansi yang memiliki kepentingan yang sama. Misalkan, jika yang terjadi korupsi adalah di instansi Kementerian, janganlah diselesaikan oleh aparat Kepolisian, jelas bahwa kedua instansi tersebut di bawah satu ‘payung’ kepentingan yaitu kepentingan pemerintah.
Lebih tepat jika pemberantasan korupsi yang ada dengan memaksimalkan instansi independen seperti Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) atau lembaga penegakan hukum yang bersifat independen lainnya, dengan catatan tidak menunjukkan kelemahan untuk menjerat instansi pemerintah.
Sebab saat ini, lembaga penegakan hukum yang bersifat independen malah menjadi ‘payung’ kepentingan pemerintah, padahal lembaga tersebut sedang mengusut kasus korupsi yang terjadi dalam instansi pemerintah. Eh, malah lembaga hukum tersebut turut mencari celah agar kasus korupsi yang sedang ditangani tidak merebak sampai keatas ‘singasana’ pemerintahan.
Pemberantasan korupsi adalah semangat seluruh rakyat maka pihak yang melakukan pemberantasan korupsi setuntas-tuntasnya akan didukung oleh seluruh rakyat. Ini negara demokrasi yang pemerintahan tertingginya ditangan rakyat. Sengatan ular dan otak licik laba-laba bisa kita lawan dengan kekuatan masyarakat. Hendaknya masyarakat tidak lelah untuk melakukannya meskipun akan tetap ada koruptor, karena selagi ada uang dan kekuasaan dalan instansi pemerintah maka disitu pula akan berkembang dengan subur ‘virus korupsi’.
Seruan Kepada Lembaga Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi : Jangan takut mengungkap dan menangkap koruptor ‘kelas’ apapun itu, segenap rakyat mendukungmu. ***** ( Rindu Rumapea : Penulis adalah Peminat masalah sosial dan aktif di Perkamen dan UKMKP UNIMED )

Tidak ada komentar: