Semua
orang sudah tentu mengenal ular. Ular termasuk binatang yang menakutkan
serta menyakitkan bahkan bisa menimbulkan kematian. Sering kali, ketika
bertemu dengan ular, respon kita ada dua, memukulnya hingga mati atau
membiarkannya karena ketidakberanian untuk membunuhnya. Jelas kalau,
kebanyakan orang responnya adalah tidak menyukai ular.
Binatang
ular ini bisa kita analogikan seperti seorang koruptor. Koruptor sangat
tidak disukai semua orang. Akan tetapi, bentuk ketidaksukaan kita
tersebut sering hanya terpendam dalam diri kita dengan sikap pasrah
menerima perlakuan yang dilakukan koruptor tersebut dan hanya berharap
bahwa kita tidak dirugikan atau kita turut dalam menikmati kemenangan
Sang koruptor.
Melek Korupsi, Marak Koruptor
Wacana
korupsi dan pemberantasannya adalah wacana yang mengawali jaman
Reformasi. Pada tahun 1998, ketika masa penggulingan kekuasaan Soeharto,
hal pertama sebagai langkah tindak lanjut pemberian hukuman kepada
Soeharto adalah mengungkit kasus korupsi yang dilakukannya selama menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Sejak
saat itu, bangsa ini seakan melek korupsi. Korupsi menjadi kejahatan
yang tidak bisa mendapat pengampunan karena tindakan tersebut sama saja
telah membohongi semua orang—dalam lingkungan kasus korupsinya. Jika
koruptornya adalah Gubernur maka koruptor tersebut telah menipu
masyarakat satu provinsi. Kalau koruptornya adalah seorang Menteri
berarti koruptor tersebut telah menipu seluruh masyarakat satu negara.
Korupsi
sama saja dengan penindasan, kesemena-menaan, serta pembodohan kepada
masyarakat. Seharusnya pemahaman seperti ini melekat pada diri kita
sebagai kaum awam sehingga tidak ada pengampunan bagi para koruptor.
Selain itu, kita dapat dengan suara lantang untuk melawan dan menindak
para koruptor serta kita tidak turut dalam melakukan tindakan tercela
itu.
Melek
korupsi saat ini, sepertinya bertentangan dengan kenyataannya.
Masyarakat semakin paham bahwa korupsi merupakan tindakan yang tidak
benar dan paham akan bagaimana ciri-ciri tindakan korupsi.
Akan tetapi, koruptor malah marak dimana-mana. Persoalan korupsi menjadi
masalah yang tidak ada ujung penyelesaiannya.
Instansi
menjadi ladang subur bagi terjadinya korupsi, baik itu instansi
pemerintah maupun milik swasta. Untuk instansi milik swasta punya
pribadi tidak menjadi sebuah masalah yang akut saat ini, sebab hak dan
wewenang dalam instansi tergantung pemiliknya, asal saja tidak merugikan
hak para pekerjanya maka tidak jadi masalah.
Instansi
yang sarat terjadinya korupsi adalah instansi pemerintah sebab hak dan
wewenang para birokrat di instansi pemerintah sudah tentu akan berkaitan
dengan masyarakat. Instansi tersebut berdiri karena sumbangsih
masyarakat, bisa dikatakan bahwa perputaran uang dan kekuasaan dalam
instansi tersebut sangat dipengaruhi oleh masyarakat.
Oleh
karena itu, masyarakat menjadi sebuah mainan demokrasi untuk mencapai
harta dan kekuasaan yang ada di instansi pemerintah. Masyarakat
memperoleh iming-iming kehidupan yang lebih baik, eh malah ditelantarkan
demi memuaskan ke-ego-an sebagai manusia duniawi.
Kenyataan maraknya korupsi semakin mengkhawatirkan.
Semua instansi telah mengidap korupsi, baik yang di Pusat maupun di
Daerah. Seperti sebuah ‘gunung es’, di permukaan hanya kasus korupsi
kecil-kecilan yang terlihat, padahal kasus tersebut di topang oleh kasus
yang lebih besar lagi.
Sama
seperti kasus-kasus sekarang ini, mulai dari kasus Bank Century oleh
Robert Tantular yang menyeret nama RI 2, kasus Gayus yang tidak ada
ujung tanduknya hingga kasus Nazarudin yang menghebohkan partai penguasa
serta seakan menantang para penegak hukum di negeri ini.
Ke-akut-an
masalah korupsi telah memasuki wacana baru—stok lama. Terjadi korupsi
massal dalam suatu instansi. Korupsi massal menjadi sebuah kekuatan yang
sulit diungkap. Orang-orang satu instansi jadi ‘kotor’ semuanya. Semua
terlibat korupsi maka semua saling menguatkan untuk menutupi kasus
tersebut. Kita saksikan saja bagaimana korupsi yang sering terjadi jika
diungkap akan menyeret kasus korupsi yang lainnya bahkan sampai ke
instansi lain.
Top Down
Akhir-akhir
ini, kita kecewa mendengar pemberitaan mengenai penanganan korupsi
hanya terputus pada koruptor kelas ‘curut’ saja. Sudah jelas bahwa ada
koruptor yang lebih besar dari koruptor ‘kelas curut’ tersebut, tetapi
tetap saja energi penegakan hukum dihabiskan sengaja dihabiskan untuk
memberangus koruptor kecil-kecilan tersebut. sama saja itu dengan
perbuatan yang sia-sia.
Masyarakat menanti dengan gemas untuk mendengar kabar penangkapan koruptor
‘kelas laba-laba’. Eh, malah ceritanya sudah berakhir ketika koruptor
‘kelas curut’ tersebut di jatuhi hukuman. Masyarakat pun tidak puas
dengan kinerja yang seperti itu, malah membuat prasangka negatif muncul,
dan dengan tabah memakluminya.
Sampai
kapan ya koruptor benar-benar tidak ada lagi? Mungkin inilah pertanyaan
renungan yang sangat mudah dijawab dengan situasi saat ini. Koruptor
akan tetap ada.
Korupsi
telah merusak semua sistem negara ini dan malah menjadi tren. Seorang
pemimpin tidak akan disegani jika hanya memakai motor datang ke kantor
sehingga pemimpin tersebut mencari celah—memang mudah menemukan
celah—untuk memuluskan niatnya tersebut sehingga esoknya dia sudah bisa
menikmati AC dalam mobil pribadinya.
Pemberantasan
korupsi sama seperti membunuh ular. Jika ekor ular yang kita pukul maka
kita akan mati karena kepalanya akan menggigit kita. Sama halnya dengan
pemberantasan korupsi, jika pemberantasannya hanya berhenti pada
koruptor ‘kelas curut’, berhati-hatilah sebab koruptor ‘kelas laba-laba’
akan datang menyengat dan membunuh kita.
Seharusnya,
pengusutan koruptor ‘kelas curut’ bukanlah untuk menemukan kesalahannya
sehingga ada jerat hukum yang tepat untuk menghukum koruptor tersebut,
tetapi harus lebih difokuskan untuk mengetahui siapa dan di mana
koruptor ‘kelas laba-labanya’ berada, jangan sampai dia hanya
meninggalkan jaringnya yang membuat kita repot padahal laba-labanya
sendiri telah lari.
Demikian
juga dengan para pemberantasnya, hendaknya tidak memakai instansi yang
memiliki kepentingan yang sama. Misalkan, jika yang terjadi korupsi
adalah di instansi Kementerian, janganlah diselesaikan oleh aparat
Kepolisian, jelas bahwa kedua instansi tersebut di bawah satu ‘payung’
kepentingan yaitu kepentingan pemerintah.
Lebih
tepat jika pemberantasan korupsi yang ada dengan memaksimalkan instansi
independen seperti Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) atau lembaga
penegakan hukum yang bersifat independen lainnya, dengan catatan tidak
menunjukkan kelemahan untuk menjerat instansi pemerintah.
Sebab
saat ini, lembaga penegakan hukum yang bersifat independen malah
menjadi ‘payung’ kepentingan pemerintah, padahal lembaga tersebut sedang
mengusut kasus korupsi yang terjadi dalam instansi pemerintah. Eh,
malah lembaga hukum tersebut turut mencari celah agar kasus korupsi yang
sedang ditangani tidak merebak sampai keatas ‘singasana’ pemerintahan.
Pemberantasan
korupsi adalah semangat seluruh rakyat maka pihak yang melakukan
pemberantasan korupsi setuntas-tuntasnya akan didukung oleh seluruh
rakyat. Ini negara demokrasi yang pemerintahan tertingginya ditangan
rakyat. Sengatan ular dan otak licik laba-laba bisa kita lawan dengan
kekuatan masyarakat. Hendaknya masyarakat tidak lelah untuk melakukannya
meskipun akan tetap ada koruptor, karena selagi ada uang dan kekuasaan
dalan instansi pemerintah maka disitu pula akan berkembang dengan subur
‘virus korupsi’.
Seruan
Kepada Lembaga Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi : Jangan takut
mengungkap dan menangkap koruptor ‘kelas’ apapun itu, segenap rakyat
mendukungmu. ***** ( Rindu Rumapea : Penulis adalah Peminat masalah sosial dan aktif di Perkamen dan UKMKP UNIMED )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar