Oleh Dian Kurnia
Amanat atau tanggungjawab adalah suatu
bentuk keharusan yang dimiliki oleh makhluk yang bernama manusia. Allah
SWT menjadikan manusia di muka bumi ini lengkap dengan amanat dan
tanggungjawab yang harus dipikulnya, yakni sebagai khalifatu fil
ardhi. Hal ini sesuai dan sejalan dengan firman-Nya yang termaktub
dalam Al-Qur’an al-Karimyang berbunyi:
“Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi.” Mereka (malaikat) menjawab, “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman,
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
(Q.S. Al-Baqarah, ayat 30)
Khalifah atau pemimpin dalam konsep
kemanusiaan adalah sebuah konsep yang bersifat multiarti. Kita sering
menyebutnya dengan istilah pimpinan. Dalam skala kecil, kita menggunakan
konsep pemimpin dalam arti memimpin diri sendiri. Setiap gerak, tindak
tanduk, pola tingkah laku yang kita lakukan adalah merupakan komando
diri kita sendiri sehingga ada pernyataan yang menyatakan bahwa setiap insan
(pribadi) adalah pemimpin bagi diri mereka masing-masing.
Dalam konteks kenegaraan, konsep
pemimpin selalu diidentikan dengan jabatan presiden misalnya, anggota
DPR/MPR, dan jabatan tinggi Negara lainnya. Pemimpin dalam artian ini
adalah mereka yang memiliki tanggungjawab memimpin atas apa yang menjadi
amanat tanggungannya. Masyarakat sebagai amanat tanggungjawab bagi
presiden (baca: pemimpin) harus diporsikan secara adil dan bijaksana.
Dalam sebuah hadits telah disebutkan: “Apabila amanat
disia-siakan, maka tunggulah saat kehancurannya. Salah seorang sahabat
bertanya: “Bagaimanakah menyia-nyiakan amanat hai Rasulullah?”
Rasulullah SAW menjawab: “Apabila amanat diserahkan kepada orang yang
bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (HR.
Bukhari)
Berdasarkan hadits di atas, dapat
disimpulkan bahwa salah satu pertanda akan datangnya hari kiamat (baca:
kehancuran), yaitu apabila amanat dan tanggungjawab diserahkan bukan
kepada ahlinya. Manusia dalam realitasnya sebagai insan sosial, memiliki
kemampuan dan pengalaman yang berbeda-beda antara satu dengan yang
lainnya. Idealnya, seorang pemimpin haruslah mereka atau orang yang ahli
pada bidang yang sedang ia pimpin. Apabila seorang pemimpin bukanlah
ahli pada bidang yang ia pimpin, maka kita tinggal menunggu akan
kehancurannya. Pekerjaan yang ia pimpin akan hancur dan berantakan
begitu saja.
Konteks pemimpin di Indonesia sangatlah
beragam. Manajemen pemerintahan dalam latar historis atau latar belakang
sejarah bangsa, sarat akan budaya KKN dan malpraktek kekuasaan lainnya.
Inilah yang disebut dengan menyia-nyiakan amanat sebagaimana telah
disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Iman Bukhori di atas.
Selanjutnya, kita bisa melihat dan mengamati realitas bangsa kita
sekarang yang sedemikian kompleks dan beragamnya akan kebobrokan sistem
sosial dalam masyarakat. Mungkin ini adalah akibat atau dampak langsung
dari tidak professionalnya seorang pemimpin di Negara kita Indonesia.
Semua permasalahan yang sedang kita hadapi saat ini begitu kompleks
dalam setiap dimensi kehidupan masyarakat. Aspek ekonomi masyarakat
menjadi semakin tidak memberikan dampak sejahtera, yang ada hanya sebuah
kekacauan yang semakin menjadi-jadi. Aspek kepercayaan atau religi
masyarakat yang semakin dihiasi oleh gerakan sempalan yang membudaya.
Aspek integritas kekuasaan seorang pemimpin yang telah dihiasi juga oleh
budaya mark up dan money politik. Belum lagi
permasalahan korupsi para pejabat tinggi Negara yang saat ini telah
menjadi berita hangat di setiap media informasi pada halaman depannya.
Kriminalisai yang terdapat dalam lingkungan aparat kepolisian (POLRI)
dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang seharusnya menjadi lembaga
yang menghukum para mafia bukan malah sebaliknya , serta mafia hukum
yang telah mempermainkan hukum di Indonesia dengan uang yang mereka
miliki disetiap bank. Kasus Bank Century yang menyeret pejabat tinggi
setingkat wakil presiden Boediono dan manta Menkeu RI Sri Mulyani, dan
masih banyak lagi permasalahan-permasalahan bangsa Indonesia yang hingga
saat ini masih menyisakan duka mendalam bagi para founding fathers
Negara ini. Mungkin saja apabila para pendiri bangsa ini hidup kembali,
mereka akan menuntut dan mempertanyakan akan amanat konstutusi yang
termaktub dalam UUD ’45. Budaya negeri kita yang konon terkenal akan
keramahan dan keluhuran budi pekertinya, saat ini telah dikotori oleh
para mafia hukum yang berkeliaran secara bebas di negeri ini.
Merupakan perjalanan sejarah bangsa yang
panjang bila kita mengkaji dan memahami sejarah bangsa Indonesia.
Mundur dan majunya bangsa ini adalah ditentukan oleh manajemen
pemerintah dalam mengelola bangsa ini. Presiden pertama RI, Ir. Soekarno
pernah berkata: “JAS MERAH (Jangan
Sekali-kali Melupakan Sejarah)”. Mungkin akan menjadi
modal yang berarti bila diimplementasikan oleh para penerus bangsa.
Pernyataan Ir. Soekarno tersebut sejalan dengan prinsip pokok ajaran
Islam sebagai Agama mayoritas bangsa Indonesia, yang menghendaki umatnya
agar tidak melupakan masa lalu, tetapi jadikanlah masa lalu itu (baca:
sejarah) sebagai sebuah cermin perbaikan, bahan pelajaran yang baik bagi
kehidupan kita dalam nuansa beragama, berbangsa, dan bernegara.
Oleh karena itu, bersungguh-sungguhlah dalam hal kebaikan dengan
tidak menyia-nyiakan amanat dan tanggungjawab yang telah menjadi tugas
kita secara pribadi. Dengan harapan perbaikan masa depan bangsa
Indonesia ke arah yang lebih mengedepankan aspirasi rakyat daripada
koalisi para elite politik .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar