Puasa itu amat berat, karena bukan cuma menahan lapar dan minum. Sungguh berat,
karena tak cuma urusan sederhana punggahan, memilih dan menentukan
bukaan, makan sahur, dan rangkainnya dengan pesta-pesta sebelum dan saat
lebaran. Rame-rame (syiar) di permukaan dapat diciptakan
semegah-megahnya untuk menandai puasa. Tetapi puasa sebagai shaum sesuai
pengertian dan historis serta manfaatnya sebagaimana digariskan oleh
nash-nash qath’i (kuat), itu amat berat.
Ilustrasi
Alkisah terjadilah dialog seorang guru dan muridnya Tono di ruang kelas, beberapa hari menjelang Ramadhan tiba.
Guru:
Tono, umurmu sudah 8 tahun. Lusa kita mulai puasa. Puasamu harus penuh
sebulan, jangan ada lagi yang tinggal seperti tahun lalu. Jangan lupa
taraweh dan tadarusan.
Tono: Insya Allah, pak guru. Pak guru tolong jelaskan lagi apa gunanya kita berpuasa.
Guru:
Takwa. Sesuai ayat Alquran, puasa itu diwajibkan bukan saja kepada
kita, tetapi juga kepada umat sebelum kita. Tujuannya agar kita takwa.
Tono:
Kalu kita sudah menjadi orang takwa, lantas bagaimana? Guru: Luas
sekali dampaknya. Kita menjadi orang baik. Patuh kepada ajaran Allah,
peduli sesama, jauh dari pekerjaan yang dimurkai Allah, dan banyak lagi.
Tono: Kalau begitu keluarga kami akan melarat pak guru.
Guru:
Kenapa Tono? Tidak mungkin puasa membuat orang melarat. Itu sudah janji
Allah. Malah puasa itu kan untuk maslahat orang perorang maupun
masyarakat baik dalam satu negara maupun di dunia. Kamu harus yakin,
Tono. Tono: Kalau bapakku tak korupsi lagi karena puasa ini keluarga
kami akan jadi melarat, pak guru.
Tak
bisa beli mobil, TV besar, membangun rumah besar, membeli tanah yang
lebar untuk membangun kebun sawit. Tak bisa jalan-jalan ke luar negeri
saat libur. Nanti makannya bisa cuma tahu dan tempe.
Tono
menyampaikan proyeksinya itu dengan tenang, tanpa perasaan malu sedikit
pun. Ia merasa telah menyampaikan beban batinnya kepada orang yang
tepat, seorang guru yang amat dihargai dan diakuinya ketinggian ilmu,
kualitas ibadah, kebersihan jiwa dan keteguhan pendiriannya. Ia
berharap mendapatkan solusi bijak dari figur kharismatik yang amat
dicintainya ini. Ia ingin keluarganya terselamatkan dari azab neraka.
Renungan pak guru
Dalam hati pak guru membenarkan pikiran Tono. Mana ada koruptor yang mau berpuasa? Mereka hanya bersandiwara. Bagi mereka semua hanya ritus kosong belaka.
Di
luar rutinitas yang amat umum, koruptor tak ikut berpuasa sama sekali.
Pak guru teringat lagi bagaimana sekolah tempatnya mengajar ini dibangun
beberapa tahun lalu. Darimana uangnya? Pimpinan Yayasan hanya pejabat
pemerintahan, bukan pengusaha.Berapa gajinya hingga mampu menyisihkan
milyaran membangun sekolah megah ini? Bagaimana seorang pejabat bisa
kaya? Bukankah hanya pedagang yang bisa kaya raya?
Pak
guru tak bisa menjawab, meski di dalam hatinya ada kecurigaan kuat
bahwa dirinya selama ini hanyalah satu di antara sekian banyak orang
yang membantu seorang koruptor besar mewujudkan cita-cita religious
sempit sebagaimana dapat dijelaskan dari Yayasan dan bangunan megah
sekolah yang tak jelas asal-muasalnya ini. Apakah semua ini bisa dikategorikan ru’sah (pembolehan) untuk jihad? Ah, jihad.
Jangan-jangan
ini tak ada bedanya dengan para teroris yang mengklaim berjuang untuk
agama tetapi dengan jalan membunuh dan merampok sekaligus.
Ini
sama sekali bukan perilaku yang mirip dengan apa yang diperankan si
Pitung dan si Jiih yang merampas untuk didistribusikan kepada orang
miskin yang menderita secara struktural karena kezholiman penguasa. Ini
bukan jalan Allah. Ini maksiat. Ini dosa. Ini sungguh-sungguh perjalanan
subahat menuju neraka.
Pak
guru menyadari benar bahwa kini di tengah masyarakat beredar pandangan
membolehkan penggunaan uang riba dan uang haram lainnya, asalkan untuk
membangun masjid, membantu anak yatim, membangun jalan umum, untuk bea
siswa, permodalan ekonomi lemah, keperluan kaum dhuafa, dan sejenisnya.
Alasan
mereka, daripada dimanfaatkan oleh orang non-muslim, lebih baik diambil
kaum muslim dan digunakan untuk ”kebaikan”. Benarkah pemahaman semacam
ini? Pak guru merasa tak perlu kembali bertanya kepada dosen-dosennya
semasa kuliah dulu, karena ia sendiri tahu jawabannya.
Doa pak guru
Tetapi
pak guru yang baik itu tidak kehilangan akal, dan kemudian berkata.
“Tono, rezeki itu dari Allah dan sudah dijamin untuk setiap makhluq.
Allah maha pemurah”. Dalam hati pak guru masih berpikir keras “yang
disebut rezeki itu memang tidak termasuk pendapatan dari korupsi”.
Tak
berhenti sampai di situ saja. Pak guru pun berandai: “Seandainya zakat
akan diambil dari koruptor kira-kira berapa persen ya? Lama ia merenung
sambil mengingat nash yang mengatur zakat. Akhirnya ia putuskan,
zakatnya 100 %. Harta yang berasal dari korupsi itu bukan miliknya,
karenanya 100 % harus dikembalikan. Itu argumen pak guru ini.
Simaklah
do’anya untuk Tono yang diucapkan nyaris tak terdengar: “Ya Allah,
berilah kekuatan kepada Tono agar tidak menjadi “anak bapaknya” yang
koruptor itu. Jika dapat ya Allah, atas kehenda-MU berilah kesempatan
bertaubat kepada Bapak si Tono itu, sebelum terlambat. Bukakan pintu
rezeki seluas-luasnya agar hatinya tertutup rapat dari korupsi.
Kurangilah jumlah orang-orang seperti Bapak si Tono di Negeri yng tak
berkarakter ini ya Allah.
Pak
guru tak lupa berpikir memahami masalah secara sistemik dalam do’anya.
Karena dengan menyelamatkan Tono dari bahaya laten bapaknya negeri ini
masih belum akan selamat. Maka ia sambung lagi do’anya dengan tulus: “Ya
Allah. Berilah kesadaran dan kekuatan kepada pemimpin negeri ini dalam
memerangi korupsi. Berdayakan rakyat negeri ini agar kuat hidup tanpa
korupsi dan mampu memberi perlawanan kepada koruptor”.
Air
mata pak guru itu berlinang. Sambil merangkul erat bahu Tono, ia pun
keluar dari kompleks sekolah dan menyusuri jalan menuju ke rumahnya. Ia
sangat ingin meneriakkan entah kepada siapa, “Cobalah bersumpah atas
nama dan untuk Tuhanmu: saya akan puasa dan berhenti total korupsi”.
Penutup
Jika
negeri ini tak menemukan solusi yang tepat untuk keluar dari jeratan
korupsi, maka itu bukan saja karena pemerintahnya lemah dan tak memiliki
martabat. Melakukan perubahan adalah tanggungjawab penuh bagi umat
beragama karena telah memilih menjadi rakyat dalam sebuah pemerintahan
yang terlanjur menganggap korupsi menjadi identitas kolektif meski
mungkin perkembangannya belum tiba pada tahap menjadi semacam ”agama
baru”.
Berhenti
menjadi rakyat dari sebuah negeri korupsi bukanlah hal baru dalam
sejarah, sama halnya dengan keabadian rezim korup dengan dukungan rakyat
yang mengaku-ngaku religious. Karena itu umat beragama wajib menegakkan
martabatnya dan wajib memilih antara memberi ruang kelanggengan bagi
praktik dosa-dosa korupsional sebuah rezim atau menghentikannya tanpa
kompromi.
Rujukan sikap dan tindakan yang dikehendaki untuk itu adalah sebuah keniscayaan belaka yang diajarkan oleh agama. ***** (Shohibul Anshor Siregar : Penulis adalah Dsen Sosiologi Politik FISIP UMSU. Koordinator Umum ’nBASIS. )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar