Senin, 08 Agustus 2011

Tono Anak Koruptor

Puasa itu amat berat, karena bukan cuma menahan lapar dan minum. Sungguh berat, karena tak cuma urusan sederhana punggahan, memilih dan menentukan bukaan, makan sahur, dan rangkainnya dengan pesta-pesta sebelum dan saat lebaran. Rame-rame (syiar) di permukaan dapat diciptakan semegah-megahnya untuk menandai puasa. Tetapi puasa sebagai shaum sesuai pengertian dan historis serta manfaatnya sebagaimana digariskan oleh nash-nash qath’i (kuat), itu amat berat.
Ilustrasi
Alkisah terjadilah dialog seorang guru dan muridnya Tono di ruang kelas, beberapa hari menjelang Ramadhan tiba.
Guru: Tono, umurmu sudah 8 tahun. Lusa kita mulai puasa. Puasamu harus penuh sebulan, jangan  ada lagi yang tinggal seperti tahun lalu. Jangan lupa taraweh dan tadarusan.
Tono: Insya Allah, pak guru. Pak guru tolong jelaskan lagi apa gunanya kita berpuasa.
Guru: Takwa. Sesuai ayat Alquran, puasa itu diwajibkan bukan saja kepada kita, tetapi juga kepada umat sebelum kita. Tujuannya agar kita takwa.
Tono: Kalu kita sudah menjadi orang takwa, lantas bagaimana? Guru: Luas sekali dampaknya. Kita menjadi orang baik. Patuh kepada ajaran Allah, peduli sesama, jauh dari pekerjaan yang dimurkai Allah, dan banyak lagi. Tono: Kalau begitu keluarga kami akan melarat pak guru.
Guru: Kenapa Tono? Tidak mungkin puasa membuat orang melarat. Itu sudah janji Allah. Malah puasa itu kan untuk maslahat orang perorang maupun masyarakat baik dalam satu negara maupun di dunia. Kamu harus yakin, Tono. Tono: Kalau bapakku tak korupsi lagi karena puasa ini keluarga kami akan jadi melarat, pak guru.
Tak bisa beli mobil, TV besar, membangun rumah besar, membeli tanah yang lebar untuk membangun kebun sawit. Tak bisa jalan-jalan ke luar negeri saat libur. Nanti makannya bisa cuma tahu dan tempe.
Tono menyampaikan proyeksinya itu dengan tenang, tanpa perasaan malu sedikit pun. Ia merasa telah menyampaikan beban batinnya kepada orang yang tepat, seorang guru yang amat dihargai dan diakuinya ketinggian ilmu, kualitas ibadah, kebersihan jiwa dan keteguhan pendiriannya. Ia berharap mendapatkan solusi bijak dari figur kharismatik yang amat dicintainya ini. Ia ingin keluarganya terselamatkan dari azab neraka.
Renungan pak guru
Dalam hati pak guru membenarkan pikiran Tono. Mana ada koruptor yang mau berpuasa? Mereka hanya bersandiwara. Bagi mereka semua hanya ritus kosong belaka.
Di luar rutinitas yang amat umum, koruptor tak ikut berpuasa sama sekali. Pak guru teringat lagi bagaimana sekolah tempatnya mengajar ini dibangun beberapa tahun lalu. Darimana uangnya? Pimpinan Yayasan hanya pejabat pemerintahan, bukan pengusaha.Berapa gajinya hingga mampu menyisihkan milyaran membangun sekolah megah ini? Bagaimana seorang pejabat bisa kaya? Bukankah hanya pedagang yang bisa kaya raya?
Pak guru tak bisa menjawab, meski di dalam hatinya ada kecurigaan kuat bahwa dirinya selama ini hanyalah satu di antara sekian banyak orang yang membantu seorang koruptor besar mewujudkan cita-cita religious sempit sebagaimana dapat dijelaskan dari Yayasan dan bangunan megah sekolah yang tak jelas asal-muasalnya ini. Apakah semua ini bisa dikategorikan ru’sah (pembolehan) untuk jihad? Ah, jihad.
Jangan-jangan ini tak ada bedanya dengan para teroris yang mengklaim berjuang untuk agama tetapi dengan jalan membunuh dan merampok sekaligus.
Ini sama sekali bukan perilaku yang mirip dengan apa yang diperankan si Pitung dan si Jiih yang merampas untuk didistribusikan kepada orang miskin yang menderita secara struktural karena kezholiman penguasa. Ini bukan jalan Allah. Ini maksiat. Ini dosa. Ini sungguh-sungguh perjalanan subahat menuju neraka.
Pak guru menyadari benar bahwa kini di tengah masyarakat beredar pandangan membolehkan penggunaan uang riba dan uang haram lainnya, asalkan untuk membangun masjid, membantu anak yatim, membangun jalan umum, untuk bea siswa, permodalan ekonomi lemah, keperluan kaum dhuafa, dan sejenisnya.
Alasan mereka, daripada dimanfaatkan oleh orang non-muslim, lebih baik diambil kaum muslim dan digunakan untuk ”kebaikan”. Benarkah pemahaman semacam ini? Pak guru merasa tak perlu kembali bertanya kepada dosen-dosennya semasa kuliah dulu, karena ia sendiri tahu jawabannya.
Doa pak guru
Tetapi pak guru yang baik itu tidak kehilangan akal, dan kemudian berkata. “Tono, rezeki itu dari Allah dan sudah dijamin untuk setiap makhluq. Allah maha pemurah”. Dalam hati pak guru masih berpikir keras “yang disebut rezeki itu memang tidak termasuk pendapatan dari korupsi”.
Tak berhenti sampai di situ saja. Pak guru pun berandai: “Seandainya zakat akan diambil dari koruptor kira-kira berapa persen ya? Lama ia merenung sambil mengingat nash yang mengatur zakat. Akhirnya ia putuskan, zakatnya 100 %. Harta yang berasal dari korupsi itu bukan miliknya, karenanya 100 % harus dikembalikan. Itu argumen pak guru ini.
Simaklah do’anya untuk Tono yang diucapkan nyaris tak terdengar: “Ya Allah, berilah kekuatan kepada Tono agar tidak menjadi “anak bapaknya” yang koruptor itu. Jika dapat ya Allah, atas kehenda-MU berilah kesempatan bertaubat kepada Bapak si Tono itu, sebelum terlambat. Bukakan pintu rezeki seluas-luasnya agar hatinya tertutup rapat dari korupsi. Kurangilah jumlah orang-orang seperti Bapak si Tono di Negeri yng tak berkarakter ini ya Allah.
Pak guru tak lupa berpikir memahami masalah secara sistemik dalam do’anya. Karena dengan menyelamatkan Tono dari bahaya laten bapaknya negeri ini masih belum akan selamat. Maka ia sambung lagi do’anya dengan tulus: “Ya Allah. Berilah kesadaran dan kekuatan kepada pemimpin negeri ini dalam memerangi korupsi. Berdayakan rakyat negeri ini agar kuat hidup tanpa korupsi dan mampu memberi perlawanan kepada koruptor”.
Air mata pak guru itu berlinang. Sambil merangkul erat bahu Tono, ia pun keluar dari kompleks sekolah dan menyusuri jalan menuju ke rumahnya. Ia sangat ingin meneriakkan entah kepada siapa, “Cobalah bersumpah atas nama dan untuk Tuhanmu: saya akan puasa dan berhenti total korupsi”.
Penutup
Jika negeri ini tak menemukan solusi yang tepat untuk keluar dari jeratan korupsi, maka itu bukan saja karena pemerintahnya lemah dan tak memiliki martabat. Melakukan perubahan adalah tanggungjawab penuh bagi umat beragama karena telah memilih menjadi rakyat dalam sebuah pemerintahan yang terlanjur menganggap korupsi menjadi identitas kolektif meski mungkin perkembangannya belum tiba pada tahap menjadi semacam ”agama baru”.
Berhenti menjadi rakyat dari sebuah negeri korupsi bukanlah hal baru dalam sejarah, sama halnya dengan keabadian rezim korup dengan dukungan rakyat yang mengaku-ngaku religious. Karena itu umat beragama wajib menegakkan martabatnya dan wajib memilih antara memberi ruang kelanggengan bagi praktik dosa-dosa korupsional sebuah rezim atau menghentikannya tanpa kompromi.
Rujukan sikap dan tindakan yang dikehendaki untuk itu adalah sebuah keniscayaan belaka yang diajarkan oleh agama. ***** (Shohibul Anshor Siregar : Penulis adalah Dsen Sosiologi Politik FISIP UMSU. Koordinator Umum ’nBASIS. )

Tidak ada komentar: