Kualitas Kepemimpinan Politik Indonesia
Kepemimpinan seperti apa yang berlangsung di
Indonesia saat ini? Atau jangan-jangan pertanyaannya: Adakah
kepemimpinan di Indonesia saat ini? Tetapi baiklah kita menggunakan
pertanyaan pertama saja. Ini bisa dibilang sebagai penghalusan karena
terkesan kita sudah mengenali adanya kepemimpinan tetapi belum paham
benar seluk-beluk di dalamnya.
Untuk menganalisis kepemimpinan politik Indonesia, di sini digunakan kerangka pemikiran dari Cathy Gormley-Heenan (2001) dalam risetnya, From Protagonist to Pragmatist: Political Leadership in Societies in Transition.
Ada sembilan isu kunci yang dijadikan kategori yang mendasari analisis:
(1) penggunaan dan penyalahgunaan kekuasaan politik; (2) aktivitas
memimpin partai; (3) pemenuhan janji kepada konstituen; (4) pembinaan
hubungan dengan partai lain; (5) pelayanan publik; (6) persiapan
menghadapi pemilu selanjutnya; (7) pengelolaan dan penataan ulang
partai; (8) kesiapan menghadapi perubahan; dan (9) manajemen proses.
Gormley-Heenan menggunakan kerangka pemikiran
ini untuk menganalisis negara-negara yang sedang mengalami konflik atau
yang sedang berada dalam transisi. Indonesia, yang masih dalam masa
transisi dari negara otoriter ke negara demokrasi, cukup sering dilanda
konflik horisontal. Oleh karena itu, kerangka pemikiran ini cocok juga
digunakan untuk menganalisis Indonesia.
Penggunaan dan Penyalahgunaan Kekuasaan Politik
Penggunaan kekuasaan politik dan sensitivitas
terhadap hal-hal yang terkait dengan penggunaan kekuasaan penting dalam
kepemimpinan politik. Jika pemimpin kurang sensitif terhadap isu-isu
terkait dengan penggunaan kekuasaan dan hanya bertindak berdasarkan
kepentingan satu atau beberapa kelompok, maka kepemimpinannya tidak akan
berefek signifikan terhadap perbaikan dan perubahan negara yang
positif.
Kita saksikan belakangan ini ada
kecenderungan kepemimpinan politik Indonesia sering menampilkan tindakan
yang dipersepsi lebih menguntungkan kelompok-kelompok tertentu
ketimbang kepentingan rakyat. Selain kasus-kasus penyalahgunaan
kekuasaan yang sudah diproses secara hukum, masih banyak ditemukan
indikasi penyalahgunaan yang diberitakan di media massa dan diulas di
forum-forum diskusi. Dari situ, tampak sensitivitas pemimpin politik
Indonesia masih rendah. Kepemimpinan politik Indonesia masih rawan
penyalahgunaan kekuasaan. Sementara penggunaan kekuasaan yang diarahkan
kepada perbaikan kondisi masyarakat Indonesia masih terus ditagih karena
pelaksanaannya tampak setengah hati.
Aktivitas Memimpin Partai
Keterampilan kepemimpinan dibutuhkan juga
untuk mengelola partai. Banyak persoalan yang menghambat dan merugikan
negara berasal dari perilaku orang-orang partai yang memegang kekuasaaan
baik eksekutif maupun legislatif. Persoalan-persoalan itu semestinya
dapat dicegah atau ditangani secara cepat oleh pemimpin politik dari
partai-partai itu agar tidak mengganggu kinerja kepemimpinan nasional.
Negosiasi, konsesi dan tarik-menarik kepentingan antara pemerintah dan
partai semestinya dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat oleh para
pemimpin politik di dalam partainya sehingga tidak mengganggu kinerja
kepemimpinan politik dalam mengelola negara.
Kita bisa saksikan kasus-kasus korupsi yang
melibatkan elit-elit partai, baik yang memegang jabatan di pemerintahan
maupun yang hanya menjabat di partai. Selain itu konflik dalam partai
marak diberitakan oleh media massa. Contohnya, Partai Demokrat saat ini
sedang mengalaminya meski berkali-kali dinyatakan oleh beberapa
pengurusnya bahwa mereka masih solid. Tetapi secara intuitif kita dapat
menyaksikan konflik itu ada. Pemimpin politik Indonesia tampaknya masih
belum mampu memimpin partainya untuk tetap solid dan menghindarkan
kepemimpinannya dari kepusingan dan kebingungan yang menguras waktu,
tenaga dan pikiran untuk mengatasi masalah-masalah dalam partainya.
Pemenuhan Janji kepada Konstituen
Pemenuhan janji kepada konstituen merupakan
satu indikator dari efektivitas kepemimpinan politik. Selain
keterampilan kepemimpinan untuk mengelola partai, pembinaan hubungan
baik dengan konstituen menjadi kunci keberhasilan kepemimpinan politik.
Kemampuan untuk mengelola dan memenuhi janji kepada konstituen
memungkinkan pemimpin politik untuk dapat bekerja efektif. Sebaliknya,
jika pemimpin politik tak dapat membina hubungan baik dengan konstituen,
maka kepemimpinan politik akan berlangsung tanpa dukungan mereka
sehingga bisa menyebabkan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan tidak
dapat berjalan baik. Kepemimpinan politik akhirnya menjadi kepemimpinan
tanpa mandat.
Seperti sudah jadi pengetahuan umum di
Indonesia, setelah pemilu, konstituen seakan tak diperlukan lagi.
Janji-janji orang yang kemudian terpilih jadi pemimpin politik seperti
tak diingat lagi. Pemenuhan janji tampaknya bukan hal yang penting bagi
mereka. Kepemimpinan politik Indonesia kebanyakan berjalan seperti tanpa
mandat dan para pemimpin pun tampak merasa tak perlu
mempertanggungjawabkan mandat dari konstituen yang diembannya.
Pembinaan Hubungan dengan Partai Lain
Membina hubungan baik dengan partai lain
menjadi hal yang niscaya meski sulit dilakukan, apalagi jika partai lain
sejak awal memutuskan untuk menjadi oposisi. Pertentangan dengan partai
lain yang intens dan berkepanjangan akan menguras tenaga dan menghambat
jalannya pemerintahan. Tetapi, pembinaan hubungan itu jangan sampai
melulu mengurusi pembagian kekuasaan. Kerjasama antarpartai harus
diarahkan kepada usaha penerapan kebijakan dan pelaksanaan program untuk
meningkatkan kualitas hidup rakyat.
Kita tahu ada pembinaan hubungan antarpartai
seperti yang ditampilkan dalam bentuk Sekretariat Gabungan. Tetapi kita
juga menyaksikan partai-partai itu seringkali tidak harmonis, bahkan
saling mengancam, saling menyandera dan saling memaksakan kepentingan
masing-masing. Hubungan antarpartai tampaknya baru sampai urusan
pembagian kekuasaan, berapa menteri dari partai anu, berapa banyak yang
akan diperoleh partai lainnya. Itu pun masih banyak terjadi konflik
kepentingan yang menguras banyak waktu, tenaga, pikirn dan biaya
sehingga kinerja kepemimpinan politik Indonesia tak efektif.
Melaksanakan Pelayanan Publik
Pembinaan hubungan antara pemimpin politik
dan para aparat negara yang bertugas menjalankan pelayanan terhadap
masyarakat merupakan satu kunci penting dalam kepemimpinan politik.
Pemimpin politik harus dapat menjamin terlaksananya pelayanan publik,
bekerjanya setiap sektor untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat,
mengembangkan masyarakat. Kepemimpinan politik yang buruk bukan hanya
membuat kinerja pelayanan publik tidak efektif, melainkan juga
melemahkan mentalitas dan moralitas para petugas pelayanan publik.
Pelayanan publik di Indonesia masih tergolong
buruk meski sudah ada beberapa perbaikan, seperti kartu miskin yang
memperingan biaya kesehatan dan pendidikan. Secara umum pelayanan publik
di Indonesia masih jauh di bawah standar kelayakan. Sarana
transportasi, bahkan di kota besar sekalipun, masih minimal. Pelayanan
kesehatan dan penyediaan pangan dan perumahan rakyat juga demikian.
Berbagai macam urusan yang memerlukan persetujuan aparat pemerintah
masih berlangsung lambat. Penerapan dan penanganan hukum masih
diskriminatif. Praktek pungutan liar, sogok-menyogok dan suap masih
berlangsung. Kepemimpinan politik Indonesia belum dapat melaksanakan
pelayanan publik secara memadai.
Mempersiapkan Pemilu Selanjutnya
Tantangan-tantangan terhadap kepemimpinan
sering muncul berkaitan dengan pemilu selanjutnya. Banyak serangan dan
gangguan yang ditujukan kepada pemimpin politik dalam rangka menurunkan
popularitasnya sehingga perolehan suarannya menurun di pemilu
selanjutnya. Efek dari serangan dan gangguan itu seringkali bukan hanya
menurunkan popularitas, melainkan juga melemahkan kinerja kepemimpinan
politik sehingga penerapan kebijakan dan pelaksanaan program-program
pemerintah tidak berjalan. Pemimpin politik harus memiliki kemampuan
untuk menghadapi tantangan-tantangan itu, mengatasi serangan dan
gangguan itu secara efektif dan efisien.
Menghadapi Pemilu 2014, partai-partai mapan
yang ada di Indonesia sudah mulai saling menyerang dan saling
melemahkan. Kepentingan menang pemilu itu bisa berefek kepada kinerja
kepemimpinan nasional. Isu-isu seputar siapa yang akan dicalonkan
menjadi presiden sudah beredar dan mengusik pemimpin politik Indonesia
untuk menanggapinya, bahkan Presiden SBY secara khusus menanggapinya.
Meski belum sampai secara langsung mengganggu kinerja kepemimpinan
politik Indonesia, isu pemilu yang akan datang sudah mengambil porsi
perhatian para pemimpin politik dan bisa jadi mengganggu konsentrasi
kerja mereka mengelola negara. Isu-isu kudeta atau pemakjulan
bermunculan, meskipun pihak-pihak yang terkait sudah membantahnya.
Situasi itu memberikan indikasi bahwa kepemimpinan politik Indonesia
belum dapat mengatasi tantangan-tantangan kepemimpinan terkait isu
politik secara optimal.
Penataan Ulang Partai
Terpilihnya pemimpin politik (sebagai
presiden, gubernur, bupati atau walikota) dari partai tertentu menuntut
partainya untuk melakukan penataan ulang partainya untuk menyesuaikan
dengan tuntutan-tuntutan situasi politik yang berlangsung setelah itu.
Pemimpin politik sebagai kader dari partainya harus memiliki kemampuan
menata partainya sesuai dengan kebutuhannya untuk menjalankan tugas
sebagai pemimpin politik. Penataan ulang partai perlu dilakukan untuk
kebutuhan dukungan di dewan perwakilan rakyat, pengaturan koalisi,
penempatan kader partai dalam pemerintahan, pengelolaan konflik dan
sebagainya. Tanpa kemampuan menata ulang partai, kepemimpinan efektif
tak bisa dicapai. Kepemimpinan politik nasional harus mempersiapkan
dirinya untuk kemungkinan-kemungkinan penataan ulang partainya.
Terkait dengan belum mampunya pemimpin
politik memimpin dan mengelola partainya untuk tetap solid, aktivitas
penataan ulang partai politik oleh para pemimpin politik Indonesia pun
masih belum optimal. Malah banyak terjadi konflik internal partai.
Alih-alih partai menunjang berjalannya kepemimpinan politik Indonesia
secara efektif, justru persoalan-persoalan internal partai jadi
pengganggu. Urusan internal partai malah menyedot banyak waktu, tenaga,
pikiran dan biaya para pemimpin politik Indonesia.
Kesiapan Menghadapi Perubahan
Perubahan politik merupakan satu implikasi
dari pergantian kepemimpinan politik nasional, bahkan menjadi tuntutan
bagi kepemimpinan politik yang baru. Jika tidak, kepemimpinan itu tidak
berbeda dengan kepemimpinan sebelumnya dan dapat kehilangan mandat dalam
memimpin. Perubahan politik selalu mengandung risiko dan pemimpin harus
bersiap-siap menanggung risiko itu.
Ada kecenderungan para pemimpin politik
Indonesia menghindari perubahan yang signifikan. Mereka tak menampilkan
keberanian menghadapi risiko. Mereka cenderung mempertahankan status quo.
Dibandingkan dengan kepemimpinan politik terdahulu, tidak ada perubahan
berarti yang terjadi. Tak ada program yang sungguh berbeda dan berefek
kuat terhadap perbaikan kondisi masyarakat. Meskipun secara makro
keadaan ekonomi Indonesia tergolong stabil, bahkan meningkat, tetapi
secara umum program-program yang dilaksanakan tak berbeda secara
signifikan dengan program-program di periode terdahulu. Malahan,
beberapa kebijakan terobosan yang banyak mendapat tanggapan positif
ditinjau kembali, seperti wewenang Komite Pemberantasan Korupsi dan
wewenang Mahkamah Konstitusi.
Manajemen Proses
Manajemen proses merupakan elemen esensial
dalam setiap komitmen keterlibatan dalam jabatan politik. Untuk menjamin
tanggung jawab dan mandat dari rakyat dapat terlaksana secara baik,
pemimpin politik harus dapat menjaga berjalannya penerapan kebijakan dan
pelaksanaan program. Ia harus memahami mekanisme dan aturan dari
penerapan kebijakan dan pelaksanaan program, menjaga semua itu agar
terus berlangsung, mengendalikan proses ke arah yang direncanakan. Tanpa
kemampuan manajemen proses, kepemimpinan politik tak akan berjalan
baik.
Kita saksikan banyak program yang tidak
berkelanjutan. Kita temukan juga undang-undang yang sudah disahkan dan
diundangkan negara tak sungguh-sungguh diterapkan dalam masyarakat,
hambatan-hambatan dalam pencairan dana program, lambatnya
penanganan-penanganan masalah di dalam dan luar negeri. Masih banyak
mekanisme dan aturan penerapan kebijakan dan pelaksanaan program yang
belum jelas atau tak tersosialisasi secara baik. Kepemimpinan politik
Indonesia masih belum dapat menjaga dan mengendalikan proses pembangunan
negara secara optimal.
Jadi, kepemimpinan seperti apa yang berlangsung di Indonesia saat ini?
Dari hasil analisis tadi, kita temukan bahwa
kepemimpinan politik Indonesia masih tergolong lemah. Jelas kepemimpinan
macam itu tidak dapat membawa Indonesia melakukan transformasi menjadi
negara yang berkembang dan kuat. Dilihat dari aspek transaksional, kita
temukan juga bahwa hubungan antara kelompok-kelompok dalam masyarakat
tidak bisa dikatakan baik mengingat masih banyak terjadi konflik politik
dan konflik horisontal yang memakan banyak jiwa.
Memang masih banyak negara yang kepemimpinan politiknya lebih
buruk dari Indonesia. Juga kita sering membaca atau mendengar, ada
pihak-pihak luar negeri yang memberi pujian sebagai negara demokratis
besar yang bisa jadi contoh keberhasilan demokrasi dan berhasil
menghindar dari krisis global belakangan ini. Tetapi, bantahan terhadap
penilaian itu juga banyak diajukan. Bahkan ada analisis yang
menghasilkan kesimpulan bahwa Indonesia sedang terus-menerus mengalami
kemunduran. Memang masih banyak persoalan besar yang muncul terkait
kepemimpinan politik Indonesia. Jika itu dibereskan, Indonesia bisa
lebih baik lagi dan terhindar dari kemungkinan negara gagal.
BTX
Tidak ada komentar:
Posting Komentar