Rabu, 10 Agustus 2011

PEMIMPIN YANG DZHALIM



Keberadaan pemimpin jelas amat dibutuhkan bagi setiap orang dalam berbagai kelompok dan bidang. Dalam sepakbola ada kapten kesebelasan, di perusahaan ada direktur bahkan presiden direktur, dalam shalat berjamaah mesti ada yang namanya imam dan dalam suatu negara ada presiden atau perdana menteri atau ada juga yang menyebutnya dengan raja. Dibutuhkannya pemimpin menunjukkan betapa strategis jabatan kepemimpinan itu. Jabatan kepemimpinan yang diemban seseorang bisa membawa kebaikan tapi juga bisa membawa keburukan, tidak hanya bagi orang yang dipimpinnya tapi juga bagi dirinya sendiri, bahkan tidak hanya keburukan di dunia ini saja tapi juga bisa sampai ke akhirat nanti. namun ia bukanlah
Kepemimpinan yang akan membawa seseorang pada keburukan disebabkan banyak faktor.
1. Kekejaman Dalam Memimpin
Kepemimpinan yang dijalankan dengan berlaku kejam atau zalim kepada orang yang dipimpin merupakan sesuatu yang membawa malapetaka bagi sang pemimpin dan orang yang dipimpinnya, tidak hanya kejam dari tindakan fisik tapi juga kebijakan dan ketentuan yang dikeluarkannya sehingga rakyat tidak berdaya dihadapan sang pemimpin meskipun pemimpin itu melakukan kesalahan, karenanya pemimpin yang berlaku kejam kepada rakyat yang dipimpinnya merupakan sejelek-jelek pemimpin, Rasulullah s.a.w. bersabda:
Artinya : “Sesungguhnya sejelek-jelek pemimpin adalah pemimpin yang kejam. Karena itu berhati-hatilah agar kamu tidak termasuk golongan itu.” (HR. Muslim dari Ubaidilah bin Ziad)
2. Membodohi Rakyat
Pemimpin yang baik adalah yang berusaha mencerdaskan rakyatnya karenanya ia memajukan pendidikan, menjelaskan secara terbuka segala kebijakan yang diambil dan masyarakatpun didorong untuk mempelajari dan mengkritisi segala kebijakan itu. Gagasan cerdas dari rakyat tidak hanya didengar tapi juga diterapkan seperti yang dilakukan Rasulullah s.a.w. yang melaksanakan pendapat Salman Al Farisi yang mengusulkan penggalian parit dalam siasat perang yang kemudian perang itu disebut dengan perang khandak, begitu juga dengan Khalifah Umar bin Khattab yang mencabut kembali kebijakan dan peraturannya yang diakui salah setelah diktritik oleh seorang wanita tua tentang mahar yang tidak boleh mahal.
Manakala pemimpin membodohi rakyatnya dan ia suka bila rakyatnya tidak pintar, maka jangan harap bisa masuk ke dalam surga karena pemimpin semacam itu termasuk orang yang diharamkan masuk surga, Rasulullah s.a.w. bersabda:
Artinya : “Tiada seorang hambapun yang oleh Allah diserahi memimpin rakyat, mati pada hari ia mati dalam keadaan membodohi rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan sorga atasnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Berdusta
Dalam rangka membodohi rakyat dan menyimpan agenda-agenda busuk, tidak sedikit pemimpin yang melakukan penipuan atau berlaku dusta, bahkan tidak segan-segan melakukan kezaliman terhadap orang yang tidak sependapat dengannya atau sekadar mengkritisi. Terhadap pemimpin yang demikian kita tidak dibolehkan untuk membantu kezaliman yang dilakukannya dan membenarkan kedustaan atau kebohongan yang disampaikannya, bila kita tidak bersikap demikian terhadap sang pemimpin, maka ancamannya tidak mendapatkan pengakuan sebagai umat Nabi Muhammad s.a.w. Bila orang yang membantu pemimpin yang zalim dan membenarkan kebohongannya saja sudah tidak diakui sebagai umat Nabi Muhammad s.a.w., apalagi pemimpin yang demikian, Rasulullah s.a.w. bersabda:
Artinya : “Kelak akan muncul pemimpin–pemimpin yang berselimutkan api neraka; mereka berdusta dan berbuat zalim. Barangsiapa membantu mereka terhadap kezalimannya dan membenarkan kedustaan mereka, maka dia bukan termasuk golonganku dan akupun bukan golongannya, dan dia tidak akan minum dari telaganya.” (HR. Ahmad dari Said Al Khudri).

Menyikapi Jabatan Kepemimpinan.
Karena kepemimpinan merupakan amanah dan ada konsekuensi dunia akhirat yang akan dihadapkan kepada sang pemimpin, maka paling tidak ada dua sikap kita terhadap jabatan kepemimpinan yang harus kita tunjukkan. Pertama, tidak ambisius untuk mendapatkan jabatan kepemimpinan, karena itu seorang muslim jangan sampai meminta jabatan kepemimpinan, apalagi bila berbagai upaya termasuk upaya yang tidak baik dilakukan untuk mendapatkan jabatan itu seperti menyogok, menjelek-jelekkan orang lain dan sebagainya. Meminta jabatan seperti itu akan membuat beban kepemimpinan semakin berat dan orang yang membantupun motivasinya untuk mendapatkan keuntungan duniawi, namun bila jabatan itu memang diberikan karena kapasitas yang dimiliki, maka akan banyak orang yang membantu melaksanakan tugas kepemimpinan dengan sebaik-baiknya, Rasulullah s.a.w. bersabda:
Artinya : “Janganlah kamu meminta jabatan dalam pemerintahan. Karena jika kamu diberi jabatan karena permintaanmu, maka bebanmu sungguh berat. Tetapi jika kamu diberi jabatan tanpa kamu minta, maka kamu akan dibantu oleh orang banyak.” (HR. Muslim dari Abdurrahman bin Samurah r.a. )
Kedua, memperoleh jabatan dengan cara yang baik dan benar sehingga tidak menghalalkan segala cara untuk memperolehnya dan sesudah memperoleh jabatan, digunakan jabatan dengan baik dan benar untuk menegakkan kebaikan dan kebenaran, begitulah yang telah ditunjukkan oleh para khalifah yang cemerlang seperti Abu Bakar Ash Shiddik, Umar Bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Abdul Aziz dan sebagainya. Penggunaan jabatan untuk kebaikan dan kebenaran membuat seorang pejabat selalu dikenang dalam kebaikan dan dijadikan sebagai rujukan untuk menjadi pemimpin yang baik. Namun bila tidak, maka jabatan membuat seseorang menjadi hina dihadapan manusia dan menjadi penyesalan yang amat dalam, bahkan kehinaan dan penyesalan itu sudah dirasakan sejak masih di dunia ini, apalagi dalam kehidupan di akhirat nanti, Rasulullah s.a.w. bersabda:
Artinya : Abu Dzar r.a. berkata: Saya bertanya, “Ya Rasulullah mengapa engkau tidak memberiku jabatan?. Maka Rasulullah menepukan tangannya pada pundakku, lalu beliau bersabda: Hai Abu Dzar, sungguh kamu ini lemah, sedangkan jabatan adalah amanah, dan jabatan itu akan menjadi kehinaan serta penyesalan pada hari kiamat, kecuali bagi orang yang memperolehnya dengan benar dan melaksanakan kewajibannya dalam jabatannya.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, dalam suasana masyarakat dan bangsa kita yang sepanjang tahun mengikuti Pemilu dan Pilkada, menjadi amat penting untuk merenungkan kembali apa sebenarnya hakikat kepemimpinan, baik dalam jabatan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Semua itu dimaksudkan agar kita tidak salah memilih pemimpin dan orang yang terpilih sebagai pemimpinpun mampu menggunakan jabatannya untuk melayani masyarakat dan menegakkan kebaikan serta kebenaran. Catatan sejarah kita belum cukup banyak tentang pemimpin yang cemerlang dan yang semakin banyak justeru pemimpin yang menjadi hina dan merasakan penyesalan bagi diri dan keluarganya apalagi bagi masyarakat dan bangsa.

Pemimpin yang Dzalim
Kesan pemimpin adalah sosok yang kharismatik bagi rakyatnya, ditangannyalah, segala kebijakan menyangkut nasib rakyat ditentukan. Pemimpin yang adil tentu akan membawa rakyatnya kepada kesejahteraan. Sedangkan pemimpin yang dzalim (otoriter) akan membawa mereka kepada kesengsaraan yang berkepanjangan. Banyak negara yang sejahtera karena dipimpin oleh presiden yang adil, tetapi kemudian runtuh dan sengsara karena dilimpahkan kepada generasi penerusnya yang dzalim. Oleh karena itu, tepat sekali apa yang dicantumkan dalam sebuah kaidah fiqh: “Kebijakan seorang imam harus berdasarkan pada kemaslahatan masyarakatnya.” Dengan demikian, barometer kebijakan seorang pemimpin, bukanlah nafsu kekuasaan yang bersifat politis, melainkan amanat rakyat yang diembankan kepadanya. Apabila seorang pemimpin tidak memperhatikan nasib rakyatnya, bahkan ia menzalimi mereka dengan melakukan tindakan-tindakan yang merugikan kepentingan bersama, maka ia termasuk pemimpin yang tidak jujur.
Ketidakjujuran seorang pemimpin terlihat dari perilakunya yang lalai dalam menunaikan hak-hak rakyatnya. Ia sering memanipulasi kepentingan mereka demi kepentingannya pribadi. Bahkan ia tak segan memeras keringat rakyat dan memakan harta milik mereka dalam bentuk korupsi dan kolusi serta penyalahgunaan kekuasaan. Pemimpin seperti ini akan menanggung dosa umat dan bangsa secara keseluruhan. Di dunia, ia akan dijerat oleh hukum negara atas tindakannya yang berbuat aniaya semasa berkuasa. Dan di akhirat nanti, ia akan mendapat siksa yang menyakitkan. Dalam hal ini, Sahabat Ma’qil bin Yasar al-Muzanni menjelang wafatnya menyampaikan sebuah hadis sebagai berikut:
Artinya : “Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda, “Tidak ada seorang hamba yang diamanatkan oleh Allah untuk mengurusi rakyatnya, kemudian ia meninggal dalam keadaan sedang menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan sorga baginya.” (HR. al-Bukhari: 6618 dan Muslim: 203)
Lebih jauh lagi, seorang pemimpin hendaknya selalu memberikan kemudahan bagi masyarakat yang dipimpinnya, bukan malah mempersulitnya. Oleh karena itu, pantas sekali jika pemimpin yang mempermudah urusan umatnya di dunia, maka Allah akan mempermudah urusannya nanti di akhirat. Tetapi, jika ia mempersulit atau menunda-nunda amanah yang diembannya, sehingga menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat yang berkepanjangan, maka Allah s.w.t. akan mempersulit kebutuhannya nanti di akhirat. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis:
Artinya : Diberitakan dari Aisyah ra, Rasulullah s.a.w. bersabda, “Ya Allah, siapa yang sedikit saja menguasai urusan umatku, kemudian ia mempersulit mereka, maka sulitkanlah ia. Dan siapa yang sedikit saja mengurusi umatku, kemudian ia mengasihi mereka, maka kasihanilah ia.” (HR. Muslim: 3407)
Hadis ini ditegaskan juga oleh sebuah riwayat dari Abu Maryam al-Azdiy, Rasulullah s.a.w. bersabda:
Artinya : “Siapa yang telah dikuasakan oleh Allah untuk memegang sebuah urusan kaum muslimin, kemudian ia menghalangi kepentingan dan kebutuhan mereka, maka Allah akan menghalangi kepentingan dan kebutuhannya..” (HR. Abu Dawud: 2559)
Abu Awwanah dalam Shahih-nya menegaskan bahwa pemimpin demikian itu akan memperoleh bahlatullah, yakni laknat Allah (Fatchurrahman:1966:132).

Tidak ada komentar: