Sabtu, 18 Desember 2010

Solusi Semu Dalam Masalah Kepemimpinan

Solusi Semu Dalam Masalah Kepemimpinan

Sehari-hari kita dapat menyaksikan semakin meningkatnya keluhan masyarakat atas buruknya sistem dan birokrasi. Ini ditambah dengan maraknya kasus korupsi, markus dan penyelewengan jabatan dalam bentuk yang lain. Serta di perparah dengan proses hukum yang ‘mandul’ kalau sudah berhadapan dengan pejabat tingkat tinggi.
Disisi lain, persoalan bencana alam, pendidikan, kesehatan, dan TKW/TKI juga tak kunjung selesai. Ditambah persoalan pilkada yang juga menghimpit bangsa ini. Intinya, di Indonesia kini sedang terjadi persoalan kepemimpinan pemerintahan.
Berdasarkan kenyataan di atas, muncullah berbagai upaya untuk mewujudkan kepemimpinan yang berhasil. Intinya, bagaimana menghasilkan kepemimpinan yang memiliki komitmen sebagai pelayan (servant leaders) dan tanggung jawab kepada masyarakat (public accountability). Namun, dalam implementasinya, solusi-solusi yang diberikan tidaklah memberikan keberhasilan. Solusi-solusi semu tersebut di antaranya:
Pertama, terlalu bergantung kepada figur dan kurang memperhatikan pentingnya sistem. Figur memang diperlukan, tetapi ia tidak dapat berdiri sendiri. Sebab, figur menyatu dengan sistem yang hendak diterapkannya. Ketika yang dipentingkan hanyalah persoalan figur maka yang terjadi adalah status quo: pergantian figur pemimpin terlaksana, tetapi perubahan sistem dan perbaikan masyarakat tidak terjadi.
Sebagai contoh, kepemimpinan nasional Indonesia berganti-ganti tetapi persoalan kepemimpinan pemerintahan hingga saat ini tetap sama. Dulu, pada zaman Soeharto, yang bahkan dijuluki sebagai Bapak Pembangunan dan sangat dielu-elukan, diharapkan terjadi perubahan signifikan. Realitasnya, selama 32 tahun berkuasa yang ada adalah otoritarianisme, militerisme, penumpukkan kekayaan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Hukum pun bersikap mendua: pada pihak lemah diterapkan secara konsisten, sementara pada pihak penguasa dan konglomerat tak berdaya. Karena itu, mafia peradilan pun menjadi fenomena.
Figur pemimpin lalu berganti: Habibie, Abdurrahman Wahid, kemudian Megawati. Habibie dipandang figur teknokrat, Abdurrahman Wahid didudukkan sebagai figur tokoh agama yang humanis, dan Megawati dianggap sebagai figur yang diharapkan akan membela wong cilik.
Namun, sekalipun telah terjadi pergantian figur, hingga saat ini, masa SBY, dilihat dari pelayanan terhadap masyarakat tak ada perubahan berarti: keberpihakkan pun tetap pada konglomerat, tidak bergeser pada kaum melarat dan umumnya rakyat; persoalan hukum juga tetap hanya milik orang berada, semuanya dibangun di atas sistem kapitalisme-sekular yang sejak awal berpihak pada yang kuat.
Kedua, lebih menuruti keinginan rakyat yang direpresentasikan oleh para wakil rakyat. Padahal, keinginan tersebut tidak selalu benar. Apalagi sebenarnya terdapat keterputusan hubungan antara rakyat dan wakilnya. Begitu juga dengan pemilihan kepala negara secara langsung. Karenanya, pada saat mereka membuat aturan, tidak selalu aturan yang dihasilkan mencerminkan suara rakyat. Andaikan mencerminkan suara rakyat, itupun tidak selalu benar. Contohnya adalah referendum tentang Timor Timur yang berakhir dengan lepasnya daerah tersebut dari negeri Muslim Indonesia.
Ketiga, membentuk koalisi kepemimpinan atas dasar nasionalisme-religius, Jawa-Luar Jawa, dan sipil-militer. Koalisi jenis ini bukanlah koalisi yang didasarkan pada kesamaan pemahaman dan ideologi, tetapi pada kepentingan (baca : uang, siapa yang bayar lebih tinggi itu yg didukung partai). Karenanya, tidak mengherankan jika produk hukum/aturan dan pelayanan terhadap publik pun bergantung pada hasil kompromi yang melindungi kepentingan partai masing-masing, para elitnya, pengusaha pendukungnya, dan konstituen partai masing-masing. Setelah itu, barulah berbicara tentang kepentingan rakyat.
Berdasarkan perkara di atas, teranglah bahwa ketiga solusi tersebut tidaklah mendatangkan kepemimpinan yang berhasil.
Akar Persoalan Kegagalan Kepemimpinan Nasional

Allah Yang Mahaperkasa berfirman: Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia; melakukan amar makruf nahi mungkar, dan mengimani Allah. (Qs. Ali-’Imraan [3]: 110).
Dalam ayat di atas, Allah SWT menegaskan dua perkara.
Pertama, umat Mumammad Saw adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Artinya, kaum Muslim sejatinya menjadi umat terbaik bukan hanya bagi bangsa Arab atau sebatas kaum Muslim saja, melainkan juga untuk kaum Muslim maupun non-Muslim di seluruh dunia. Sebab, frasa linnâs menunjukkan makna bagi seluruh manusia, tanpa kecuali. Umat terbaik tentu bukanlah umat yang dijajah, pemimpinnya diciduk bahkan dibunuh, rakyatnya dibantai, kekayaannya dirampas, ekonominya dikuasai, perjanjiannya dikhianati, dijadikan bulan-bulanan, dan lain-lain.
Kedua, kaum Muslim sebagai umat memiliki karakter selalu melakukan amar makruf nahi munkar. Yang dimaksud tentu saja bukan sekadar amar makruf nahi munkar terhadap perilaku individual, tetapi juga terhadap perilaku masyarakat, dan pemerintah; termasuk terhadap negara-negara besar. Untuk itu, umat Islam perlu memiliki kekuatan dan kekuasaan yang mampu menghentikan kejahatan negara-negara besar tersebut.
Faktanya, kini hampir di seluruh dunia, negara-negara di Dunia Islam termasuk ke dalam kelompok Dunia Ketiga, yang rata-rata sedang berkembang bahkan terbelakang. Umat Islam belum menjadi umat terbaik bagi manusia. Kepemimpinan nasional yang ada gagal memajukan kaum Muslim dan membentuknya menjadi umat terbaik. Setidaknya ada tiga sebab mengapa hal ini terjadi, yaitu penerapan sistem sekular, pemimpin yang tidak bertakwa, dan menjadi kaki tangan asing.
Penerapan Sistem Sekular
Secara i‘tiqâdî, penerapan sistem sekular, yang berarti mengatur kehidupan atas dasar bukan Islam, akan mendatangkan penghidupan yang sempit, baik material maupun nonmaterial.
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Qur’an), sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. (Qs. Thaha [20]: 124).
Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka enggan menjalankan hukum-hukum Allah dan tidak menganggap lebih baik apa yang diturunkan Allah, kecuali Allah akan menjadikan malapetaka di antara mereka.”(HR. Ibnu majah & Al Baihaqi)
Fakta menunjukkan bahwa dengan penerapan sekularisme yg mengakibatkan hukum dibuat oleh manusia atas dasar suara mayoritas (hakikatnya yang membuat adalah para konglomerat/bahkan asing yang telah menanam ‘saham’ dalam dunia politik). Jadilah yang berkuasa adalah mereka yang kuat.
Sekularisme melenyapkan nilai-nilai kemanusiaan dan menumbuhkan praktik-praktik ‘ekonomi’ gelap seperti judi, pemabukan, perdagangan film porno, dan pelacuran. Sebab, selama ada orang yang menginginkan, menurut pandangan kapitalisme, barang atau jasa yang diinginkan tersebut menjadi barang atau jasa yang bernilai ekonomis. Sistem ini pun terbukti telah menghasilkan penguasa yang pro konglomerat. Kasus bank century, dan markus pajak menjadi secuil bukti dari hal ini.

Pemimpin Yang Tidak Bertakwa
Penerapan sistem sekular ini diperparah dengan pemimpin yang tidak bertakwa yang rela untuk mendustai rakyatnya, menjual aset milik rakyat kepada asing, membuat perjanjian, dan undang – undang yang menyengsarakan rakyat.
Kaki Tangan Asing
Kedua perkara tersebut akan lebih parah lagi jika para penguasa mau menjadi kaki tangan asing. Pada saat penguasa menjadi kaki tangan asing maka pada saat itulah kepemimpinan berada di tangan asing tersebut. Segala perkara yang dipandang merugikan mereka akan ditentang, jika perlu mengganti penguasa di negeri tersebut. Karenanya, pemimpin seperti ini memandang rakyat yang tidak setuju dengan kebijakannya yang berpihak kepada asing sebagai musuh.
Oleh sebab itu, sekedar ganti penguasa tanpa perubahan sistem sebenarnya tidaklah menyelesaikan masalah negeri ini.
Kepemimpinan Kuat dan Amanah dengan Islam
Kepemimpinan yang kuat dan amanah hanya akan lahir jika dasarnya adalah kepemimpinan ideologis (qiyâdah fikriyah). Artinya, kepemimpinan harus dibangun oleh akidah Islam dan syariahnya.
Pemimpin dan rakyat sama-sama memahami dan berpegang pada akidah dan syariah Islam. Pemimpin diikuti bukan karena akhlaknya semata, melainkan juga karena dia pengemban kebenaran. Begitu juga, pemimpin berkuasa bukan karena kekuasaannya belaka, melainkan karena amanahnya untuk menerapkan Islam. Tidak mengherankan, kepemimpinan seperti ini akan melahirkan rasa cinta di antara pemimpin dan rakyatnya. Sebab, tujuannya sama, yakni ingin masuk surga bersama-sama melalui ketaatan pada syariah-Nya. Tegas sekali, penjelasan dari Rasulullah Muhammad saw.:
Sebaik-baik imam (pemimpin) kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian serta yang kalian doakan dan mereka juga mendoakan kalian. Seburuk-buruk imam (pemimpin) kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian serta yang kalian laknat dan mereka juga melaknat kalian. (HR Muslim, Ahmad dan ad-Darimi).
Jadi, langkah pertama yang ditempuh dalam membangun kepemimpinan adalah: jadikan kepemimpinan ideologis Islam sebagai landasan.
Kedua: tolak ideologi penjajah dan tegakkan sistem Islam. Rasulullah saw. mencontohkan hal ini. Di Makkah, Beliau menolak kekuasaan karena sistem kejahiliahan Quraisy masih bercokol. Berbeda dengan itu, Beliau justru menerima tawaran kekuasaan di Madinah pasca hijrah dengan menerapkan Islam secara kâffah. Sekularisme yang menopang kapitalisme, pluralisme, dan liberalisme harus ditolak. Pengganti tunggalnya adalah: jadikan akidah Islam sebagai landasan dalam kehidupan dan terapkan syariah Islam yang memberikan rahmat bagi masyarakat plural. Rombak sistem pendidikan materialistik, keluarga konsumeristik, ekonomi kapitalistik, dll dengan sistem Islam.
Ketiga: ciptakan sosok pemimpin yang baik. Untuk itu, perlu dibangun kesadaran ideologis dan politik penguasa. Rasulullah saw.
Keempat: ciptakan tradisi amar makruf nahi mungkar. Salah satu bentuk penting dari amar makruf nahi mungkar adalah mengoreksi penguasa (muhâsabah li al-hukkâm). Dalam Islam, masyarakat didorong untuk berkata baik sekalipun pahit, dan mengoreksi penguasa (QS Ali Imran [3]: 104). Partai politik/ormas maupun individu, termasuk ulama, akan meluruskan penyimpangan penguasa dari Islam.

Tidak ada komentar: