Sabtu, 18 Desember 2010

Gayus Tambunan: Bukti Kesekian Kegagalan Hukum Thaghut

Gayus Tambunan: Bukti Kesekian Kegagalan Hukum Thaghut

Dewasa ini negara yang menerapkan filososfi hukum adalah panglima kembali dikejutkan oleh sebuah kasus hukum menggelikan. Gayus Tambunan, penjahat kakap Indonesia dikabarkan kabur tanpa kesulitan berarti dari Rumah Tahanan dan malah plesiran ke Bali. Gayus sebelumnya tersandung oleh kasus penggelapan yang kemudian membawanya ke meja hijau. Uniknya bak bola salju, kasus Gayus kini melebar dan melibatkan sejumlah pihak setelah dirinya tertangkap basah ketika tengah menyaksikan pertandingan Tenis bersama istrinya,. Dugaan ini diperkuat foto-foto yang memperlihatkan lelaki mirip Gayus di tribun penonton hasil bidikan seorang wartawan. Seperti diberitakan, delapan polisi dijadikan tersangka terkait bebas berkeliarannya terdakwa mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan, beberapa waktu lalu.
Menariknya Gayus tidaklah seorang diri. Bukanlah rahasia umum bahwa tahanan kelas hiu dalam Negara yang menerapkan Sistem Demokrasi ini amat licin bagai belut jika wibawa dan gelimangan pundi sudah di tangan. Jauh berbeda dengan tahanan maling ayam dan sandal jepit yang mesti digebuki dulu dan diperas uangnya demi status bebas. Bahkan kadangkala kata bebas itu hanyalah isapan jempol semata mengingat begitu cantiknya permainan hukum, sekali lagi di Negara yang berfilosofi bahwa hukum adalah panglima. Dan lucunya Pihak kepolisian masih saja berujar bahwa kasus itu hanya ulah sebagian kecil oknum. Kalau memang ini hanyalah hasil dari perilaku oknum, kenapa oknum dalam Negara yang menjadikan Undang-Undang Buatan Manusia sebagai dasarnya ini sering sekali mengkoleksi kasus kejahatan hukum yang justeru dilakukan aparat hukum dan itu tersistematis.
Betul ternyata menurut Ahmad Thompson, salah seorang Ulama Inggris dan juga praktisi Hukum di Eropa. Bahwa karakteristik utama Sistem Dajjal yang sekarang tengah berlangsung ini adalah sebuah Sistem yang hanya berorientasi perut. Tidak lebih. Berlaku atau tidaknya hukum tergantung seberapa besar kocek yang dimilikinya. Terlebih kita berada pada sebuah fase ujian terberat dari sebuah iman dimana Sistem Kepemimpinan Islam atau Khilafah sedang tidak ada.
Cara efektif dan jitu bagaimana mengentaskan Kasus Gayus justru sudah dengan rinci dibahas oleh Islam. Hukum Syari`at bersih dari segala bentuk kecurangan, kelemahan, dan unsur-unsur kepentingan. Karena legislatornya Allah SWT.
Berbeda dengan Hukum Positif yang tak lepas dari faktor-faktor di atas, karena legislatornya manusia. Umpamanya, Syari`at meletakkan prinsip “PERSAMAAN DI MATA HUKUM” (al-Musawah Baynan-Nas) yang pertama sekali dikenal adalah di dalam Islam.
Syari`at tidak membeda-bedakan orang atas dasar warna kulit, etnis atau bahasa. (Surat al-Hujurat 13), dan Hadits ‘Perempuan dari Bani Makhzum’. Prinsip itu lahir di tengah masyarakat yang diskriminatif oleh faktor etnis dan kabilah. Tetapi Islam berhasil menghapus diskriminasi itu dengan semboyan Hadits Nabi SAW bahwa, ” Tidak ada kelebihan orang Arab dari orang Non-Arab, selain dalam ketakwaan”.
Ini pula yang sempat menimpa Ali Bin Abi thalib, saat ia memperebutkan jubahnya dengan salah seorang Yahudi yang mencurinya. Tidak ada pertimbangan Hakim saat itu melihat Ali adalah amirul mukminin. Di meja persidangan Ali tetap kalah. Ia tak memiliki kuasa menjebolkan gugatannya mengingat hakim pada saat itu sangat adil dan tak bisa luluh oleh status Ali yang juga amirul mukminin. Hakim tidak bisa berbuat apa-apa karena Ali tidak memiliki cukup bukti, walaupun ia yakin jubahnya dicuri oleh seorang Yahudi. Lantas Apa yang terjadi? Ali keluar dari pengadilan dengan tangan hampa, padahal ia kholifah yang bisa jadi pada zaman sekarang status itu yang membuat seorang pemimpin bebas dari jeratan hukum.
Kegagalan Indonesia dalam menjinakkan para pejahat kakap sebenarnya bukanlah faktor oknum. Tapi tidak lebih dari timpangnya pemamahan hukum secara integral. Problemnya menjadi semakin rumit karena Indonesia justru menerapkan hukum musuh Allah, yakni Belanda yang notabene misinya memang menjauhkan Umat Islam Indonesia dari Tuhannya.
Islam sudah mengatur jelas betapa konsep adil dalam hukum hanya dapat berlaku jika hukum Allah ditegakkan. Sayyid Quthb dalam Ma’alim Fii Aththariqh-nya sudah menjelaskan bahwa orang yang baik-baik jika dia berkubang dalam lumpur hukum thaghut, cepat atau lambat tinggal menunggu waktu bahwa ia akan terpenjara di dalamnya.
Sebaik-baiknya pejabat hukum ketika ia berada dalam naungan untuk menegakkan hukum buatan manusia, yakinkah ia akan menghadapai dua kendala besar. Pertama, secara pasti ia tidak akan bisa menegakkan hukum seadil-adilnya. Kedua, ia akan berhadapan dengan resiko peredusiran iman yang cukup signifikan. Hal ini dirasa tidak berlebihan karena Allah telah menggariskan untuk kita agar menghindari sejauh mungkin pemberlakuan hukum thaghut menyesatkan ini.
“Apakah engkau tidak memperhatikan terhadap orang-orang yang mengaku bahwa mereka beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan (kepada) apa yang diturunkan sebelum engkau? Mereka hendak berhukum kepada thaghut (sesuatu yang menyesatkan, segala pembuat hukum selain Allah SWT), padahal sungguh mereka telah diperintahkan supaya mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya.”(QS. an-Nisa’ : 60)
Imam Ibnu Qoyyim dalam kitab I’lamul Muqi’in telah dengan baiknya menyatakan bahwa siapa saja yang berhukum atau menghukumi dengan selain yang dibawa Rasulullah SAW berarti ia telah menjadikan thaghut sebagai hakim dan berhukum kepadanya. Dan thaghut adalah setiap yang disembah, diikuti, atau ditaati melebihi batas. Jadi, thaghut itu setiap sesuatu selain Allah dan rasul-Nya yang dijadikan penentu hukum oleh suatu bangsa, atau diturut oleh mereka tanpa bukti/penjelasan dari Allah SWT. Walhasil hukum-hukum Allah SWT tidak dapat diterapkan secara sempurna tanpa adanya Negara yang menjalankan dan menjadi pelindungnya. Maka perjuangan penegakan Negara Islam yaitu Khilafahlah yang harus kita perjuangkan saat ini.

Tidak ada komentar: