Sabtu, 18 Desember 2010

Peran Pemuda di Era Reformasi Terjebak Pragmatisme Politik Sesaat

Peran Pemuda di Era Reformasi Terjebak Pragmatisme Politik Sesaat



      Rabu, 17 Mei 2006 18:30
      Kapanlagi.com - Peran pemuda di era reformasi semestinya optimal di semua bidang kehidupan masyarakat karena wadah mereka berhimpun baik di Ormas maupun partai politik di era Orde Baru selalu mendengungkan visi dan misi mengembangkan demkrasi, namun keika Orde Baru tumbang kalangan pemuda justru terjebak pragmatisme politik sesaat. Demikian pemikira yang mencuat dalam diskusi "Menakar Nasionaliema Pemuda" yang diselenggarakan Forum Komunikasi Massa (FKM) di Gedung DPR/MPR Jakarta, Rabu (17/05).
      Diskusi menghadirkan mantan Ketua DPR Akbar Tandjung, Direktur Program The Indonesia Instittute Dr Cecep Effendy dan Asisten Deputi Pendidikan Menpora Erlangga Masdiana.
      Akbar Tandjung menjelaskan, peran pemuda di era reformasi diharapkan meliputi semua bidang, baik politik, ekonomi, hukum, budaya dan mendorong demokratisasi. Partai politik dan Ormas kepemudaan harus menunjukkan kepeloporan yang kuat di berbaai bidang.
      Namun peran pemuda di era reformasi justru terjebak pada pragmatisme kepentingan politik. Orentasi memperebutkan jabatan-jabatan politik begitu kuat, dibanding kepeloporan di bidang ekonomi, hukum dan budaya. Begitu juga penanaman nilai-nilai demokrasi dan akuntabilitas publik belum tampak dilakukan pemuda.
      Kalangan pemuda masih berwacana mengenai wacana-wacana praktis dan kepentingan pragmatis sesaat. Orentasinya belum diarahkan untuk kepentingan jangka panjang.
      "Dari sisi perpektif politik, mereka belum mampu perjuangkan idealisme seperti yang didengungkan sebelum reformasi," katanya.
      Akbar mengatakan, ketika reformasi yang membawa perubahan, pemuda justru terkejut menghadapi perkembangan. Ini membuktikan bahwa wacana-wacana yang dikembangkan belum diarahkan untuk kepentingan jangka penjang.
      Erlangga Masdiana memperkuat analisis Akbar Tandjung dan lebih banyak mengulas penyebab atau akar persoalan rendahnya kepeloporan pemuda di era reformasi. Kalangan pemuda berada di simpang jalan dan gamang menghadapi perubahan di era globalisasi.
      Di sisi lain, partai politik dan Ormas yang selama era Orde Baru mendengungkan demokratisasi menempatkan pemuda sebagai aset politik.
      "Untuk bidang politik, pemuda memang sudah tampak berperan. Tetapi bagaimana dengan bidang lain," katanya.
      Slogan demokratisasi dan perubahan yang didengungkan di era Orde Baru tidak diimbangi dengan kesiapan menghadapi perubahan. Mereka pun terjebak kepentingan pragmatisme.
      Mereka kemudian gamang memilih identitas dan kehilangan arah (anomin). Mereka terjebak dalam posisi yang sulit, yaitu tidak menganut nilai-nilai lama, tetapi gamang untuk menjalankan budaya baru.
      "Mereka menghadapi situasi yang anomali," katanya.
      Hal sebagai akibat kemiskinan massal dan kemiskinan struktural atau pemiskinan massal dan pemiskinan struktural.
      Di sisi lain, faktor kepemimpinan di kalangan pemuda juga berpengaruh atas posisi kegamangan itu. Jaringan kepemimpinan yang mereka hadapi mengakar ke atas, tetapi untuk kepentigan politik. Akibatnya, akan sulit memunculkan nasionalisme baru.
      Untuk menumbuhkan nasionalisme baru, Erlangga menyarankan agar dikembangkan lagi sejarah kebangsaan, regulasi yang jelas adanya UU Kepemudaan) dan kemampuan merespons bangsa ke depan.
      Dengan nasionalisme baru, kata Erlangga, pemuda diharapkan bisa berperan seperti yang disampaikan sosiolos Peter L Berger, yaitu mengupas topeng-topeng kepalsuan di masyarakat.
      "Bangsa ini membutuhkan pemuda-pemuda yang mampu membuka topeng-topeng kepalsuan," katanya.
      Cecep Syaifuddin menjelaskan, tidak identitas baru ditunjukkan bangsa ini yang dipelopori pemuda di era reformasi. Pemuda-pemuda India dan Malaysia bisa menunjukkan identitas kepeloporan di tengah perubahan global.
      Selain pemuda, parpol-parpol juga gagal merealisasikan visi dan misi menghadapi perubahan. Apabila di era Orde Baru, visi dan misi mereka adalah demokratisasi, tetapi parpol pun gagal menunjukkan identitas kebangsaan di era perubahan.
      Pemuda dan parpol pun gagal mewujudkan nasionalisme baru dan kehilangan orentasi.
      Harapan mewujudkan nasionalisme baru sebenarnya masih ada, yaitu mengobarkan semangat nasonalisme melalui media massa yang berkembang bebas di era reformasi.
      Tetapi media juga tidak menjalankan peran yang baik, sebaliknya justru menumbuhkan budaya pragmatisme.
      Berita-berita yang ditampilkan lebih pada perwujudan sebagai bangsa yang kehilangan identitas. Berita mengenai keikutsertaan pelajar dan mahasiswa dalam Olimpiade Fisika atau Matematika bukan merupakan berita penting, sebaliknya berita yang menunjukan bangsa ini kehilangan identitas justru menjadi sajian dari sebagian besar segmen berita.

Tidak ada komentar: