Selasa, 12 Maret 2013


Virus Kapitalisme Lumpuhkan Kaderisasi
Partai politik tidak lagi dapat diandalkan sebagai sumber pengkaderan pemimpin nasional, karena faktanya parpol justru lebih suka memungut kader dari luar parpol untuk mendongkrak elektabilitas dalam pemilu. Lihat saja, di sejumlah pemilukada berapa banyak kader parpol yang akhirnya tersingkir dari pencalonan perebutan pemimpin lokal karena masuknya figur seperti artis dan selebritis atau pengusaha yang punya dana kuat. Padahal, secara kualitas kepemimpinan, figur-figur itu masih kalah jauh dibanding kader parpol yang telah “berdarah-darah” berjuang di dalam parpol.
Toh, para petinggi parpol lebih suka mengusung publik figur atau bahkan selebritis ketimbang kader yang punya kemampuan tapi tidak dikenal luas. Pertimbangannya praktis, figur selebritis biasanya sudah dikenal oleh banyak orang, sehingga diyakini tingkat elektabilitasnya tinggi. Logikanya, bagaimana dia mau dipilih kalau tidak dikenal oleh calon pemilih?
Selain selebritis yang setiap saat mondar-mandir di media massa, televisi maupun koran, pimpinan Parpol biasanya juga membidik calon pemimpin yang punya duit. Siapa itu? Pertama, tentu saja pengusaha, dan kedua, birokrat –sipil maupun militer—yang memiliki sumber pendanaan kuat yang diduga dari hasil korupsi. Pertimbangannya sederhana, partai tidak memiliki sumber dana, maka si calon itu sendiri yang membiayai kampanyenya.
Bila seseorang itu tidak terkenal, maka cara mudah mengenalkan diri ke publik adalah menggelontorkan dana besar-besaran lewat berbagai strategi kampanye, misal iklan di televisi dan memajang baliho dan poster di sepanjang jalan. Tidak mengherankan bila di sejumlah Pilkada, pesertanya kalau tidak Kepala Daerah incumbent, pensiunan tentara, pensiunan Sekda atau Kepala Dinas, Pengusaha, dan belakangan ini muncul pula artis. Ketua struktural partai setempat yang ikut maju Pilkada, rata-rata tidak jauh dari latar belakang itu.
Parpol yang model begitu, tercipta karena memang situasi politik negeri ini mendorong ke arah yang demikian. Biaya politik dibuat amat tinggi, setiap anggota parpol yang akan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, kepala daerah, dan kepala negara harus menyiapkan dana yang tak sedikit. Ini terjadi karena pelaksanaan demokrasi masih bersifat prosedural dan cenderung liberal sehingga akhirnya menjebak banyak parpol. Mereka semua akhirnya berpikir pragmatis.
Praktik korupsi anggota atau elite parpol yang marak akhir-akhir ini juga ditengarai merupakan dampak dari sistem demokrasi yang terlalu bebas, sekaligus juga merupakan bukti kegagalan pendidikan politik kepada masyarakat, karena pupolaritas dan hal-hal yang bersifat materi masih menjadi pertimbangan untuk memilih para pemimpin, baik memilih anggota legislatif, kepala negara, atau kepala daerah.
Sudah menjadi rahasia umum, misalnya, untuk mengamankan nama seseorang menjadi calon bupati, seorang ketua DPP bisa mendapat “upeti” ratusan juta dari orang-orang yang berebut posisi calon itu, bahkan untuk calon gubernur nilainya bisa miliaran. Belum lagi, setelah ditetapkan oleh parpol, sang calon harus membiayai sendiri kampanye yang bisa menghabiskan ratusan juta hingga miliaran.
Inilah yang membuat ongkos politik bagi calon pemimpin akhirnya menjadi amat mahal. Akibatnya, setelah dia menjadi pejabat atau pemimpin, bukannya memikirkan bagaimana meningkatkan kesejahteraan rakyat, tetapi lebih mengedepankan kepentingan pragmatis, mengembalikan “modal” yang sudah dikeluarkan.
Sebetulnya, bangsa ini kaya sumber-sumber pemimpin, mengingat jumlah penduduknya yang begitu besar. Sumber itu bisa berasal dari lembaga adat, lembaga sosial keagamaan, organisasi mahasiswa, lembaga pemerintahan, kepolisian, militer, kalangan akademisi, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan, dan sebagainya. Hanya saja, tidak ada saluran yang terbuka, yang secara sistemik bisa membuka peluang bagi kemunculan calon pemimpin yang ideal dari sumber-sumber kepemimpinan ini. Yang ada adalah “transaksi” yang jelas-jelas tidak akan melahirkan sosok pemimpin ideal yang diinginkan masyarakat.
Selama ini, masyarakat dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sudah tercetak dalam kertas suara pemilu, yang terdiri dari beberapa nama kandidat. Calon-calon yang ada merupakan pilihan parpol yang mau tidak mau mesti mereka pilih. Sementara, seperti yang telah diungkapkan tadi, parpol mengajukan calonnya bukan berdasarkan karena dia kader terbaik, tetapi karena faktor popularitas, kekuatan modal, dan sebagainya. Padahal belum tentu secara kualitas dia mampu menjadi pemimpin ideal yang dinginkan rakyat.
Kapitalisme dalam Transaksi Politik Kita


Rezim Orde Baru yang lekat dengan sistem otoritarian kita kecam habis-habisan, kenapa? Karena sistem yang diciptakannya dituduh sebagai biang keladi korupsi yang mengurat akar di pusat-pusat kekuasaan dan birokrasi pemerintahan.
Tetapi dalam pasca Orde Baru runtuh, berganti dengan sistem demokrasi yang sedianya merupakan sistem yang menawarkan kontrol publik yang lebih luas terhadap perilaku pejabat, toh korupsi makin menjadi-jadi. Pemerintahan demokratis justru bergerak mengarah ke arah yang berlawanan dengan janji-janji ideal sistem demokrasi. Setali tiga uang dengan apa yang terjadi dalam sistem otorian Orde Baru.
Orde Reformasi pun melahirkan elite-elite penguasa yang korup, bahkan dalam skala yang jauh lebih masif dari sebelumnya. Sistem politik dalam alam demokrasi tidak sama sekali menjamin terciptanya pemerintahan yang bersih dan terbebas dari praktik korupsi.
Alangkah baiknya kita simak kritik kaum neo-Marxis terhadap gejala paradoksal antara korupsi-kapitalisme demokrasi. Korupsi yang selalu melibatkan elite-elite politik dan pemangku kekuasaan itu sebetulnya bersifat alamiah, karena mereka sejatinya merupakan agen kepentingan kaum kapitalis baik global, nasional, maupun lokal.
Perilaku elite politik yang korup serupa predator yang siap memangsa siapa saja. Mereka sesungguhnya tidak peduli dengan tuntutan publik untuk mewujudkan kesejahteraan sosial, kemakmuran ekonomi, kedaulatan bangsa, dan lain sebagainya. Mereka terlibat dalam korupsi karena menjadi bagian dari pertarungan di antara elite oligarkis yang “membajak” lembaga-lembaga politik formal untuk tujuan melanggengkan sistem ekonomi kapitalis.
Sejatinya, para elite politik ini mengusung isu demokrasi sebagai dagangan politik semata. Karena sebetulnya mereka hanya menjadi jembatan bagi masuknya para komprador ekonomi kapitalis, baik yang skalanya lokal, nasional, bahkan global. Hal ini wajar, karena bagi para aktor rezim kapitalisme global, di tengah krisis ekonomi global yang melanda dunia, khususnya di Eropa, mereka dituntut untuk terus memperbanyak boneka yang dapat mereka kendalikan guna mengamankan kepentingan ekonominya. Bukan rahasia, kalau Indonesia sudah lama menjadi target sasaran rezim kapitalis global, mengingat potensi ekonomi bangsa ini luar biasa, khususnya untuk tingkat Asia Tenggara.
Gejala paradok antara sistem demokrasi dan maraknya korupsi ini menemukan bentuk yang amat nyata ketika terjadi liberalisasi dalam politik, yang akhirnya menyuburkan praktek money politics. Semuanya bisa dihitung dengan uang, dari mulai jumlah massa hingga potensi suara semuanya bisa dikapitalisasi. Lalu apa yang terjadi? Kekuasaan dijadikan sebagai medium akumulasi kapital. Inilah demokrasi kita yang selalu kita banggakan di pentas dunia? Demokrasi yang sesungguhnya diinginkan oleh rezim kapitalisme global.
Parahnya lagi, masyarakat seolah maklum dan cenderung menerima dengan sistem politik demokrasi macam ini, yang di balik itu sesungguhnya adalah kepentingan kapitalis. Maka wajar jika bangsa ini selalu gagal melahirkan pemimpin-pemimpin yang berpihak pada kepentingan rakyat. Karena semenjak awal, para kandidat pemimpin bangsa ini tidak sama sekali memikirkan kepentingan dan kebutuhan rakyat. Semua tahap dan proses yang mereka jalani dalam menapaki jalan politik ini, yang ada hanyalah transaksi demi transaksi.
Chavez dan Morales Sebatas Ikon
Sebetulnya, di dunia ini masih ada negara-negara yang berani melawan dominasi kapitalisme global. Hugo Chaves di Venezuela dan Evo Morales di Bolivia. Kedua pemimpin ini semestinya bisa menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan rakyat untuk mendorong kepemimpinan yang lebih pro-rakyat ketimbang pro kapitalisme. Di Indonesia kedua tokoh ini juga jukup menjadi idola di kalangan gerakan masyarakat sipil yang mendukung sistem pemerintahan pro-rakyat dan anti kapitalisme.
Kedua tokoh dari negara Amerika Latin ini dianggap mempunyai gaya kepemimpinan yang sangat nasionalis sehingga mampu menangkal dan mengurangi dominasi rezim asing di negaranya. Chavez misalnya, tahun lalu mengesahkan UU perburuhan yang menjamin penuh hak-hak kaum buruh dan keluarganya, sedangkan Evo Morales menasionalisasi perusahaan listrik milik kapitalis Spanyol.
Pemerintahan Chavez mendorong Undang-undang yang menjamin kesejahteraan kaum buruh dan keluarganya. UU perburuhan baru itu memangkas jam kerja buruh di Venezuela dalam seminggu, memberikan cuti hamil selama 12-25 minggu, dan memberi bonus kepada pekerja yang telah pensiun. UU buruh ini juga menghapuskan sistem kerja kontrak yang merupakan warisan rezim neoliberal tahun 1990-an.
Bersamaan dengan pengesahan UU tersebut, Chavez juga mengumumkan kenaikan upah pekerja sebesar 32,25 persen. Venezuela menjadi negara dengan upah minimum tertinggi di Amerika Latin. Chavez juga memberi bantuan pemerintah berupa voucher makan, dan manfaat lain yang diterima rakyat dari kebijakan sosial pemerintah.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Evo Morales, dia tak kalah pro-rakyat dengan koleganya, Chavez . Morales menasionalisasi Transportadora de Electricidad (TdE), anak perusahaan dari perusahaan listrik asal Spanyol, Red Electrica Corporacion.
Bagi kalangan sosialis atau sosial-demokrat (sosdem) sepak terjang Chavez dan Morales tentu sangat membanaggakan. Kedua pemimpin ini bukan saja berhasil memulihkan martabat bangsa, tetapi juga mengembalikan kedaulatan rakyat, terutama dalam hal pembangunan ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam.
Sejak Chavez dan Morales berkuasa, juga pemimpin lain seperti Cristina Fernandez di Argentina, Lula Da Silva/Dilma Roussef di Brazil, Rafael Correa di Ekuador, Fernando Lugo di Paraguay, Pepe Mujica di Uruguay, dan lain-lain, negara Amerika Latin bangkit dan menjadi duri bagi rezim kapitalisme, negara-negara itu sekarang sudah tidak lagi menjadi “halaman belakang” Amerika Serikat, sebagai Mbah-nya kapitalisme.
Di Indonesia, pemimpin-pemimpin seperti itu juga sesungguhnya diidolakan oleh sebagian besar rakyat, sebagaimana rakyat ini rindu sosok semacam Bung Karno, Hatta, dan sebagainya. Namun sayangnya, gerak langkah, inspirasi, dan pemikiran para pemimpin revolusioner itu hanya berhenti sebatas wacana, dan tak kunjung menjadi sebuah inspirasi yang dikaji secara mendalam lalu diwujudkan dalam sebuah gerakan. Pada akhirnya, di kalangan aktivis gerakan pro rakyat sendiri, nama-nama pemimpin dunia tadi hanya sebatas menjadi ikon yang tampil sebagai poster, gambar di kaos, dan sebagainya. Padahal semangatnya belum meresap ke dalam mindset kebanyakan rakyat. Mereka menjadi idola sebagaimana layaknya idola di dalam dunia pop.
Demokrasi Prosedural
Demokrasi, kendati telah berjalan lebih dari sepuluh tahun pasca reformasi, namun nyatanya belum menciptakan iklim negara yang demokratis. Pasalnya, demokrasi baru sebatas prosedural, yang ditandai dengan berjalannya proses-proses formal demokrasi seperti pemilu, partai politik, dan sebagainya. Sementara itu, demokrasi yang secara konsep mensyaratkan kekuasaan di tangan rakyat, pada praktiknya kekuasaan hanya berada di tangan elite.
Dalam bidang ekonomi misalnya, yang tampak bukanlah rakyat menjadi subyek perekonomian bangsa, tetapi rakyat hanya menjadi objek. Demokrasi justru malah mendorong masuknya kepentingan global dalam bentuk deregulasi, privatisasi dan liberalisasi (neo-liberalisme) menyebabkan terjadinya hegemoni pasar, kekerasan, penindasan, monopoli pasar, monopoli aturan perdagangan, hilangnya budaya atau kearifan lokal, kerusakan alam yang luar biasa, pemaksaan pendekatan yang masif dan berorientasi pada keuntungan sekelompok elit, dan banyak lagi.
Hal ini membuat orang yang punya kapital semakin berkuasa. Sementara yang lemah dan tidak memiliki kekuatan akan tersingkir dari kehidupan.
Faham neo-liberalisme yang menyusup lewat jargon demokrasi sama sekali tidak mempedulikan keadilan, hak asasi manusia, kedaulatan rakyat, ataupun kedaulatan negara. Kompetisi penuh pasar bebas adalah satu-satunya cara bertahan, siapa yang dapat bertahan dialah yang terbaik dan menjadi pemenang. Demokrasi dalam tahap inilah yang sekarang dijalankan oleh bangsa kita.
Dan sayangnya, demokrasi prosedural semacam ini justru banyak diikuti dan juga disuarakan oleh kalangan intelektual dan akademisi. Secara sadar atau tidak, kalangan akademisi kita ikut mewacanakan jalannya model demokrasi prosedural ini.
Di lain pihak, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mestinya menjadi lembaga pendamping bagi kepentingan-kepentingan pro-rakyat atau masyarakat, justru tidak sedikit yang disusupi oleh kepentingan kapitalisme global, karena mendapat dana dari perusahaan-perusahaan asing. Sehingga kadang-kadang publik yang awam juga bertanya, benarkah LSM mampu mengemban aspirasi masyarakat atau rakyat, sementara dia menerima dana sponsor dari program pencitraan multi-national corporate asing yang sudah kelihatan jelas sikapnya terhadap rakyat.
Semua hal itu, tentu menjadi hambatan tersendiri bagi terwujudnya cita-cita bangsa ini untuk memiliki pemimpin yang diinginkan. Pemimpin yang menunjukkan keberpihakan yang jelas, yaitu berpihak kepada rakyat, anti dominasi asing, dan mampu menegakkan kedaulatan serta mengangkat kehormatan bangsa dan negara di hadapan bangsa lain. Dan yang terpenting, mampu mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya, bukan bagi kalangan elite belaka. Virus kapitalisme menyeruak di segala sisi kehidupan masyarakat, dan membuat lembaga-lembaga pengkader pemimpin akhirnya tercemar dan tidak bisa melahirkan pemimpin berkualitas.

Tidak ada komentar: