Selasa, 12 Maret 2013


Pemimpin Tak Berkarakter, Rakyat Minder
Krisis kepemimpinan dan ketiadaan figur calon pemimpin berkarakter ternyata bukan saja menjadi kegelisahan kalangan aktivis atau pemerhati bangsa. Masyarakat secara umum juga merasakan kegelisahan yang sama. Bahkan, lebih jauh mereka menilai saat ini tidak ada lagi sosok pemimpin berkarakter yang mampu mengatasi persoalan bangsa. Akhirnya, rakyat yang merasa tak punya pemimpin berkarakter, sekarang menjadi minder.
Pada pengujung tahun 2012 lalu, Litbang Kompas melakukan jajak pendapat terhadap 686 responden di 12 kota besar Indonesia. Temanya tentang ketiadaan sosok pemimpin yang dianggap mampu mengatasi persoalan bangsa. Hasilnya, dari 10 responden, 6 di antaranya tidak bisa menyebutkan nama tokoh pemimpin masa kini yang dinilai mampu menyelesaikan persoalan bangsa. Secara khusus, bahkan sepertiga bagian dari responden menyatakan, tidak ada satu pun sosok yang bisa memimpin bangsa dalam melewati berbagai hambatan saat ini maupun di masa datang.
Tidak adanya sosok pemimpin yang berkarakter, menurut sebagian besar responden, ditunjukkan dengan sejumlah indikator, seperti rendahnya kinerja pemimpin dalam mengelola konflik ataupun menuntaskan sejumlah persoalan.
Korupsi di kalangan pejabat negara misalnya, dikeluhkan oleh 83,2 persen responden. Praktik penyalahgunaan kekuasaan itu terus terjadi secara masif, meskipun pada saat yang sama Komisi Pemberantasan Korupsi terus melakukan upaya pemberantasan.
Sejumlah persoalan lain, dinilai responden belum juga diselesaikan secara tuntas, misalnya berbagai tindak kekerasan yang dialami kelompok minoritas agama, konflik tanah antara perusahaan besar dan petani kecil, atau kekerasan terhadap buruh migran di luar negeri, dan lain sebagainya. Rata-rata responden tidak puas dengan penyelesaian yang dilakukan para elite pemimpin, baik pemimpin formal maupun non formal seperti pemimpin adat dan agama.
Sudah sedemikian parahkah pesimisme bangsa kita, sehingga menganggap kehadiran sosok pemimpin berkarakter hanyalah mimpi? Sudah hilang harapankah rakyat negeri ini? Sehingga mereka merasa harus siap bahwa siapa pun yang akan memimpin bangsa ini, mereka tetap akan sendiri. Rakyat tetap akan menghadapi persoalan hidupnya sendiri-sendiri. Bahkan, dalam bahasa yang amat pesimis, mereka mengatakan, ada atau tidak pemimpin, mereka tetap harus tegar menghadapi masalah hidup masing-masing. Pergantian pemimpin yang terjadi selama ini, bagi rakyat ternyata hanyalah drama yang melahirkan tragedi demi tragedi.
Pemimpin Berkarakter
Ketiadaan pemimpin berkarakter, membuat rakyat saat ini tidak merasakan pengaruh dari keberadaan seorang pemimpin. Sementara rakyat meyakini bahwa karakter seorang pemimpin akan memberikan pengaruh terhadap perjalanan suatu bangsa.
Di masa lalu misalnya, sosok Soekarno benar-benar menjadi inspirasi bagi upaya membangun negara dan bangsa yang merdeka dan mandiri. Soekarno adalah simbol pemimpin yang memiliki karakter kuat dan mampu melahirkan gagasan besar, terutama nasionalisme. Sehingga di masa kepemimpinannya, gagasan ekonomi berdikari berkumandang kuat. Soekarno berani menyatakan “tidak” kepada Amerika Serikat.
Dalam diri Soeharto, terlepas segala kekurangannya, banyak orang masih menilai, setidak-tidaknya dia masih memiliki karakter yang tegas meski otoriter. Dengan karakter itulah, Orde Baru berhasil menjalankan program pembangunan, kendati salah satunya dengan cara membungkam opini kelompok yang berseberangan. Di bawah kepemimpinan Soeharto-lah, berbagai perbedaan pendapat ataupun konflik terbuka mampu diselesaikan, meski dengan cara-cara militer, penggunaan kekerasan, dan tanpa kompromi. Di bawah rezim otoriter itu ideologi pembangunan dilaksanakan oleh mesin birokrasi yang berwatak sentralistis, bekerja sama dengan modal asing dan para kapitalis klien. Jangan lupa, pada satu sisi Soeharto dianggap berhasil.
Pascareformasi, mungkin Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang terbilang pemimpin punya karakter, meski berbeda dibanding pemimpin sebelumnya. Gus Dur mampu mendekonstruksi wacana kekuasaan yang sebelumnya sakral menjadi lebih lunak dan terbuka. Politik keberagaman menjadi watak dari kepemimpinannya.
Gus Dur mampu merekatkan mozaik etnisitas dan agama, meski akhirnya terpaksa harus mengakhiri kepemimpinan di tengah jalan. Diakui atau tidak, kini banyak kalangan yang justru merindukan kehadirannya, terutama ketika berbagai praktik diskriminasi terus terjadi saat ini. Praktis, setelah Gus Dur, bangsa Indonesia belum lagi menemukan sosok pemimpin berkarakter.
Menurut hampir seluruh responden jajak pendapat Kompas, pemimpin yang berkarakter adalah harus mempunyai ketegasan dalam menegakkan hukum. Sementara, apa yang terjadi belakangan ini adalah tragedi-tragedi menyayat hati tentang ketidakadilan. Sebuah tontonan kekalahan kaum lemah atas kaum penguasa. Hukum dan keadilan hanyalah mainan kalangan pemilik modal dan kekuasaan. Sebab itu, dalam jajak pendapat tersebut, ketika responden ditanya tentang sosok pemimpin yang memiliki karakter, proporsi terbesar responden tidak bisa menyebutkan sebuah nama pun sosok pemimpin saat ini.
Sungguh ironi, ditengah jargon yang sering dikumandangkan para pemimpin negeri ini bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. Namun, praktik pelanggaran hukum dan diskriminasi di hadapan hukum terus saja berlangsung dan menjadi antitesis dari ungkapan itu.
Karakter pemimpin yang lain menurut para respunden jajak pendapat, yang langka saat ini pada diri pemimpin Indonesia, adalah sifat tuntas dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Kita saksikan, betapa seorang Presiden kita adalah seorang peragu, yang bersifat amat hati-hati (untuk tidak mengatakan lamban) dan penuh perhitungan dalam menyelesaikan masalah bangsa.
Di tengah sebagian besar masyarakat kita berharap bahwa pemimpin harus memiliki ketegasan dalam penegakkan hukum, pemimpin kita, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan barangkali banyak para pemimpin lain di negeri ini, juga para calon pemimpin yang akan datang justru tidak memiliki sifat atau karakter seperti itu.
Tak perlu disangkal. Sebab faktanya pemerintahan saat ini berulang-ulang memperlihatkan drama penegakan hukum yang karut-marut.
Institusi Calon Pemimpin
Siapa yang patut bertanggung jawab atas situasi krisis kepemimpinan seperti yang terjadi saat ini?
Yang harus menjadi sorotan paling pertama sebenarnya adalah institusi formal calon pemimpin, tak lain adalah partai politik. Sebab kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini belakangan terus merosot. Menjamurnya praktik korupsi dan politik uang di kalangan elite parpol membuat sebagian besar masyarakat tidak lagi menaruh percaya kepada lembaga ini.
Publik lebih percaya kepada lembaga pendidikan seperti kampus untuk melahirkan calon pemimpin masa depan. Dalam jajak pendapat Kompas misalnya, kepercayaan responden terhadap institusi pendidikan dalam mencetak kader pemimpin berkarakter sebesar 71,6 persen. Proporsi responden yang juga cukup besar, yakni lebih dari separuh bagian, menyebutkan institusi militer dan birokrasi mampu mencetak para pemimpin. Sementara lembaga seperti partai politik, institusi bisnis, dan ormas tidak banyak dipercaya lagi akan bisa melahirkan pemimpin.
Ini tentu kondisi yang ironis di mana parpol seharusnya menjadi wadah bagi lahirnya calon pemimpin, mengingat dalam sistem demokrasi kita, parpol-lah yang dapat mencalonkan pemimpin, baik presiden atau wakil presiden.
Masalah lain, akademisi yang kerap dinilai punya integritas tinggi karena mendasarkan langkahnya pada kepentingan obyektif, pada kenyataannya tidak demikian. Sejumlah pemimpin yang berasal dari institusi pendidikan juga tidak bisa terlepas dari kepentingan politik baik pribadi maupun kelompoknya. Ketika dia masuk ke dalam sistem pemerintahan maupun lembaga negara, kedua kepentingan itu justru yang lebih menonjol dan segera menggerus integritas yang dimilikinya. Jika demikian, masih adakah harapan bagi lahirnya sosok pemimpin berkarakter di masa depan?
Mantan anggota DPR dan aktivis 77/78, M. Hatta Taliwang meyakini jika bangsa ini masih melakukan proses pemilihan pemimpin dengan cara yang ada seperti sekarang, maka tidak akan lahir pemimpin yang diharapkan mansyarakat. “Kita tahu, semua pemimpin dan calon pemimpin yang ada sekarang di partai-partai politik adalah produk kapitalisme, semua hasil transaksi,” tegasnya. Bahkan menurutnya, jika Pemilu 2014 masih diadakan, dia yakin tidak akan lahir pemimpin bangsa yang mempunyai karakter.
Menurut Hatta, sesungguhnya yang diperlukan bangsa Indonesia sudah jelas, yaitu revolusi. Tapi entah mengapa, meski masyarakat sepertinya sudah jenuh dengan kondisi ini, revolusi tak terjadi juga. Tapi, Hatta yakin bahwa secara diam-diam, pada tingkat-tingkat tertentu revolusi telah terjadi.
“Kita harus yakin bahwa revolusi telah bergulir. Kita lihat, pemerintahan yang ada sekarang ini sebenarnya hanya eksis secara konstitusional saja, di tingkat grassroot kepercayaan terhadap pemerintah sebenarnya sudah tidak ada lagi,” pungkas Hatta.
Jajak pendapat Kompas September 2012 terhadap 686 responden di 12 kota besar Indonesia mengenai pemimpin
Jum'at, 25 Januari 2013 16:38

Pemimpin Tak Berkarakter, Rakyat Minder

Pemimpin Tak Berkarakter, Rakyat Minder
Krisis kepemimpinan dan ketiadaan figur calon pemimpin berkarakter ternyata bukan saja menjadi kegelisahan kalangan aktivis atau pemerhati bangsa. Masyarakat secara umum juga merasakan kegelisahan yang sama. Bahkan, lebih jauh mereka menilai saat ini tidak ada lagi sosok pemimpin berkarakter yang mampu mengatasi persoalan bangsa. Akhirnya, rakyat yang merasa tak punya pemimpin berkarakter, sekarang menjadi minder.
Pada pengujung tahun 2012 lalu, Litbang Kompas melakukan jajak pendapat terhadap 686 responden di 12 kota besar Indonesia. Temanya tentang ketiadaan sosok pemimpin yang dianggap mampu mengatasi persoalan bangsa. Hasilnya, dari 10 responden, 6 di antaranya tidak bisa menyebutkan nama tokoh pemimpin masa kini yang dinilai mampu menyelesaikan persoalan bangsa. Secara khusus, bahkan sepertiga bagian dari responden menyatakan, tidak ada satu pun sosok yang bisa memimpin bangsa dalam melewati berbagai hambatan saat ini maupun di masa datang.
Tidak adanya sosok pemimpin yang berkarakter, menurut sebagian besar responden, ditunjukkan dengan sejumlah indikator, seperti rendahnya kinerja pemimpin dalam mengelola konflik ataupun menuntaskan sejumlah persoalan.
Korupsi di kalangan pejabat negara misalnya, dikeluhkan oleh 83,2 persen responden. Praktik penyalahgunaan kekuasaan itu terus terjadi secara masif, meskipun pada saat yang sama Komisi Pemberantasan Korupsi terus melakukan upaya pemberantasan.
Sejumlah persoalan lain, dinilai responden belum juga diselesaikan secara tuntas, misalnya berbagai tindak kekerasan yang dialami kelompok minoritas agama, konflik tanah antara perusahaan besar dan petani kecil, atau kekerasan terhadap buruh migran di luar negeri, dan lain sebagainya. Rata-rata responden tidak puas dengan penyelesaian yang dilakukan para elite pemimpin, baik pemimpin formal maupun non formal seperti pemimpin adat dan agama.
Sudah sedemikian parahkah pesimisme bangsa kita, sehingga menganggap kehadiran sosok pemimpin berkarakter hanyalah mimpi? Sudah hilang harapankah rakyat negeri ini? Sehingga mereka merasa harus siap bahwa siapa pun yang akan memimpin bangsa ini, mereka tetap akan sendiri. Rakyat tetap akan menghadapi persoalan hidupnya sendiri-sendiri. Bahkan, dalam bahasa yang amat pesimis, mereka mengatakan, ada atau tidak pemimpin, mereka tetap harus tegar menghadapi masalah hidup masing-masing. Pergantian pemimpin yang terjadi selama ini, bagi rakyat ternyata hanyalah drama yang melahirkan tragedi demi tragedi.
Pemimpin Berkarakter
Ketiadaan pemimpin berkarakter, membuat rakyat saat ini tidak merasakan pengaruh dari keberadaan seorang pemimpin. Sementara rakyat meyakini bahwa karakter seorang pemimpin akan memberikan pengaruh terhadap perjalanan suatu bangsa.
Di masa lalu misalnya, sosok Soekarno benar-benar menjadi inspirasi bagi upaya membangun negara dan bangsa yang merdeka dan mandiri. Soekarno adalah simbol pemimpin yang memiliki karakter kuat dan mampu melahirkan gagasan besar, terutama nasionalisme. Sehingga di masa kepemimpinannya, gagasan ekonomi berdikari berkumandang kuat. Soekarno berani menyatakan “tidak” kepada Amerika Serikat.
Dalam diri Soeharto, terlepas segala kekurangannya, banyak orang masih menilai, setidak-tidaknya dia masih memiliki karakter yang tegas meski otoriter. Dengan karakter itulah, Orde Baru berhasil menjalankan program pembangunan, kendati salah satunya dengan cara membungkam opini kelompok yang berseberangan. Di bawah kepemimpinan Soeharto-lah, berbagai perbedaan pendapat ataupun konflik terbuka mampu diselesaikan, meski dengan cara-cara militer, penggunaan kekerasan, dan tanpa kompromi. Di bawah rezim otoriter itu ideologi pembangunan dilaksanakan oleh mesin birokrasi yang berwatak sentralistis, bekerja sama dengan modal asing dan para kapitalis klien. Jangan lupa, pada satu sisi Soeharto dianggap berhasil.
Pascareformasi, mungkin Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang terbilang pemimpin punya karakter, meski berbeda dibanding pemimpin sebelumnya. Gus Dur mampu mendekonstruksi wacana kekuasaan yang sebelumnya sakral menjadi lebih lunak dan terbuka. Politik keberagaman menjadi watak dari kepemimpinannya.
Gus Dur mampu merekatkan mozaik etnisitas dan agama, meski akhirnya terpaksa harus mengakhiri kepemimpinan di tengah jalan. Diakui atau tidak, kini banyak kalangan yang justru merindukan kehadirannya, terutama ketika berbagai praktik diskriminasi terus terjadi saat ini. Praktis, setelah Gus Dur, bangsa Indonesia belum lagi menemukan sosok pemimpin berkarakter.
Menurut hampir seluruh responden jajak pendapat Kompas, pemimpin yang berkarakter adalah harus mempunyai ketegasan dalam menegakkan hukum. Sementara, apa yang terjadi belakangan ini adalah tragedi-tragedi menyayat hati tentang ketidakadilan. Sebuah tontonan kekalahan kaum lemah atas kaum penguasa. Hukum dan keadilan hanyalah mainan kalangan pemilik modal dan kekuasaan. Sebab itu, dalam jajak pendapat tersebut, ketika responden ditanya tentang sosok pemimpin yang memiliki karakter, proporsi terbesar responden tidak bisa menyebutkan sebuah nama pun sosok pemimpin saat ini.
Sungguh ironi,  ditengah jargon yang sering dikumandangkan para pemimpin negeri ini bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. Namun, praktik pelanggaran hukum dan diskriminasi di hadapan hukum terus saja berlangsung dan menjadi antitesis dari ungkapan itu.
Karakter pemimpin yang lain menurut para respunden jajak pendapat, yang langka saat ini pada diri pemimpin Indonesia, adalah sifat tuntas dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Kita saksikan, betapa seorang Presiden kita adalah seorang peragu, yang bersifat amat hati-hati (untuk tidak mengatakan lamban) dan penuh perhitungan dalam menyelesaikan masalah bangsa.
Di tengah sebagian besar masyarakat kita berharap bahwa pemimpin harus memiliki ketegasan dalam penegakkan hukum, pemimpin kita, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan barangkali banyak para pemimpin lain di negeri ini, juga para calon pemimpin yang akan datang justru tidak memiliki sifat atau karakter seperti itu.
Tak perlu disangkal. Sebab faktanya pemerintahan saat ini berulang-ulang memperlihatkan drama penegakan hukum yang karut-marut.
Institusi Calon Pemimpin
Siapa yang patut bertanggung jawab atas situasi krisis kepemimpinan seperti yang terjadi saat ini?
Yang harus menjadi sorotan paling pertama sebenarnya adalah institusi formal calon pemimpin, tak lain adalah partai politik. Sebab kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini belakangan terus merosot. Menjamurnya praktik korupsi dan politik uang di kalangan elite parpol membuat sebagian besar masyarakat tidak lagi menaruh percaya kepada lembaga ini.
Publik lebih percaya kepada lembaga pendidikan seperti kampus untuk melahirkan calon pemimpin masa depan. Dalam jajak pendapat Kompas misalnya, kepercayaan responden terhadap institusi pendidikan dalam mencetak kader pemimpin berkarakter sebesar 71,6 persen. Proporsi responden yang juga cukup besar, yakni lebih dari separuh bagian, menyebutkan institusi militer dan birokrasi mampu mencetak para pemimpin. Sementara lembaga seperti partai politik, institusi bisnis, dan ormas tidak banyak dipercaya lagi akan bisa melahirkan pemimpin.
Ini tentu kondisi yang ironis di mana parpol seharusnya menjadi wadah bagi lahirnya calon pemimpin, mengingat dalam sistem demokrasi kita, parpol-lah yang dapat mencalonkan pemimpin, baik presiden atau wakil presiden.
Masalah lain, akademisi yang kerap dinilai punya integritas tinggi karena mendasarkan langkahnya pada kepentingan obyektif, pada kenyataannya tidak demikian. Sejumlah pemimpin yang berasal dari institusi pendidikan juga tidak bisa terlepas dari kepentingan politik baik pribadi maupun kelompoknya. Ketika dia masuk ke dalam sistem pemerintahan maupun lembaga negara, kedua kepentingan itu justru yang lebih menonjol dan segera menggerus integritas yang dimilikinya. Jika demikian, masih adakah harapan bagi lahirnya sosok pemimpin berkarakter di masa depan?
Mantan anggota DPR dan aktivis 77/78, M. Hatta Taliwang meyakini jika bangsa ini masih melakukan proses pemilihan pemimpin dengan cara yang ada seperti sekarang, maka tidak akan lahir pemimpin yang diharapkan mansyarakat. “Kita tahu, semua pemimpin dan calon pemimpin yang ada sekarang di partai-partai politik adalah produk kapitalisme, semua hasil transaksi,” tegasnya. Bahkan menurutnya, jika Pemilu 2014 masih diadakan, dia yakin tidak akan lahir pemimpin bangsa yang mempunyai karakter.
Menurut Hatta, sesungguhnya yang diperlukan bangsa Indonesia sudah jelas, yaitu revolusi. Tapi entah mengapa, meski masyarakat sepertinya sudah jenuh dengan kondisi ini, revolusi tak terjadi juga. Tapi, Hatta yakin bahwa secara diam-diam, pada tingkat-tingkat tertentu revolusi telah terjadi.
“Kita harus yakin bahwa revolusi telah bergulir. Kita lihat, pemerintahan yang ada sekarang ini sebenarnya hanya eksis secara konstitusional saja, di tingkat grassroot kepercayaan terhadap pemerintah sebenarnya sudah tidak ada lagi,” pungkas Hatta.

Hasil jajak pendapat Kompas September 2012 terhadap 686 responden di 12 kota besar Indonesia mengenai pemimpin

Karakter Pemimpin yang diinginkan
Institusi yang dianggap mampu melahirkan pemimpin



Tidak ada komentar: