Selasa, 12 Maret 2013


Potret Buram Demokrasi Pasca Reformasi
Indonesia termasuk satu dari sekian negara yang dianggap paling demokratis di Asia saat ini. Bahkan, mantan Ketua DPR Akbar Tanjung menyebut, terkait dengan Pemilu Presiden, Indonesia lebih demokratis dibanding Amerika sekalipun. Tapi, apakah demokratisasi yang telah berkembang ini telah membawa bangsa Indonesia menuju cita-cita kemerdekaannya? Tentu jawabannya belum. Sebab faktanya, kedaulatan masih menjadi barang mahal bagi rakyat bangsa ini.
Tidak sepenuhnya benar jika ada yang menyebut bangsa Indonesia baru berdemokrasi sejak tahun 1998. Karena bagaimanapun, Indonesia pernah menerapkan sistem demokrasi parlementer pada awal kemerdekaan meskipun hasilnya amburadul. Bahkan,pemilu tahun 1955 dianggap sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia, dan baru diulangi lagi 44 tahun kemudian, yaitu pada Pemilu 1999.
Tahun 1998 banyak disebut sebagai tonggak dimulainya demokrasi di Indonesia lebih karena adanya peristiwa monumental yaitu gerakan massa, dalam hal ini mahasiswa, menumbangkan rezim Orde Baru yang dianggap anti-demokrasi.
Reformasi meski tidak membongkar kebusukan rezim terdahulu secara total, namun harus diakui telah berhasil menciptakan suasana negara yang lebih demokratis. Sehingga lahirlah tatanan dan mekanisme politik baru yang lebih demokratis.
Sikap-sikap demokratis dari rezim reformasi itu ditunjukkan misalnya, dengan penghapusan breidel dan memperkenalkan lagi kebebasan pers pada masa Presiden BJ Habibie. Bahkan, karena alasan demokratisasi pula, BJ Habibie memberikan hak referendum kepada Timor-Timur yang akhirnya memisahkan diri dari bagian negara Indonesia. Paket UU Politik pun kemudian disahkan dan membuahkan hasil Pemilu demokratis pertama dalam kurun 44 tahun sejarah Indonesia.
Bahkan, di masa Presiden Abdurrahman Wahid atau Gusdur upaya demokratisasi kian radikal, khususnya di tubuh militer. Misalnya, dilakukan pemisahan lembaga TNI dan Polri. Gusdur berjasa, kendati demokratisasi yang dilakukan pada akhirnya menjatuhkan posisinya sendiri sebagai Presiden.
Sejak 1998, politik Indonesia memang dipenuhi kejadian monumental terkait demokratisasi. Artinya, dari sisi ini Indonesia mengalami kemajuan. Setidaknya, kebebasan pers sudah bisa dinikmati, meski belakangan mengalami reduksi. Partai politik sudah lebih independen, baik dalam hal rekrutmen maupun promosi kadernya. Pemilu berlangsung cukup demokratis, bahkan ada yang melabelinya sebagai pemilu terdemokratis di Asia. Bahkan ada pihak yang menilai secara kuantitas Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika.
Hingga tahun 2007, kualitas demokrasi di Indonesia dinilai terus meningkat. Feedom House misalnya, lembaga non-pemerintah yang ada di Amerika ini menilai, tahun 1998 Indonesia masuk kategori tidak demokratis, kondisi tersebut berlangsung hingga tahun 2000. Namun, pada penilaian di tahun 2007 Indonesia sudah dikategorikan sebagai negara demokratis. Kendatipun lembaga ini memberi catatan bahwa terjadi penurunan kualitas demokrasi di Indonesia pada 2001 dan 2002.
Lembaga dalam negeri seperti Lembaga Survei Indonesia maupun Lingkaran Survei Indonesia juga memberi penilaian sama. Data-data dari lembaga itu dari tahun 2006 hingga 2007 menunjukkan tingkat dukungan terhadap demokratisasi bergerak di kisaran 70-75, sementara gerakan anti-demokrasi berada pada kisaran 10-12.
Fakta dan data boleh mengatakan bahwa demokrasi berkembang dengan baik di Indonesia. Namun jangan lupa, di sisi lain perilaku korupsi di kalangan elite kekuasaan juga semakin merajalela, bahkan dilakukan dengan cara-cara yang amat vulgar bila dibanding dengan perilaku korusi di masa lalu. Sementara, penegakkan hukum berjalan terseok-seok. Hukum masih tebang pilih dan terkesan tajam ke bawah namun tumpul ke atas.
Partai politik yang berkembang biak dengan amat pesat, tidak mampu menghasilkan para politisi yang mampu menciptakan pemerintahan yang bersih dan baik. Good governance menjadi barang aneh dalam tata kelola pemerintahan saat ini. Demokratisasi yang berkembang dengan baik terbukti tidak mampu menciptakan perilaku politik elite yang baik pula.
Sejumlah kalangan menilai, sukses demokrasi Indonesia pasca reformasi 1998 masih sebatas sukses dalam kategori “demokrasi prosedural”. Artinya, proses-proses dan kelembagaan demokrasi memang sudah ada dan berjalan dalam dinamika politik Indonesia. Namun, kualitas demokrasi dan perwakilan masih belum terwujud, dibuktikan dengan masih karut-marutnya tata kelola pemerintahan, serta penegakan hukum dan penanganan kasus korupsi yang masih tebang pilih. Bahkan, kondisi ini kemudian berimbas pada sektor lain, misalnya pada pemulihan ekonomi yang tak kunjung membaik, prestasi bangsa di berbagai bidang, semisal olahraga yang terus tiarap, bahkan di kawasan Asia Tenggara sekalipun.
Kualitas demokrasi kita ternyata masih jeblok. Demokrasi seharusnya tidak hanya sekadar dilihat dari keberadaan lembaga politik seperti Pemilu, Parpol, DPR atau parlemen yang kuat, tetapi harus juga dilihat bagaimana lembaga-lembaga tersebut memberi apresiasi terhadap hak politik masyarakat, akses masyarakat terhadap kebijakan publik, dan bagaimana kekuasaan dijalankan secara efisien dan efektif.
Demokrasi semestinya tidak sekadar berjalan secara prosedural belaka, tetapi diupayakan agar bagaimana filosofi demokrasi itu menyentuh kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Demokrasi harus berimplikasi secara langsung terhadap interaksi keseharian dan kebutuhan ekpresi politik dan ekonomi masyarakat.
Jadi, amat salah apabila pemerintah bangga dengan capaian perkembangan demokrasi saat ini. Sebab yang berkembang sekarang ternyata bukan demokrasi esensial, tapi hanya demokrasi prosedural belaka. Bahkan, politisi senior Partai Gerindra, Fadli Zon, menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia jauh dari demokrasi yang dicita-citakan. Pasalnya, meski prosedurnya dilakukan secara demokratis, namun yang terjadi justru praktik kriminal.
“Parpol itu sudah membuat demokrasi jauh dari harapan, saya sebut politik sekarang sebagai political animal karena demokrasi Indonesia jauh dari demokrasi, jadi demokrasi Indonesia adalah demokrasi kriminal, karena praktiknya kriminal,” ungkap Fadli dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (5/1/2013) lalu.
Bagi pria yang gemar membaca buku dan mengoleksi barang antik ini, politik di Indonesia masih belum dimaknai sebagai tujuan untuk menyejahterakan rakyat. Sehingga rakyat hanya menjadi objek politik dan tidak mendapatkan hasil apa-apa dari politik. Menurutnya politik semakin gaduh karena hanya dibentuk untuk kepentingan parpol semata, bukan untuk tujuan kesejahteraan.
Capaian Demokrasi
Terkait capaian demokrasi di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir, sejumlah kalangan menilai di beberapa sisi cukup berhasil.
Kalangan ini menyampaikan data bahwa tidak semua negara yang mengalami demokratisasi sejak tahun 1970-an, berhasil mengkonsolidasikan demokrasi. Banyak negara lain yang terjebak dalam kekisruhan politik berkepanjangan, seperti pengalaman banyak negara di Amerika Latin. Beberapa negara, bahkan mundur kembali ke sistem otoritarian.
Sementara Indonesia, meski demokrasi belum terkonslidasikan dengan baik, setidaknya capaian secara prosedural cukup positif.
Hal lain misalnya, kemampuan bangsa Indonesia melaksanakan dua kali pemilu demokratis membuat negara ini sanggup melakukan peralihan kekuasaan secara damai di tahun 2004. Sejak 2004, Indonesia dianggap mampu menyelesaikan tugas transisi demokrasi yaitu dengan membangun kelembagaan demokrasi yaitu pemilu dan parpol. Kemudian dibuat mekanisme politik yang demokratis melalui paket UU Politik (UU tahun 1999 dan 2002 dan 2003 mengenai Parpol, Pemilu dan Susduk). Prestasi inilah yang kemudian dicatat oleh Freedom Houseyang menempatkan Indonesia dalam jajaran negara demokratis sejak tahun 2006.
Selain hal-hal disebut, Indonesia juga dianggap berhasil melakukan reformasi sektor keamanan. Misalnya, revisi Dwi Fungsi ABRI, reduksi fungsi sosial-politik, ditariknya TNI-POLRI dari DPR/MPR, dan Departemen Pertahanan yang ditangani Menteri Sipil, dianggap kalangan sebagai capaian-capaian yang konstruktif dalam konteks demokratisasi.
Sementara itu, meskipun parpol yang ada saat ini mengalami penurunan kepercayaan masyarakat yang amat menyedihkan, bahkan parpol dinilai sebagai lembaga terkorup, bagaimanapun parpol tetap diperlukan dalam sistem demokrasi. Sebab representasi dan pengelompokan masyarakat yang rasional dalam konteks kompetisi politik adalah parpol. Demokrasi sulit dibangun tanpa parpol, dan di Indonesia masyarakat mendapat ruang yang begitu besar untuk membentuk parpol.
Potret Buram
Meski di satu sisi demokratisasi di Indonesia mampu menampilkan wajah cerah, namun di sisi lain masih ada potret yang buram. Sistem demokrasi, selain memberikan kebebasan berpendapat kepada masyarakat, juga membawa dampak lain. Dalam alam demokrasi kisruh antarlembaga pemerintahan seolah dianggap sesuatu yang lumrah, kendati nyatanya mengganggu jalannya pemerintahan, dan masyarakat menjadi korban.    
Dari tahun 2007 hingga 2012, pemerintahan hasil pemilu yang dianggap demokratis ini tak henti-hentinya dilanda kisruh. Di tahun 2007 misalnya, kisruh terjadi antara lembaga Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Komisi Yustisia, kemudian antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan MA. Kisruh terkait soal kewenangan dan batas kewenangan maupun seputar ide dan usul untuk menata kembali semua lembaga itu.
Di tahun-tahun berikutnya, kisruh masih berlanjut. Misalnya di tahun 2012 tercatat sejumlah kisruh antarlembaga pemerintah bahkan antaranggota kabinet sempat terjadi. Sebut saja salah satunya, kisruh antara KPK dan Polri terkait kasus korupsi simulasi alat SIM yang melibatkan sejumlah jenderal kepolisian. Kisruh tersebut tidak membuahkan apa-apa, kecuali dagelan tidak lucu yang membuat masyarakat kecewa.
Di luar pemerintahan, demokratisasi juga membuahkan “tontonan” perdebatan yang terkadang menggelikan di kalangan anggota dewan. Perdebatan yang muncul terkadang tidak terkait dengan persoalan kesejahteraan rakyat, tetapi soal untung dan rugi untuk partai politiknya.
Lihat saja misalnya, pembahasan soal revisi paket UU Politik (UU Partai Politik, UU Pemilihan Umum, UU SUSDUK dan UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden). Pertikaian antara Partai Besar dan Kecil menyeruak ke kepermukaan. Mereka berdebat secara terbuka dan terkadang memuakkan membahas mengenai electoral treshold, syarat memasuki Pemilu, Daerah Pemilihan, sistem Pemilu, dan soal-soal teknis lainnya. Masyarakat yang menyaksikan hingar bingar perdebatan itu lebih banyak yang muak ketimbang memberikan apresiasi. Pembahasan UU Politik terkesan hanya untuk kepentingan parpol semata, kepentingan masyarakat dikesampingkan.
Sisi buram yang lain dari proses demokrasi yang tengah berjalan di negeri ini adalah diselenggarakannya Pilkada yang kerap memicu konflik sosial dan menimbulkan korupsi yang “gila-gilaan” di pemerintahan daerah. Lebih dari 30% pejabat daerah terlibat korupsi. Diduga hal ini disebabkan karena adanya biaya politik yang amat tinggi untuk menjadi seorang kepala daerah, akibatnya korupsi tak dapat terhindari.  
Sejauh ini, kualitas pelaksanaan Pilkada di setiap daerah menampilkan wajah yang hampir sama. Yaitu terjadi kecurangan di mana-mana, konflik antarpendukung, kurang persiapan, tingkat golput yang tinggi, politik uang, pertikaian di pengadilan dan sebagainya. Jika sudah demikian, masih perlukah proses demokratisasi ini dilanjutkan apa adanya, sampai kapan?

Tidak ada komentar: