Selasa, 12 Maret 2013


Oligarki Hambat Kaderisasi Pemimpin
Pemusatan kekuasaan pada orang, keluarga, atau kelompok kecil tertentu (oligarki) dapat menghambat atau bahkan menyumbat sama sekali potensi lahirnya pemimpin alternatif. Dan inilah yang tengah terjadi di Indonesia, sebuah negara besar yang dihuni lebih dari 200 juta kepala manusia.
Benar apa yang dikatakan sosiolog UI, Tamrin Amal Tomagola pada diskusi soal krisis kepemimpinan di Jakarta, medio Desember lalu, bahwa bangsa kita saat ini tengah mengalami krisis kepemimpinan. Dan salah satu penyebabnya adalah oligarki kekuasaan.
Menurut Tamrin, adanya sentralisasi kekuasaan di tangan segelintir orang atau dalam politik disebut oligarki, dan dalam oligarki kita sudah mengerucut pada oligarki keluarga, berakibat pada tersumbatnya proses rekrutmen kader-kader pemimpin.
Bangsa ini pada akhirnya kehabisan stok pemimpin. Dalam arti, bukan tidak ada yang mau menjadi pemimpin. Justru yang mau menjadi calon presiden di negeri ini banyak sekali. Tetapi kita amat sulit mencari figur pemimpin yang benar dan berkarakter. Coba sebutkan 10 nama saja calon pemimpin yang berkarakter di negeri ini, apakah ada?
Oligarki kekuasaan di Indonesia yang sedianya musnah atau setidak-tidaknya dapat diminimalisasi bersamaan dengan runtuhnya rezim Orde Baru, justru semakin menjamur. Tidak saja terlihat di panggung politik tingkat nasional, tetapi juga di tingkat lokal.
Di tingkat nasional oligarki kekuasaan diperlihatkan oleh para petinggi partai politik dengan mengangkat pengurus Parpol dari kalangan lingkaran keluarga, teman, atau kolega bisnisnya.
Aburizal Bakrie misalnya, sebagai Ketua Umum Partai Golkar banyak mengangkat jajaran pengurusnya dari kalangan pengusaha Kadin. Sebagaimana diketahui, Ical merupakan mantan ketua Kadin yang moncer di panggung politik.
Sementara itu, di partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Dewan Pembina juga menempatkan sejumlah nama dari kalangan keluarga untuk duduk di kepengurusan partai tersebut. Bahkan, salah satu putranya Edhie Baskoro Yudhoyono menjadi Sekjen di partai berlambang mercy itu. Di partai lain, seperti PDI-P, PKB, PAN, dan sebagainya tentu praktik oligarki politik ini juga dilakukan.
Di sejumlah daerah praktik oligarki ini justru sangat kentara. Misalnya di Provinsi Banten, dikenal dengan Dinasti H. TB. Chasan Sochib, seorang jawara Banten. Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah adalah anak dari Hasan Sochib, sementara saudara-saudara dan ipar Atut yang lain menjabat Walikota Serang, Wakil Bupati Serang, dan Walikota Tangerang Selatan. Bahkan istri Chasan Sochib, yang tak lain ibu tiri Sang Gubernur yang bernama Heryani menjadi Wakil Bupati Pandeglang. Selain di eksekutif para menantu dan cucu Chasan Sochib juga berkiprah di DPR-RI, DPD, dan DPRD Banten.
Di Kota Cilegon juga berlaku sistem dinasti, Walikota sekarang, Tubagus Imam Ariyadi merupakan anak dari walikota sebelumnya, Tubagus Aat Syafaat. Di Kabupaten Indramayu juga tidak jauh berbeda, di mana jabatan bupati saat ini dipegang oleh Ana Sophana, yang tak lain istri dari bupati periode sebelumnya, Irianto Irsyam alias Yance.
Di Kalimantan Tengah praktik oligarki juga berlaku, di mana dikuasai oleh dinasti Narang. Gubernurnya Teras Narang, Ketua DPRD-nya Reinhard Atu Narang yang tak lain adalah saudara kandung Teras Narang. Di kursi DPRD Kalimantan Tengah juga bertebaran keluarga Narang.
Di Lampung ada dinasti Sjachruddin ZP (Gubernur Lampung), di mana Bupati Lampungnya adalah anak Sang Gubernur yang bernama Ryco Menoza, lalu Wakil Bupati Kabupaten Pringsewu, Handitya Narapati juga anak Sjachruddin. Di sejumlah daerah masih banyak ditemukan politik dinasti yang menutup peluang bagi lahirnya kader pemimpin dari luar lingkaran keluarga dinasti.
Dinasti Politik dalam Demokratisasi

Politik dinasti (dynasty politics) dapat diartikan sebagai praktik kekuasaan di mana anggota keluarga (sanak famili) diberi dan/atau mendapat posisi dalam struktur kekuasaan. Kekuasaan hanya terbagi kepada dan terdistribusi di kalangan kerabat, dan keluarga sedarah.  

Dinasti Politik di Daerah

Banten
Dinasti H. TB. Chasan Sochib (Jawara Banten)

Jabatan Eksekutif:
Gubernur Banten: Ratu Atut Chosiyah (Anak)
Walikota Serang: Tb. Hacrul Jaman (Anak)
Wakil Bupati Serang: Ratu Tatu Chasanah (Anak)
Wakil Bupati Pandeglang: Heryani (Istri)
Walikota Tanggerang Selatan: Airin (menantu)

Jabatan Legislatif:
Anggota DPR RI: Hikmat Tomet (Menantu/suami Ratu Atut Chosiyah)
Anggota DPD RI: Andika Hazrumy (Cucu)
Anggota DPRD Provinsi Banten: Aden Abdul Khaliq (menantu/suami ratu Lilis Kadarwati)
Anggota DPRD Kota Serang: Ratna Komalasari (Isri Chasan Sochib/Ibu tiri Ratu Atut)
Anggota DPRD Kota Serang: (Ade Rossi Chairunnisa (Cucu menantu, istri Andika Hazrumy)

Dinasti Tubagus Aat Syafaat (Mantan Walikota Cilegon)
Walikota Cilegon: Tubagus Imam Ariyadi (anak).

Kalimantan Tengah
Dinasti Narang

Jabatan Eksekutif:
Gubernur Kalimantan Tengah: Teras Narang

Jabatan legislatif:
Ketua DPRD Kalimantan Tengah: Reinhard Atu Narang (saudara kandung Teras Narang)
Anggota DPRD: Aries Narang (anak Reinhard Atu Narang)
Anggota DPRD: Pujihastuti (Bibi Aries Narang)
Anggota DPR RI: Asdy Narang (Anak Reinhard Atu Narang)

Lampung
Dinasti Sjachroedin ZP (Gubernur Lampung)

Bupati Lampung Selatan: Rycko Menoza (anak Gubernur Lampung Sjachroedin ZP)
Wakil Bupati Kabupaten Pringsewu: Handitya Narapati (anak Gubernur Lampung Sjachroedin ZP)


Jawa Tengah dan Jawa Barat
Dinasiti Pupung Suharis (anggota DPR 2004-2009)

Jabatan eksekutif:
Bupati Kendal 2000-2005 dan 2005-2007 : Hendy Boedoro (adik Pupung Suharis)
Bupati kendal: Widya Kandi Susanti (istri Hendy Boedoro)
Bupati Sumedang : Don Murdono (Hendy Boedoro)

Jabatan legislatif:
Anggota DPRD Kota Semarang 2004-2009: R. Yuwanto (adik)
Anggota DPRD Jawa Tengah: Murdoko (adik)
Anggota DPRD Kendal: Assep Diamonde (keponakan)

Jawa Timur
Dinasti Sutrisno (Mantan Bupati Kediri)

Bupati Kediri: Haryanti Sutrisno (istri)

Sulawesi
Dinasti Yasin Limpo

Jabatan Eksekutif:

Gubernur Sulawesi Selatan: Syahrul Yasin Limpo
Bupati Goa (2005-2010): Ichsan Yasin Limpo (adik Syahrul Yasin Limpo)

Jabatan legislatif:
Anggota DPRD Kota Makassar 2004-2009: Haris Yasin Limpo (adik Syahrul Yasin Limpo)
Anggota DPRD Sulawesi Selatan: Tenri Olle (adik Syahrul Yasin Limpo), Adnan Purichta (Keponakan Syahrul Yasin Limpo)
Anggota DPR RI: Indira Thita Chunda (anak Syahrul Yasin Limpo).

Oligarki Menyuburkan Korupsi
Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.
Memang dalam sistem demorasi yang menggunakan pemilihan secara langsung, kepemimpinan secara turun menurun, baik ke bawah (anak, keponakan, dsb.), maupun ke samping (istri, saudara, dsb.) sah-sah saja sejauh dipilih oleh rakyat. Namun demikian tetap saja oligarki kekuasaan itu berbahaya.
Selain menghambat berjalannya kaderisasi kepemimpinan yang baik dan adil, oligarki kekuasaan juga menyuburkan tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Demokrasi atau sistem pemilu pada akhirnya hanya berhenti pada demokrasi prosedural yang bisa dengan mudah disusupi oleh kekuatan uang.
Praktik oligarkis pasti untuk mempertahankan uang, kekuasaan, posisi, dan status. Oligarki yang besar kemudian akan menjelma dalam bentuk gabungan dari oligarki negara, pasar, dan partai politik. Hal ini tentu akan amat membahayakan masa depan bangsa dan negara.
Oligarki dalam partai politik sudah pasti tidak akan menumbuhkan suasana yang baik dalam mencetak kader pemimpin. Partai seperti milik beberapa orang saja yang memiliki kapital dan kekuasaan besar. Efek lebih jauhnya adalah tidak terbangunnya budaya politik yang beretika. Politik hanya akan dikelola oleh para politisi yang sekadar pandai bertransaksi tanpa etika. Mereka tidak lebih hanya semacam para komprador yang sebatas mencari keuntungan materi dan kekuasaan. Mana bisa kita berharap tercetak karakter kepemimpinan dari sistem dan orang-orang model ini.
Idealnya, salah satu peran partai politik adalah mengkader pemimpin bangsa. Partai-partai politik bertanggung jawab menyediakan bagi negara para pemimpin politiknya. Partai politik seharusnya menjadi wadah pengkaderan yang mampu mengideologisasi kader-kadernya untuk dipersiapkan menjadi pemimpin.
Tapi, terlalu naif jika berharap sesuatu yang ideal dari partai politik kita dengan kondisi seperti saat ini. Sebab kenyataannya, partai politik hanya dijadikan kendaraan politik untuk berebut jabatan strategis negara. Partai politik bersikap pragmatis, hanya ingin mendulang suara saat pemilu saja, lalu memilih politikus yang mempunyai banyak uang untuk memenuhi pundi-pundi kas partainya. Jadi, jangan terlalu berharap akan lahir pemimpin berkualitas dari parpol yang masih menerapkan praktik oligarkis seperti yang ada saat ini.

Tidak ada komentar: