Selasa, 12 Maret 2013


Kalahnya Idealisme Partai Politik
Sejak era reformasi, sistem pemilu yang diselenggarakan di Indonesia telah melahirkan banyak partai politik (parpol) yang memenuhi syarat electoral threshold. Pada pemilu yang akan digelar pada 2014 nanti, KPU telah menetapkan 10 parpol peserta.
Tumbuhnya jumlah parpol jelas merupakan sinyal positif atas kegairahan masyarakat dalam berdemokrasi. Ini juga menandakan bahwa pada perjuangan politiknya, masyarakat berpartisipasi aktif dalam national character building.
Namun di sisi lain, demokrasi yang berkembang pascareformasi membawa ekses yang tidak diharapkan. Salah satu yang paling disayangkan adalah kaburnya batas ideologi antarparpol.
Belakangan, parpol di Indonesia tidak lagi menjadikan ideologi dan platform sebagai alat utama mempengaruhi massa. Parpol lebih memiliki konfidensi menjual citra calon yang diusungnya daripada menyosialisasikan visi, misi, dan program. Padahal menurut sosiolog kritis Jean Baudrillard, citra itu seringkali bersifat semu, palsu, dan tidak nyata.
Jika analisis yang dikemukakan Baudrillard adalah benar, maka apa yang kita saksikan dalam panggung yang dihelat oleh parpol hanyalah sekadar simulacrum, dunia simulasi yang memanipulasi simbol-simbol untuk menggiring rakyat masuk ke alam ecstasy of politics yang hiper-realita. Parpol ibarat kapal laut yang membawa penumpangnya mengarungi samudera, tetapi tidak tahu akan berlabuh di mana.
Fenomena ideological mix di tatanan kehidupan parpol Indonesia, bukan saja membuat rakyat kesulitan melihat perbedaan kontinum partai kiri-kanan, namun yang lebih esensial yaitu semakin jauhnya jarak partai itu sendiri dari basis historis pendiriannya.
Wilayah keyakinan atas nilai-nilai yang diperjuangkan melalui sistem kekuasaan menjadi semakin sempit, tidak variatif, dan mereduksi peluang kompetisi pencarian alternatif-ideologis. Profil perpolitikan nasional yang lantas terbangun adalah one dimension ideology, di mana parpol relatif hanya memiliki satu dimensi ideologi saja. Gejala inilah yang kemudian melahirkan apa yang disebut dengan new middle ideologyatau ideologi tengah-baru.  
Musnahnya Ideologi Kiri-Kanan
Kontinum kiri-kanan parpol setiap negara tidak selalu sama. Di Kanada, sebagaimana ditulis Macionis dan Gerber (2004), partai yang berada di titik ekstrim kiri adalah partai komunis, di ekstrim kanan adalah partai konservatif, sedang di tengah, partai liberal.
Sementara dalam sejarah Indonesia, partai yang berada dalam kontinum kiri adalah partai dengan paham sosialisme, di kanan ada paham konservatisme yang diterjemahkan sebagai partai berbasis agama, sedang yang di tengah partai nasionalis yang bermaksud membumikan paham liberalisme-kapitaisme.
Realita empirik tentang paham tersebut juga agak berbeda dengan realita teoritik. Berbagai literatur menegaskan bahwa partai kiri digambarkan sebagai partai anti-kapitalis (anti-big business), bersifat egalitarian, kolektivis, dan intervensionis. Partai semacam ini mendukung dilakukannya safety net of social welfare programs, seperti pemeliharaan anak, pendidikan, dan pemeliharaan kesehatan. Mereka menentang free trade yang dikembangkan negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan sekutunya, karena dianggap memiliki efek negatif pada aspek perburuhan (khususnya dalam manufacturing) dan program-program sosial.
Sedangkan, paham kanan menjadi counterpart sosialis-marxis, yakni liberalis-kapitalis. Kesimpulan ini dapat dilihat dari tulisan Macionis dan Gerber yang menyebutkan bahwa ideologi kanan lebih mendukung private enterprisebig business, dan free markets. Persaingan bebas, globalisasi, restrukturisasi, penurunan defisit, dan privatisasi adalah program favoritnya. Dalam orientasi pembangunan ekonomi, ideologi kanan lebih memberikan kepercayaan pada pasar untuk mendukung economic growth rate strategies daripada harus mendorong negara terlalu jauh melakukan intervensi.
Organisasi yang beroperasi dalam sistem politik dengan tujuan untuk mengontrol jalannya pemerintahan atau parpol, serta orientasi ideologinya merupakan hasil unique political history. Atas aksioma semacam ini, maka secara probabilistik apa yang terjadi di satu negara dapat berbeda dengan yang terjadi di negara lain.
Oleh karena Indonesia juga memiliki sejarah politik yang berbeda dengan negara lain, maka wajar jika pertumbuhan dan perkembangan ideologi parpol juga memiliki kekhasan tersendiri. Dalam kaitan ini, Marx dan Plato sependapat untuk mengatakan bahwa ideologi adalahcultural belief yang dipergunakan oleh masyarakat untuk memberikan justifikasi konsepsi keadilan, kebebasan, kemerdekaan, dan sejenisnya.
Pergeseran partai-partai kiri-kanan menuju arena tengah yang menghasilkan ideologi tengah-baru merupakan fungsi dari kekalahan ideologi yang diusungnya. Dalam sepanjang sejarah Indonesia, partai kiri yang membawa paham sosialisme serta partai kanan yang menawarkan solusi profetikisme, terbukti sulit dijual di pasar politik. Kekalahan ideologi kiri-kanan diduga disebabkan oleh trauma rakyat atas ideologi yang berada dalam kontinum ekstrim kiri maupun kanan.
Di sisi lain, partai yang berideologi tengah-baru justru dipercaya rakyat. Meminjam istilah sosiologi Inggris, Herbert Spencer, partai dengan ideologi tengah-baru ternyata lebih memiliki survival of the fittest. Gejala politik Indonesia awal 2000-an tersebut mirip dengan yang terjadi di Kanada awal 1990-an. Bedanya jika di Kanada ideologi kiri-kanan bergerak menuju poros liberal, sementara di Indonesia bergerak ke arah kutub neo-nasionalisme yang mengakomodir gagasan sosialisme maupun liberalisme. Suatu ideologi pragmatis gaya Indonesia.
Kembali ke Ideologi Awal
George Hegel, seorang filsuf Jerman meyakini setiap orang akan mencari absolute truth sepanjang kehidupannya. Namun sebagaimana dinamika yang ada, mereka tidak akan pernah menemukan kebenaran mutlak. Yang mereka temukan hanya dynamic truth yang mengikuti hukum dialektika.
Kehadiran new-middle ideology ditengarai merupakan buah ikhtiar para aktor sekaligus sistem politik nasional dewasa ini. Ideologi ini akan terus bergerak sesuai dengan peluang dan tantangan, serta pull and push factors yang menerpa sebagaimana halnya kaidah dalam termodinamika.
Secara sosiologis tidak ada yang salah dengan semakin leburnya berbagai ideologi partai menjadi satu ideologi tengah-baru. Karena sebagaimana keyakinan teori struktural-fungsional, segala yang eksis di dunia ini pasti memiliki fungsi tersendiri. Namun secara kritis, bersamaan dengan menyeruaknya budaya politik tersebut, tampil pula praktik politik yang kurang sehat seperti: pragmatisme, komodifikasi politik, penonjolan figur yang berlebihan, pengingkaran terhadap platform, serta kartelisasi politik atau gabungan partai yang bertujuan untuk melakukan tindakan monopoli, terutama dalam mengatur keputusan politik yang strategis.
Terbangunnya ideologi tengah-baru sebagai mainstream mayoritas parpol telah mengingkari kodrat pluralitas kehidupan, termasuk di ideologi partai. Homogenisasi ideologi juga seakan membenarkan prediksi Karl Marx tentang gerak linier masyarakat menuju classless society. Dia membayangkan akan ada dunia tanpa class divisions, tanpa private property, tidak ada kategori miskin-kaya, tidak ada negara, serta no more ideology. Padahal seluruh ramalan ini salah besar. Tidak pernah ada dalam kehidupan nyata. Hanya ilusi dan fatamorgana Marx semata.
Di dunia ini tidak pernah ada realitas tunggal. Nilai, norma, kaidah, budaya, dan ideologi akan mengikuti jumlah manusia. Seberapa banyak jumlah manusia, maka sebanyak itu pula realita dunia. Aksioma semacam ini dapat dianalogikan untuk memandang new-middle ideology trends yang mewabah di kancah politik Indonesia. Gejala mengkerucutnya ideologi partai politik yang hanya mengarah pada ideologi tengah-baru tidak akan memiliki kemanfaatan yang optimal bagi upaya enlightenment terhadap kehidupan rakyat.
Kebersamaan berbagai parpol dalam ideologi yang relatif sama hanyalah semu belaka. Parpol tersebut hanya sedang berada di the same bag ideology, tetapi sebenarnya mereka tidak bisa bersama. Pasti antarparpol tetap mempunyai dasar ideologi berbeda.
Soliditas berbagai partai dalam mendukung new-middle ideology bukanlah solusi terbaik politik bangsa. Justru solusi yang paling jitu adalah parpol dengan kesadaran yang tinggi kembali ke khitah ideologinya. Sebab dengan demikian, partai-partai itu akan dapat saling mengontrol praktik sistem politik yang sedang berlangsung.
Gerakan kembali ke basis ideologi dapat dilakukan melalui mobilitas personal maupun kognitif. Gagasan semacam ini menurut Neil J. Smelser akan terwujud jika terpenuhi persyaratan structural conduciveness di level sistem sosial makro. Dengan logika teoritik semacam ini, maka pihak yang bertanggung-jawab atas upaya back to origin ideology bukan hanya orang partai saja, melainkan juga seluruh anggota masyarakat.
Perluas Kontinum Ideologi
Meminjam logika Samuel P. Huntington, bahwa setiap model partisipasi selalu berangkat dari asumsi berbeda. Asumsi inilah yang kemudian menjadi titik tolak partisipasi itu memulai. Hal yang sama pasti juga terjadi dalam kasus ideologi partai politik. Bahwa setiap partai yang memiliki ideologi berbeda, sudah pasti mempunyai asumsi yang berbeda pula mengenai sistem politik terbaik yang mestinya diimplementasikan di Indonesia. Mustahil partai dengan ideologi berbeda akan memiliki kesamaan keyakinan garis perjuangan politik.
Pemikiran di atas mengingatkan bahwa apa pun, apakah itu manusia, strategi pembangunan, ataupun parpol, tidak akan mungkin mampu merangkul semua hal dalam waktu yang sama. Isyarat semacam ini sekali lagi lebih dipengaruhi oleh asumsi dasar yang dibangun oleh setiap nilai.
Sekadar contoh, model pembangunan liberal misalnya, berasumsi bahwa segala permasalahan seperti keterbelakangan, kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan, dan lain sebagainya disebabkan oleh kekeliruan pembangunan ekonomi. Atas dasar hipotesa ini, maka model liberal akan memulai dan selalu memberikan prioritas pembangunan bidang ekonomi daripada bidang lainnya. Kebijakan pembangunan seperti ini tentu tidak dilakukan oleh model teknokratik ataupun model populis, yang berasumsi dasar pembangunan yang berbeda.
Parpol dengan keyakinan ideologi tertentu tidak mungkin bergerak ke seluruh arah kontinum kiri-tengah-kanan sekaligus. Lebih dari itu, posisi kiri-kanan sesungguhnya adalah merupakan oposisi biner yang seharusnya tetap dipelihara dalam setiap sistem kehidupan.
Keduanya berfungsi bila saling melengkapi, sebaliknya hilangnya salah satu dari keduanya justru akan mematikan kehidupan sistem itu sendiri. Fenomena terseretnya ideologi kiri-kanan untuk bertransformasi menjadi new-middle ideology, dapat dimaknai sebagai gejala rusaknya ekosistem parpol di Indonesia. Hal ini dikarenakan oleh adanya kematian ideologi kiri-kanan sebagai kekuatan penyeimbang ekosistem parpol.
Atas dasar rasionalitas itulah, maka sangatlah wajar bila fenomena ideologi tengah-baru akhirnya menjadi keprihatinan kita semua. Sebab dengan evidensi politik semacam ini, kontinum atau rentang gerak partai menjadi teramat terbatasi, yakni hanya bergerak di area tengah saja.
Seharusnya Parpol di Indonesia tidak berorientasi pada kemenangan saja, yang akhirnya menghalalkan segala cara termasuk menanggalkan basis ideologi. Parpol perlu mengembangkan sistem politik yang berorientasi pada perjuangan dan dakwah yang sebenar-benarnya demi rakyat.
Perubahan orientasi parpol dapat berubah untuk tidak pragmatis seperti belakangan ini, jika parpol berbesar hati untuk kembali pada kontinum ideologinya semula. Partai-partai dimaksud perlu membangun self confidence yang tinggi atas ideologinya dengan semangat pluarlisme dan multikulturalisme.
Dengan demikian, maka kontinum ideologi partai menjadi melebar kembali mengisi ruang kiri, tengah, dan kanan. Apabila gerakan kembali ke ideologi asal tidak dilakukan, maka partai hanya akan menjadi alat elite politik dalam meraih kekuasaan dan bukan mengemban amanah rakyat.
** Kirim opini Anda ke alamat redaksi meredekainfo.com atau melalui email gwhaybro@gmail.com dan redaksi@merdekainfo.com
Kamis, 17 Januari 2013 12:59

Segelintir Sukses Pemilukada

Segelintir Sukses Pemilukada
Pemilu kepala daerah (Pemilukada) meski banyak menghasilkan pemimpin yang tak berintegritas, namun harus diakui pula mampu memunculkan pemimpin baru. Namun sayang, hanya segelintir.
Pemilukada memicu munculnya sejumlah tokoh pemimpin lokal yang mampu membawa perbaikan dan perubahan di daerahnya. Misal saja di Solo, dari Pemiluada yang diselenggarakan di kota itu muncul sosok Joko Widodo atau akrab dipanggil Jokowi yang sekarang sukses memenangi Pemilukada sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Jokowi mencatat kesuksesan membangun kota Solo, di antaranya dia melakukan pembangunan kota itu sehingga bisa disejajarkan dengan kota-kota besar lain. Di sektor transportasi, Jokowi berhasil membangun moda transportasi masal baru, seperti railbus, Kereta Api Jaladara, Batik Solo Trans (BST), serta Bus Tingkat Werkudara. Jokowi juga berhasil memperbaiki rel yang berada di tengah kota untuk dilalui kereta api, serta membangun kembali Terminal Tirtonadi menjadi green terminal terbesar di Jawa Tengah.
Di bidang pendidikan dan kesehatan, pria berpenampilan sederhana ini berhasil menerbitkan kartu sehat atau Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta (PKMS), yang bisa digunakan berobat gratis bagi warga tak mampu. Sementara, bagi masyarakat yang tak mampu menyekolahkan anaknya, Jokowi juga membuat program Bantuan Pendidikan Masyarakat Surakarta (BPKMS).
Di sektor pariwisata, ide cemerlangnya berhasil membuat Solo menjadi kota yang menarik bagi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Di sektor ekonomi, dia dinilai berhasil melakukan revitalisasi pasar-pasar tradisional. Dan prestasi Jokowi yang paling fenomenal adalah pemindahan ribuan PKL dari kawasan Monumen 45 ke Pasar Klithikan Notohardjo di Semanggi, Solo tanpa sedikit pun kericuhan.
Pilkada juga melahirkan pemimpin lain semisal Djarot Saiful Hidayat. Mantan Walikota Blitar ini dinilai sukses mengatasi masalah birokrasi di awal karirnya sebagai orang nomor satu di kota Blitar itu. Dia berhasil memangkas struktur birokasi yang gemuk, tumpang tindih, dan menumbuhkan budaya birokrasi yang pro terhadap pelayanan masyarakat.
Djarot juga membuat Gerakan Perang Melawan Kemiskinan (GPMK). Gerakan yang melibatkan seluruh komponen masyarakat tersebut sukses menuntaskan pembangunan membenahi rumah kumuh dengan cara bergotong-royong sehingga layak huni dan sesuai standar kesehatan. Djarot juga dikenal sangat memperhatikan kesehatan masyarakat melalui program Puskemas. Hasilnya, Puskemas Bendo, Kecamatan Kepanjen Kidul, Blitar, menjadi model standar rujukan pelayanan puskemas di seluruh Indonesia.
Di Yogyakarta ada sosok Herry Zudianto. Walikota yang memimpin Kota Yogyakarta selama 10 tahun ini dinilai mampu membawa perubahan bagi kota pelajar itu. Lebih dari 80 penghargaan nasional maupun internasional diraih atas keberhasilannya.
Herry menyulap wajah Kota Yogyakarta menjadi kota yang humanis, dengan mengangkat pendidikan dan pariwisata sebagai lokomotif perekonomiannya. Taman Pintar dan Pasar Klithikan Pakuncen dan XT Square menjadi prestasi monumental Herry. Dia juga membuat program KMS (Kartu Menuju Sejahtera) yang memudahkan warga miskin mengakses fasilitas kesehatan dan pendidikan.
Berkat prestasinya, Herry diganjar penghargaan sebagai walikota terbaik dalam kategori Best City Award tingkat ASEAN (Asia Tenggara) bersama mantan walikota Solo Joko Widodo pada 9 Agustus 2012 lalu di Bangkok, Thailand. Penghargaan itu diberikan dalam Konferensi Parthership for Democratic Local Governance in Southeast Asia (Delgosea).
Namun demikian, kisah sukses pemimpin besutan pemilukada yang dipilih langsung rakyat itu sayangnya hanya segelintir saja. Sejumlahbesar, para pemimpin daerah hasil pemilukada gagal membawa daerahnya menuju situasi lebih baikSekitar 174 kepala daerah tersangkut perkara korupsi, lalu sisanya tersangkut sejumlah kasus tindak asusila seperti pelecehan terhadap perempuan, perselingkuhan, dan sebagainya.

Tidak ada komentar: