Selasa, 12 Maret 2013


Pemilukada Berbuah Konflik


Beberapa tahun lalu, Amerika melalui lembaga National Intelligence Council (NIC)yang bermarkas di Kantor Central Intelligence Agency (CIA) di LangleyVirginia, meramalkan empat skenario 2020. Dalam laporan berjudul Mapping the Global Future, NIC salah satunya meramalkan bahwa AS bakal memimpin perubahan global pada tahun 2020, di mana dunia hanya didominasi oleh satu kekuatan yakni,“one world one society with the difference culture,” dengan AS sebagai komandonya.
Tentu ramalan itu bukan suatu ramalan yang bersifat “ilmiah”, tapi lebih kepada propaganda negara Paman Sam itu untuk menunjukkan diri sebagai negara yang punya masa depan untuk menguasai dunia.
Namun, sebelum ramalan itu, Amerika sebenarnya sudah menyiapkan tahapan-tahapan dalam rangka menjalankan strategi besar untuk menguasai dunia itu. Indonesia, sebagai negara kaya di Asia Tenggara, tentu tidak luput dari skenario yang dibuatnya.
Saat ini, strategi besar negara adidaya itu sudah berjalan, mereka secara diam-diam (invisible) telah menguasai sektor publik, ekonomi, pemerintahan, legislatif, dan militer di negeri ini. Mereka juga telah melancarkan aksi memecah belah bangsa ini—dengan dalih demokratisasi—agar kelak menjadi “negara-negara kecil”, sehingga dengan begitu mereka dapat menghemat biaya dalam penguasaan negeri yang luar biasa luasnya ini. AS tentu menganggap lebih mudah menguasai negara-negara pecahan dibanding harus mengusai NKRI yang masih utuh seperti sekarang ini.
Dalam skenario mereka, bangsa ini bakal dijadikan potongan-potongan kecil dan rakyatnya akan sedikit “dimakmurkan” sehingga rakyat merasa puas dan mudah dikendalikan. Mereka melakukan pengkaderan tokoh-tokoh reformis sebagai agen neoliberalisme, baik di kalangan sipil, militer, maupun pengusaha. Dari sini pulalah kemudian upaya penguasaan secara permanen sumber-sumber kekayaan alam Indonesia dilakukan. Mereka mengembangkan manipulasi-manipulasi dan konspirasi sistem-sistem kontrak dan perjanjian.
Jadi, upaya penjajahan pihak Asing ini, khususnya Amerika, telah dilakukan secara konsepsional, sistematis, dan berjalan simultan, metodenya perlahan tapi pasti disesuaikan dengan karakteristik masyarakat Indonesia. Sehingga masyarakat Indonesia tidak sadar bahwa bangsanya sedang dijajah dengan cara-cara baru.
Asing, dalam hal ini Amerika, misalnya melakukan anarkisme konstitusional dengan mengintervensi legislatif untuk mengamandemen UUD 1945, yang antara lain membuat UUD 1945 pasal 33 ayat (4) menjadi pintu masuk Asing menguasai sumber daya alam yang seharusnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Fakta yang terjadi saat ini adalah, kekerasan dan konflik terjadi di mana-mana di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Baik itu diakibatkan oleh masalah politik, sosial, ekonomi, dan budaya, maupun masalah lainnya. Ini artinya sedikit demi sedikit skenario AS itu tengah berjalan.
Dampak Liberalisasi Pemilukada
Dari skenario itu muncullah Pemilihan kepala daerah (Pemilukada) langsung. Perhelatan pemilihan pemimpin daerah yang didasarkan pada undang-undang yang diduga keras ada intervensi asing itu, justru menimbulkan konflik tak berkesudahan. Bahkan, dalam kasus tertentu, seperti yang terjadi di Papua, masalah pemilukada bisa mengarah pada disintegrasi bangsa. Sementara karena UU itu pula, pemilukada menjadi berlangsung sepanjang tahun, yang tentu menghabiskan dana dan korban tidak sedikit.
Sebut saja, pelaksanaan pemilukada Mojokerto (Jawa Timur), dan Kabupaten Puncak (Papua) pada 8 Agustus 2011 silam. Kedua pilkada itu berbuntut kerusuhan anarkis massa. Di Mojokerto terjadi pengrusakan terhadap 17 kendaraan yang dihancurkan dan dibakar massa. Sedangkan di Kabupaten Puncak, Papua, dua orang meninggal dunia.
Kerusuhan tersebut dilatar belakangi oleh ketidakpuasan terhadap pilkada, ketidaksiapan mental calon kepala daerah menerima kekalahan, sosialisasi pemilukada kurang dipahami masyarakat setempat, serta makna demokrasi yang tidak dimengerti oleh masyarakat di dua wilayah tersebut.
Jadi, bisa dikatakan bahwa undang-undang pemilukada yang banyak menimbulkan korban ini memang tidak kompatibel dengan kondisi sosial-masyarakat Indonesia. Diduga kuat pula, para elite di parlemen dalam menyusun undang-undang tersebut mengadopsi mentah-mentah konsep demokrasi yang diajukan Asing, tanpa sama sekali mempertimbangkan kondisi sosio-kultural masyarakat Indonesia. Jika ini diteruskan, akan sangat berbahaya bagi masa depan bangsa. Dan skenario Amerika pun benar-benar akan terjadi di 2020 nanti, tentu ketika Indonesia sudah tercerai berai menjadi beberapa negara bagian, sesuatu kondisi yang sama sekali tidak kita inginkan.
Sejak dimulainya pemilukada langsung oleh rakyat, pada 1 Juni 2005 dengan dasar UU No 34/2004 tentang Pemerintahan Daerah, benih-benih konflik di tengah masyarakat mulai muncul. Masyarakat gagap dengan sistem baru ini, sehingga mereka tak tahu harus bersikap seperti apa menghadapi kontestasi politik yang langsung dan amat liberal ini. Akibatnya, tak jarang timbul permusuhan di antara saudara, keluarga, tetangga, antar-desa, dan seterusnya akibat perbedaan calon pemimpin yang didukungnya.
Masyarakat yang semula terbiasa memecahkan persoalan-persoalan sosial dan kemasyarakatan termasuk memilih pemimpin dengan cara bermusyawarah yang dipimpin ketua adat, tokoh masyarakat, ketua kampung , dan sebagainya tiba-tiba dihadapkan dengan sistem yang memaksa mereka masing-masing bersuara secara langsung (one men one vote). Sementara, bersamaan dengan itu mereka tidak diberikan pendidikan politik dan demokrasi yang baik, akibatnya esensi demokrasi tidak tercapai seperti yang diinginkan. Pemilukada langsung tidak hanya emnimbulkan kegaduhan, juga menjadi arena transaksi politik uang dan cenderung melahirkan pemimpin-pemimpin kosmetis belaka.
Pemilukada langsung yang awalnya diniatkan untuk mendorong partisipasi masyarakat luas dalam menentukan pemimpin, justru hanya membuat ongkos politik sangat mahal, baik bagi penyelenggara maupun calon kepala daerah, bahkan cenderung mengembangbiakkan perilaku korup. Selain itu, pemilukada langsung juga lebih banyak melahirkan pemimpin berkualitas rendah, tidak efektif memimpin pemerintahan daerah, menjadikan politisasi birokrasi dan yang paling memalukan adalah banyaknya kepala daerah tersandung persoalan hukum, seperti korupsi.
Dari data Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, selama periode 1 Juni 2005 hingga 2012 tidak kurang dari 290 kepala daerah dan wakil kepala daerah dari 877 pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih (16,53%) berurusan dengan aparat penegak hukum. Yang memprihatinkan, dari 290 kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terkena masalah hukum itu, 250 orang di antaranya terlibat kasus korupsi, 9 orang pemalsuan dokumen, 8 orang suap, 7 orang penipuan dan 6 orang penganiayaan dan 5 orang penyalahgunaan izin tambang atau kehutanan.
Rinciannya, kepala daerah dan wakil kepala daerah dari Jatim menempati posisi tertinggi, 33 orang (21,15%), disusul Jateng 24 orang (16,6%), Jabar 22 orang (20,37%), Sumut 17 orang (17,50%) dan NTT 13 orang (14,77%).
Pemilukada tentu hanya sebagian kecil saja dari dampak penerapan sistem demokrasi yang tidak memperhatikan kondisi sosial dan masyarakat. Masih banyak lagi dampak dari demokratisasi yang tidak terkonsep dengan baik ini, terutama setelah bangsa ini menjalani proses reformasi di segala sektor kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di negara-negara mapan dan penganut demokrasi, konflik atau perseteruan politik mampu diselesaikan melalui mekanisme aturan permainan yang demokratis, karena aspek pengawasan dan transparansi itu berfungsi sepenuhnya. Penegakkan hukum pun berjalan dengan baik (equality before the law). Berbeda dengan di kita, konflik di tengah masyarakat tidak mampu diselesaikan dengan baik dan tuntas, sehingga akhirnya membawa dampak negatif berupa gejolak yang justru mengancam keharmonisan hubungan antar-masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal lain, di negara maju prosentase kelas menengah juga tinggi sehingga keharmonisan dapat terjaga walaupun terjadi perseteruan di kalangan elite politiknya. Sementara, di negeri ini penduduk dalam kategori miskin masih sangat tinggi, akibatnya perseteruan di kalangan elite mengundang potensi konflik di kalangan masyarakat, ditambah lagi penegakkan hukum juga lemah.
Di satu sisi, pemilukada langsung memang mempunyai nilai positif, terutama jika dikaitkan dengan pengejawantahan kedaulatan rakyat melalui pemiliahan langsung. Selain itu juga akan menjadikan akseptabilitas kandidat semakin kuat karena dipilih melalui mekanisme pemilihan secara langsung.
Namun di sisi lain, pemilukada langsung memiliki banyak kelemahan, dari mulai menimbulkan konflik vertikal maupun horisontal hingga politik biaya tinggi yang memicu korupsi. Oleh karena itu, untuk menutupi kelemahan-kelemahan ini, perlu dibuat aturan main yang akseptabel dan kompatibel dengan kondisi sosial masyarakat yang pada umumnya rendah secara pendidikan, dan kurang secara ekonomi.
Pada akhirnya, konflik-konflik yang terjadi akibat perseteruan politik di sejumlah daerah selama ini mengafirmasi dugaan kuat bahwa seluruh komponen regulasi UU maupun aturan teknis lain yang dibuat di parlemen dan eksekutif merupakan bagian dari skenario Asing untuk menguasai bangsa ini.
Pemilukada secara langsung justru malah menjadi sebab paling utama kemunduran otonomi daerah yang membuat bangsa ini lemah, memunculkan perilaku trasaksional dalam kepemimpinan, mengakibatkan penjarahan sumber daya alam daerah, bahkan lebih parah lagi, bangsa ini diseret arus penipuan kapitalisme dan liberalisasi dalam kemasan demokratisasi.

Tidak ada komentar: