Selasa, 12 Maret 2013


Sejarah Panjang Korupsi Indonesia


Kasus korupsi di Indonesia seakan sudah mendarah daging dan mengurat akar. Sejak zaman Orde Lama atau bahkan sejak zaman penjajahan hingga saat ini tak pernah ada habisnya. Ironisnya, di Era Reformasi saat ini, korupsi justru semakin menggurita.
Tak heran bila peringkat Indonesia pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh Transparency Internasional terus meningkat. Pada 2006, Indonesia memiliki IPK 2,2 (dengan skor penilaian 0-10) dan naik 0,1 pada tahun berikutnya. Selanjutnya pada 2008 naik lagi menjadi 2,6 dan setahun kemudian naik 0,2 atau menjadi 2,8 di tahun 2009. Sementara pada 2011, IPK Indonesia 30 (dengan skor penilaian 0-100) dan kemudian naik menjadi 32 pada 2012. Ini menempatkan Indonesia di peringkat 118 dari 183 negara.
Gambaran tersebut jelas menunjukkan bahwa negeri yang katanya gemah ripah lohjinawi ini adalah surga bagi para koruptor. Terlebih, sistem hukum dan peradilan di Indonesia yang tidak tegas terhadap para koruptor,membuat pelaku korupsi tak pernah jera.
Pada era 1970-an, Bung Hatta mengatakan bahwa korupsi di Indonesia telah membudaya. Ada yang salah dengan pernyataan itu? Bisa jaditidak. Bila diamati, dari zaman sebelum kemerdekaan hingga saat ini, korupsi telah mendarah daging dan merajalela di setiap lapisan masyarakat, mulai dari lapisan atas hingga bawah (terutama di lapisan atas dan para pejabat negara).
Para koruptor ini banyak bercokol di berbagai kementerian, DPR, BUMN, Kepolisian, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan hampir semua lembaga pemerintahan. Korupsi menjadi sesuatu yang lumrah dilakukan.
Berdasarkan hasil survei anti korupsi Badan Pusat Statistik (BPS) 2012, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia sebesar 3,55 dari skala 5. Artinya, sesungguhnya masyarakat Indonesia cenderung anti korupsi. (Catatan: nilai indeks 0–1,25 sangat permisif terhadap korupsi, 1,26–2,50 permisif, 2,51–3,75 anti korupsi, 3,76–5,00 sangat anti korupsi).
IPAK di wilayah perkotaan sedikit lebih tinggi (3,66) dibanding di wilayah perdesaan (3,46). IPAK cenderung lebih tinggi pada responden usia kurang dari 60 tahun dibanding setelah usia 60 tahun ke atas. IPAK penduduk usia kurang dari 40 tahun sebesar 3,57, usia 40 sampai 59 tahun sebesar 3,58 dan 60 tahun ke atas sebesar 3,45. Artinya semangat anti korupsi antara usia tua dan usia muda tidak berbeda secara signifikan. Semakin tinggi pendidikan semakin tinggi IPAK. IPAK responden berpendidikan SLTP ke bawah sebesar 3,47, SLTA sebesar 3,78 dan di atas SLTA sebesar 3,93. Pendidikan berpengaruh cukup kuat pada semangat anti korupsi.
Meski sebagian responden cukup kuat pada semangat anti-korupsi tetapi masih besar persentase responden yang menyatakan tindakan korupsi sebagai sesuatu yang wajar. Ini bisa dilihat dari data di bawah:
Perilaku Korupsi di Tingkat Komunitas
Sekitar 31 persen responden berpendapat kurang wajar atau tidak wajar memberi uang/barang kepada tokoh adat/agama/masyarakat (sebagai sejenis upeti) ketika suatu keluarga melaksanakan hajatan (pernikahan, khitanan, kematian) sedangkan responden yang berpendapat kurang wajar atau tidak wajar memberi kepada tokoh formal (Ketua RT/RW/Kades/Lurah) sekitar 53 persen.
Sekitar 38 persen responden menilai kurang wajar atau tidak wajar terhadap perilaku memberi uang/barang kepada tokoh tokoh informal (adat/agama/masyarakat, sebagai sejenis upeti) ketika menjelang hari raya keagamaan.
Sumber: BPS
Dengan kata lain, lebih dari separuh responden menyatakan wajar saja untuk memberi sesuatu kepada para tokoh informal atau tokoh masyarakat setempat (RT/RW/Kades) pada saat melaksanakan hajatan atau hari raya keagamaan.
Perilaku di Tingkat Publik
Sumber : BPS
Sumber: BPS
Walau sebagian responden menyatakan tidak mendukung upaya penyuapan, pemerasan, dan nepostime tetapi masih besar persentase responden yang menyatakan tindakan tersebut sebagai sesuatu yang wajar.
Hasil survei tersebut berbanding lurus dengan survei yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2012. Hasil survei KPK menyebutkan bahwa masyarakat tahu bahwa korupsi tidak baik dilakukan. Akan tetapi mereka tetap mejalankan dengan alasan beragam, mulai dari demi kelancaran hingga menghindari perlakuan semena-menena dari aparat. Berikut hasil survei KPK:
Hasil Survei Integritas Sektor Publik KPK Tahun 2012
Pemberian gratifikasi dan alasan pemberian gratifikasi
Sumber: KPK, data diolah Niken Arumsari
Sejak Zaman Kerajaan
Kasus korupsi di Indonesia mempunyai sejarah yang sangat panjang. Bila ditelusuri, kasus korupsi telah terjadi sejak abad ke-9. Korupsi telah dilakukan sejak zaman kerajaan seperti yang termuat pada sejumlah prasasti, seperti yang dituliskan Djulianto Susantio pada buku,Kasus Pajak, Bacaan Seorang Arkeolog”, (SH, 28 April 2005). Pada saat itu sistem upeti merupakan sebuah keharusan.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) semakin membesar dan meluas ketika VOC berkuasa di Hindia Belanda (Indonesia). Salah satu contohnya adalah pengangkatan bupati di tanah Jawa. Sebelum adanya VOC, pengangkatan bupati didasarkan atas tradisi keturunan atau pulung (wahyu kedaton). Kewibawaan dan kekuatan pribadi calon lebih menentukan dibandingkan uang. Namun, setelah kedatangan VOC, hal itu tidak ada lagi.
Pada 1770, VOC mulai mempertimbangkan masalah ekonomi dan politik dalam pengangkatan bupati. Pergantian pejabat-pejabat pribumi bukan lagi menjadi monopoli bupati, melainkan menjadi hak VOC. Akibatnya, pergantian bupati dikuasai dengan sistem penjualan jabatan. Bupati-bupati yang akan diangkat harus membayar komisi atau upeti kepada gubernur.
Nic. Engelhard (Gubernur Pantai Timur Laut Jawa-pada masa itu) dalam memori tertanggal 15 April 1805, menulis, Pada waktu saya memangku jabatan sebagai Gubernur Pantai Timur Laut Jawa, tidak henti-hentinya orang datang untuk meminta jabatan-jabatan tertentu seperti demang dan mantri. Mereka memberikan tawaran komisi 100 hingga 200 ringgit. Ada juga yang menawarkan sampai 1.000 ringgit. Mereka mengatakan bahwa hal semacam itu telah berlaku sejak bertahun-tahun sebelumnya.”
Pada saat itu belum ada perangkat hukum yang mengatur pembuktian terbalik. Sehingga para pejabat yang memiliki kedudukan tinggi mempunyai kesempatan besar mendapatkan keuntungan pribadi sebanyak-banyaknya. Sistem administrasi seperti itu kemudian memicu tumbuhnya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Memasuki Orde Lama korupsi tumbuh akibat tingginya angka inflasi. Sementara itu, gaji pegawai negeri sipil (PNS) sangat rendah. Gaji PNS hanya bisa untuk mencukupi biaya hidup selama dua minggu. Akhirnya aksi korupsi pun terjadi. Meski saat itu, kerugian negara tidak besar, namun perilaku korupsi di kalangan PNS mulai tumbuh.
Selanjutnya, di masa Orde Baru (1967-1998) kasus korupsi makin meningkat akibat hubungan dekat antara pengusaha dan penguasa beserta kroni-kroni. Pemerintahan sentralistik dan otoriter yang menerapkan sistem anggaran dikendalikan pemerintah pusat, menjadikan kewenangan birokrasi di daerah lebih pada kebijakan menjalankan instruksi. Akibatnya, korupsi berskala besar banyak terjadi pada tingkat elite birokrasi.
Sementara, penyelesaian hukum atas korupsi sangat mustahil mengingat presiden menguasai semua kekuasaan mulai dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Indepedensi kekuasaan lembaga tinggi negara diamputasi, sehingga virus korupsi makin berkembang di kalangan penguasa bekerja sama dengan pengusaha.
Era demokratisasi dan reformasi saat ini kepentingan politik makin kuat merambah kekuasaan lembaga tinggi negara. Korupsi pun semakin tak terbendung. Sementara itu, kepentingan politik yang makin menguasai lembaga tinggi negara semakin memengaruhi proses hukum terhadap penyelesaian kasus-kasus korupsi.
Tak mengherankan bila kasus korupsi di era reformasi terus beregenerasi secara masif. Menurut Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, selama kurun waktu 7 tahun (2004-2011), sebanyak 1.408 kasus korupsi yang merampok uang rakyat Rp 39,3 triliun. Hal yang menyedihkan, korupsi kini telah beregenerasi. Regenerasi itu tampak dari jumlah tersangka korupsi dengan umur di bawah 40 tahun yang belakangan semakin banyak. Keterlibatan kaum perempuan juga meningkat.
Selain beregenerasi, korupsi juga makin berevolusi. Kini korupsi mengarah pada bentuk-bentuk baru yang semakin sistemik dan sinergis. Model yang paling membahayakan adalah korupsi yang didesain. KPK menemukan banyak peraturan dan kebijakan yang didesain untuk melegalkan sesuatu yang sesungguhnya ilegal.
Contohnya, penyusunan undang-undang yang didesain untuk melegalkan korupsi, UU itu sifatnya pesanan. Model lain adalah UU yang sejatinya bagus dan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan rakyat akhirnya direvisi tanpa alasan logis dan tanpa dasar moralitas hukum. Ada pula sejumlah UU yang diajukan uji materi dan akhirnya dinyatakan inkonstitusional.
Memburu Koruptor di Tanah Orang
Perburuan koruptor dan aset korupsi ke luar negeri telah menjadi salah satu agenda pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Dalam instruksi ini salah satu langkah yang dilakukan adalah memburu koruptor dan asetnya di luar negeri.
Selain itu, Indonesia juga telah mengikatkan diri secara resmi pada United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) atau (Konvensi PBB Anti Korupsi2003). Sebagai salah satu bentuknya adalah penandatanganan UU No. 7 Tahun 2006 sebagai wujud ratifikasi UNCAC yang lakukan SBY pada 18 April 2006. Terbitnya beleid itu semakin menegaskan bahwa Indonesia adalah bagian dari gerakan global melawan korupsi.
Untuk semakin memuluskan langkah tersebut, Indonesia dengan beberapa negara di Asia telah melakukan kerja sama. Salah satunyadengan penandatangan Konferensi Interpol Regional Asia di  Jakarta, April 2006 yang isinya memperkuat kerja sama internasional dalam memerangi korupsi.
Dalam konferensi tersebut, Presiden Interpol Jackie Selebi intinya menyebutkan unit Interpol memiliki tanggung jawab dan menjamin semua standar dapat diwujudkan dan dilaksanakan, terutama dalam konteks pemberantasan korupsi. Tidak ada tempat bagi pelaku korupsi, di mana pun.
Dalam kerja sama dengan Interpol, tindakan yang sering dilakukan adalah mengeluarkan red notice atau permintaan penangkapan terhadap seseorang yang ditetapkan sebagai buron atas suatu tindak kejahatan. Penangkapan perlu untuk kepentingan ekstradisi ke negara pemintared notice.
Indonesia, hingga 17 Juli 2011 berdasar permintaan kepolisian, kejaksaan, dan KPK, NCB Interpol telah mengeluarkan 98 red notice. Pelaku yang diburu tidak hanya warga Indonesia, tetapi juga warga negara asing yang melakukan kejahatan di Indonesia. Adapun jenis kejahatan yang dilakukan juga beragam, dari pembunuhan, penipuan, kejahatan perbankan, kejahatan lingkungan, kejahatan seksual, pencucian uang, hingga korupsi.
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), dari 98 daftar red notice yang dikeluarkan, 26 berasal dari tindak pidana korupsi dan mereka otomatis akan menjadi Daftar pencarian orang (DPO) di 188 negara.
Namun, dalam upaya memburu penjahat dan koruptor ke luar negeri sungguh bukan pekerjaan mudah. Dalam kasus korupsi, selama 10 tahun terakhir ICW mencatat sedikitnya 45 koruptor diduga melarikan diri ke luar negeri.
Salah satu kesulitan menangkap koruptor di luar negeri adalah tak adanya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan negara-negara tempat koruptor bersembunyi. Misalnya, dengan Singapura. Dari 45 koruptor yang masih dan buron tercatat 20 orang memilih kabur ke Singapura. Negara tetangga itu mereka pilih selain karena faktor geografis, juga karena alasan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura belum diratifikasi.
Hal lain yang dapat membantu perburuan koruptor dan pelacakan aset mereka di luar negeri adalah keanggotaan PPATK dalam Egmond Group. Kerja sama ini merupakan nilai tambah dalam pelacakan aset hasil korupsi ke luar negeri, sehingga posisi dan peranan PPATK dalam konteks perburuan ini merupakan pendukung utama keberhasilan pemerintah.
Tabel Kerjasama Internasional Indonesia
Mutual Legal Asisten (MLA) atau bantuan hukum timbal balik merupakan suatu saran atau wadah untuk meminta bantuan kepada negara lain untuk melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan terhadap suatu negara dan pemeriksaan terhadap suatu perkara atau lebih. MLA melibatkan proses hukum dan akan berdampak pada kepentingan suatu negara. Hal ini berkaitan dengan penyitaan harta jaminan, pengambilalihan saksi dan penahanan pelaku kejahatan.
Perjanjian MLA Indonesia dengan beberapa negara
No
Negara Pihak
Nama Perjanjian
Tahun Penandatanganan
Ratifikasi
1.
Indonesia – Australia
Treaty Between the Republic of Indonesia and Australia on Mutual Assistance in Criminal Matters
1995
UU No. 1 Tahun 1999
2.
Indonesia – RRC
Treaty Between the Republic of Indonesia and The People’s Republic of China on Mutual Assistance in Criminal Matters
2000
UU No. 8 Tahun 2006
3.
Indonesia – Korea Selatan
Treaty Between the Republic of Indonesia and The Republic of Korea on Mutual Assistance in Criminal Matters
2002
Belum diratifikasi
4.
Indonesia – Brunei Darussalam, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura dan Vietnam
Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (ASEAN MLA Treaty)
2004
UU No. 15 Tahun 2008
5.
Indonesia - Hongkong
Agreement concerning Mutual Legal Assistance in Criminal Matters between Hongkong and Indonesia
2006
Belum diratifikasi

Perjanjian Ekstradisi Indonesia dengan beberapa negara
No
Negara Pihak
Nama Perjanjian
Tahun Penandatanganan
Ratifikasi
1.
Indonesia – Malaysia
Treaty Between The Government of The Republic of Indonesia and The Government of Malaysia to Extradition
1974
UU No. 9 Tahun 1974
2.
Indonesia – Filipina
Extradition Treaty Between The Republic of Indonesia and The Republic of Philippines
1974
UU No. 10 Tahun 1976
3.
Indonesia – Thailand
Treaty Between The Government of The Republic of Indonesia and The Government of Kingdom of Thailand Relating to Extradition
1976
UU No. 2 Tahun 1976
4.
Indonesia – Australia
Extradition Treaty Beetween Australia and The Republic of Indonesia
1992
UU No. 8 Tahun 1994
5.
Indonesia – Hongkong
Agreement Between The Government of The Republik of Indonesia and The Government of Hongkong for Surrender of Fugitive Offenders
1997
UU No. 1 Tahun 2001
6.
Indonesia – Korea Selatan
Treaty on Extradition Between The Republic of Indonesia and The Republic of Korea
2000
Uu No. 42 Tahun 2007
7.
Indonesia – Singapura
Treaty on Extradition Between The Republic of Indonesia and Singapore
2007
Dalam proses ratifikasi
Sumber: Jamin Ginting, Perjanjian Internasional dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi, fh.unsoed.ac.id

Tidak ada komentar: