Selasa, 12 Maret 2013


Pemilu Dikangkangi Asing


Penyelenggaraan pemilu yang didasarkan pada undang-undang pemilu (UU No. 10/2008), pemilu presiden dan wakil presiden (UU No. 42/2008)hingga pemilu kepala daerah (UU No. 32/2004), faktanya telah menimbulkan disharmoni dalam kehidupan sosial dan masyarakat Indonesia. Tak sedikit catatan jatuhnya korban dari pihak masyarakat akibat konflik yang terjadi dalam penyelenggaraan kontestasi perebutan kekuasaan yang mengatasnamakan demokrasi itu.
Lalu pertanyaannya, benarkah penyelenggaraan pemilu untuk kesejahteraan rakyat? Mengingat, adanya kecurigaan sejumlah pihak bahwa pemilu yang berjalan saat ini, yang penuh dengan konflik tak berkesudahan ini, memang sengaja diciptakan. Oleh siapa? Tentu oleh pihak-pihak yang menginginkan bangsa ini terpecah belah sehingga mudah untuk dikuasai.
Siapa lagi pihak dimaksud, kalau bukan rezim kapitalis. Rezim yang selama ini memang menjadikan bangsa Indonesia sebagai target atau sasaran penguasaan karena memiliki sumber daya alam berlimpah ruah.
Fakta lain, sejak reformasi bergulir, para orang terkaya Indonesia (Oligark) menjadi lebih besar dan bervariasi. Mereka mampu menguasai seluruh aparatur demokrasi di setiap tingkatan, termasuk mampu menyandera pimpinan tertinggi negeri ini. Para Oligark inilah yang sejatinya menentukan arah kebijakan Pemerintah sekarang ini. Mereka juga menyandera para elite politik, yang dikarenakan sistem, mesti mempunyai modal banyak dalam berpolitik. Para Oligark ini tak lain merupakan kepanjangan rezim kapitalis itu, karena mereka bekerja sama dengan Asing dalam hal permodalannya.
Tak heran pula, jika kemudian para calon presiden (capres) yang muncul belakangan ini merupakan figur-figur boneka dari para Oligark itu. Para calon yang lahir dari proses politik kapitalistik yang menentukan segala sesuatunya dengan cara transaksi belaka.
Masuknya kepentingan rezim kapitalis ke dalam kehidupan berpolitik bangsa ini, sejatinya sudah diendus sejak lama. Pasca-reformasi bergulir, bahkan mungkin dari sebelumnya, pihak Asing, utamanya Amerika Serikat, telah menanamkan kepentingan lewat sejumlah organisasi atau LSM yang bekerja sebagai konsultan pada setiap pembuatan undang-undang dan sejumlah kebijakan. Bahkan saking ingin berperan dalam pembuatan sejumlah regulasi, pada 2011 sebuah lembaga asing United Nations Development Programme (UNDP) terdeteksi pernah berkantor di lantai satu gedung DPR RI.
Anggota DPR RI dari FPDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari pernah mengungkapkan, bahwa tak kurang dari 76 undang-undang yang dibuat pasca-reformasi adalah titipan Asing. Eva mengaku mendapat informasi tersebut dari sumber Badan Intelijen Negara (BIN).
Menurut Eva, Puluhan UU dengan intervensi asing itu dilakukan dalam kurun waktu 12 tahun pasca-reformasi. Intervensi tersebut intinya, Asing menginginkan upaya liberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia, termasuk di antaranya dalam berpolitik.
Menurutnya, semua undang-undang itu adalah usulan dari pemerintah, dan tidak ada yang dari DPR. Dia tentu sangat menyesalkan bahwa pemerintah lebih mengakomodasi kepentingan Asing dalam pembuatan sejumlah undang-undang. Eva menyebut ada tiga lembaga Asing yang terlibat dalam hal ini, yaitu Bank Dunia (World Bank), International Monetary Fund (IMF), dan United States Agency for International Development (USAID). Satu terakhir, merupakan lembaga asing yang tergolong intens terlibat dalam penyusunan UU terkait pemilu di Indonesia.
Sementara itu, Letjen (Purn.) Kiki Syahnakri juga pernah mengungkap adanya sekitar 72 undang-undang yang ditengarai disusupi pengaruh asing. Kiki memaparkan, kepentingan politik asing itu tercermin pada klausul-klausul yang ingin memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Selain itu, klausul-klausul dalam UU yang diintervensi asing tersebut juga menjauhkan rakyat dari ideologi Pancasila dan lebih mengutamakan pasar bebas (liberal) daripada ekonomi rakyat.
“Masuknya unsur-unsur asing ke dalam perundangan yang berlaku di Indonesia, karena banyaknya penggunaan konsultan asing,” kata Kiki yang pernah menjabat sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat hingga tahun 2002 itu.
Akibat undang-undang pemilu dan berbagai peraturan yang mengukutinya terintervensi oleh kepentingan Asing, maka lahirlah para elite politisi dan bahkan pemimpin nasional yang punya keberpihakan kuat pada kepentingan asing. Tercapailah apa yang diinginkan oleh rezim kapitalisme dan penganut liberalisme itu.
Buktinya, hingga saat ini demokrasi hanya berjalan secara prosedural, tidak pernah substansial. Pemimpin tampak kelemahannya apabila dihadapkan dengan kepentingan asing yang mengintervesinya. Kedaulatan bangsa di berbagai sektor seperti, migas, pertanian, peternakan, kehutanan, kelautan, batas negara, dan sebagainya, kian terkikis. Sementara, setiap hari konflik mewarnai dalam setiap perhelatan pemilihan kepala-kepala daerah yang berlangsung sepanjang tahun.
Pemilukada dan Sengketa 2010-2012
Tahun
Jumlah pelaksanaan Pilkada
Jumlah Daerah yang mengugat
Jumlah Gugatan
Keputusan MK
2010
224
164 (73,21%)
230
26 perkara dikabulkan (11.3%)
2011
92
81 (88,04%)
132
13 perkara dikabulkan (9.8%)
2012
77
59 (76.62%)
112
11 perkara dikabulkan (9.8%)
Sumber : Laporan Tahunan MK
 
Disharmonisasi Lembaga Politik
Sejumlah sengketa sosial yang terjadi akibat penyelenggaraan pemilukada, selain menunjukkan kebobrokan sistem pemilu yang dibuat pasca-reformasi (karena intervensi asing itu), juga sekaligus menunjukkan kegagalan gerakan reformasi mengawal demokrasi yang substansial.
Selain konflik yang mengorbankan rakyat, kegagalan lain dari sistem demokrasi yang dibangun saat ini, yang di sejumlah sisi diwarnai intervensi rezim kapitalisme Asing, adalah terjadinya disharmoni antar lembaga politik dan pemerintahan. Hal ini selain akibat sistem yang diciptakan memang kacau, juga karena pemimpin nasional yang lahir dari proses demokrasi prosedural tersebut adalah pemimpin yang lemah, tidak mampu mengatasi konflik, baik sosial maupun kelembagaan.
Selain sengketa-sengketa yang terjadi antar-lembaga penyelenggara pemilu, pasca-reformasi juga marak sengketa antar-lembaga negara. Sebut saja, perseteruan antara Presiden dengan Badan Pemerikasa Keuangan (BPK) terkait indikasi penyimpangan APBN (2004-2011) sebesar Rp103 triliun. Lalu perseteruan antara Mahkamah Agung (MA) dengan Komisi Yudisial (KY) dalam berbagai perkara, perseteruan DPR dan KPK, perseteruan MK, KPU dan fungsionaris kader Partai Demokrat, KPK dengan Polri, dan banyak lagi perseteruan-perseteruan antar-lembaga negara yang belakangan ini mencapai titik puncaknya.
Hal ini mengindikasikan bahwa sistem ketata-negaraan dan politik yang dibangun saat ini memang bermasalah, atau bisa jadi, diciptakan agar selalu menimbulkan masalah disharmoni oleh pihak-pihak yang berkepentingan, yang tak lain adalah rezim Asing itu. sebab kita tahu, di banyak negara, rezim asing selalu menanamkan pengaruh, baik lewat politik, sosial, maupun ekonomi dalam rangka mencapai tujuan mengeruk kekayaan alam yang dimiliki oleh negara sasaran.
Pemilu 2014
Intervensi asing ternyata tidak saja pada saat pembuatan regulasi pemilu. Organisasi-organisasi asing juga diduga melakukan intervensi terhadap penyelenggara dan peserta pemilu.
Pengamat politik UI Iberamsjah menceritakan, pada Pemilu 2009 sejumlah lembaga asing ikut membiayai Pemilu 2009. Total dana yang digelontorkan sebesar USD37,5 juta.
Selain ke penyelenggara pemilu, sumbangan dana asing itu mengalir kepada calon presiden dan wakil presiden. Sumbangan model ini akan sulit kelihatan, karena terselubung dan diam-diam,” ujar Iberamsjah kepada sebuah media di Jakarta (28/02/2013).
Iberamsjah menduga akan ada banyak lagi sumbangan asing masuk ke Indonesia untuk pemilu mendatang. Kemungkinan besar, sumbangan itu tak hanya mengalir melalui institusi penyelenggara pemilu, tapi juga kepada peserta pemilu.
Menurut dia, sumbangan Asing yang mengalir ke peserta pemilu, khususnya capres-cawapres sangat berbahaya. Karena ada dua implikasidari pemberian sumbangan itu, yaitu, kepentingan bisnis dan kepentingan politik.
Jika sudah demikian, jelas, bahwa capres dan cawapres yang bakal terpilih nanti akan lemah dalam mengambil kebijakan, terutama yang terkait dengan kedaulatan bangsa dan rakyatnya.
“Kepentingan nasional bisa terancam digadaikan sebagai bentuk balas jasa,” kata Iberamsjah lagi.
Sumbangan terhadap pemilu, sejak awal memang sudah menjadi strategi rezim kapitalisme global. Tujuannya, agar peserta pemilu baik caleg, capres-cawapres ataupun partai politik yang terpilih bisa dijadikan “boneka”. Mereka akan dipaksa melakukan globalisasi dalam setiap kebijakannya.
Oleh karena itu, publik hendaknya mendesak penyelenggara maupun peserta pemilu 2014 untuk transparan mengenai sumber dana mereka. Mengingat, biaya politik yang tinggi pada pemilu nanti membuka peluang yang lebar bagi rezim kapitalisme asing menggelontorkan dananya sebagai ijon kepada para peserta pemilu, baik caleg maupun capres dan cawapres.  
Sebab berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, hampir sebagian besar peserta pemilu melakukan manipulasi dana pemilu dalam pelaporannya ke KPU. Hal ini sebagaimana diungkapkan Abdulah Dahlan dari Indonesian Corruption Watch (ICW).
Menurutnya, laporan dana yang masuk dan yang digunakan peserta pemilu tidak digambarkan dengan jelas, khususnya bagian belanja kampanye.
Dia menduga, peserta pemilu banyak menggunakan jalan pintas untuk mengisi kas-kas yang akan dipakai dalam Pemilu 2014. “Jadi, masih tinggi dana haram daripada dana yang legal,” katanya.
Dana haram dan ilegal itu, dapat dipastikan sebagian besar merupakan dana yang mengalir dari pihak Asing melalui para Oligark atau pengusaha dalam negeri yang mempunyai kepentingan bisnis bekerja sama dengan pihak Asing itu.
Jika demikian, apabila dana politik masih tidak dapat terpantau secara transparan, dapat dipastikan pula Pemilu 2014 hanya akan melahirkan elite-elite baru yang sebetulnya mempunyai pemodal yang sama dengan sebelum-sebelumnya. Mereka akan lahir sebagai elite yang mendukung penuh kebijakan pro-asing, pro-liberalisasi, dengan argumentasi globalisasi yang tak terbendung.

Tidak ada komentar: