Selasa, 12 Maret 2013


Berharap Muncul Pemimpin BerdikarI
Tahun depan, bangsa ini akan mengelar perhelatan Pemilu 2014. Karena ini pesta demokrasi, maka orang sering menyebutnya sebagai “pesta rakyat”, sebab memang selayaknya pemilu sebagai sarana mengekspresikan kedaulatan rakyat.Tapi, kini rakyat justru mempertanyakan di mana letak kedaulatan itu. Pasalnya, yang sudah-sudah pemilu hanya menjadi ajang jualan janji para elite politisi belaka, di mana setelah pemilu selesai mereka lupa dengan janjinya. Wajar, jika muncul sinisme publik, bahwa sejatinya pemilu adalah pestanya parpol dan para politisisemata.
Kesulitan hidup masyarakat di tanah yang katanya sangat kaya sumberdaya alamini, memang kian terasa. Angka kemiskinan bertambah dari hari ke hari. Angka pengangguran pun meningkat terus. Jika di era Orde Baru marak dengan perilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), di era reformasi pun terjadi bahkan kina masif.
Pihak Asing, baik secara langsung maupun lewat para komprador tmenyusupkan kepentingan mereka lewat penyusunan undang-undang di sejumlah bidang yang cukup strategis. Lewat Bank Dunia (World Bank), sebagai konsultan sejumlah program pemerintah, akhirnya pemerintah mengubah sejumlah UU, antara lain UU Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992, UU Kelistrikan No. 22 Tahun 2002, dan UU Sumber Daya Air No. 7 Tahun 2004. Hasil campur tangan Bank Dunia pada UU Pendidikan terbukti melahirkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dibiayai pinjaman luar negeri, juga terhadap Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri.
Selain itu, IMF juga punya peran besar dalam melahirkan UU BUMN No. 19 Tahun 2003 dan UU PMA No. 25 Tahun 2007, UU Pemilu No.10 Tahun 2008 serta UU Perbankan yang saat ini tengah digodok pemerintah untuk direvisi. Di sektor perbankan nasional ada sejumlah bank yang nyata-nyata sudah dikuasai asing, di antaranya, Bank Danamon (Temasek Holding, Singapura), dan Bank Buana (UOB Singapura). Juga Bank NISP (OCBC Singapura), Bank Swadesi dan Indomonex (State Bank of India), Bank Nusantara (Tokyo Mitsubishi Jepang), CIMB Niaga (CIMB group Malaysia), Bumiputera (Che Abdul Daim Malaysia), BII (Maybank Malaysia), Bank Haga (Rabobank Belanda), Panin (ANZ Bank Australia), Bank Permata (Standard Chartered Bank Inggris) serta BTPN (Texas Pacific, AS).
Setelah World Bank, Asian Development Bank dan Japan Bank For International Cooperation, giliran Inggris mengintervensi penyusunan RUUPenanaman Modal, membuat bangsa ini tidak pernah bebas menentukan nasibnya sendiri. Atas dasar ini pula, Dani Setiawan dari Koalisi Anti Utang (KAU) dan AEPI mendesak pemerintah segera menyelesaikan RUU PM. Peraturan yang banyak mendapat protes dan penolakan masyarakat tersebut diharapkan menjadi jalan keluar segala ganjalan investasi di tingkat pusat dan daerah.
Negeri ini perlahan tapi pasti semakin tergantung pada kekuatan Asing. Saat ini, dominasi modal Asing sudah mencapai sekitar 70%. Ini akibat dari kebijakan pemimpin yang selalu mengagung-agungkan Asing sebagai penggerak utama ekonomi, yang justru sebaliknya malah semakin menjauhkan bangsa ini dari kemandirian ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Eva Kusuma Sundari (Anggota DPR-PDIP) menilai ketiga lembaga (IMF, World Bank, USAID) yang terlibat sebagai konsultan di pemerintahan selalu mengiming-imingi pinjaman kepada pemerintah untuk sejumlah program di bidang politik, ekonomi, pendidikan kesehatan dan kesejahteraan rakyat.
Masyarakat dibuat tercengang dengan makin cepatnya pihak Asing menyusup ke berbagai sektor strategis di Indonesia. Anggota Forum Komunikasi Purnawirawan TNI dan Polri (Fosko), Letjen (Pur) Kiki Syahnakri pernah mengungkapkan bahwa sekitar 72-an UU yang kitagunakan disusupi pengaruh Asing.
Persoalannya, bagaimana bisa kepentingan Asing itu masuk ke dalam unsur-unsur yang ada pada UU tersebut? Kiki Syahnakri mengatakan, kepentingan politik itu tercermin pada klausul-klausul yang ingin memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di samping itu juga, menjauhkan rakyat dari ideologi Pancasila dan lebih mengutamakan pasar bebas (liberal) daripada ekonomi rakyat.
Masuknya unsur-unsur asing ke dalam perundangan yang berlaku di Indonesia, karena banyaknya penggunaan konsultan asing. Bisa jadi,benar apa yang dikemukakan oleh mantan Panglima Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) Timor-Timur 1999 itu, walau harus dibuktikan lebih jauh.
Menurut Amin Rais, Indonesia kini makin kehilangan kemandirian ekonomi karena sudah tidak ada lagi kenegarawan dan kepemimpinan yang kredibel.
Pada akhirnya memang kita sepertinya harus menantikan munculnya sosok semacam Ratu Adil, sosok pemimpin yang mampu dan berani menepuk dada menentang berbagai kebijakan yang berbau kepentingan Asing.
Sementara, di belahan bumi sana, kecintaan terhadap nasionalisme tengah menguat, dan sosok “Ratu Adil” itu rupanya telah muncul, dibuktikan dengan hadirnya sosok seperti Hugo Chavez (Venezuela), Lula Da Silva (Brazil), Evo Morales (Bolivia) atau Ahmadinejad (Iran),yang berani menentang kapitalisme dan menasionalisasi aset-aset negaranya demi kepentingan kesejahteraan rakyat.
Di Indonesia, rakyat masih menanti hadirnya sosok semodel itu. Sosok dari karakter pemimpin yang dimulai dari kehidupan pribadinya yang bersahaja, tidak tergantung pada pihak lain, tidak ingin memperkaya diri, dan yang lebih penting lagi adalah berupaya mengajak bangsa dan rakyatnya untuk hidup mandiri dan berdikari. Dan untuk dapat menjaring pemimpin tipe ini, harus dimulai dari kesadaran yang tinggi dari setiap partai politik yang memang mengemban amanat politik rakyat, untuk menyiapkan kader yang memiliki kriteria dimaksud tadi.
Menantikan kemunculan pemimpin yang memikirkan kedaulatan bangsa terasa semakin sulit sekarang. Apalagi dengan kondisi pasca-Pemilu 1999, di mana lanskap politik nasional memasuki awal masa liberalisasi politik. Dalam proses demokratisasi yang masih amat dini, justru yang hadir adalah persaingan pengaruh antar-elite politik dalam rangka memperebutkan dukungan Asing, terutama negara adidaya Amerika Serikat.
Dampak krisis ekonomi di pengujung Orde Baru terasa imbasnya hingga sekarang. Sehingga siapapun yang akan memerintah bangsa ininantinya akan tetap sangat membutuhkan dana multilateral (Bank Dunia dan IMF) di mana ada peran politik AS di dalamnya. Lebih-lebih, diera transisi ini perubahan terjadi dalam format arah atau operasi kebijakan, bukan fondasi, yang salah satunya adalah pergeseran pilar ke arah komitmen liberalisasi ekonomi, suatu kebijakan RI yang tampaknya akan terus berlangsung.
Pesta Pemilu, atau Penghamburan Uang?
Dengan jargon demokrasi, kini masyarakat dan bangsa kita sedang “demam” pemilu. Tidak sedikit biaya yang digelontorkan untuk pesta demokrasi ini. Menurut penelitian Pramono Anung, biaya pencaleg-kan dari pemilu ke pemilu, (2004 ke 2009), bisa naik 3,5 kali lipat. Artinya, dalam pemilu 2014 mendatang, biaya pencalegan bisa saja sudah bicara “milyaran”. Kondisi di atas berdampak buruk bagi kehidupan politikke depanPertama, biaya penyelenggaraan pemilu yang sangat besar itu, yang sebagian besar bersumber dari anggaran negara (APBN dan APBD), tidak berkorelasi dengan output politik yang dihasilkan.
Pemilu 2014 memang nampaknya bakal lebih marak lagi. Lihat saja, Komisi Pemilu (KPU) pun sudah mengajukan anggaran yang besarnya Rp7,4 triliun untuk Pemilu 2014. Suatu anggaran yang sangat “wow” besarnya bahkan ada kalangan yang menilai tidak masuk akal. FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) adalah salah satu LSM yang mengendus adanya alokasi anggaran yang tergolong tidak masuk akal ini. Bayangkan, anggaran untuk pemutakhiran data pemilih sebesar Rp 3,7 triliun. Untuk anggaran press tour sebesar Rp 1,3 triliun. Anggaran peliputan Rp 40,4 miliar. Ini baru anggaran penyelenggaraan saja. Biaya pemilu, menurut temuan Litbang Kompas, anggarannya bahkan lebih besar jika dibandingkan dengan anggaran yang diajukan oleh KPU. Pada 2004, biaya pemilu mencapai Rp 55,909 triliun dan pada Pemilu 2009, biayanya mencapai Rp 47,941 triliun.
Biaya tersebut di atas belum termasuk yang dikeluarkan parpol, capres dan caleg. Pada 2009, biaya kampanye seorang capres bahkan bisa mencapai angka Rp1,5 triliun di mana hampir separuh dari anggaran itu tersedot hanya untuk kebutuhan publikasi dan promosi.
Merujuk pada temuan Pramono Anung, Anggota DPR dari PDIP Perjuangan dalam penelitiannya untuk mengambil gelar doktoral, caleg yang sudah cukup populer saja masih membutuhkan minimal Rp600 juta sedangkan calon dari kalangan pengusaha rata-rata menghabiskan Rp6 miliar. Namun, kinerja DPR/DPRD dinilai gagal untuk mempresentasikan kepentingan rakyat. Indikator kegagalan bisa dilihat hampir setiap saat gedung DPR dan kantor DPRD di berbagai daerah digoyang terus oleh aksi protes, karena tak satu pun protes rakyat itu benar-benar ditindak-lanjuti.
Di lain sisi, DPR dianggap telah menjadi instrumen yang melahirkan berbagai produk undang-undang yang banyak merugikan kepentingan nasional dan menindas rakyat. Dalam konstalasi politik Indonesia berbiaya tinggi ini (termasuk pemilu), semakin jauh dari partisipasi rakyat. Alhasil, yang bisa menjadi kandidat hanya kaum elite dan kalangan bisnis. Akhirnya, pemilu tak ubahnya “kontestasi elite” semata. Dan kekuasaan politik yang sudah ditangan digunakan untuk mencapai tujuan ekonominya.
Sedangkan bagi pemilik modal, kekuasaan politik hanya dijadikan untuk mengakumulasi dan mengkonsentrasikan kekayaan. Seperti yang kita saksikan sekarang, kebijakan DPR dan DPRD di seluruh tanah air semakin pro-kapital besar. Di tengah situasi seperti ini, mencari calon pemimpin yang independen dalam artian yang memiliki wawasan berdikari tak ubahnya seperti mencari jarum di tumpukan jerami.

Tidak ada komentar: