Jumat, 30 Desember 2011

politik cari muka

TANPA terasa hari terus bergulir, waktunya pesta Pilkada Babel sudah semakin dekat. Ada yang terang-terangan mencalonkan diri menjadi bakal calon gubernur dan wakil gubernur, ada pula yang masih malu-malu. Tidak sedikit pula yang hanya pandai “bernyanyi” melantunkan lirik seolah dirinya terbaik sebagai kandidat Gubernur Babel mendatang, namun sayangnya tak kunjung berani tampil di panggung.

Gaya bicara yang disetel sebijak mungkin, gaya berjalan yang diatur, sampai cara tersenyum pun mulai ditata. Begitulah beragam gaya yang mulai ditampilkan beberapa orang yang berminat “mengadu” nasib menjadi pemimpin Babel periode 2012-2017 mendatang.

Terlepas disengaja ataupun tidak, ragam tingkah dan laku para peminat Pilkada Babel ini adalah sebuah upaya dan usaha mencari muka di hadapan masyarakat Bangka Belitung. Tujuannya jelas agar masyarakat mau berpaling dan melirik dirinya, yang selanjutnya mau memilih ketika nantinya ikut bertarung dalam Pilkada.

Seolah tidak pernah belajar dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, para peminat Pilkada Babel ini masih saja mengumbar cara yang lama. Ada yang tenang tapi diam-diam bergerak di lapisan bawah tanah, ada juga yang grasa-grusu bersilahturrahmi ke berbagai kelompok masyarakat, berjanji manis laksana madu. Ada juga yang selalu minta diwawancarai wartawan, agar seluruh omongannya yang terkadang tidak perlu tersebut bisa masuk media dan dibaca masyarakat Babel. Sekalian promosi gratis.

Apapun strategi yang diselipkan oleh para peminat calon pemimpin Babel ini adalah media mencari muka kepada masyarakat Babel. Hanya saja ada yang menggunakan biaya besar, dan ada pula yang berbiaya kecil alias pelit.
Suka atau tidak, politik kini hanyalah basa-basi, cari muka di hadapan rakyat, bergaya seolah mereka adalah pejuang nasib rakyat, padahal mereka hanya mencari duit, mencari kesenangan, mencari popularitas, mencari kedudukan, mencari pendukung agar mau memilihnya.  Mengacu kepada pengalaman masa lalu, kebanyakan dari mereka sebenarnya tidak sungguh-sungguh memperjuangkan nasib rakyat dan bangsa ini seperti yang dijanjikan pada saat kampanye, mereka hanya berjuang untuk dirinya, keluarganya, dan golongannya agar bisa melanggengkan kedudukan, kemapanan dan kenyamanan.

Masyarakat telah jenuh akan janji-janji politik dan cari muka para calon kandidiat. Masyarakat juga tidak mudah lagi diajak percaya kepada para calon, meski diberikan kesenangan dan kenikmatan sesaat, seperti baju kaos, uang, beras gratis, dan lain sebagainya. Hal ini terbukti dengan membuminya slogan-slogan “Ambil uangnya, jangan pilih orangnya”. Masyarakat telah cukup berpengalaman berhadapan dengan beberapa kali pesta demokrasi yang juga telah terbukti belum membawa perubahan yang mendasar terhadap tingkat kesejahteraan mereka.

Masyarakat sepertinya telah memahami, bahwa kegiatan cari muka yang dilakukan oleh para calon maupun tim sukses, juga termasuk partai-partai politik yang mengusung calon tersebut tidak ubahnya seperti NARKOBA. Dengan menerima pemberian-pemberian partai politik setiap menjelang pemilu kita hanya akan merasakan nikmat dan kesenangan sesaat.

Setelah pemilu berlalu, lonceng penderitaan masyarakat pun kembali bergema. Mulai dari harga sembako yang terus meroket, petani kesulitan mendapatkan bibit dan pupuk serta alat pertanian, atau mungkin kesulitan untuk menjual hasil produksi pertanian masyarakat serta beragam kesulitan lainnya yang telah siap menunggu pasca calon tersebut terpilih.

Meski demikian, -fenomena kampanye dan sosialisasi partai-, sadar atau tidak sadar tetaplah menjadi kegiatan yang dipercayai mampu mempengaruhi pilihan-pilihan politik masyarakat.

Semakin tinggi kesadaran masyarakat untuk menolak janji politik kandidat, semakin canggih pula cara-cara partai politik maupun calon kandidat mencari muka kepada masyarakat. Ini bisa dilihat dari lahirnya metode-metode baru dalam melakukan kampanye dan sosialisasi.

Melihat fenomena copy paste ini, penting bagi kita semua memahami arti penting pilihan politik dalam menyambut pesta demokrasi yang hanya diadakan sekali dalam lima tahun.

Kesalahan dalam menjatuhkan pilihan pada kandidat nantinya dapat mengakibatkan kerugian yang sangat mendasar. Kerugian tersebut, bukan hanya akan ditanggung oleh pribadi pemilih, melainkan dapat menjadi kerugian bagi seluruh masyarakat Bangka Belitung



"ada baiknya semua kandidat menyadari akan hal itu serta mau menerima apapun hasil yang didapat secara dewasa dengan mengedepankan etika politik"

PEMBICARAAN tentang tokoh yang akan memimpin Bangka Belitung periode 2012-2017 nanti mulai hangat dibicarakan masyarakat. Beberapa lembaga survei mulai menyampaikan hasil survei secara internal kepartaian yang masih didominasi tokoh-tokoh pemain lama.

Banyak kalangan menilai kehadiran lembaga survei tidak semata untuk kepentingan riset, tetapi sekaligus menjadi alat untuk kepentingan politik pihak-pihak yang berkepentingan dengan tujuan survei tersebut. Politik kekuasaan di era sekarang menjadikan lembaga survei sebagai media untuk mengukur derajat popularitas, baik lembaga maupun individu. Suatu lembaga politik atau individu memiliki kepentingan sama kuatnya dengan kepentingan lembaga survei itu yang dapat disebut sebagai suatu hubungan simbiosis mutualisme. Pembicaraan tentang amanah dan tidak seseorang tidak dijadikan sebagai entri poin pokok pembahasan dalam survei. Hal tersebut tidak bisa diingkari karena perilaku politik adalah kegiatan yang tidak diminta sebagai bagian dari peran formal seseorang dalam organisasi tetapi yang mempengaruhi atau mencoba mempengaruhi distribusi keuntungan  dan kerugian di dalam organisasi.

Rakyat sebenarnya menyadari betul, ketika seseorang dipercayakan menjadi pimpinan mereka masih banyak menimbulkan kekecewaan. Amanah yang diberikan rakyat yang seharusnya untuk pencapaian kesejahteraan bersama. Namun, mereka malah menjadi orang pertama yang mengkhianati amanah itu, dengan mengedepankan kepentingan pribadi dan golongannya sendiri di atas kepentingan rakyat. Jadi, sebenarnya orang-orang yang bekerja dalam orbit politiklah, dan bukan politik itu sendiri, yang telah membuat stigma dan label bahwa politik selalu berorientasi pada kekuasaan.  Orang-orang yang telah mengingkari amanah rakyatlah yang telah membuat politik, dan bekerja dalam orbit politik, itu sesuatu yang buruk dan amat lekat dengan korupsi.

Manajemen Politik Pencitraan

Setiap pemain politik akan mencoba mempengaruhi orang lain sedemikian rupa supaya ada kesan positif bagi orang lain terhadap dirinya. Semua bentuk komunikasi politik dan hubungan sosial diberdayakan untuk menimbulkan kesan positif bagi orang lain atau lebih tepat disebut sebagai manajemen politik pencitraan.

Manajemen politik pencitraan adalah proses yang ditempuh individu dalam upaya mengendalikan kesan orang lain mengenai dirinya. Barangkali orang yang paling berhasil mendapatkan kekuasaan dalam manajemen sekarang ini adalah mereka yang secara konsisten mempelajari peraturan-peraturan tentang bagaimana memainkan permainannya. Max Weber dalam bukunya Wirtschaft und Gesselshaft (1922) mengatakan; kekuasaan adalah  kemampuan untuk membagun hubungan sosial, melaksanakan kemampuan sendiri, dan sekalipun mengalami perlawanan dan apapun dasar kemampuan tersebut. Pernyataan Max Weber tersebut selaras dengan Miriam Budiardjo (2002), yang mengatakan kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginannya.

Pemain politik yang mampu memainkan permainan politik sesuai perencanaan manajemen politik pencitraan akan mendapatkan legitimasi masyarakat yang menjadi sasaran permainan politik. Max Weber (1922) menjelaskan sumber untuk memperoleh legitimasi secara umum ada tiga, yakni tradisional, karisma dan legal/rasional. Cara dan sumber perolehan legitimasi melahirkan beberapa tipe legitimasi yaitu: legitimasi tradisional, legitimasi ideologi, legitimasi kualitas pribadi, legitimasi prosedural dan legitimasi instrumental. Seseorang yang telah mendapatkan legitimasi masyarakat tentu telah melalui tahapan pertarungan konflik yang maksimal.

Kapital Kekuasaan

Kekuasan memang sangat dekat dengan kekuatan ekonomi. Piere Boerdeu melihat teori kekuasaan dari empat teori kapital, yakni: kapital ekonomi, kapital simbolik, kapital budaya, dan kapital sosial. Secara teoritis memang keempat kapital kekuasaan itu bisa dipilah-pilah, tetapi secara emplementatif seeorang yang ingin menjadi penguasa secara ideal harus memiliki keempat kapital kekuasaan tersebut.

Pertama, kapital ekonomi yaitu seseorang memegang kepercayaan kekuasaan karena secara individu memiliki kekuatan material untuk menjalankan organisasi. Kedua, kapital simbolik merupakan seseorang yang mendapat kepercayaan memegang kekuasaan karena kemampuan menggeluti suatu bidang organisasi atau membangun kekuatan massa.

Keahlian tersebut menyebabkan dirinya menjadi symbol bagi pengikutnya dan keturunannya. Simbol itulah yang kemudian menjadi modal untuk dipercaya memegang kekuasaan, baik untuk dirinya sendiri maupun keturunannya. Ketiga, kapital budaya merupakan modal kekuasaan yang diperoleh melalui jalur budaya dan sentimen primordial. Kekuasaan dalm konteks ini lebih mengedepankan aspek kesukuan dan kedaerahan dan keempat  kapital sosial merupakan kekuasaan yang didapat seseorang karena adanya kekuatan modal jaringan sosial dan jaringan kerja.

Penjelasan di atas membuktikan bahwa menjadi seorang pemegang kekuasaan seperti menjadi Gubernur Bangka Belitung periode 2012-2017 tidaklah muncul begitu saja. Akan tetapi harus melalui proses yang membutuhkan pengujian, baik secara mental, material, dan jaringan sosial, politik dan ekonomi yang semuanya menjadi bagian manajemen politik kekuasaan seseorang kandidat. Jadi, Pelaksanaan Pilkada hanyalah sebagai media untuk menguji sejauhmana kekuatan dan kemampuan manajemen politik kekuasaan seorang kandidat Gubernur. Kemenangan dan kekalahan kandidat adalah hasil dari pengujian kekuatan manajemen politik kekuasaan tersebut. Dan, ada baiknya semua kandidat menyadari akan hal itu serta mau menerima apapun hasil yang didapat secara dewasa dengan mengedepankan etika politik.  Pilkada hanyalah salah satu cara untuk berbuat demi rakyat karena masih banyak cara lain yang lebih baik dari itu.

BANGKA BELITUNG bersiap menyongsong pilkada 2012. Agar proses dan pelaksaan pemilihan berlangsung aman dan lancar, semua pihak yang berkepentingan dengan pilkada mesti menabur janji berkomitmen menjaga suasana damai. Dengan demikian, pilkada Babel 2012 ini akan menjadi proses yang menarik diikuti dan mampu merangsang keterlibatan penuh masyarakat Babel.

Dua hari lagi, tepatnya 19-23 Oktober 2011, proses Pilkada Babel 2012 akan dimulai dengan pendaftaran bakal calon pasangan Gubernur/Wagub Babel dari jalur independen. Sedangkan pasangan dari jalur usulan partai akan dimulai 25 November 2011 mendatang, satu bulan setelah ditutupnya pendaftaran dari jalur independen.

Meski baru memasuki tahapan pendaftaran bakal calon gubernu/wagub, namun sejak awal sudah harus diletakan semangat Pilkada yang demokratis, jujur, adil aman dan damai. Semangat ini dapat terwujud jika masing-masing pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan bisa memainkan fungsi dengan sebaik-baiknya.

Perlu juga diantisipasi bahwa potensi kerusuhan dalam pilkada tetap ada. Untuk itu seluruh pihak yang terkait langsung maupun tidak harus bertekad mengantisipasi sekecil apapun potensi yang bisa memicu terjadinya kerusuhan.
Pilkada damai adalah, ketika proses pencalonan, penyeleksian, masa kampanye, dan perhitungan suara, berlangsung secara damai (tidak ribut, tidak anarkis, tidak ada manipulasi suara), menerima apapun hasilnya asal proses berlangsung sesuai dengan aturan. Ada juga pilkada damai dipahami ketika kelompok tertentu yang bertarung menang, tak sedikit pula yang menguraikan bahwa pilkada damai adalah ketika para kandidat berikrar di depan podium dan meneken di atas prasasti dan kertas, bahwa mereka menyatakan siap kalah dan menang.

Yang jelas, Pilkada damai bagi rakyat kecil adalah ketika tidak ada keributan, intimidasi, tidak ada huru-hara, tidak mengganggu kegiatan ekonomi sehari-hari dalam mencari nafkah seperti nelayan, petani, kuli bangunan, dll. Tak ada letupan senjata, tak ada pengerusakan terhadap aset-set publik akibat ketidakpuasan atas hasil yang dicapai pada final Pilkada nantinya.

Tahun 2011/2012 ini masyarakat Bangka Belitung akan diuji lagi  apakah bisa berdemokrasi secara aman, damai dan bebas menentukan nasib sendiri dengan memilih satu pasang Gubernur/Wakil Gubernur. Mampukah proses demokrasi di Bangka Belitung tahun ini menjadi model bagi proses demokrasi di Indonesia dan di dunia, dengan tingkat partisipasi pemilih yang tinggi dan suara tidak sah yang rendah.

Untuk mewujudkan harapan di atas, harus berangkat dari awal, seperti kinerja KPUD yang harus jujur dan profesional, yang diharapkan tidak menimbulkan sengketa. Serta para kandidat yang berkompeten serta cinta damai. Sehingga nanti jika terjadi kalah dan menang bisa berlapang dada menerima hasil dan tidak mengerahkan massa pendukungnya untuk melakukan aksi demonstrasi turun ke jalan sehingga menimbulkan kerusuhan dan pengerusakan.

Kandidat yang cinta damai adalah kandidat yang sabar. Kesabaran berarti harus siap kalah dalam kompetisi. Jika ia menang, itu merupakan buah dari kesabaran, buah dari proses politik yangdijalaninya dengan benar dan tertib, yang tidak menyalip dan menelikung di tikungan.

Pilkada adalah peristiwa politik, dan politk tidak saja sebuah pertarungan untuk meraih kekuasaan secara telanjang tanpa etika dan tanpa harga diri, melainkan juga sebuah peristiwa bermartabat yang di dalamnya terkandung mimpi sebuah bangsa untuk berubah ke arah yang lebih baik.

Kinilah saatnya rakyat Babel untuk mengusung kembali nilai-nilai luhur dan mulia dalam perpolitikan kita. Apa jadinya jika di setiap daerah yang melakukan PILKADA selalu timbul kerusuhan. Jika anarkisme seperti itu sampai terjadi, Pilkada bukan lagi sebagai pesta rakyat, pesta demokrasi. Melainkan politik tanpa kontrol dan etika yang akan menyebabkan kita semakin terjerembab pada akumulasi kekuasaan yang berbahaya yang berujung pada malapetaka yang merugikan semua oran

Tidak ada komentar: