TANPA terasa hari terus bergulir, waktunya pesta Pilkada Babel
sudah semakin dekat. Ada yang terang-terangan mencalonkan diri menjadi
bakal calon gubernur dan wakil gubernur, ada pula yang masih malu-malu.
Tidak sedikit pula yang hanya pandai “bernyanyi” melantunkan lirik
seolah dirinya terbaik sebagai kandidat Gubernur Babel mendatang, namun
sayangnya tak kunjung berani tampil di panggung.
Gaya bicara
yang disetel sebijak mungkin, gaya berjalan yang diatur, sampai cara
tersenyum pun mulai ditata. Begitulah beragam gaya yang mulai
ditampilkan beberapa orang yang berminat “mengadu” nasib menjadi
pemimpin Babel periode 2012-2017 mendatang.
Terlepas disengaja
ataupun tidak, ragam tingkah dan laku para peminat Pilkada Babel ini
adalah sebuah upaya dan usaha mencari muka di hadapan masyarakat Bangka
Belitung. Tujuannya jelas agar masyarakat mau berpaling dan melirik
dirinya, yang selanjutnya mau memilih ketika nantinya ikut bertarung
dalam Pilkada.
Seolah tidak pernah belajar dari pengalaman
tahun-tahun sebelumnya, para peminat Pilkada Babel ini masih saja
mengumbar cara yang lama. Ada yang tenang tapi diam-diam bergerak di
lapisan bawah tanah, ada juga yang grasa-grusu bersilahturrahmi ke
berbagai kelompok masyarakat, berjanji manis laksana madu. Ada juga
yang selalu minta diwawancarai wartawan, agar seluruh omongannya yang
terkadang tidak perlu tersebut bisa masuk media dan dibaca masyarakat
Babel. Sekalian promosi gratis.
Apapun strategi yang
diselipkan oleh para peminat calon pemimpin Babel ini adalah media
mencari muka kepada masyarakat Babel. Hanya saja ada yang menggunakan
biaya besar, dan ada pula yang berbiaya kecil alias pelit.
Suka atau
tidak, politik kini hanyalah basa-basi, cari muka di hadapan rakyat,
bergaya seolah mereka adalah pejuang nasib rakyat, padahal mereka hanya
mencari duit, mencari kesenangan, mencari popularitas, mencari
kedudukan, mencari pendukung agar mau memilihnya. Mengacu kepada
pengalaman masa lalu, kebanyakan dari mereka sebenarnya tidak
sungguh-sungguh memperjuangkan nasib rakyat dan bangsa ini seperti yang
dijanjikan pada saat kampanye, mereka hanya berjuang untuk dirinya,
keluarganya, dan golongannya agar bisa melanggengkan kedudukan,
kemapanan dan kenyamanan.
Masyarakat telah jenuh akan
janji-janji politik dan cari muka para calon kandidiat. Masyarakat juga
tidak mudah lagi diajak percaya kepada para calon, meski diberikan
kesenangan dan kenikmatan sesaat, seperti baju kaos, uang, beras
gratis, dan lain sebagainya. Hal ini terbukti dengan membuminya
slogan-slogan “Ambil uangnya, jangan pilih orangnya”. Masyarakat telah
cukup berpengalaman berhadapan dengan beberapa kali pesta demokrasi
yang juga telah terbukti belum membawa perubahan yang mendasar terhadap
tingkat kesejahteraan mereka.
Masyarakat sepertinya telah
memahami, bahwa kegiatan cari muka yang dilakukan oleh para calon
maupun tim sukses, juga termasuk partai-partai politik yang mengusung
calon tersebut tidak ubahnya seperti NARKOBA. Dengan menerima
pemberian-pemberian partai politik setiap menjelang pemilu kita hanya
akan merasakan nikmat dan kesenangan sesaat.
Setelah pemilu
berlalu, lonceng penderitaan masyarakat pun kembali bergema. Mulai dari
harga sembako yang terus meroket, petani kesulitan mendapatkan bibit
dan pupuk serta alat pertanian, atau mungkin kesulitan untuk menjual
hasil produksi pertanian masyarakat serta beragam kesulitan lainnya
yang telah siap menunggu pasca calon tersebut terpilih.
Meski
demikian, -fenomena kampanye dan sosialisasi partai-, sadar atau tidak
sadar tetaplah menjadi kegiatan yang dipercayai mampu mempengaruhi
pilihan-pilihan politik masyarakat.
Semakin tinggi kesadaran
masyarakat untuk menolak janji politik kandidat, semakin canggih pula
cara-cara partai politik maupun calon kandidat mencari muka kepada
masyarakat. Ini bisa dilihat dari lahirnya metode-metode baru dalam
melakukan kampanye dan sosialisasi.
Melihat fenomena copy paste
ini, penting bagi kita semua memahami arti penting pilihan politik
dalam menyambut pesta demokrasi yang hanya diadakan sekali dalam lima
tahun.
Kesalahan dalam menjatuhkan pilihan pada kandidat
nantinya dapat mengakibatkan kerugian yang sangat mendasar. Kerugian
tersebut, bukan hanya akan ditanggung oleh pribadi pemilih, melainkan
dapat menjadi kerugian bagi seluruh masyarakat Bangka Belitung
"ada baiknya semua kandidat menyadari akan hal itu serta mau
menerima apapun hasil yang didapat secara dewasa dengan mengedepankan
etika politik"
PEMBICARAAN tentang tokoh yang akan
memimpin Bangka Belitung periode 2012-2017 nanti mulai hangat
dibicarakan masyarakat. Beberapa lembaga survei mulai menyampaikan
hasil survei secara internal kepartaian yang masih didominasi
tokoh-tokoh pemain lama.
Banyak kalangan menilai kehadiran
lembaga survei tidak semata untuk kepentingan riset, tetapi sekaligus
menjadi alat untuk kepentingan politik pihak-pihak yang berkepentingan
dengan tujuan survei tersebut. Politik kekuasaan di era sekarang
menjadikan lembaga survei sebagai media untuk mengukur derajat
popularitas, baik lembaga maupun individu. Suatu lembaga politik atau
individu memiliki kepentingan sama kuatnya dengan kepentingan lembaga
survei itu yang dapat disebut sebagai suatu hubungan simbiosis
mutualisme. Pembicaraan tentang amanah dan tidak seseorang tidak
dijadikan sebagai entri poin pokok pembahasan dalam survei. Hal
tersebut tidak bisa diingkari karena perilaku politik adalah kegiatan
yang tidak diminta sebagai bagian dari peran formal seseorang dalam
organisasi tetapi yang mempengaruhi atau mencoba mempengaruhi
distribusi keuntungan dan kerugian di dalam organisasi.
Rakyat
sebenarnya menyadari betul, ketika seseorang dipercayakan menjadi
pimpinan mereka masih banyak menimbulkan kekecewaan. Amanah yang
diberikan rakyat yang seharusnya untuk pencapaian kesejahteraan
bersama. Namun, mereka malah menjadi orang pertama yang mengkhianati
amanah itu, dengan mengedepankan kepentingan pribadi dan golongannya
sendiri di atas kepentingan rakyat. Jadi, sebenarnya orang-orang yang
bekerja dalam orbit politiklah, dan bukan politik itu sendiri, yang
telah membuat stigma dan label bahwa politik selalu berorientasi pada
kekuasaan. Orang-orang yang telah mengingkari amanah rakyatlah yang
telah membuat politik, dan bekerja dalam orbit politik, itu sesuatu
yang buruk dan amat lekat dengan korupsi.
Manajemen Politik Pencitraan
Setiap
pemain politik akan mencoba mempengaruhi orang lain sedemikian rupa
supaya ada kesan positif bagi orang lain terhadap dirinya. Semua bentuk
komunikasi politik dan hubungan sosial diberdayakan untuk menimbulkan
kesan positif bagi orang lain atau lebih tepat disebut sebagai
manajemen politik pencitraan.
Manajemen politik pencitraan
adalah proses yang ditempuh individu dalam upaya mengendalikan kesan
orang lain mengenai dirinya. Barangkali orang yang paling berhasil
mendapatkan kekuasaan dalam manajemen sekarang ini adalah mereka yang
secara konsisten mempelajari peraturan-peraturan tentang bagaimana
memainkan permainannya. Max Weber dalam bukunya Wirtschaft und
Gesselshaft (1922) mengatakan; kekuasaan adalah kemampuan untuk
membagun hubungan sosial, melaksanakan kemampuan sendiri, dan sekalipun
mengalami perlawanan dan apapun dasar kemampuan tersebut. Pernyataan
Max Weber tersebut selaras dengan Miriam Budiardjo (2002), yang
mengatakan kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk
mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan
keinginannya.
Pemain politik yang mampu memainkan permainan
politik sesuai perencanaan manajemen politik pencitraan akan
mendapatkan legitimasi masyarakat yang menjadi sasaran permainan
politik. Max Weber (1922) menjelaskan sumber untuk memperoleh
legitimasi secara umum ada tiga, yakni tradisional, karisma dan
legal/rasional. Cara dan sumber perolehan legitimasi melahirkan
beberapa tipe legitimasi yaitu: legitimasi tradisional, legitimasi
ideologi, legitimasi kualitas pribadi, legitimasi prosedural dan
legitimasi instrumental. Seseorang yang telah mendapatkan legitimasi
masyarakat tentu telah melalui tahapan pertarungan konflik yang
maksimal.
Kapital Kekuasaan
Kekuasan memang sangat
dekat dengan kekuatan ekonomi. Piere Boerdeu melihat teori kekuasaan
dari empat teori kapital, yakni: kapital ekonomi, kapital simbolik,
kapital budaya, dan kapital sosial. Secara teoritis memang keempat
kapital kekuasaan itu bisa dipilah-pilah, tetapi secara emplementatif
seeorang yang ingin menjadi penguasa secara ideal harus memiliki
keempat kapital kekuasaan tersebut.
Pertama, kapital ekonomi
yaitu seseorang memegang kepercayaan kekuasaan karena secara individu
memiliki kekuatan material untuk menjalankan organisasi. Kedua, kapital
simbolik merupakan seseorang yang mendapat kepercayaan memegang
kekuasaan karena kemampuan menggeluti suatu bidang organisasi atau
membangun kekuatan massa.
Keahlian tersebut menyebabkan
dirinya menjadi symbol bagi pengikutnya dan keturunannya. Simbol itulah
yang kemudian menjadi modal untuk dipercaya memegang kekuasaan, baik
untuk dirinya sendiri maupun keturunannya. Ketiga, kapital budaya
merupakan modal kekuasaan yang diperoleh melalui jalur budaya dan
sentimen primordial. Kekuasaan dalm konteks ini lebih mengedepankan
aspek kesukuan dan kedaerahan dan keempat kapital sosial merupakan
kekuasaan yang didapat seseorang karena adanya kekuatan modal jaringan
sosial dan jaringan kerja.
Penjelasan di atas membuktikan
bahwa menjadi seorang pemegang kekuasaan seperti menjadi Gubernur
Bangka Belitung periode 2012-2017 tidaklah muncul begitu saja. Akan
tetapi harus melalui proses yang membutuhkan pengujian, baik secara
mental, material, dan jaringan sosial, politik dan ekonomi yang
semuanya menjadi bagian manajemen politik kekuasaan seseorang kandidat.
Jadi, Pelaksanaan Pilkada hanyalah sebagai media untuk menguji
sejauhmana kekuatan dan kemampuan manajemen politik kekuasaan seorang
kandidat Gubernur. Kemenangan dan kekalahan kandidat adalah hasil dari
pengujian kekuatan manajemen politik kekuasaan tersebut. Dan, ada
baiknya semua kandidat menyadari akan hal itu serta mau menerima apapun
hasil yang didapat secara dewasa dengan mengedepankan etika politik.
Pilkada hanyalah salah satu cara untuk berbuat demi rakyat karena masih
banyak cara lain yang lebih baik dari itu.
BANGKA BELITUNG bersiap menyongsong pilkada 2012. Agar proses
dan pelaksaan pemilihan berlangsung aman dan lancar, semua pihak yang
berkepentingan dengan pilkada mesti menabur janji berkomitmen menjaga
suasana damai. Dengan demikian, pilkada Babel 2012 ini akan menjadi
proses yang menarik diikuti dan mampu merangsang keterlibatan penuh
masyarakat Babel.
Dua hari lagi, tepatnya 19-23 Oktober 2011,
proses Pilkada Babel 2012 akan dimulai dengan pendaftaran bakal calon
pasangan Gubernur/Wagub Babel dari jalur independen. Sedangkan pasangan
dari jalur usulan partai akan dimulai 25 November 2011 mendatang, satu
bulan setelah ditutupnya pendaftaran dari jalur independen.
Meski
baru memasuki tahapan pendaftaran bakal calon gubernu/wagub, namun
sejak awal sudah harus diletakan semangat Pilkada yang demokratis,
jujur, adil aman dan damai. Semangat ini dapat terwujud jika
masing-masing pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan bisa memainkan
fungsi dengan sebaik-baiknya.
Perlu juga diantisipasi bahwa
potensi kerusuhan dalam pilkada tetap ada. Untuk itu seluruh pihak yang
terkait langsung maupun tidak harus bertekad mengantisipasi sekecil
apapun potensi yang bisa memicu terjadinya kerusuhan.
Pilkada damai
adalah, ketika proses pencalonan, penyeleksian, masa kampanye, dan
perhitungan suara, berlangsung secara damai (tidak ribut, tidak
anarkis, tidak ada manipulasi suara), menerima apapun hasilnya asal
proses berlangsung sesuai dengan aturan. Ada juga pilkada damai
dipahami ketika kelompok tertentu yang bertarung menang, tak sedikit
pula yang menguraikan bahwa pilkada damai adalah ketika para kandidat
berikrar di depan podium dan meneken di atas prasasti dan kertas, bahwa
mereka menyatakan siap kalah dan menang.
Yang jelas, Pilkada
damai bagi rakyat kecil adalah ketika tidak ada keributan, intimidasi,
tidak ada huru-hara, tidak mengganggu kegiatan ekonomi sehari-hari
dalam mencari nafkah seperti nelayan, petani, kuli bangunan, dll. Tak
ada letupan senjata, tak ada pengerusakan terhadap aset-set publik
akibat ketidakpuasan atas hasil yang dicapai pada final Pilkada
nantinya.
Tahun 2011/2012 ini masyarakat Bangka Belitung akan
diuji lagi apakah bisa berdemokrasi secara aman, damai dan bebas
menentukan nasib sendiri dengan memilih satu pasang Gubernur/Wakil
Gubernur. Mampukah proses demokrasi di Bangka Belitung tahun ini
menjadi model bagi proses demokrasi di Indonesia dan di dunia, dengan
tingkat partisipasi pemilih yang tinggi dan suara tidak sah yang rendah.
Untuk
mewujudkan harapan di atas, harus berangkat dari awal, seperti kinerja
KPUD yang harus jujur dan profesional, yang diharapkan tidak
menimbulkan sengketa. Serta para kandidat yang berkompeten serta cinta
damai. Sehingga nanti jika terjadi kalah dan menang bisa berlapang dada
menerima hasil dan tidak mengerahkan massa pendukungnya untuk melakukan
aksi demonstrasi turun ke jalan sehingga menimbulkan kerusuhan dan
pengerusakan.
Kandidat yang cinta damai adalah kandidat yang
sabar. Kesabaran berarti harus siap kalah dalam kompetisi. Jika ia
menang, itu merupakan buah dari kesabaran, buah dari proses politik
yangdijalaninya dengan benar dan tertib, yang tidak menyalip dan
menelikung di tikungan.
Pilkada adalah peristiwa politik, dan
politk tidak saja sebuah pertarungan untuk meraih kekuasaan secara
telanjang tanpa etika dan tanpa harga diri, melainkan juga sebuah
peristiwa bermartabat yang di dalamnya terkandung mimpi sebuah bangsa
untuk berubah ke arah yang lebih baik.
Kinilah saatnya rakyat
Babel untuk mengusung kembali nilai-nilai luhur dan mulia dalam
perpolitikan kita. Apa jadinya jika di setiap daerah yang melakukan
PILKADA selalu timbul kerusuhan. Jika anarkisme seperti itu sampai
terjadi, Pilkada bukan lagi sebagai pesta rakyat, pesta demokrasi.
Melainkan politik tanpa kontrol dan etika yang akan menyebabkan kita
semakin terjerembab pada akumulasi kekuasaan yang berbahaya yang
berujung pada malapetaka yang merugikan semua oran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar