Sebagai
kota pelabuhan, masyarakat kota Ambon sudah lama sekali mengalami
proses perubahan sosial. Dari zaman pra-kolonialisme, kolonialisme,
hingga pascakolonialisme, masyarakat Ambon mengalami perubahan sosial
dengan intensitas yang bervariasi. Ada perubahan yang berlangsung lama
(evolutif) dan mendalam sehingga meninggalkan guratan atau bekas yang
bertahan lama atau berakar dalam kesadaran dan realitas empiris
(struktur sosial) masyarakat yang sulit dilupakan, atau cenderung
dilestarikan. Ada pula yang bersifat revolusioner namun merombak
nilai-nilai dasar kehidupan sosial sehingga menimbulkan
pergeseran-pergeseran signifikan dalam cara pandang (perspektif) dan
gaya hidup masyarakat secara radikal (misal: pascakonflik Maluku 1999).
Salah
satu kelompok sosial yang terbuka dan rentan terhadap perubahan sosial
itu adalah pemuda. Pemuda di sini bisa dipahami sebagai kelompok usia
produktif yang berada dalam rentang usia 17 tahun ke atas hingga batas
usia 50 tahun. Disebut “usia produktif” karena pada masa-masa hidup ini
pemuda sangat berpotensi untuk mengembangkan diri melalui proses
belajar secara mandiri, bersama-sama, dan kolaboratif untuk suatu
tujuan atau cita-cita yang ditentukannya. Sebagai bagian dari
masyarakatnya, pemuda juga tidak luput dari proses perubahan sosial.
Bahkan hampir dalam setiap fase sejarah sosial kelompok pemuda
merupakan inisiator-inisiator dan pelaku-pelaku perubahan sosial itu
sendiri. Tetapi tidak bisa disangkali bahwa kelompok pemuda jugalah
yang rentan menjadi korban dari pergeseran-pergeseran nilai dan
struktur sosial sebagai dampak perubahan sosial tersebut.
Pemetaan Masalah Kepemudaan
Pemetaan
ini perlu dilakukan agar kita (pemuda) mampu melihat seberapa dalam
intensitas perubahan sosial memengaruhi kehidupan kita, serta
memberikan kita perspektif untuk mencermati dinamika perubahan
tersebut. Dari situ barulah kita bisa menentukan langkah-langkah
sistematis-praktis untuk mengantisipasi dan mengatasi
persoalan-persoalan yang muncul sebagai dampaknya. Tujuannya agar kita
tidak menjadi korban dalam seluruh proses situ, melainkan menjadi pihak
yang mengendalikan perubahan sosial yang pada gilirannya mendorong
pencapaian cita-cita (idealisme) kita bersama, terutama sebagai pemuda
Kristen.
Pemuda dan Budaya Lokal
Pergeseran
nilai-nilai budaya lokal terjadi secara intensif terutama ketika rezim
Orde Baru menerapkan paradigma pembangunan nasional yang sangat
sentralistik. Hampir seluruh pranata budaya lokal Maluku mengalami
stagnasi dan penggusuran secara sistematis sehingga kalangan pemuda
mengalami alienasi (keterasingan) dengan budayanya sendiri. Semua yang
berbau “lokal” atau “daerah” dianggap kuno dan kampungan, sementara
semua yang bernuansa “nasional” atau “jakartaisme” dilihat sebagai
kemajuan dan ciri modernitas. Maka tak mengherankan banyak pemuda
Maluku tak segan meninggalkan bangku pendidikan untuk sekadar “inja
ibukota Jakarta”. Padahal sampai di Jakarta mereka tak mampu melakukan
apa-apa dan hanya berujung menjadi “tukang pukul” atau “preman”. “Ke
Jakarta” menjadi impian banyak pemuda Maluku karena keterasingan dengan
budaya lokalnya sendiri. Rasanya belum banyak terjadi pergeseran dalam
Orde Reformasi di bawah kepemimpinan SBY-Boediono.
Pemuda dan Pendidikan
Sejak
zaman kolonialisme Belanda, sebagian pemuda Maluku telah menikmati
kesempatan menjalani pendidikan hingga ke jenjang yang tertinggi.
Berdasarkan kapasitas intelektual dan latar belakang pendidikan mereka
(sebagian besar di sekolah-sekolah Belanda), banyak pemuda Maluku yang
direkrut menjadi “pegawai negeri” (ambtenaar) dalam
administrasi pemerintahan kolonial Belanda (sipil dan militer). Ada
pula yang memilih mengambil jalur partikelir (swasta) dalam
organisasi-organisasi nasional pada masa pergerakan nasional Indonesia.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, kekuatan intelektual pemuda
Maluku makin dikebiri sehingga kualitas pendidikan orang Maluku menurun
drastis. Apalagi pesona “modernisasi” ternyata makin melumpuhkan
motivasi dan semangat juang pemuda Maluku untuk berkompetisi secara
nasional dalam arena pendidikan. Pemuda Maluku makin tercecer dalam
dunia pendidikan.
Pemuda dan Politik
Dalam
domain politik, pemuda Maluku secara historis dan sosiologis sangat
banyak memberikan kontribusinya. Sejak masa pra-kolonialisme hingga
masa Indonesia merdeka, kita tidak pernah kehabisan stok kader pemuda
Maluku. Tapi pertanyaannya: Kader seperti apa yang banyak kita siapkan?
Pengamatan selama beberapa tahun memperlihatkan bahwa kader-kader
politik yang kita siapkan lebih banyak bersifat “karbitan” atau “kutu
loncat”, bahkan ternyata yang lebih banyak adalah kader penggembira.
Kader-kader politik semacam ini ternyata hanya mengejar
kesempatan-kesempatan untuk meraup kekayaan melalui pencitraan politik
yang semu. Sementara pada sisi lain kita mengalami krisis parah dalam
stok kader pemikir dan pelaku politik yang matang dan beretika. Domain
politik saat ini sudan menjadi market (pasar) yang membuka ruang luas
bagi transaksi-transaksi yang hanya menguntungkan pedagang-pedagang
politik, lalu mengabaikan esensi (hakikat) politik itu sendiri sebagai
etika pencapaian tujuan bersama dalam kehidupan bermasyarakat.
Pemuda dan Ekonomi
Konstruksi
sosial terutama pada masa kolonialisme secara sengaja telah menjauhkan
orang-orang Kristen Maluku dari aktivitas ekonomi pasar. Orang-orang
Kristen hanya dipersiapkan untuk menduduki jabatan-jabatan sebagai
pendidik, pendeta, tentara, dan pegawai negeri. Sedangkan aktivitas
ekonomi digerakkan oleh kelompok keturunan Tionghoa dan
pedagang-pedagang lokal dari Jawa, Buton, Bugis, dan Makassar. Pola
sosial ini terbentuk sedemikian rupa hingga pemuda-pemuda Kristen sama
sekali tak berminat dan tidak punya akses ke dalam ekonomi pasar.
Ekonomi pasar di Maluku dan di kota Ambon sudah sangat kuat dikuasai
oleh mafia pasar yang terdiri dari koalisi-koalisi ekonomi
kelompok-kelompok etnis tertentu. Dari masa ke masa, pemuda-pemuda
Kristen hanya terdidik untuk menunggu peluang jadi pegawai negeri,
tentara, guru, dan pendeta, tetapi tidak punya geliat untuk masuk dalam
aktivitas ekonomi berskala massif. Apakah ini karena kita masih
melestarikan prinsip “ikan makan ikan”?
Pemuda dan Perkembangan Teknologi
Keterbukaan ruang informasi-komunikasi makin luas dengan pesatnya perkembangan teknologi infokom. Internet dan handphone
telah meruntuhkan batas-batas teritorial dan identitas masyarakat
manusia sejagad. Bersamaan dengan itu terjadi pertukaran ide dan
nilai-nilai hidup di antara para pengguna teknologi infokom tersebut.
Fenomena tersebut ternyata makin meluruhkan perbedaan dan mendorong
masyarakat dunia untuk menganut gaya hidup yang seragam. Diseragamkan
dengan apa? Tentu saja diseragamkan dengan kehendak dan kepentingan
para pemilik modal (kapitalis) yang menguasai perekonomian dunia dan
mengontrol media massa. Dalam hal ini peranan negara-negara maju sangat
besar dalam mengontrol perkembangan teknologi seturut kepentingan
mereka, dan masyarakat negara-negara miskin hanya diposisikan sebagai
konsumer melalui pencitraan media terhadap gaya hidup “modern” di mana
konsumsi dilihat sebagai cara memenuhi pemuasan kebutuhan manusia.
Pemuda dan Pluralisme Agama
Seiring
makin berkembangnya teknologi infokom, kita makin menyadari
perbedaan-perbedaan yang ada pada tiap masyarakat. Salah satu penanda
identitas yang krusial saat ini adalah identitas agama. Agama merupakan
ekspresi keyakinan atau iman seseorang terhadap keberadaan “Yang
Transenden”, yang dalam bahasa agama disebut “Tuhan”. Ekspresi itu
mewujud dalam simbol, ritual, kitab suci, organisasi, dan etika hidup.
Di situlah kemudian kita menyadari bahwa ekspresi terhadap “Yang
Transenden” itu muncul dalam wujud yang berbeda-beda sesuai dengan
konteks “iman” itu diekspresikan. Sering kali perbedaan-perbedaan itu
menjadi pemicu konflik antarkomunitas karena agama dilegitimasi oleh
prinsip “kebenaran tunggal”. Tanpa disadari bahwa “kebenaran” itu tidak
tunggal karena mendapat pemaknaan yang berbeda dalam konteks sosial
yang berbeda.
Membangun Teologi Pro-Eksistensi: Panggilan Pemuda Kristen
Dalam
beberapa narasi Alkitab kita menemukan sejumlah figur pemuda yang luar
biasa. Mereka luar biasa bukan hanya dalam kemampuan fisik, tetapi juga
visi, kecerdasan, dan keberanian mengambil risiko demi memperjuangkan
prinsip-prinsip kehidupan (misal: solidaritas, keadilan, kejujuran,
kerendahan hati, dll). Tidak hanya itu, pemuda-pemuda yang berperan
penting dalam narasi-narasi Alkitab ternyata berasal dari latar
belakang keluarga yang biasa-biasa saja. Artinya, mereka menjadi hebat
bukan karena jabatan atau kekayaan orang tua mereka. Mereka menjadi
hebat karena mereka belajar mengembangkan potensi dalam diri mereka
serta ditempa melalui pengalaman-pengalaman hidup, lalu mengarahkan dan
mengerahkan energi kreatif tersebut untuk kepentingan bersama. Mari
kita lihat tiga figur pemuda luar biasa dalam Alkitab.
Musa.
Musa adalah seorang pemuda Israel yang hidup dalam asuhan putri Firaun.
Ia tidak memanfaatkan kenyamanan hidup di istana untuk kepentingannya
sendiri dan melupakan penderitaan saudara-saudaranya sebagai budak di
Mesir. Ia mengambil risiko membela saudara-saudaranya yang mengalami
penganiayaan, kendati untuk itu ia harus terusir dari istana dan
menjalani hidup sebagai “orang biasa”. Tapi justru dalam kondisi hidup
biasa itulah Musa mendapat kepercayaan untuk memimpin umat Israel.
Sebuah tantangan yang berat bagi pemuda Musa. Musa menjadi pemimpin
besar bukan karena ia punya banyak uang tapi karena punya keberanian
mengambil risiko untuk memimpin dan ditempa melalui
pengalaman-pengalaman konkret. Risiko kepemimpinannya adalah ia hanya
bisa mengantarkan umat Israel sampai di perbatasan tanah Kanaan. Ia
sendiri tidak bisa masuk karena menanggung akibat kesalahan umat
Israel. Musa adalah tipe pemuda yang berani mengambil risiko bukan demi
kepentingan dirinya, tapi kepentingan umat yang dipimpinnya.
Yusuf.
Menjalani hidup dalam pembuangan di Mesir, karena kecemburuan
saudara-saudaranya, tidak membuat Yusuf patah semangat. Meski disayang
oleh ayahnya, Yusuf tidak menjadi pemuda lembek dan manja. Karakternya
makin matang dalam usahanya mempertahankan hidup di tanah Mesir yang
asing. Yusuf mencapai puncak kariernya bukan karena ia fasih melakukan
negosiasi politik; bukan karena ia pintar membohongi orang; bukan
karena ia pandai mencari muka dari penguasa. Yusuf mendapatkan
kepercayaaan penuh dari Firaun justru karena kejujuran, kerendahan
hati, kecerdasan, dan visinya yang tergambar dari kemampuannya menafsir
mimpi Firaun, yang terarah pada kepentingan masyarakat Mesir (bukan
dirinya sendiri). Karakternya itu pula yang menjadikan ia seorang
manajer andal dalam mengelola sumber daya alam Mesir sehingga mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat secara nasional maupun internasional.
Yusuf adalah tipe pemimpin yang visioner dengan orientasi universal
(bukan primordial).
Yesus.
Dibesarkan dalam tradisi Yahudi, Yesus bertumbuh menjadi pemuda Yahudi
yang taat. Namun ketaatannya pada hukum agama Yahudi justru membawa
Yesus pada refleksi-refleksi kritis mengenai makna dan fungsi hukum
agama itu dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu, hampir seluruh masa
kepemudaannya, Yesus berjuang melakukan re-interpretasi (tafsir ulang)
ajaran-ajaran agama Yahudi dan memberi makna baru secara kontekstual
sesuai dengan masalah-masalah konkret yang dihadapinya. Pemaknaan baru
tersebut tidak hanya diajarkan kepada orang lain secara verbal tetapi
juga dijalani sehingga menjadi teladan hidup bagi banyak orang.
Perjuangan itu bukan tanpa risiko. Risikonya adalah Yesus harus
berhadapan dengan otoritas formal keagamaan dan penguasa politik, yang
waktu itu “berselingkuh” untuk mempertahankan status-quo berpikir,
beragama, dan berpolitik. Pemuda Yesus melampaui godaan-godaan politik
uang, pencitraan diri, ketergantungan pada nepotisme, dan tawaran
kekuasaan. Untuk semua itu Yesus memilih akhir jalan hidupnya sebagai
“pecundang” di kayu salib. Yesus adalah tipe pemuda yang
mengombinasikan kecerdasan, spiritualitas, dan keberanian mengambil
keputusan penting demi proses pencerahan berpikir masyarakat terhadap
realitas hidup.
Figur
ketiga pemuda ini sebenarnya bisa menginspirasi kita untuk belajar
memahami identitas dan peran kita dalam konteks masyarakat Ambon.
Sebagai pemuda Kristen, kita sama sekali tidak dianjurkan untuk
menjauhi “dunia” dan bertumbuh menjadi pemuda-pemuda munafik yang sok
rohani tapi miskin visi dan lemah misi dalam menyikapi realitas sosial
saat ini. Sebaliknya, kita dianjurkan untuk memperkuat karakter kita
dalam ketekunan beribadah dan belajar prinsip-prinsip alkitabiah
sebagai motivasi dan inspirasi untuk melahirkan berbagai kreativitas di
segala bidang kehidupan.
Pemuda
Kristen harus mendasarkan hidupnya pada visi dan misi pro-eksistensi
(berpihak pada kehidupan), sebab itulah yang akan menjadi “bahan bakar”
bagi kita untuk bergerak dan berkarya dengan seluruh potensi diri dan
ketekunan dalam proses belajar terus-menerus. Dasar imannya adalah
Allah tidak pernah berhenti bekerja menurut caranya hingga saat ini.
Allah yang kita percayai adalah Allah yang berkarya dalam proses untuk
menjadi (process of becoming). Di situ tersirat
kreativitas yang terus-menerus untuk menciptakan makna dan kemungkinan
baru. Dunia sekarang memerlukan sentuhan karya pemuda-pemuda Kristen
yang punya karakter tangguh untuk memimpin dan mengarahkan proses
perubahan sosial ini menuju tercapainya cita-cita kesejahteraan
masyarakat. Tantangan abad ke-21 ini harus menjadi momentum bagi
pemuda-pemuda Kristen di Maluku untuk mengambil-alih kepemimpinan di
semua lini kehidupan masyarakat.
Mari
berhenti berpikir dan bersikap sebagai “orsu” (orang suru-suru). Mari
kikis mentalitas “harap gampang” dan “tau snang sa”. Mari tutup
kemungkinan untuk terus berada dalam mentalitas “ikan makan ikan”. Lalu
angkat muka kita untuk melihat bahwa pemuda-pemuda Kristen makin
tercecer dalam proses perubahan sosial di kota Ambon (Maluku) saat ini,
dan mari berjuang merebut kembali seluruh peran-peran kepemimpinan
dalam semua bidang kehidupan masyarakat dengan ketajaman visi,
kecerdasan analisis, keberanian mengambil pilihan berisiko, kekuatan
spiritualitas kristiani, dan penguatan karakter positif, yang semuanya
terarah bagi penguatan kesejahteraan umat/masyarakat melalui
program-program kerja organisasi maupun prospek individu. Sebagaimana
yang ditunjukkan melalui teladan tiga figur pemimpin di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar