Berani Ungkapkan Kebenaran (Buntuk) Center dibentuk untuk mengawal
proses Pemilukada Babel 2012 berjalan sesuai aturan. Buntuk Center
berjanji tidak akan bermain dalam politik praktis.
Berani
Ungkapkan Kebenaran (BUNTUK) Center mendesak penyelenggaraan Pemilukada
Bangka Belitung berjalan sesuai koridor perundang-undangan. Proses
Pemilukada dinilai perlu kontrol dari elemen masyarakat. Gerakan moral
BUNTUK Center menyikapi kondisi politik yang terjadi Bangka Belitung
saat ini. Dimana independensi KPU Bangka Belitung selaku penyelenggara
dipertaruhkan.
"BUNTUK Center sebuah gerakan moral yang menginginkan
jangan sampai terjadi gejolak atau konflik di masyarakat atas kondisi
politik yang terjadi,
"Semua pihak yang terlibat perlu duduk bersama menciptakan kesepakatan atau konsensus lokal untuk menghindari konflik"
PILKADA langsung bukan satu-satunya
variabel indikator untuk mengukur kualitas demokrasi. Kualitas
demokrasi didasarkan pada banyak hal, khususnya menyangkut penerapan
prinsip: transparansi anggaran, partisipasi kelembagaan lokal, dan
akomodasi kepentingan-kepentingan masyarakat di dalam pengambilan
keputusan atau peraturan di daerah.
Sebaik apa pun sebuah pemerintahan dirancang, ia tak
bisa dianggap demokratis kecuali para pejabat yang memimpin
pemerintahan itu dipilih secara bebas oleh warga negara dalam cara yang
terbuka dan jujur.
Pelaksanaan pemilihan bisa saja bervariasi, namun
esensinya sama, yakni: akses bagi semua warga negara yang memenuhi
syarat untuk mendapatkan hak pilih, perlindungan bagi tiap individu
terhadap pengaruh suara, dan penghitungan yang jujur dan terbuka
terhadap hasil pemungutan suara.
Dalam kerangka pemikiran seperti inilah pemilihan
kepala daerah (pilkada) secara langsung menjadi momentum untuk
mempertegas aura optimisme dalam lajur pengembangan dan penumbuhan
demokrasi.
Pemilihan kepala daerah langsung secara demokratis akan
dapat memunculkan seorang pemimpin ideal. Seorang pemimpin yang
benar-benar mewakili aspirasi rakyat, dan mampu menerjemahkan kehendak
rakyat dalam setiap kebijakannya.
Mampu memberikan kontribusi positif dalam kerangka
penyelenggaraan pemerintahan lokal yang otonom demi pembangunan
masyarakat adil, makmur dan sejahtera.
Tapi de facto, sejak awal agenda dan pelaksanaan
pilkada langsung digelar, kita terkesan tidak mampu membendung dan
memberangus masalah-masalah yang berpotensi merusak dan membusukkan
demokrasi bangsa.
Konflik-konflik politik seakan telah menjadi warna
bagi dan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Seakan dapat
dipastikan, hal ini merupakan sebuah condicio sine quanon ketika kita
tidak mampu menginterpretasikan dan memanifestasikan spirit demokrasi.
Peta Konflik Pilkada
Dapat digeneralisir, bahwa setidaknya ada
lima sumber konflik potensial, baik pra maupun pasca-pilkada. Pertama,
konflik yang bersumber dari mobilisasi politik atas nama etnik, agama,
daerah, dan darah.
Kedua, konflik yang bersumber dari kampanye negatif
antar pasangan calon kepala daerah. Ketiga, konflik yang bersumber dari
premanisme politik dan pemaksaan kehendak.
Keempat, konflik yang bersumber dari manipulasi dan
kecurangan penghitungan suara hasil pilkada. Kelima, konflik yang
bersumber dari perbedaan penafsiran terhadap aturan main
penyelenggaraan pilkada.
Dalam bentuk dan jenisnya, konflik politik di lapangan
sangat beragam dan komplek; konflik antar individu atau kelompok elit
politik, konflik antar akar rumput, elite politik dengan masyarakat
akar rumput. Konflik-konflik tersebut dapat muncul dimana pun, baik
internal maupun eksternal partai.
Dari beberapa hasil pilkada yang telah berlangsung,
dapat dianalisa, bahwa secara umum ada beberapa hal yang dapat
diindikasikan sebagai biang konflik:
Pertama, penyelenggara (KPU) tidak fair, modusnya
beragam, penggelembungan suara, pendataan tidak valid, proses
registrasi pemilih “ada permainan”.
Kedua, ketidak netralan birokrasi, modusnya penggunaan
birokrasi sebagai mesin pendulang suara. Ketiga, terlampau banyaknya
golput, yang imbasnya menimbulkan persoalan pada legitimasi politik dan
secara teknis akan mengganggu keseimbangan pemerintahan.
Dan terakhir, terlampau “bermainnya” golongan hitam.
Sebuah kelompok yang seharusnya menjadi punggawa masyarakat sipil, akan
tetapi dalam kenyataanya memilih bermain secara tidak fair dalam
konstelasi politik.
Prevensi Konflik Pilkada
Benar, bahwa konflik tidak selalu
bermakna destruktif. Jika konflik dimanage secara baik dan benar akan
memiliki nilai dan kontribusi berarti bagi proses pendewasaan dan
pematangan demokrasi.
Tapi sekarang, intensitas perhatian kita adalah apa
yang umum terjadi di lapangan, yakni konflik-konflik negatif yang
berpengaruh buruk bagi kehidupan demokrasi kita; konflik-konflik yang
berbau anarkhi dan bersifat destruktif.
Meskipun dalam konflik Pilkada merupakan sesuatu yang
tidak terhindarkan, tentu saja peristiwa sosial semacam itu tidak boleh
dibiarkan.
Keteraturan sosial atau dalam tataran yang lebih makro
yakni integrasi bangsa tetap menjadi prioritas dalam penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Langkah-langkah prevensi konflik dalam Pilkada menjadi
urgent dan mendesak untuk segera dipikirkan, dirumuskan, dan
diimplementasikan secara proporsional dan profesional.
Perlu perencanaan dan gerakan cepat dan akurat. Selain
memang, ada prasayat yang lebih esensial yakni: dukungan, komitmen dan
kemauan kuat dari seluruh elemen masyarakat serta kandidat dan
pendukung masing-masing untuk menciptakan pilkada damai.
Substansi komitmen tersebut adalah mengedepankan
kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, dan mewujudkan pilkada yang
berkualitas dan bermartabat.
Untuk mewujudkanya, langkah-langkah yang perlu
dilakukan adalah: Pertama, membuat sebuah permufakatan bersama mengenai
nilai dalam pilkada atau sebuah konsensus bersama.
Semua pihak yang terlibat perlu duduk bersama
menciptakan kesepakatan atau konsensus lokal untuk menghindari konflik,
dan perlu juga disepakati bagaimana mengatasi konflik jika ini terjadi
kelak.
Kedua, para calon dan tim sukses tidak mengembangkan
isu-isu sensitif seperti: suku, agama, dan ras dalam tema-tema kampanye
pilkada.
Ketiga, memposisikan peran para akademia kampus sebagai
penyeimbang dari elite-elite lokal. Keempat, netralitas birokrasi
daerah (Pemda dan DPRD). Dan terakhir, KPUD sebagai penyelenggara harus
berlaku netral dan profesional.
Langkah-langkah ini harus sepenuhnya dapat diterjemahankan dalam
aksi, selain sebagai tindakan preventif, ini juga berarti sebuah
gerakan membangun kepercayaan publik; komitmen dan konsistensi elit
untuk
membangkitkan dan menumbuhkan social trust (saling percaya antar warga
masyarakat), sebaliknya mengeliminasi kesadaran-kesadaran masyarakat
yang mengarah ke social distrust.
Apatisme masyarakat selama ini adalah sebuah realitas,
efek dari political distrust di kalangan elite. Jika trust tidak
dimunculkan oleh elite, sulit kiranya bagi kita untuk membangun negara
yang kokoh.
Kesadaran, kecerdasan, dan kearifan sikap harus datang
dari hulu, sehingga hilir akan menangkapnya sebagai sebuah iktikad baik
yang patut dan harus didukung dan diapresiasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar