Minggu, 25 Desember 2011

Buntuk Center Kawal Pemilukada

Berani Ungkapkan Kebenaran (Buntuk) Center dibentuk untuk mengawal proses Pemilukada Babel 2012 berjalan sesuai aturan. Buntuk Center berjanji tidak akan bermain dalam politik praktis.


Berani Ungkapkan Kebenaran (BUNTUK) Center mendesak penyelenggaraan Pemilukada Bangka Belitung berjalan sesuai koridor perundang-undangan. Proses Pemilukada dinilai perlu kontrol dari elemen masyarakat. Gerakan moral BUNTUK Center menyikapi kondisi politik yang terjadi Bangka Belitung saat ini. Dimana independensi KPU Bangka Belitung selaku penyelenggara dipertaruhkan.

"BUNTUK Center sebuah gerakan moral yang menginginkan jangan sampai terjadi gejolak atau konflik di masyarakat atas kondisi politik yang terjadi,





"Semua pihak yang terlibat perlu duduk bersama menciptakan kesepakatan atau konsensus lokal untuk menghindari konflik"

PILKADA langsung bukan satu-satunya variabel indikator untuk mengukur kualitas demokrasi. Kualitas demokrasi didasarkan pada banyak hal, khususnya menyangkut penerapan prinsip: transparansi anggaran, partisipasi kelembagaan lokal, dan akomodasi kepentingan-kepentingan masyarakat di dalam pengambilan keputusan atau peraturan di daerah.

Sebaik apa pun sebuah pemerintahan dirancang, ia tak bisa dianggap demokratis kecuali para pejabat yang memimpin pemerintahan itu dipilih secara bebas oleh warga negara dalam cara yang terbuka dan jujur. 

Pelaksanaan pemilihan bisa saja bervariasi, namun esensinya sama, yakni: akses bagi semua warga negara yang memenuhi syarat untuk mendapatkan hak pilih, perlindungan bagi tiap individu terhadap pengaruh suara, dan penghitungan yang jujur dan terbuka terhadap hasil pemungutan suara. 

Dalam kerangka pemikiran seperti inilah pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung menjadi momentum untuk mempertegas aura optimisme dalam lajur pengembangan dan penumbuhan demokrasi. 

Pemilihan kepala daerah langsung secara demokratis akan dapat memunculkan seorang pemimpin ideal. Seorang pemimpin yang benar-benar mewakili aspirasi rakyat, dan mampu menerjemahkan kehendak rakyat dalam setiap kebijakannya. 

Mampu memberikan kontribusi positif dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan lokal yang otonom demi pembangunan masyarakat adil, makmur dan sejahtera.

 Tapi de facto, sejak awal agenda dan pelaksanaan pilkada langsung digelar, kita terkesan tidak mampu membendung dan memberangus masalah-masalah yang berpotensi merusak dan membusukkan demokrasi bangsa.

 Konflik-konflik politik seakan telah menjadi warna bagi dan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Seakan dapat dipastikan, hal ini merupakan sebuah condicio sine quanon ketika kita tidak mampu menginterpretasikan dan memanifestasikan spirit demokrasi.

Peta Konflik Pilkada
Dapat digeneralisir, bahwa setidaknya ada lima sumber konflik potensial, baik pra maupun pasca-pilkada. Pertama, konflik yang bersumber dari mobilisasi politik atas nama etnik, agama, daerah, dan darah. 

Kedua, konflik yang bersumber dari kampanye negatif antar pasangan calon kepala daerah. Ketiga, konflik yang bersumber dari premanisme politik dan pemaksaan kehendak. 

Keempat, konflik yang bersumber dari manipulasi dan kecurangan penghitungan suara hasil pilkada. Kelima, konflik yang bersumber dari perbedaan penafsiran terhadap aturan main penyelenggaraan pilkada. 

Dalam bentuk dan jenisnya, konflik politik di lapangan sangat beragam dan komplek; konflik antar individu atau kelompok elit politik, konflik antar akar rumput, elite politik dengan masyarakat akar rumput. Konflik-konflik tersebut dapat muncul dimana pun, baik internal maupun eksternal partai.

Dari beberapa hasil pilkada yang telah berlangsung, dapat dianalisa, bahwa secara umum ada beberapa hal yang dapat diindikasikan sebagai biang konflik: 

Pertama, penyelenggara (KPU) tidak fair, modusnya beragam, penggelembungan suara, pendataan tidak valid, proses registrasi pemilih “ada permainan”. 

Kedua, ketidak netralan birokrasi, modusnya penggunaan birokrasi sebagai mesin pendulang suara. Ketiga, terlampau banyaknya golput, yang imbasnya menimbulkan persoalan pada legitimasi politik dan secara teknis akan mengganggu keseimbangan pemerintahan. 

Dan terakhir, terlampau “bermainnya” golongan hitam. Sebuah kelompok yang seharusnya menjadi punggawa masyarakat sipil, akan tetapi dalam kenyataanya memilih bermain secara tidak fair dalam konstelasi politik.

Prevensi Konflik Pilkada
Benar, bahwa konflik tidak selalu bermakna destruktif. Jika konflik dimanage secara baik dan benar akan memiliki nilai dan kontribusi berarti bagi proses pendewasaan dan pematangan demokrasi. 

Tapi sekarang, intensitas perhatian kita adalah apa yang umum terjadi di lapangan, yakni konflik-konflik negatif yang berpengaruh buruk bagi kehidupan demokrasi kita; konflik-konflik yang berbau anarkhi dan bersifat destruktif. 

Meskipun dalam konflik Pilkada merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan, tentu saja peristiwa sosial semacam itu tidak boleh dibiarkan.

 Keteraturan sosial atau dalam tataran yang lebih makro yakni integrasi bangsa tetap menjadi prioritas dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

 Langkah-langkah prevensi konflik dalam Pilkada menjadi urgent dan mendesak untuk segera dipikirkan, dirumuskan, dan diimplementasikan secara proporsional dan profesional. 

Perlu perencanaan dan gerakan cepat dan akurat. Selain memang, ada prasayat yang lebih esensial yakni: dukungan, komitmen dan kemauan kuat dari seluruh elemen masyarakat serta kandidat dan pendukung masing-masing untuk menciptakan pilkada damai. 

Substansi komitmen tersebut adalah mengedepankan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, dan mewujudkan pilkada yang berkualitas dan bermartabat.

Untuk mewujudkanya, langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah: Pertama, membuat sebuah permufakatan bersama mengenai nilai dalam pilkada atau sebuah konsensus bersama. 

Semua pihak yang terlibat perlu duduk bersama menciptakan kesepakatan atau konsensus lokal untuk menghindari konflik, dan perlu juga disepakati bagaimana mengatasi konflik jika ini terjadi kelak. 

Kedua, para calon dan tim sukses tidak mengembangkan isu-isu sensitif seperti: suku, agama, dan ras dalam tema-tema kampanye pilkada. 

Ketiga, memposisikan peran para akademia kampus sebagai penyeimbang dari elite-elite lokal. Keempat, netralitas birokrasi daerah (Pemda dan DPRD). Dan terakhir, KPUD sebagai penyelenggara harus berlaku netral dan profesional.

Langkah-langkah ini harus sepenuhnya dapat diterjemahankan dalam aksi, selain sebagai tindakan preventif, ini juga berarti sebuah gerakan membangun kepercayaan publik; komitmen dan konsistensi elit untuk
membangkitkan dan menumbuhkan social trust (saling percaya antar warga masyarakat), sebaliknya mengeliminasi kesadaran-kesadaran masyarakat yang mengarah ke social distrust. 

Apatisme masyarakat selama ini adalah sebuah realitas, efek dari political distrust di kalangan elite. Jika trust tidak dimunculkan oleh elite, sulit kiranya bagi kita untuk membangun negara yang kokoh.

 Kesadaran, kecerdasan, dan kearifan sikap harus datang dari hulu, sehingga hilir akan menangkapnya sebagai sebuah iktikad baik yang patut dan harus didukung dan diapresiasi.

Tidak ada komentar: