Selasa, 12 Juli 2011

Polemik sekitar perpanjangan kontrak karya PT Koba Tin
Thursday, April 17, 2003
Pemprov Bangka Belitung menganggap perpanjangan kontrak karya (KK) PT Koba Tin tidak berjalan pada rel yang semestinya. Karena dalam semangat otonomi daerah, pemerintah pusat tidak mengajak rembugan pemerintah daerah setempat sebelum memutuskan perpanjangan KK itu.
Sekretaris Bappeda Babel, Zulkomar SE, menyayangkan keputusan perpanjangan kontrak karya PT Koba Tin, karena tidak mengantisipasi adanya pemekaran wilayah. Apalagi hal tersebut tidak melibatkan pemerintah provinsi. Seharusnya pemerintah pusat melakukan sosialisasi sebelum KK tersebut diperpanjang. Pemerintah daerah juga mestinya ikut pula dilibatkan untuk memberikan input-input. Apalagi saat ini banyak sekali permasalahan pertambangan yang dampaknya dirasakan di daerah.
“Kalau kontrak karyanya sudah diperpanjang, untuk apalagi kita memberikan masukan, tapi kita harus menghormati KK yang telah diperpanjang itu,” katanya seperti dikutip dari Harian Lokal Bangka Post dan radio Sonora di pangkalpinang 17/04.
Pendapat Zulkomar ini berkaitan dengan diperpanjangnya KK PT Koba Tin selama sepuluh tahun, yang mulai dilaksanakan 1 April 2003 dan berakhir 1 April 2013, dengan luas kuasa penambangan (KP) seluas 41.680,30 hektar di Kecamatan Koba. Perusahaan ini saat ini sahamnya dikuasai Malaysia Mining Corporation (MMC) sebesar 75 persen dan 25 persen sahamnya dikuasai PT Timah.
Perusahaan penambangan timah yang sudah beroperasi sejak 1 April 1973 itu, hingga kini sudah mengantongi persetujuan izin perpanjangan KK dari pemerintah pusat yang ditandatangani Presiden RI Abdul Rahman Wahid di Jakarta sejak 6 September 2000 lalu, dengan rekomendasi dari Pemkab Bangka dan DPRD Kabupaten Bangka.
Diakuinya, pendapatan asli daerah (PAD) daerah masih tergantung pada pajak-pajak yang dibayarkan PT Koba Tin. Namun demikian, dari kuasa penambangan seluas 41.680,30 tersebut, masih terdapat lahan milik warga yang belum dibebaskan. Dengan begitu, warga yang merasa punya lahan di areal KP milik perusahaan tersebut merasa berhak melakukan penambangan inkonvensional (TI) sehingga semakin menyuburkan TI.
Makin maraknya TI, itu penyebabnya ada dua pokok utama penyebab. Pertama, katanya, ada lahan yang bisa ditambang dan kedua ada pembelinya. Kalau dua ini tidak ada maka mereka tak bisa berkembang,” paparnya. Untuk itu ia menambahkan jangan sampai PT Koba Tin melanggar KK dengan mengandalkan pembelian pasir timah dari masyarakat tanpa melakukan penambangan.
Secara prinsip di dalam KK tidak ada pasal yang mengatakan perusahaan tersebut hanya melakukan trading. Perusahaan itu harus melakukan penambangan. “Tetapi fakta di lapangan baik PT Timah maupun Koba Tin telah membeli timah dari TI. Inilah salah satu penyebab makin suburnya TI. Jalan satu-satunya untuk mengatasi masalah itu dengan melakukan pembinaan terhadap TI-TI di masing-masing perusahaan itu,” ungkapnya. *



Habis Tambang Terbitlah Reklamasi
Senin, 13 Desember 2010
(Berita DAerah-Sumatera) Kepala Bagian Reklamasi PT Koba Tin Suwanto kerap mendapat pertanyaan, apakah kendala utama dalam pelaksanaan reklamasi areal bekas pertambangan timah milik perusahaan itu yang terletak di Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung (Babel).

Dari berkali-kali pertanyaan itu dilontarkan wartawan, Suwarto juga kerap memberikan jawaban bahwa proses reklamasi atau penanaman kembali bekas areal pertambangan seringkali terganggu oleh aktivitas pertambangan ilegal warga setempat.

"Kendala reklamasi adalah klasik, yaitu masalah tambang ilegal," kata Kepala Bagian Reklamasi PT Koba Tin, Suwanto, di sela-sela acara "press tour" reklamasi dan aktivitas PT Koba Tin di Pangkal Pinang, Babel, Kamis (9/12).

Suwanto memaparkan, tambang ilegal atau dapat pula disebut tambang inkonvesional biasa dilakukan oleh sejumlah warga di sekitar areal pertambangan PT Koba Tin.

Padahal, ujar dia, areal tersebut sebenarnya telah direklamasi dengan cara ditanam kembali oleh PT Koba Tin sejak bertahun-tahun lalu.

PT Koba Tin, lanjutnya, telah mengupayakan berbagai cara untuk mengatasi aktivitas tambang ilegal antara lain dengan cara-cara persuasif hingga menggunakan surat peringatan.

Namun karena yang melakukan adalah warga, maka perusahaan juga tidak bisa begitu saja mengusir mereka karena dikhawatirkan dapat memicu konflik atau masalah lain yang lebih besar.

Sementara itu, Manajer Komunikasi PT Koba Tin Pahlevi Sjahrun mengemukakan, faktor yang paling menentukan dalam mengembalikan kualitas air di area pertambangan antara lain adalah dengan mempercepat reklamasi.

"Semakin cepat reklamasi lebih bagus karena akan membuat semakin cepat pula normalisasi standar air," katanya.

Untuk itu, ia juga menginginkan agar proses reklamasi yang dilakukan PT Koba Tin tidak diganggu oleh aktivitas pertambangan ilegal yang dilakukan masyarakat agar proses reklamasi tersebut juga bisa berlangsung secara lebih cepat.

Senada dengan PT Koba Tin, Kepala Bagian Hukum dan Kerja Sama Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan, Gunardo Agung mengatakan, sejumlah kendala dalam melakukan reklamasi antara lain adanya penambangan ilegal yang susah untuk diawasi.

Saat ini sebagian area penambangan PT Koba Tin berada di kawasan hutan, sehingga dalam pelaksanaan penambangannya harus mendapatkan izin penambangan dari Kementerian Kehutanan.

Kementerian Kehutanan menyebutkan masih terdapat ribuan hektare areal pertambangan yang terdapat di Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung, hingga kini masih belum direklamasi karena terdapat sejumlah kendala dalam pelaksanaannya.

"Berdasarkan penafsiran citra IKONOS, areal yang terganggu akibat penambangan seluas kurang lebih 10.544 hektare," kata Direktur Perencanaan Kawasan Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan, Basuki Karyaatmadja.

Sedangkan upaya yang dilakukan oleh PT Koba Tin (perusahaan pertambangan di Bangka) adalah kegiatan reklamasi dan revegetasi yang dilakukan sejak tahun 1976 sampai dengan 2009 yakni baru seluas 4.988 hektare.

Sementara itu, Pahlevi memaparkan, luas wilayah kontrak karya PT Koba Tin adalah kurang lebih 41 ribu hektare, tetapi yang dioperasikan untuk areal pertambangan hanya 13.300 hektare atau sekitar 32 persen.

Ia juga menuturkan, program reklamasi yang dilakukan PT Koba Tin hingga bulan Agustus 2010 tercatat sebanyak 5.638 hektare.

Program reklamasi bekas areal pertambangan dilaksanakan perusahaan tersebut antara lain dengan menanami sejumlah tanaman lokal seperti puspa, waru, kayu putih, dan padi.

Sedangkan terdapat pula beberapa tanaman nonlokal atau pionir yang merupakan tumbuhan yang pertama kali dikembangbiakkan di sekitar daerah itu seperti sengon, trembesi, dan ekaliptus.

Sementara itu, Kepala Bagian Reklamasi PT Koba Tin, Suwanto, mengemukakan, biaya reklamasi yang dilakukan oleh pihak perusahaan mencapai hingga Rp31 juta per hektare.

Jumlah tersebut, ujar Suwanto, tidak termasuk biaya perawatan selama tiga tahun sebelum areal reklamasi itu diserahkan kembali kepada pihak pemerintah.

Ia juga mengatakan, untuk tahun 2010 ini saja terdapat anggaran sekitar 3 juta dolar AS yang dikucurkan oleh PT Koba Tin untuk melakukan reklamasi.

Gaharu

Salah satu tumbuhan yang ditanam di areal reklamasi tersebut antara lain juga adalah komoditas gaharu yang memiliki nilai tinggi dan dicari oleh sejumlah pelaku industri di beberapa negara.

Suwanto memaparkan, terdapat sekitar 1.000 pohon penghasil gaharu di sejumlah areal reklamasi bekas tambang PT Koba Tin.

Gaharu juga menjadi perhatian utama dari Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, dalam acara Panen Gaharu di Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Babel, 8 Desember 2010.

Di sela-sela acara tersebut, Menhut mengutarakan harapannya agar komoditas gaharu yang diproduksi di Indonesia tidak hanya diekspor secara mentah tetapi juga dapat dikembangkan dengan industri pengolahan domestik.

"Harga gaharu di pasar internasional itu luar biasa," kata Zulkifli Hasan.

Menhut memaparkan, harga getah gaharu mentah di sejumlah wilayah Indonesia seperti di Papua bisa mencapai hingga Rp20 juta per kilogram.

Namun, ia juga menyayangkan selama ini masih terdapat gaharu yang diekspor sebagai bahan baku ke sejumlah negara. Negara itu lantas mengolah gaharu asal Indonesia dan hasil olahan itu kemudian diimpor Indonesia.

Produk olahan gaharu, yang diimpor Indonesia seperti produk dupa yang berasal dari Arab Saudi, India, dan China.

Ia mencontohkan, terdapat orang yang membawa oleh-oleh dari Tanah Suci berupa dupa, padahal bisa saja bahan baku dari produk tersebut sebenarnya berasal dari Indonesia.

Untuk itu, Zulkifli juga menegaskan, Kemhut akan selalu berupaya mengembangkan gaharu di Indonesia yang sekarang dinilai masih dalam tahap untuk melakukan pembudidayaan secara besar-besaran.

"Kami mengembangkan KBR (Kebun Bibit Rakyat), yang akan menyediakan bantuan Rp50 juta untuk setiap kelompok yang akan mengembangkan bibit apapun yang dinilai bermanfaat bagi rakyat," katanya.

Sebelumnya, Menhut dalam sejumlah kesempatan memaparkan bahwa dalam APBN-Perubahan Tahun 2010, terdapat alokasi anggaran sebesar Rp400 miliar untuk membiayai pembuatan 8.000 unit KBR di 8.000 desa/kelurahan untuk memproduksi MTPS (Multiple Purposes Trees Seeds/ Bibit Pohon untuk Beragam Tujuan) dan/atau kayu-kayuan sebanyak 400 juta batang.

Dengan demikian, satu unit KBR akan mendapatkan Rp50 juta yang dipergunakan untuk menghasilkan sekitar 50.000 batang.

KBR rencananya akan terdapat di setiap provinsi, yang terbanyak adalah di Jawa Tengah (659 KBR), Jawa Timur (651 KBR), Nusa Tenggara Timur (576 KBR), Sumatra Utara (568 KBR), Sumatra Selatan (538 KBR), dan Sulawesi Selatan (517 KBR).

Selain itu, rencananya juga akan terdapat Posko Pelayanan di setiap Kabupaten/Kota untuk melayani masyarakat dalam hal penyediaan, penyaluran, pendataan, dan pelaporan kebutuhan bibit masyarakat.

Bagi masyarakat umum, bibit bisa dipenuhi dengan terdapatnya permintaan langsung yang masuk dalam jumlah maksimal 10 batang per orang.

Sementara itu, Bupati Bangka Tengah, Erzaldi Rosman, mengatakan, pihaknya memiliki sekitar 115 ribu gaharu hidup yang dalam jangka waktu lima hingga tujuh tahun mendatang diperkirakan sudah menghasilkan.

Erzaldi juga menuturkan, pihaknya juga telah bekerja sama dengan sejumlah pihak antara lain dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan PT Koba Tin, perusahaan tambang yang telah berpuluh-puluh tahun melakukan reklamasi di Bangka.

Berdasarkan informasi yang diberikan kepada wartawan, PT Koba Tin merupakan joint venture antara Malaysia Smelting Corporation Berhad (75 persen) dan PT Timah, Tbk. (25 persen).

Perusahaan tambang itu juga adalah pemegang izin Kontrak Karya Pertambangan tahun 1973 sampai dengan 2003 dan Kontrak Karya Perpanjangan Nomor B.6/Pres/VII/2000 yang berlaku sampai dengan tahun 2013 yang terletak di Bangka Tengah dan Bangka Selatan.

Saat ini, PT Koba Tin sedang menyusun rencana "mine closure" (penutupan areal pertambangan) sampai dengan tahun 2013 yang akan disampaikan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

"Mine closure" tersebut diperkirakan seluas kurang lebih 13.300 hektare dengan rincian "mined out" (7.500 hektare), "small scale mining" (1.200 hektare), "ponds" (3.000 hektare), dan "inconventional mining" (1.600 hektare).
(ma/MA/ant-Muhammad Razi Rahman)

Pemenang 2 kategori hardnews bidang Hukum
Penatausahaan pertambangan timah terus diupayakan. Tambang inkonvensional, kolektor, dan smelter swasta ”direkrut” menjadi pemain legal. Masa transisi menguntungkan PT Timah Tbk?
Mereka baru selesai makan siang. Tubuh-tubuh berkulit gelap dengan balutan otot-otot muda itu berleha-leha sejenak meredakan keringat. Musik dangdut dari radio transistor, kepulan asap rokok, dan aroma kopi menyengat di antara dominasi bau tanah kering yang terpanggang matahari. Bukan siang yang menyedihkan, meski tak juga terlalu menggembirakan. ”Tadi pagi mesin semprot ngadat,” kata Yanto.
Pemuda 24 tahun itu yang tertua, paling tinggi, dan terceking dibandingkan dengan dua yang lain. Yanto kelahiran Bangka Tengah, pewaris stereotipe lelaki negeri serumpun sebalai, yang sedari kecil terobsesi menjadi sejahtera lewat pasir timah. Ayah satu anak ini memulai ”karier penambang”-nya sebagai pelimbang (pendulang), tiga tahun lalu.
Kini Yanto menggarap lahan TI (tambang inkonvensional) di Sungailiat, 45 menit dari Pangkalpinang menuju Sungailiat. Ia mengusahakan tanpa izin resmi. Banyak penambang yang terpaksa berhenti, menyusul demonstrasi Oktober 2006 yang berujung rusuh. Kantor Gubernur Bangka Belitung (Babel) di Pangkalpinang babak belur. Aksi demo itu menimbulkan tekanan balik. Usaha TI tak berizin terus saja dirazia.
Toh, sebagian penambang tetap melakukan usahanya. ”Tapi, ya, sembunyi-sembunyi,” kata Yanto. Faktanya, Kapolda Babel, Komisaris Besar Drs. Imam Sujarwo, rutin menggerakkan jajarannya, serentak di lima polres, untuk memberikan tindakan hukum terhadap TI tak berizin.
Tidak ketinggalan, satuan polisi pamong praja di bawah pemerintah daerah ikut menyisir daerahnya, menyapu TI ilegal. Koran-koran hampir tiap hari memberitakan hasil razia itu: mesin-mesin disita, para penambang (kadang juga cukongnya) digelandang ke tahanan kepolisian.
Di tengah suasana itu, Yanto terus berkeringat menjalankan usahanya. Ia seperti tak khawatir digaruk. ”Ini cuma TI mini, kelas teri,” katanya. Pondoknya terletak di areal bekas eksploitasi PT Tambang Timah, anak perusahaan PT Timah Tbk, di Desa Jelitik, Sungailiat, Kabupaten Bangka Induk. Dari jalan raya berjarak 300 meter saja. Meski ilegal, usahanya adalah sandaran ekonomi riil bagi sebagian warga Bangka. Begitu pula keberadaan pedagang kolektor dan unit usaha peleburan (smelter) timah.
Persoalannya, izin usaha pertambangan yang dikeluarkan pemerintah daerah praktis hanya untuk PT Timah Tbk (melalui aktivitas PT Tambang Timah) dan PT Koba Tin. Tidak kurang dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro, mengharap pemerintah daerah (pemda), dalam hal ini gubernur, melegalisasi TI di luar wilayah konsesi PT Timah dan PT Koba Tin. Ia menegaskan bahwa dasar hukum perizinan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986.
Intinya, peraturan tersebut mengoperasionalkan ketentuan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, yang menyebutkan bahwa perizinan itu menyangkut satu proses panjang, mulai penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, pemurnian, pengangkutan, hingga penjualan.
Lebih jauh Purnomo menambahkan, masing-masing izin dalam rantai kegiatan usaha penambangan itu bisa dimiliki sebagai satu paket lengkap dan bisa juga secara parsial. ”Pembinaan dan pengawasannya ada di tangan gubernur dan bupati atau wali kota,” kata Purnomo.
Jauh sebelum harapan Purnomo itu dikemukakan, mengacu ke UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Kepmenperindag) Nomor 146/MPP/Kep/4/1999 mengenai pencabutan status timah sebagai komoditas strategis, di tahun 2001, Bupati Bangka Induk ketika itu, Eko Maulana Ali, memberikan izin bagi aktivitas penambangan skala kecil. Mungkin karena itu, dalam pilkada 22 Februari lalu, ia memenangkan perebutan kursi Gubernur Babel.
Tapi, akibat kurang pengawasan dan pembinaan, TI pun tumbuh dengan meninggalkan sekop serta cangkul, menggantinya dengan eskavator. TI bermunculan di mana-mana, dari kebun belakang rumah, dekat sekolah, pantai, hutan, pinggir sungai, sampai menerobos wilayah konsesi PT Timah Tbk dan PT Koba Tin.
Dalam situasi itulah, Mabes Polri menginstruksikan agar Polda Babel bertindak. TI, pedagang pengumpul, dan smelter tak berizin digulung –hal yang kemudian membuahkan serangkaian demo besar pada Oktober 2006. Pemda Babel pun menyetop menerbitkan izin kuasa penambangan (KP) baru. Yang paling sulit ialah kedudukan pedagang pengumpul. Secara hukum, keberadaannya tidah sah.
Padahal, posisi para cukong pengumpul ini sangat penting dalam rantai industri timah. Lingkup kegiatannya adalah membeli pasir timah basah yang dihasilkan TI, setelah sebelumnya memberi pinjaman modal kepada penambang tradisional, kemudian memprosesnya menjadi bijih timah kering dan menjualnya pada smelter swasta.
Tahapan penambangan, seperti tercantum dalam UU Nomor 11 Tahun 1967, tidak mengatur keberadaan kolektor. Namun mereka hadir secara nyata. Bahkan PT Timah dan PT PT Koba Tin, yang mestinya memiliki jaring dari ujung ke ujung proses tambang, ikut memanfaatkan jasa cukong pengumpul ini.
Ketua Tim Terpadu Penataan Timah (T2PT) Pemprov Babel, Suryadi Saman, mengemukakan bahwa pihaknya masih mencari formulasi yang tepat untuk mengidentifikasi simpul kolektor ini. ”Sebab dari mereka kami bisa mengidentifikasi legalitas bijih timah, sekaligus berpeluang mengatur mekanisme harga dan kuota bijih timah dan kuota ekspor timah batangan yang tengah kami rancang,” ujarnya.
Pada saat yang sama, penertiban smelter, yang semula diduga akan berlarut-larut, ternyata berlangsung lebih mulus. Meski sempat diwarnai perbedaan aturan hukum atas eksistensi smelter swasta (dulu izinnya diberikan Dinas Perindag Kabupaten dan Kota Pangkalpinang), penertiban oleh T2PT atas kelaikan perizinan dan usaha mereka relatif tak menghadapi perlawanan.
Dari lebih 30 smelter swasta, di luar yang dioperasikan PT Timah Tbk serta Koba Tin, oleh Gubernur Babel Hudarni Rani dinyatakan bahwa tujuh di antaranya sudah memenuhi 10 butir persyaratan pengoperasian versi T2PT. Dengan begitu, secara tidak langsung, perdebatan sengit seputar domain smelter untuk sementara mereda.
Masalahnya, dari tujuh smelter yang sudah mengantongi izin Gubernur Babel itu, hingga kini belum satu pun bisa beroperasi. ”Kami masih menunggu ‘izin’ sebagai eksportir terdaftar dari Direktoral Jenderal Perdagangan Luar Negeri,” kata Santoso Prasetija, Manajer Operasional CV Donna Kembara Jaya, smelter swasta di Kawasan Industri Ketapang, Pangkalpinang.
Rupanya, selain melebur bijih timah menjadi timah batangan, smelter swasta juga melakukan ekspor. Karena itulah, aktivitas mereka terikat juga pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/Per/I/2007 tentang Eskportir Terdaftar Timah Batangan, yang efektif diberlakukan mulai 23 Februari lalu.
Aturan baru soal penerbitan surat eksportir terdaftar (ET) ini melingkupi juga beberapa persyaratan penting, antara lain smelter harus memiliki KP pemurnian dan pengolahan atau kontrak karya. Selain itu, ditetapkan kadar timah batangan minimal 99,85%. Bahan bakunya, yakni timah batangan (pasir timah), ditentukan harus berasal dari KP eksploitasi atau kerja sama pemegang KP pemurnian pengolahan dengan pemilik KP eksploitasi.
Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Provinsi Babel, Drs. Rani, mengungkapkan bahwa mengacu pada peraturan baru itu, para calon eksportir harus mengajukan permohonan tertulis ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Perdagangan Luar Negeri (Daglu) di Departemen Perdagangan, dengan melampirkan beberapa persyaratan plus rekomendasi dari gubernur provinsi untuk mengekspor timah batangan. ”Jadi, yang menerbitkan ET adalah Dirjen Pedagangan Luar Negeri,” Rani menegaskan.
Setelah ET didapatkan, lanjut Rani, pelaksanaan ekspor timah terlebih dulu harus diverifikasi secara teknis oleh surveyor yang ditunjuk Dirjen Daglu: PT Sucofindo. Itu pula yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 03/M-DAG/Per/I/2007 tentang verifikasi atau penelusuran teknik ekspor bahan galian golongan C selain pasir, tanah, dan top soil.
Bila sertifikat verifikasi diperoleh, baru eksportir membayar royalti sebesar 3% dari nilai ekspor per ton langsung lewat rekening Menteri Keuangan. Kemudian, setelah dokumen-dokumen yang berhubungan dengan Bea dan Cukai dipenuhi, ”Eksportir harus kembali ke Dinas Daglu untuk mendapatkan surat keterangan asal,” kata Rani.
Dengan aturan terpadu ini, diharapkan potensi kerugian negara akibat kehilangan royalti, seperti selama ini terjadi, dapat diatasi. Sebagai catatan, pendapatan dari royalti yang dibayarkan PT Timah Tbk dan PT Koba Tin untuk triwulan I dan II tahun 2006 diperoleh nominal sekitar Rp 35,996 milyar.
Menurut Kepala Dinas Pertambangan Provinsi Babel, Amrullah Harun, dari uang sebesar itu, 20% disetor ke pemerintah pusat, 16% masuk kas Pemprov Babel, 32% bagian untuk daerah penghasil, dan 32% lain untuk daerah sekitar. ”Jumlah royalti yang diterima sesuai dengan harga jual, tapi ada pengaruh dari tidak beroperasinya smelter (swasta –Red.), karena produksi PT Timah Tbk mengalami kenaikan dan dapat untung,” Amrullah menjelaskan.
Gonjang-ganjing penertiban tambang timah Babel itu, di satu sisi, menguntungkan PT Timah. Penangkapan enam pengusaha smelter oleh Mabes Polri pada awal Oktober lalu berdampak terhentinya operasi hampir semua smelter swasta di Babel.
Kondisi itu tentu tidak menguntungkan bagi para pengusaha tambang legal ataupun TI dengan legalitas samar-samar, yang berada di luar konsesi PT Timah dan PT Koba Tin. Pintu ekspor mereka menciut. Dalam situasi itu, dalam rapat koordinasi antara Menteri ESDM dan Muspida Babel, diambil keputusan bahwa PT Timah diminta menampung pasir timah dari tambang rakyat.
Meski ditegaskan oleh Amrullah bahwa penunjukan itu hanya sementara, menunggu sampai pembenahan urusan timah di Babel rampung, tak urung beberapa pihak menyangsikan legalitas pasir timah yang mengalir ke tungku-tungku peleburan di unit pengolahan PT Timah. ”Memang sulit mengontrolnya, tapi PT Timah itu membeli bukan langsung dari penambang, melainkan dari kolektornya yang sah,” ujar Amrullah.
Dharma Sutomo, Sekretaris Asosiasi Industri Timah Indonesia, tempat bernaung sekitar 20 smelter di Babel, menyangsikan PT Timah mampu melakukan pengawasan ketat terhadap asal-usul pasir timah yang didapat dari para kolektornya. ”Sulit membedakan bentuk fisik pasir timah suatu daerah dengan daerah lainnya,” kata pria yang akrab dipanggil Momo itu.
Lepas dari soal legalitas pasir timah itu, keuntungan lain yang dirasakan PT Timah berkenaan dengan hilangnya kompetitor pasca-peristiwa ”Babel kelabu” awal Oktober adalah melonjaknya harga saham PT Timah Tbk di Bursa Efek Jakarta (BEJ), awal 2007. Dari kisaran Rp 1.200 per lembar melonjak pesat ke nominal Rp 5.625 per lembar.
Lonjakan terus berlanjut hingga akhir Februari 2007. Secara akumulatif, terjadi kenaikan harga saham PT Timah Tbk (TINS) 116,9%. Banyak analis sekuritas di BEJ menyebutkan, capaian keuntungan mutakhir itu disebabkan kenaikan harga komoditas timah dan mulai dikeluarkannya peraturan perizinan untuk ekspor timah.
Penegakan hukum yang berimplikasi redanya luberan banjir timah unbranded dari Babel ke pasar tetangga –Singapura, Thailand, dan Malaysia– menyebabkan perlahan tapi pasti harga timah menanjak naik. Terakhir, dalam kisaran harga di LME (London Metal Exchange) mencapai US$ 12.500 per metrik ton, PT Timah menaikkan harga beli (atau imbal jasa) bijih timahnya dari mitra resmi sebesar Rp 2.000; dari kisaran Rp 57.000 menjadi Rp 59.000 per kilogram.
Tapi pencapaian menarik PT Timah Tbk di sektor bisnis belakangan ini rupanya tidak diikuti dengan kinerja mereka di aspek pengelolaan lingkungan bekas tambangnya. Dari informasi yang diperoleh Gatra, beberapa tahun terakhir, PT Timah tak melakukan kegiatan reklamasi atas sejumlah KP miliknya. ”Itu memang benar,” kata Kepala Bagian Humas PT Timah Tbk, Abrun Abubakar.
Abrun menjelaskan bahwa sejak 2001 sampai akhir tahun 2005, pihaknya memang sengaja menghentikan reklamasi, mengingat selama ini lahan KP yang telah direklamasi PT Timah, hampir 60% di antaranya dihancurkan kembali oleh aktivitas tambang rakyat atau TI. ”Tapi, sejak 2006, kami mulai lagi mereklamasi lahan-lahan KP Timah secara selektif,” tuturnya.
Dalam catatan Abrun, sejak 1980-an hingga terhenti tahun 2001, pihaknya sudah mereklamasi lahan 4.662 hektare di Pulau Bangka dan Belitung. Bandingkan realisasi itu dengan wilayah tambang darat PT Timah Tbk di Babel yang mencapai 33.128 hektare. ”Masa berlaku KP PT Timah rata-rata 20 tahun. Kami menunggu plot waktu yang tepat untuk reklamasi sebelum KP dikembalikan ke negara, agar tidak dirusak lagi oleh tambang liar,” Abrun menuturkan.
Menurut data yang dikutip dari Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Babel Tahun 2005, luas lahan kritis di tujuh kabupaten/kota telah mencapai 1.642.414 hektare. Sebesar 38% berstatus lahan sangat kritis, 26% kritis, 123% agak kritis, dan selebihnya potensial kritis. Tidak kalah menyedihkan ialah tren kerusakan daerah aliran sungai (DAS) di Babel.
Dari 21 jumlah DAS yang ada, enam di antaranya masuk kategori rusak sangat berat, enam lainnya dikategorikan rusak berat, dan empat dinilai berada dalam kondisi rusak. Tersisa tiga DAS di Pulau Belitung yang dianggap berada dalam kondisi sedang, dan hanya tiga lagi yang dinilai masih oke.
Meski penambangan timah bukan satu-satunya penyebab memburuknya kondisi hutan, lahan, dan DAS di Babel, tak sedikit pihak yang mempercayai bahwa usaha pertambangan timah memberi porsi terbesar. Tuduhan pun mengarah pada kegiatan TI yang dinilai gemar melabrak areal-areal yang terlarang dan dilindungi.
Tak mengherankan jika dalam rangka mengantisipasi dampak lebih buruk dari aktivitas TI, pada pertengahan November 2006 Kapolri Jenderal Sutanto berkirim surat kepada lima menteri –Menteri ESDM, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Lingkungan Hidup, dan Menneg BUMN– yang berisi permintaan untuk penertiban usaha tambang timah rakyat atau TI.
Dalam surat yang sama, Sutanto melansir, jumlah TI di Babel kurang lebih 6.508 unit dengan volume produksi 36.000 per tahun. Jumlah ini menyusut dari 16.000-30.000 TI pada 2001-2004, yang dianggap sebagai tahun paling marak dengan aktivitas TI di Babel.
Ketua Asosiasi Tambang Timah Rakyat, Resno Artanto, menyayangkan banyak pihak yang begitu mudah menyudutkan TI sebagai penyebab utama berbagai kemelut pertimahan dan penyumbang terbesar kerusakan lingkungan di Babel. ”Rakyat Babel ingin bekerja, bukan menganggur. Beritahu dong cara menambang yang legal dan benar. Sosialisasikan aturannya. Sebab kami juga tak ingin melanggar hukum,” ujar pria 41 tahun itu.
Lebih jauh Resno mengemukakan, di belahan dunia mana pun, aktivitas penambangan berhubungan erat dengan kerusakan atau penurunan kualitas lingkungan. Ia lantas mengingatkan bahwa pelaku penambangan timah di Babel bukan hanya TI, melainkan ada pemilik kuasa penambangan, berikut mitra kerjanya. ”Semua pihak punya tanggung jawab untuk meminimalkan kerusakan lingkungan akibat tambang timah,” ia menegaskan
Sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan pelaku usaha tambang timah di Babel bahwa di balik stigma antagonisnya sebagai perusak lingkungan dan tamu tak diundang di ”KP orang”, TI rupanya menempati fungsi tidak formal sebagai mesin produksi yang menguntungkan. PT Tambang Timah, PT Koba Tin, dan badan usaha pemegang ”KP” yang dikeluarkan oleh pemda –tingkat I dan II– di Babel ikut memanfaatkan sisi menguntungkan atas keberadaan TI itu: baik secara langsung maupun tersamar.
Syarat-syarat Pengoperasian Smelter
1. Memiliki KP pengolahan dan pemurnian.
2. Memiliki dokumen amdal.
3. Memiliki peralatan pemurnian, alat pengendalian emisi udara sumber tidak bergerak, serta punya instalasi pengelolaan limbah cair dan limbah padat yang standar sesuai peraturan yang berlaku.
4. Bijih timah yang dilebur harus jelas sumber dan asal-usulnya.
5. Mematuhi dan memenuhi aspek keselamatan dan kesehatan kerja serta lingkungan hidup (K3LH).
6. Logam timah yang dihasilkan harus memenuhi kualitas minimal 99,85% Sn dan memiliki merek dagang asal Indonesia yang diakui di pasar internasional.
7. Bijih timah yang akan dilebur oleh pabrik dikenai royalti yang besarnya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
8. Royalti diperhitungkan dari logam timah dan harus dilunasi sebelum pelaksanaan pengapalan untuk dijual.
9. Penjualan timah untuk pihak luar negeri menggunakan fasilitas letter of credit (L/C).
10. Keterlambatan pembayaran royalti dikenai denda 2% setiap bulan. Dan keterlambatan kurang dari satu bulan dihitung satu bulan penuh.
Data: T2PT Pemprov Bangka Belitung
Poin Penting Aturan Baru Ekspor Timah
1. Smelter timah adalah tempat kegiatan pengolahan dan pemurnian bijih timah yang dimiliki pemegang KP pengolahan dan pemurnian atau pemegang kontrak karya (KK).
2. Eksportir terdaftar (ET) timah batangan adalah perusahaan yang telah mendapat pengakuan Menteri Perdagangan, dalam hal ini Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Dirjen Daglu), Departemen Perdagangan RI.
3. Ekspor timah batangan hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang telah mendapatkan pengakuan ET timah dari Dirjen Daglu.
4. Timah batangan yang dapat diekspor harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
- Bahan baku bijih timah yang digunakan harus berasal dari KP eksploitasi atau pemegang KP pengolahan dan pemurnian atau KK atau KP eksploitasi pemegang surat perjanjian kerja sama.
- Memiliki bukti pelunasan royalti untuk timah batangan yang akan diekspor.
- Memiliki kadar logam timah 99.85% Sn.
5. Setiap pelaksanaan ekspor timah oleh ET timah terlebih dahulu harus diverifikasi atau penelusuran teknis.
6. Verifikasi dilakukan oleh lembaga surveyor yang ditunjuk menteri. Verifikasi meliputi penelitian dan pemeriksaan, antara lain: asal bijih timah, spesifikasi barang mencakup nomor HS, jumlah dan jenis barang, waktu pengapalan, pelabuhan muat, kadar logam timah, dan bukti pembayaran royalti.

Tidak ada komentar: