fenomena menarik (DPRD) TENTANG PERDA CSR
Terdapat
fenomena menarik dengan apa yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD), baik tingkat I (satu) maupun tingkat II (dua), khususnya
pada daerah yang memiliki kawasan industri terpadu dan cadangan Sumber
Daya Alam (SDA) melimpah, baik perusahaan pengelola tersebut berbentuk
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) maupun
swasta (PT), yaitu dengan adanya pembuatan Rancangan Peraturan Daerah
(Raperda) tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, lebih dikenal
dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR). Beberapa daerah
saat ini diketahui berencana atau sedang membahas Raperda tersebut
adalah DPRD Kabupaten Serang, DPRD Kota Serang, DPRD Kota Cilegon, DPRD
Kota Bandung, DPRD Kabupaten Tangerang, DPRD Otorita Batam, DPRD Kota
Bogor, dan DPRD Kalimantan Timur.
Berbagai hal
melatarbelakangi dibuatnya Raperda CSR, mulai dari perwujudan
pengingatan sekaligus peringatan kepada perusahaan agar konsisten
melakukan program CSR sebagai bentuk kompensasi akibat dampak yang
ditimbulkan perusahaan terhadap sosial dan lingkungan, motif menghimpun
dana CSR perusahaan oleh pemerintah daerah (Pemda) sehingga program CSR
dikelola satu atap dan Pemda sebagai pelaksananya, hingga upaya daerah
dalam meningkatkan perolehan dana APBD dengan menghimpun dana yang
bersumber dari anggaran CSR.
Beberapa bias akan muncul ketika
Raperda CSR menjadi sebuah Perda; pertama, ada kesan Pemda berupaya
membagi beban tanggungjawab pembangunan kepada perusahaan. kedua, ada
upaya meraup dana untuk pembangunan daerah yang bersumber dari pihak
ketiga sehingga klaim APBD meningkat. Ketiga, Pemda berupaya mengelola
program CSR satu atap di koordinir oleh Pemda, walaupun belum jelas
pola dan tata laksananya.
Peraturan Terkait CSR
Jika
melihat Peraturan yang melingkupi CSR atau Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan (PKBL) BUMN, pada dasarnya terdapat tiga landasan hukum;
Pertama, Peraturan Menteri Negara BUMN No: Per-05/MBU/2007, menerangkan
mengenai aturan Program Kemitraan (PK), sebagaimana dalam Pasal 1 ayat
6 membahas mengenai bantuan terhadap peningkatan usaha kecil, dan
Program Bina Lingkungan (BL) diatur dalam Pasal 1 ayat 7, dimana ruang
lingkup BL diatur dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e, meliputi bantuan
terhadap korban bencana alam, pendidikan atau pelatihan, peningkatan
kesehatan, pengembangan sarana dan prasarana umum, bantuan sarana
ibadah, dan bantuan pelestarian alam.
Kedua, Peraturan yang
mengikat Perseroan Terbatas (PT), yaitu Undang-undang No.40 Tahun 2007.
Dalam pasal 74 ayat 1 diatur mengenai kewajiban Tanggungjawab sosial
dan lingkungan bagi perseroan yang menangani bidang atau berkaitan
dengan SDA, ayat 2 mengenai perhitungan biaya dan asas kepatutan serta
kewajaran, ayat 3 mengenai sanksi, dan ayat 4 mengenai aturan lanjutan.
Ketiga, Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal
15 (b) menyebutkan bahwa "Setiap penanam modal berkewajiban
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan". Namun UU ini baru mampu
menjangkau investor asing dan belum mengatur secara tegas perihal CSR
bagi perusahaan nasional.
Pada dasarnya peraturan mengenai CSR
adalah peraturan dalam proses penyempurnaan karena belum mengikat PT
secara umum. Peraturan Menteri BUMN sebetulnya lebih detail membahas
mengenai apa saja yang termasuk dalam program kemitraan dan bina
lingkungan, dibanding UU PT maupun UU penanaman modal. Undang-Undang PT
seakan berlaku diskrimintaif, hanya mengatur perusahaan ekstraktif
(terkait SDA), tidak mengikat perusahaan lain yang sama-sama berdampak
terhadap sosial dan lingkungan. Selain itu sampai dengan saat ini
Peraturan pemerintah (PP) mengenai turunan dari Undang-undang PT belum
selesai dibahas, sehingga ada ketidakajegan payung apa yang sebetulnya
mewajibkan perusahaan melakukan aktivitas CSR.
Jika melihat
tata aturan hukum yang melingkupi-pun belum sempurna, lantas bagaimana
dengan Raperda CSR? Tidakkah nantinya ketika PP diterbitkan beresiko
tumpang tindih dengan Perda. Seharusnya Pemda banyak belajar dari
pengalaman dimana Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ratusan Perda
karena bertumpangan dengan aturan diatasnya. Berapakah anggaran untuk
terbitnya sebuah perda yang kesannya hanya untuk kebutuhan pragmatis
tanpa memperhatikan dampak-dampak terkait lainnya.
Logika Perusahaan
Satu
hal yang tidak boleh dinafikan dalam membuat Raperda CSR adalah harus
melibatkan konstruksi berpikir perusahaan. Akan menjadi sebuah
kontradiktif ketika daerah berupaya menarik investor untuk membuka
industri, namun dengan terlalu banyaknya aturan dan biaya maintenance
yang dikeluarkan, apakah tidak akan membuat investor hengkang?. Logika
sederhana, biaya izin usaha termasuk pajak di Indonesia lumayan besar
dan itu pun belum menjamin izin tersebut tuntas dari hulu sampai hilir,
belum lagi perizinan turunan di tingkat provinsi, kabupaten hingga
kecamatan. Ditambah yang informal ”biaya bawah meja” untuk mempercepat
proses, upeti pejabat, jatah preman, proposal pembangunan masjid,
sekolah dan lainnya. Apa jadinya jika ditambah lagi beban perusahaan
dengan Perda yang mengatur CSR, terlebih substansinya ditekankan pada
menghimpun anggaran CSR dari perusahaan bukan bagaimana seharusnya
melakukan prkatik CSR ideal.
Alangkah lebih baik pemerintah
daerah memperjuangkan hak-hak buruh, peningkatan UMK, dan lain
sebagainya, tanpa harus dipusingkan kewajiban sosial perusahaan yang
sebetulnya sudah diatur dalam RKP dan RKL Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan dan Sosial (Amdalsos), sebetulnya keseriusan perusahaan
dalam penerapan CSR tinggal dievaluasi pada level itu, karena dalam
Amdalsos sudah ada indikator sosial dan lingkungan, jika perusahaan
melanggar maka pemerintah tinggal mencabut Amdalnya. Kondisi yang
terjadi adalah Amdalsos sendiri mulai dari permohonan hingga hasilnya
bisa ”diatur” pemerintah dan perusahaan, yang dirugikan selalu
masyarakat setempat.
CSR Ideal
Secara hakikat berbicara CSR
bukanlah hal yang mudah dalam arti menetapkan program asal jalan, asal
sumbang, asal ada anggaran, yang ada pada akhirnya malah merusak social
capital masyarakat. CSR dilakukan berdasarkan pertimbangan matang
sesuai “kebutuhan masyarakat” bukan “keinginan masyarakat”. Setidaknya
terdapat empat tahap dalam melakukan CSR yaitu need assessment (kajian
kebutuhan), plan of treatment (perencanaan program), treatment action
(aplikasi program), termination (pemutusan bantuan) dan evaluation
(evaluasi). Setiap proses CSR membutuhkan waktu ideal, membutuhkan
mereka yang ahli dan memiliki kapasitas dalam implementasinya, karena
program CSR berkaitan dengan lokalitas, kebermanfaatan, keberdayaan,
hubungan mutualisme, dan kepentingan stakeholder. Apakah pemerintah
daerah ketika mengajukan dirinya mengelola program CSR sanggup
mengerjakan detail program diatas, sedangkan pemerintah sendiri
merupakan stakeholder yang memiliki fungsi kontrol terhadap pelaksanaan
CSR. Tidak ada logika yang membenarkan fungsi kontrol malah nantinya
harus dikontrol.
Akan menjadi lebih baik jika pembuatan Raperda
CSR bukan menjadi sebuah euphoria atau budaya ikut-ikutan antar daerah
didasarkan pada matematika anggaran semata, melainkan perlu pengkajian
secara mendalam. CSR memang merupakan bentuk keharusan bagi perusahaan
tapi harus dilihat dahulu aturan apa yang melingkupinya. Jauh lebih
baik jika pemerintah daerah melihat dahulu kondisi ‘kesehatan
perusahaan’, Jangankan mengatur CSR, gaji buruh saja misalnya masih
dibawah UMK. Lebih baik memperkuat kontrol pelaksanaan RKP dan RKL
Amdalsos, jikapun ingin membenahi, adalah melakukan evaluasi sejauhmana
pelaksanaan CSR yang ada, sudahkah memberdayakan masyarakat lokal atau
malah membuat dependensi baru, lalu Pemda memberikan catatan
perbaikannya dalam bentuk rekomendasi yang sifatnya berkelanjutan.
1 komentar:
Nimbrung: CSR seharusnya dipahami dari aspek Eksternalitas Negatif dari Aktifitas Bisnis. Tetapi kalau Eksternalitasnya positif justru tidak perlu melakukan CSR. Maka dalam raperda harus dipilah dalam pengaturan, misalnya:
Bisnis Ekstraksi yg menyebabkan pencemaran atau dampak lingkungan yg buruk, atau pengalihan fungsi lahan dlll wajib malakukan program CSR. Tetapi seperti PT yg bergerak dibidang seperti perdagangan, jasa konsultasi, jasa boga, seharusnya tidak perlu melakukan program CSR.
Posting Komentar