Selasa, 12 Juli 2011

fenomena menarik (DPRD) TENTANG PERDA CSR

Terdapat fenomena menarik dengan apa yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), baik tingkat I (satu) maupun tingkat II (dua), khususnya pada daerah yang memiliki kawasan industri terpadu dan cadangan Sumber Daya Alam (SDA) melimpah, baik perusahaan pengelola tersebut berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) maupun swasta (PT), yaitu dengan adanya pembuatan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, lebih dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR). Beberapa daerah saat ini diketahui berencana atau sedang membahas Raperda tersebut adalah DPRD Kabupaten Serang, DPRD Kota Serang, DPRD Kota Cilegon, DPRD Kota Bandung, DPRD Kabupaten Tangerang, DPRD Otorita Batam, DPRD Kota Bogor, dan DPRD Kalimantan Timur.


Berbagai hal melatarbelakangi dibuatnya Raperda CSR, mulai dari perwujudan pengingatan sekaligus peringatan kepada perusahaan agar konsisten melakukan program CSR sebagai bentuk kompensasi akibat dampak yang ditimbulkan perusahaan terhadap sosial dan lingkungan, motif menghimpun dana CSR perusahaan oleh pemerintah daerah (Pemda) sehingga program CSR dikelola satu atap dan Pemda sebagai pelaksananya, hingga upaya daerah dalam meningkatkan perolehan dana APBD dengan menghimpun dana yang bersumber dari anggaran CSR.

Beberapa bias akan muncul ketika Raperda CSR menjadi sebuah Perda; pertama, ada kesan Pemda berupaya membagi beban tanggungjawab pembangunan kepada perusahaan. kedua, ada upaya meraup dana untuk pembangunan daerah yang bersumber dari pihak ketiga sehingga klaim APBD meningkat. Ketiga, Pemda berupaya mengelola program CSR satu atap di koordinir oleh Pemda, walaupun belum jelas pola dan tata laksananya.

Peraturan Terkait CSR
Jika melihat Peraturan yang melingkupi CSR atau Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) BUMN, pada dasarnya terdapat tiga landasan hukum; Pertama, Peraturan Menteri Negara BUMN No: Per-05/MBU/2007, menerangkan mengenai aturan Program Kemitraan (PK), sebagaimana dalam Pasal 1 ayat 6 membahas mengenai bantuan terhadap peningkatan usaha kecil, dan Program Bina Lingkungan (BL) diatur dalam Pasal 1 ayat 7, dimana ruang lingkup BL diatur dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e, meliputi bantuan terhadap korban bencana alam, pendidikan atau pelatihan, peningkatan kesehatan, pengembangan sarana dan prasarana umum, bantuan sarana ibadah, dan bantuan pelestarian alam.

Kedua, Peraturan yang mengikat Perseroan Terbatas (PT), yaitu Undang-undang No.40 Tahun 2007. Dalam pasal 74 ayat 1 diatur mengenai kewajiban Tanggungjawab sosial dan lingkungan bagi perseroan yang menangani bidang atau berkaitan dengan SDA, ayat 2 mengenai perhitungan biaya dan asas kepatutan serta kewajaran, ayat 3 mengenai sanksi, dan ayat 4 mengenai aturan lanjutan. Ketiga, Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 (b) menyebutkan bahwa "Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan". Namun UU ini baru mampu menjangkau investor asing dan belum mengatur secara tegas perihal CSR bagi perusahaan nasional.

Pada dasarnya peraturan mengenai CSR adalah peraturan dalam proses penyempurnaan karena belum mengikat PT secara umum. Peraturan Menteri BUMN sebetulnya lebih detail membahas mengenai apa saja yang termasuk dalam program kemitraan dan bina lingkungan, dibanding UU PT maupun UU penanaman modal. Undang-Undang PT seakan berlaku diskrimintaif, hanya mengatur perusahaan ekstraktif (terkait SDA), tidak mengikat perusahaan lain yang sama-sama berdampak terhadap sosial dan lingkungan. Selain itu sampai dengan saat ini Peraturan pemerintah (PP) mengenai turunan dari Undang-undang PT belum selesai dibahas, sehingga ada ketidakajegan payung apa yang sebetulnya mewajibkan perusahaan melakukan aktivitas CSR.

Jika melihat tata aturan hukum yang melingkupi-pun belum sempurna, lantas bagaimana dengan Raperda CSR? Tidakkah nantinya ketika PP diterbitkan beresiko tumpang tindih dengan Perda. Seharusnya Pemda banyak belajar dari pengalaman dimana Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ratusan Perda karena bertumpangan dengan aturan diatasnya. Berapakah anggaran untuk terbitnya sebuah perda yang kesannya hanya untuk kebutuhan pragmatis tanpa memperhatikan dampak-dampak terkait lainnya.

Logika Perusahaan
Satu hal yang tidak boleh dinafikan dalam membuat Raperda CSR adalah harus melibatkan konstruksi berpikir perusahaan. Akan menjadi sebuah kontradiktif ketika daerah berupaya menarik investor untuk membuka industri, namun dengan terlalu banyaknya aturan dan biaya maintenance yang dikeluarkan, apakah tidak akan membuat investor hengkang?. Logika sederhana, biaya izin usaha termasuk pajak di Indonesia lumayan besar dan itu pun belum menjamin izin tersebut tuntas dari hulu sampai hilir, belum lagi perizinan turunan di tingkat provinsi, kabupaten hingga kecamatan. Ditambah yang informal ”biaya bawah meja” untuk mempercepat proses, upeti pejabat, jatah preman, proposal pembangunan masjid, sekolah dan lainnya. Apa jadinya jika ditambah lagi beban perusahaan dengan Perda yang mengatur CSR, terlebih substansinya ditekankan pada menghimpun anggaran CSR dari perusahaan bukan bagaimana seharusnya melakukan prkatik CSR ideal.

Alangkah lebih baik pemerintah daerah memperjuangkan hak-hak buruh, peningkatan UMK, dan lain sebagainya, tanpa harus dipusingkan kewajiban sosial perusahaan yang sebetulnya sudah diatur dalam RKP dan RKL Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (Amdalsos), sebetulnya keseriusan perusahaan dalam penerapan CSR tinggal dievaluasi pada level itu, karena dalam Amdalsos sudah ada indikator sosial dan lingkungan, jika perusahaan melanggar maka pemerintah tinggal mencabut Amdalnya. Kondisi yang terjadi adalah Amdalsos sendiri mulai dari permohonan hingga hasilnya bisa ”diatur” pemerintah dan perusahaan, yang dirugikan selalu masyarakat setempat.

CSR Ideal
Secara hakikat berbicara CSR bukanlah hal yang mudah dalam arti menetapkan program asal jalan, asal sumbang, asal ada anggaran, yang ada pada akhirnya malah merusak social capital masyarakat. CSR dilakukan berdasarkan pertimbangan matang sesuai “kebutuhan masyarakat” bukan “keinginan masyarakat”. Setidaknya terdapat empat tahap dalam melakukan CSR yaitu need assessment (kajian kebutuhan), plan of treatment (perencanaan program), treatment action (aplikasi program), termination (pemutusan bantuan) dan evaluation (evaluasi). Setiap proses CSR membutuhkan waktu ideal, membutuhkan mereka yang ahli dan memiliki kapasitas dalam implementasinya, karena program CSR berkaitan dengan lokalitas, kebermanfaatan, keberdayaan, hubungan mutualisme, dan kepentingan stakeholder. Apakah pemerintah daerah ketika mengajukan dirinya mengelola program CSR sanggup mengerjakan detail program diatas, sedangkan pemerintah sendiri merupakan stakeholder yang memiliki fungsi kontrol terhadap pelaksanaan CSR. Tidak ada logika yang membenarkan fungsi kontrol malah nantinya harus dikontrol.

Akan menjadi lebih baik jika pembuatan Raperda CSR bukan menjadi sebuah euphoria atau budaya ikut-ikutan antar daerah didasarkan pada matematika anggaran semata, melainkan perlu pengkajian secara mendalam. CSR memang merupakan bentuk keharusan bagi perusahaan tapi harus dilihat dahulu aturan apa yang melingkupinya. Jauh lebih baik jika pemerintah daerah melihat dahulu kondisi ‘kesehatan perusahaan’, Jangankan mengatur CSR, gaji buruh saja misalnya masih dibawah UMK. Lebih baik memperkuat kontrol pelaksanaan RKP dan RKL Amdalsos, jikapun ingin membenahi, adalah melakukan evaluasi sejauhmana pelaksanaan CSR yang ada, sudahkah memberdayakan masyarakat lokal atau malah membuat dependensi baru, lalu Pemda memberikan catatan perbaikannya dalam bentuk rekomendasi yang sifatnya berkelanjutan.

1 komentar:

Heru Suprapto mengatakan...

Nimbrung: CSR seharusnya dipahami dari aspek Eksternalitas Negatif dari Aktifitas Bisnis. Tetapi kalau Eksternalitasnya positif justru tidak perlu melakukan CSR. Maka dalam raperda harus dipilah dalam pengaturan, misalnya:
Bisnis Ekstraksi yg menyebabkan pencemaran atau dampak lingkungan yg buruk, atau pengalihan fungsi lahan dlll wajib malakukan program CSR. Tetapi seperti PT yg bergerak dibidang seperti perdagangan, jasa konsultasi, jasa boga, seharusnya tidak perlu melakukan program CSR.