Rabu, 20 April 2011
CAGUB 2012 + Political marketing = GUB BABEL
CAGUB 2012 + Political marketing = GUB BABEL
Pesta demokrasi di babel 2012 ini sudah hampir memasuki tahapan yang dijadwalkan oleh KPU BABEL, tetapi sampai dengan sekarang derang menderang calon belum begitu tampak, berkaca dari itu semua saya pengen nebgeluarkan uneg uneg saya secara pribadi,
SIAPA calon gubernur yang saleable (layak jual) untuk BABEL 2012 menarik untuk
didiskusikan. Pertama, menyangkut masa depan BABEL 5 tahun mendatang. Kedua,
isu banyaknya kandidat yang muncul. Baik secara terang mengumumkan akan maju,
maupun yang masih malu-malu tapi terus melakukan soft compaign.
Pertanyaan ini penting dimunculkan. Bukan saja bagi masyarakat BABEL yang
(mungkin) mengalami “kebingungan” untuk memilih. Melainkan harus pula disadari
oleh kandidat, layak tidakkah ia mencalonkan diri. Demi mengetahui posisioning
dan diferensiasi kandidat atau partai di mata publik. Cukup berintegritaskah,
baik dalam hal identitas maupun citra kandidat. Atau hanya sampah yang “didaur”
ulang. Istilah klasiknya,
Menjadi calon gubernur memang hak asasi dan dilindungi konstitusi. Sama halnya
hak politik lain sebagai warga negara dengan ketentuan dan syarat yang berlaku.
Baik melalui calon perseorangan, maupun jalur partai. Apalagi dalam iklim
demokrasi yang sedang kita rajut dan bangun bersama BABEL. Yang
pasti, adagium jangan kalah atau menyerah sebelum bertanding mesti diakomodir.
Walau, ongkos politik menuju kursi BABEL 1 tidaklah murah. Begitupun halnya
pemilih, harus benar-benar mengetahui calon mana yang layak untuk dipilih atau
kita “beli” untuk memimpin BABEL mendatang.
Political marketing
Dalam konsep dasar political marketing, bicara produk politik biasanya
dirumuskan dalam 4 hal. Yaitu, person, party, policy dan presentation. Pertama,
person. Bicara tentang orang. Bagaimana memasarkan seseorang.
Nah, kalau di BABEL, siapa kira-kira dari para kandidat gubernur sekarang yang
memiliki modal itu? Punya kharisma untuk diomongin sampai di pelosok dan sudut
Kampong. Tentu, yang dibicarakan adalah hal-hal positif. Figur yang layak
digantungkan harapan perubahan.
Kedua, party, kita boleh punya partai yang luar biasa, atau menang besar dalam
pemilu legislatif. Tapi di hadapan pemilih yang menginginkan ada figur yang
membuat mereka tertarik untuk memilih, maka partai tidak ada arti apa-apa.
Apalagi potret figur yang selama ini muncul, sangat mengecewakan, dan tidak
mampu mengemban amanah rakyat. Jadi, wajar bila ada yang “membelot”,
memunculkan kandidat lain. Di sinilah ketakutan partai politik dominan untuk
menjegal calon independen. Sebab bila muncul lebih dari satu calon dari basis
yang sama, akan sulit menggapai kemenangan.
Ada juga partai, memang tidak mengandalkan figur. Namun, mereka harus siap
dengan konsekuensi bahwa mereka harus membina basis dukungan partai dengan cara
yang lebih keras. Dengan ihktiar yang lebih kuat. Depersonalisasi lebih tegas.
Memutuskan kecendrungan personalisasi. Jadi, network lebih penting. Menjual
person tidak perlu pakai network. Seperti multi level marketing, kita terjerat
dalam suatu sistem, sehingga kita terus mengomongkan seseorang.
Ya, dari mulut ke mulut. Jadi, konsekuensinya memperkuat partai adalah
memperkuat jaringan. Bertumpu pada figur orang, itu akan berbeda. Partai harus
punya network yang kuat. Basisnya tidak boleh keropos. Ketiga, policy, yaitu
platform, orientasi dan lain-lain.
Tiga produk tersebut harus dibungkus. Itulah yang keempat disebut presentasion.
Dalam konteks political marketing, maka presentasi adalah branding, atau citra.
Produknya terbatas, tapi dibungkus dengan kualitas branding yang hebat. Seperti
air minum, yang kita masukkan dalam botol yang berbeda. Produknya sama, tapi
karena kemasan yang berbeda, kita ciptakan branding dengan class yang berbeda.
Artinya, kita mementingkan branding. Identitas dan integritas menjadi tidak
penting. Menurut Eep Saifollah Fatah, pendekatan political marketing yang
berlandaskan citra saja, hanya 1/3 dalam political marketing.
Presentasi harus membungkus kualitas produk tertentu. Kadang-kadang produk yang
mau dijual adalah bagus, tapi presentasi yang buruk. Presentasi produk jadi
tidak berguna. Sebaliknya, produk jelek, bungkusnya bagus, orang akan
terpengaruh.
Jadi 4 bagian produk ini sangat penting untuk dikemas. Mengemas presentasi bisa
pakai cara instan dan mudah. Tapi, mengemas keseluruhan produk ini tidak bisa
instan. Butuh proses dan kerja keras. Itu bedanya. Mengemas presentasi cukup
dengan melakukan pencitraan, lewat serangan udara. Iklan yang banyak,
membagikan kalender di warung-warung kopi, TV, atau media cetak. Tapi pada saat
yang sama presentasi itu tanpa dikaitkan dengan produk yang lain, tidak akan
banyak gunanya.
Sisi lain, adalah faktor etika. Budaya masyarakat yang masih terpengaruh dengan
money politic, intimidasi dan kekerasan. Sepatutnya, kandidat gubernur atau
partai yang memilih jalan ini harus dilawan. Menghalalkan segala cara untuk
menang adalah sangat keji dan pembodohan sistemik. Politisi busuk tidak layak
memimpin kita. Rakyat BABEL harus melihat perubahan diri sendiri sebagai tumpuan
perubahan, bukan mengharapkan perubahan itu datang dari atas. Salah satunya
adalah dengan cara memilih pemimpin yang benar, dengan cara-cara yang benar.
Mengetahui benar kandidat atau partai berikut programnya. Track record perlu
dilihat dan dipertimbangkan. Jangan asal pilih. Lalu rugi 5 tahun mendatang.
Menjadi saleable yang tak kalah penting juga untuk calon gubernur BABEL adalah
ia harus diyakini oleh banyak orang mampu mempertaruhkan nilai-nilai kebenaran,
keterpercayaan, dan kejujuran. Selain memiliki modal intelektual, modal
kultural dan modal simbolik, berupa status dan prestise yang baik di tengah
masyarakat. Melihat realitas calon yang muncul, saya pikir semua masih memiliki
peluang. Tidak ada yang terlalu dominan satu dengan yang lain.
Kalau merujuk hasil survei beberapa lembaga, seperti Lingkaran Survei
Indonesia (LSI), beberapa nama muncul dengan rating tinggi. Tapi survei itu
juga memiliki kekurangan, Misalnya pada sampling error-yang diambil. Jangan
heran bila hasil satu lembaga dengan lain jadinya berbeda. Hasil survei memang
sedikit banyak memengaruhi psikologi pemilih atau menggiring pemilih pada
kandidat tertentu. Tapi belum tentu orang yang memilih dalam survei itu akan
memilih dalam pilkada. Sebab riset politik lebih complicated dibanding riset
pasar.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar