Kamis, 24 Februari 2011

Yusril Ihza Mahendra, Mantan Kuncen Istana yang Mau Dikirim ke Penjara

Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra (lahir di Belitung pada 5 Februari 1956) adalah seorang politikus Indonesia. Ia adalah Menteri Sekretaris Negara Indonesia pada periode 20 Oktober 2004-8 Mei 2007. Yusril Ihza Mahendra Di bidang politik, dari tahun 1998 hingga 2005 ia menjabat sebagai Ketua Umum Partai Bulan Bintang. Mahendra telah tiga kali menempati jabatan sebagai seorang menteri dalam kabinet pemerintahan Indonesia, yaitu Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (26 Agustus 2000-7 Februari 2001), Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Kabinet Gotong Royong (Agustus 2001-2004) dan terakhir Menteri Sekretaris Negara Kabinet Indonesia Bersatu (20 Oktober 2004-2007). Pendidikan Pendirikan S-1 jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI diselesaikan pada 1983 dan jurusan Filsafat Fakultas Sastra UI (1982). Sedang, pendidikan S2-nya dari Graduate School of Humanities and Social Science, Universitas Punjab (India) pada 1984. Sementara, S-3 diperoleh dari Institute of Post Graduate Studies, Universitas Sains Malaysia (1993) Pengalaman akademis * Staf pengajar di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) * Staf pengajar di Akademi Ilmu Pemasyarakatan, Depkeh (1983) * Staf pengajar di Program Pascasarjana UI dan UMJ serta pengajar Fakultas Hukum UI Pengalaman organisasi * Wakil Ketua Badan Komunikasi Pemuda Masjid Indonesia (1981-1982) * Anggota DPP Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (1996-2000) * Ketua pengkajian hukum merangkap wakil ketua Dewan Pakar ICMI wilayah DKI Jakarta (1996-2000) Sebagai Menteri Sekretaris Negara Pada 15 Februari 2007, ia diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK sebagai saksi. Selain dirinya, turut diperiksa juga Sekretaris Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Zulkarnain Yunus. Keduanya diperiksa berkaitan dengan dugaan korupsi pengadaan sistem identifikasi sidik jari otomatis. Dalam kasus yang diduga merugikan negara hingga Rp 6 miliar itu, KPK sudah menahan pemimpin proyek Aji Afendi dan Direktur Utama PT Sentra Filindo Eman Rachman. KPK sendiri minta agar Zulkarnain dilarang ke luar negeri. Sehari kemudian, pada 16 Februari 2007, ia balik melaporkan Komisi Pemberantasan Korupsi|Ketua KPK Taufiequrachman Ruki ke KPK dengan membawa sejumlah dokumen bukti. Dalam laporan itu, ia melampirkan surat KPK tertanggal 27 September 2005 mengenai penunjukkan langsung dalam pengadaan alat penyadap senilai Rp 34 miliar. Ia minta KPK memeriksa pemimpinnya terkait dengan penunjukkan langsung dalam pengadaan penyadap di KPK. Selain, KPK juga perlu menelaah Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, yang menjadi dasar hukum penunjukan langsung, agar ada standar dan pemahaman yang sama dalam praktik. Tindakan melaporkan balik ketua KPK disesalkan banyak pihak dan salah alamat. Asosiasi Advokat Indonesia Wawan Iriawan dan dinilai tidak mendukung penegakan hukum. Ketua Fraksi PDI-P Tjahjo Kumolo menyayangkannya. Sekjen PDI-P Pramono Anung menilai sikapnya kekanak-kanakan. Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar menilai sikapnya bisa berbahaya. Penasehat Fraksi Partai Amanat Nasional di DPR-RI Patrialis Akbar menyayangkan, karena dalam surat Nomor B.727/M.Sesneg/11/2005 dinyatakan bahwa presiden menyetujui penunjukkan langsung atas saran dan masukan dari Mensesneg. Anggota DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa Mahfud MD berpendapat bahwa laporan Yusril didomplengi banyak koruptor. Wakil Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin menyarakan Presiden membentuk tim independen untuk menuntaskan laporan Yusril. Tim independen yang bersifat ad hoc diisi polisi dan jaksa. Anggota Komisi III DPR Gayus Lumbuan menunjuk Jaksa Agung menyelidiki kasus itu. Advokat Todung Mulya Lubis menilai bahwa Presiden harus menindaklanjutinya. Presiden bisa menunjuk penyedik swasta untuk memeriksa Ketua KPK. Anggota Komisi III DPR Benny K Marman, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Patra Zen, dan Direktur Indonesian Court Monitoring Denny Indrayana menilai langkah Yusril sebagai tindakan salah alamat. Denny Indrayana bahkan menilai langkah tersebut sama artinya dengan menyalahkan Presiden yang memberikan izin penunjukkan langsung kepada KPK. Bagi Benny K Harman, sikap Yusril yang sangat reaktif mengesankan bahwa Yusril terpojok dan manuvernya bisa dikatakan sebagai kebal hukum karena jabatannya yang Mensesneg. Wakil Ketua DPR A Muhaimin Iskandar menilai pelaporan dugaan korupsi Ketua KPK oleh Yusril menimbulkan kebingungan publik atas penegakan hukum di Indonesia. Advokat senior Adnan Buyung Nasution menyesalkan perseteruan yang terjadi antara KPK dan Mensesneg dan dinilai ada tata krama politik yang diabaikan. Koordinator Aliansi Masyarakat Peduli Hukum Suwitno yang menggelar aksi di depan kantor KPK meminta menyelidiki aliran dana hasil penggelembungan proyek pengadaan sistem identifikasi otomatis sidik jari di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Anggota Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo meminta KPK tidak mengistimewakan Yusril dalam dugaan korupsi di Dephuk-HAM. Pada 19 Februari 2007, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi menggelar jumpa pers dengan didampingi Juru Bicara Presiden Andi Mallarangeng. Sudi menjelaskan disposisi persetujuan yang diberikan Presiden kepada KPK terhadap penunjukkan langsung pengadaan alat penyadap didasarkan pada saran Mensesneg Yusril Ihza Mahendra. Saran tersebut diberikan kepada Presiden setelah Mensesneg mempelajari secara mendalam permintaan Ketua KPK. Saran kepada Presiden disampaikan melalui Memorandum No.M.907/M.Sesneg/10/2005 perihal Permohonan Penetapan Metode Pemilihan Penyedia Barang atau Jasa. Pada 7 Mei 2007, dalam perombakan pada Kabinet Indonesia Bersatu yang dilaksanakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Mahendra digantikan Hatta Rajasa pada jabatannya. Kehidupan pribadi Ia beragama Islam dan pernah menikah dengan Kessy Sukaesih. Pernikahan ini melahirkan empat anak, yaitu Yuri, Kenia, Meilan, dan Ali Reza. Setelah bercerai, ia menikahi wanita keturunan Filipina-Jepang, Rika Tolentino Kato. Akad nikah berlangsung pada Sabtu, 16 September 2006 di Masjid Ar-Rahman, Komplek Departemen Koperasi, Kuningan (Jakarta Selatan). Akad nikah disaksikan Menteri Agama Maftuh Basyuni dan Menteri Dalam Negeri M. Ma’ruf. Sedang, resepsi berlangsung di ruang Garden Terrace, Hotel Four Seasons, Jakarta pada Minggu, 17 September 2006. Selain dihadiri 250 tamu undangan, Menteri Kehutanan MS Kaban dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal M. Lutfi serta Direktur Utama Lion Air Rudy Kirana juga hadir. Acara dimeriahkan penyanyi Ruth Sahanaya dan pembawa acara Becky Tumewu. Menurut kerabatnya, pernikahan itu dilakukan setelah perceraian Yusril resmi bercerai sepuluh bulan sebelumnya dengan istri pertamanya. Yusril Ihza Mahendra, Mantan Kuncen Istana yang Mau Dikirim ke Penjara Rasanya tak begitu banyak orang yang mengetahui bahwa Mahendra di belakang nama Yusril Ihza bukanlah nama keluarga. Konon, entah bagaimana detil ceritanya, nama itu didapat laki-laki kelahiran Belitung, 5 Februari 1956 ini saat mengikuti pendidikan master di Graduate School of Humanities and Social Science, University of the Punjab, Pakistan, pada pertengahan 1980an. Nama kampus Yusril yang satu ini pun sering kali salah dituliskan. Ia kerap disebut lulus dari Universitas Punjab yang ada di India. Padahal Yusril menempuh pendidikan master di bidang hukum tatanegara di, seperti yang telah disebut di atas, University of the Punjab, Pakistan (www.pu.edu.pk). Kesalahan ini mungkin terjadi karena di India juga ada kampus dengan nama yang hampir sama, yakni Punjab University di Chandigarh (www.puchd.ac.in) dan Punjabi University di Patiala (www.punjabiuniversity.ac.in). Terlepas dari soal Pakistan dan India itu, di tanah air Yusril lebih dikenal sebagai profesor hukum tatanegara Universitas Indonesia yang meraih gelar doktor di bidang hukum tatanegara dari Institute of Post Graduate Studies, Science University of Malaysia. Gelar doktor digondolnya setelah menempuh pendidikan selama tiga tahun di negeri jiran itu antara 1990 hingga 1993. Selain soal nama Mahendra dan kampus tempat ia menuntut ilmu masih ada satu hal lagi yang kerap dilupakan orang ketika berbicara tentang Yusril. Yusril adalah faktor penentu kemenangan Abdurrahman Wahid sekaligus kekalahan Megawati Soekarnoputri dalam pemilihan presiden di arena Sidang Umum MPR Oktober 1999. Yusril lah yang telah mengubah perjalanan roda sejarah negeri ini pada saat-saat yang oleh kebanyakan politisi Islam dianggap krusial ketika itu. Yusril yang ketika itu adalah Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) di atas kertas akan mengantongi dukungan sebanyak 232 suara. Jumlah ini jauh berada di atas Gus Dur, ketika itu Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang diperkirakan akan mengantongi 185 suara. Adapun Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati dipastikan berada di tempat pertama dengan setidaknya305 suara. Di tengah jalan, atas kesepakatan pentolan Poros Tengah, Amien Rais (PAN), Akbar Tandjung (Partai Golkar), Hamzah Haz (PPP), Matori Abdul Djalil (PKB), dan juga Yusril (PBB), akhirnya Yusril sepakat mengundurkan diri dari arena pemilihan presiden. Selanjutnya, Poros Tengah memberikan dukungan penuh kepada Gus Dur. “Tolong diingat peristiwa pada pemilu tahun 1999 pada waktu Sidang Umum MPR. Saya tinggal memiliki satu langkah untuk menjadi presiden, tetapi saya mundur. Kalau saya tidak mundur belum tentu Gus Dur bisa menang. Kalau bukan Mega, pasti saya. Gus Dur pasti out atau kalah. Kita sudah hitung di atas kertas, suara saya 232, Gus Dur 185 sedangkan Mega 305 suara. Itu sudah hampir matematis,” ujar Yusril kepada media suatu kali. Itu sebabnya dengan mudah Yusril bergabung dengan pemerintahan Gus Dur sebagai Menteri Hukum dan Perundangan. Tetapi, sekitar lima bulan sebelum Gus Dur akhirnya lengser, Yusril meninggalkan kabinet Gus Dur. Ia bergabung dengan kawan-kawannya, pentolan Poros Tengah, yang telah lebih dahulu meninggalkan Gus Dur. Setelah Megawati menggantikan Gus Dur, Yusril kembali bergabung dengan skuad istana. Kali ini sebagai Menteri Hukum dan HAM. Menjelang Pilpres 2004, Yusril yang menyadari partainya mulai kehilangan pengaruh, memperoleh kurang dari 2,5 persen suara seperti yang disyaratkan untuk mengikuti Pemilu 2009 (belakangan menjelang Pemilu 2009 syarat itu diabaikan), membanting stir. Bersama dua partai lain, Partai Demokrat yang baru berdiri dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), PBB mendukung duet SBY dan Jusuf Kalla. Pada akhirnya SBY dan Kalla menang, dan Yusril kembali dengan mudah masuk istana sebagai Menteri Sekretaris Negara. Hubungan mesra antara Yusril dan SBY tidak berlangsung lama. Di tahun 2007 ia didepak, tidak hanya dari kursi Menteri Sekretaris Negara, melainkan juga dari istana. Kursi Mensesneg diberikan kepada Hatta Rajasa dari PAN yang sebelumnya menduduki kursi Menteri Perhubungan. Informasi yang diperoleh dari lingkaran dalam SBY ketika itu mengatakan bahwa Yusril dianggap terlalu berani menantang SBY. Yusril menyimpan keinginan mencalonkan diri sebagai presiden dalam Pilpres 2009. Bila tidak segera dieliminasi, kubu SBY mengkhawatirkan keinginan itu akan menjadi kenyataan. Untuk menghentikan langkah musuh di dalam selimut ini, akhirnya ia dikeluarkan dari lingkaran elit. Masih dari lingkaran dalam SBY, Yusril juga dicurigai mensabotase Istana. Ada anggota KIB I yang mengatakan banyak pekerjaan Yusril dibiarkan menumpuk di atas meja. Fenomena kertas menumpuk ini tentu bukan karena Yusril tidak memahami pekerjaannya. Sebagai orang yang sudah malang melintang di Istana sejak jaman Soeharto –ia bahkan pernah dipercaya Soeharto menuliskan pidato– tentulah Yusril memiliki keterampilan yang memadai untuk menangani pekerjaan. Pekerjaan yang dibiarkan menumpuk di atas meja itu, bagi orang-orang SBY adalah adalah bukti bahwa Yusril memang ingin mensabotase pemerintahan SBY. Tuduhan mengenai upaya mensabotase pemerintahan SBY ini pernah saya tanyakan kepada adik Yusril, mantan anggota DPR, Yusron Ihza. Itu adalah tuduhan yang tidak berdasar, sebut Yusron. Dirinya justru sering melihat Yusril seperti kekurangan waktu karena setiap hari harus bekerja sampai lewat tengah malam. Terlepas dari saling serang dan tangkis itu, akhirnya seperti di zaman Gus Dur, Yusril kembali angkat koper meninggalkan Istana. Sejak saat itu pula namanya hampir tidak terdengar sama sekali, kecuali pada tiga kesempatan. Pertama, saat ia berperan sebagai Cheng Ho dalam film yang juga dibintangi sesama mantan anggota KIB I Syaifullah Yusuf. Kedua, saat dia bertemu dengan Gus Dur menjelang Pilpres 2009. Dan ketiga, ya sekarang ini, setelah Jaksa Agung Hendarman Supandji menetapkannya sebagai salah seorang tersangka dalam kasus Sisminbakum yang diduga merugikan negara sebesar Rp 420 miliar. Seperti pemegang saham PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD), Hartono Tanoesoedibjo yang sudah kabur entah kemana, Yusril dijerat pasal 2, pasal 3 dan pasal 12 huruf e UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bila terbukti bersalah, Yusril dapat mendekam di penjara seumur hidup atau setidaknya 20 tahun.

Tidak ada komentar: