Rabu, 24 Agustus 2011

Monitoring Keuangan Daerah


1. Monitoring
Monitoring merupakan suatu rangkaian aktivitas yang dilakukan untuk mengawasi atau memantau proses dan perkembangan pelaksanaan suatu program/kegiatan. Fokus monitoring adalah untuk mendapatkan informasi mengenai pelaksanaan suatu kegiatan, bukan pada hasilnya. Lebih spesifiknya, fokus monitoring adalah pada komponen proses pelaksanaan program/kegiatan yang menyangkut proses pengambilan keputusan, prosedur yang harus dilalui, dokumen-dokumen yang dihasilkan, waktu pelaksanaan dan pihak-pihak yang harus terlibat pada setiap proses kegiatan dan lain sebagainya.
Monitoring dilakukan untuk maksud mengetahui apakah kegiatan  berjalan sesuai aturan, apa hambatan yang terjadi dan bagaimana cara  mengatasi masalah tersebut.  Dengan kata lain monitoring menekankan pada pemantauan proses pelaksanaan kegiatan. Hasil monitoring digunakan sebagai umpan balik untuk penyempurnaan kegiatan atau memperbaiki suatu  sistem.
Secara umum, pengertian dasar Monitoring mencakup:
  • Suatu penilaian yang dilaksanakan terus menerus (berkelanjutan) dalam suatu kegiatan untuk program tertentu.
  • Mengecek & mencatat keadaan yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan yang sedang berlangsung
  • Melihat perkembangan sesuatu kegiatan yang sedang berjalan
2. Keuangan daerah Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan daerah ada berbagai aspek.  Aspek-aspek tersebut adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan.
  • Dari sisi obyek yang dimaksud dengan keuangan daerah meliputi semua hak dan Daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
  • Dari sisi subyek yang dimaksud dengan keuangan daerah meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Daerah, Perusahaan Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan daerah.
  • Dari sisi proses, keuangan daerah mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban.
  • Dari sisi tujuan, keuangan daerah meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Dalam panduan praktis ini, rumusan yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah dari sisi proses, yakni seluruh rangkaian kegiatan pengelolaan keuangan daerah yang  dimulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban.
Masyarakat pada umumnya lebih mengenal pengelolaan keuangan daerah istilah APBD. Adapun pengertian dari APBD itu adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.
3. Monitoring keuangan daerah
Dengan menyimak pengertian dan batasan tentang monitoring dan keuangan daerah, maka yang dimaksud dengan monitoring keuangan daerah adalah serangkaian usaha yang dilakukan  untuk menilai proses pengelolaan keuangan daerah, yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban, dengan mengecek dan mencatat berbagai keadaan dan melihat perkembangan yang ada  di lapangan.
4. Menyusun sistem monitoring keuangan daerah
Pengertian menyusun sistem monitoring keuangan derah adalah membuat instrumen yang berisikan tool-tool yang akan memandu atau membantu usaha monitoring keuangan daerah.  Dengan instrumen tersebut proses pengelolaan keuangan daerah bisa diamati dan dinilai dengan cara-cara praktis dan sederhana.
Tujuan
Upaya melakukan serangkaian kegiatan monitoring keuangan daerah tidak lepas dari tujuan-tujuan yang ingin dicapai.  Tujuan tersebut meliputi: (1) tujuan utama (goal), dan (2) tujuan khusus.
  • Tujuan Umum
    Tujuan umum (goal) dari monitoring keuangan daerah adalah terciptanya tata kelola pemerintahan yang good governance.   Pengertian good governance disini adalah penyelenggaraan pemerintahan yang menjalankan prinsip-prinsip seperti:
  1. Partisipasi Masyarakat
    Partisipasi masyarakat mutlak diperlukan agar penyelenggara pemerintahan dapat mengenal lebih dekat siapa  masyarakat dan warganya berikut cara pikir dan kebiasaan hidupnya, masalah yang dihadapinya, cara atau jalan  keluar yang disarankannya, apa yang dapat disumbangkan dalam memecahkan masalah yang dihadapi, dan sebagainya.
  2. Transparansi
    Semua urusan tata pemerintahan berupa kebijakan-kebijakan publik baik yang berkenaan dengan pelayanan publik maupun pembangunan di daerah harus diketahui publik. Isi keputusan dan alasan pengambilan kebijakan publik harus dapat diakses oleh publik dan harus diumumkan agar pendapat tanggapan publik. Demikian pula informasi tentang kegiatan pelaksanaan kebijakan tersebut dan hasil-hasilnya harus terbuka dan dapat diakses publik.
  3. Tegaknya Supremasi Hukum
    Wujud nyata dari prinsip supremasi hukum antara lain mencakup upaya pembentukan peraturan perundangan, pemberdayaan lembaga-lembaga penegak hukum, penuntasan kasus KKN dan pelanggaran HAM, peningkatan kesadaran hukum dan pengembangan budaya hukum.
  4. Akuntabilitas
    Penerapan prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan diawali pada saat penyusunan program pelayanan publik dan pembangunan (program accountability), pembiayaannya (fiscal accountability), pelaksanaan, pemantauan dan penilaiannya  (process accountability) sehingga program tersebut dapat memberikan hasil atau dampak seoptimal mungkin sesuai dengan sasaran atau tujuan yang ditetapkan (outcome accountability).
  5. Peduli pada Stakeholder
    Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan
  6. Berorientasi pada Konsensus
    Perumusan kebijakan tentang pelayanan publik dan pembangunan di pusat dan daerah dilakukan melalui mekanisme demokrasi, dan tidak ditentukan sendiri oleh eksekutif. Keputusan-keputusan yang diambil, baik oleh lembaga eksekutif maupun legislatif, dan keputusan antara kedua lembaga tersebut harus didasarkan pada konsensus agar setiap kebijakan publik yang diambil benar-benar merupakan keputusan bersama.
  7. Kesetaraan
    Semua komponen masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
  8. Efektifitas dan Efisiensi
    Agar dapat meningkatkan kinerja tata pemerintahan dibutuhkan dukungan struktur yang tepat. Di samping itu, pemerintahan yang ada juga harus selalu berupaya mencapai hasil yang optimal dengan memanfaatkan dana dan sumber daya lainnya yang  tersedia secara efisien. Dalam konteks ini, harus ada upaya untuk selalu menilai tingkat efektivitas dan efisiensi pemanfaatan sumberdaya yang tersedia.
  9. Visi Strategis
    Semua kegiatan pemerintahan berupa pelayanan publik dan pembangunan di berbagai bidang seharusnya didasarkan pada visi dan misi tertentu disertai strategi implementasi yang jelas.
  • Tujuan Khusus
  1. Sesuai aturan
    Pengelolaan keuangan daerah telah diatur  dengan berbagai  peraturan mulai dari undang-undang, keputusan presiden (kepres), peraturan  pemerintah (PP) dan keputusan mentri dalam negeri (kepmendagri).  Pada prakteknya sejauh mana proses pengelolaan keuangan daerah telah merujuk pada aturan-aturan tersebut diatas.
  2. Transparan
    Transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan telah menjadi tuntutan masyarakat luas dan keberadaannya sudah didukung oleh payung hukum.   Dalam kontek pengelolaan keuangan daerah, sudah sejauh mana hal itu berjalan secara transparan.
  3. Partisipatif
    Tuntutan partisipasi  dalam proses pengelolaan keuangan daerah sudah menjadi kecenderungan umum masyarakat. Keberadaannya juga sudah dipayungi oleh payung hukum.  Dalam monitoring keuangan daerah ini sudah sejauh mana pengelolaan keuangan daerah melibatkan partisipasi aktiv masyarakat.
Sasaran
Sasaran monitoring keuangan daerah ini adalah sebagai berikut:
  • Untuk memperbaiki prosedur pengelolaan keuangan daerah agar sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
  • Untuk meningkatkan kapasitas dan pemahaman dari orang-orang yang terlibat dalam proses pengelolaan keuangan daerah.
  • Untuk menyediakan informasi bagi berbagai pihak yang membutuhkan pengelolaan keuangan daerah
  • Untuk mendorong transparansi dan partisipasi masyarakat pada seluruh proses pengelolaan keuangan daerah
I. Waktu Monitorng
Idealnya pelaksanaan monitoring dilaksanakan pada seluruh proses pengelolaan keuangan daerah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban.  Bila hal itu tidak memungkinkan, pelaksanaan monitoring dapat dilakukan pada tahap manapun dengan mengikuti panduan yang ada.  Melalui panduan ini, proses pengelolaan keuangan daerah yang sudah lewat dapat dilacak dinamikanya sehingga keberadaannya juga bisa diukur.
II. Pelaksana Monitoring
Secara umum instrumen monitoring ini disusun sebagai sarana bantu pengawasan masyarakat terhadap pemerintah daerah, utamanya dalam hal pengelolaan keuangan daerah.   Namun yang lebih utama sistem monitoring keuangan daerah ini di laksanakan untuk kelompok strategis masyarakat seperti:
  • NGO
    Selama ini NGO, utamanya NGO antikorupsi adalah kelompok masyarakat yang paling progresif  dalam melakukan pengawasan dan advokasi terhadap tindak penyimpangan dilingkungan pemerintahan.
  • Jurnalis
    Sudah menjadi kebutuhan  bagi Media massa untuk menjebatani komunikasi antara pemerintah dan masyarakat.  Dengan demikian kalangan media sangat butuh informasi aktual seputar penyelenggaraan pemerintahan.  Instrumen monitoring ini akan bermanfaat bagi media untuk turut memantau proses keuangan daerah sebagai sarana mempertajam bahan berita.
  • Aktivis mahasiswa
    Mahasiswa merupakan lapisan generasi muda yang  paling  potensial dan progresif dalam menyuarakan isyu-isyu penyimpangan dan ketidakadilan, utamanya yang dilakukan oleh pemerintahan.   Bila gerak progresif tersebut didukung oleh instrumen yang memadai akan memberikan bobot tersendiri.
III.Obyek dan Subyek yang dimonitor

  • Obyek yang dimonitor
    Obyek yang akan menjadi sasaran dalam monitoring keuangan daerah ini meliputi prosedur proses pengelolaan keuangan daerah mulai dari perencanaan, implementasi dan pertanggungjawaban.  Termasuk dalam obyek yang dimonitor disini berkenaan dengan waktu kegiatan dan dokumen-dokumen resmi yang dihasilkan.
  • Subyek yang dimonitor
    Sasaran dari subyek yang dimonitor dalam buku panduan monitoring ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengelolaan keuangan daerah.  Pihak-pihak tersebut adalah anggota:legislatif, aparat pemerintah daerah dan unsur-unsur masyarakat yang terlibat dalam proses pengelolaan keuangan daerah.
IV.Instrumen monitoring
  • Lembar monitoring
    Lembar  monitoring berbentuk formulir pengisian untuk memandu melakukan pemantauan dilapangan.  Pelaksana monitoring dengan bantuan formulir tersebut tinggal melakukan verifikasi dilapangan dengan memastikan apakah seluruh proses pengelolaan keuangan daerah berjalan sesuai dengan aturan, transparan dan partisipatif.
  • Penilaian hasil
    Hasil dari pengisian formulir selanjutnya dilakukan penilaian yang sifatnya kuantatif maupun kualitatif.  Kuantitatif     adalah jenis penilaian dengan menggunakan skor.  Sedangkan kualitatif adalah jenis penilaian yang sifatnya deskriptif.
V.Manfaat yang diharapkan dari Monitoring
  • Pemerintahan daerah
    Bagi pemerintahan daerah monitoring keuangan daerah dapat dimanfaatkan sebagai alat koreksi dari pelaksanaan kebijakan,    meningkatkan kinerja dan memperbaiki sistem.
  • Masyarakat pemantau
    Sistem monitroing yang menyertakan peta proses pengelolaan keuangan daerah ini diharapkan mampu menambah bobot para aktivis dalam melakukan advokasi.  Dengan instrumen pemantauan rinci sejak di perencanaan hingga pertanggungjawaban akan  menambah jumlah (kualitas dan kuantitas)  masalah yang akan didesakkan oleh para aktivis dilapangan.  Selain itu, pemantauan dengan sistem monitoring ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mendeteksi masalah secara dini.
VI.Dampak yang diharapkan dari Monitoring
  • Dampak bagi Pelaksana monitoring
  1. Peningkatan kapasitas
    Dengan intrumen monitoring ini diharapkan berdampak pada peningkatan pengetahuan pelaksana monitoring utamanya berkenaan dengan proses-proses dalam pengelolaan keuangan daerah mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada pertanggungjawaban.
  2. Keterlibatan yang lebih luas
    Dengan instrumen monitoring yang sederhana dan relatif mudah dikerjakan, diharapkan berdampak pada keterlibatan komponen masyarakat yang lebih luas untuk menjadi pelaksana monitoring.
  • Dampak bagi Subyek yang dimonitor
  1. Mawas diri aparat
    Dampak yang diharapkan dari monitoring keuangan daerah ini akan menimbulkan rasa mawas diri aparat dan tidak  gegabah dalam melakukan tindakan penyimpangan pada tiap proses pengelolaan keuangan daerah.
  2. Peningkatan kapasitas
    Oleh karena sistem monitoring ini menggunakan instrumen yang relatif detail dalam memantau proses, diharapkan aparat pemerintah daerah akan semakin jeli dalam mengelola proses dan berusaha meningkatkan kapasitas diri.
  3. Komitmen pada aturan
    Seluruh indikator dalam instrumen monitoring ini merujuk sepenuhnya pada aturan-aturan yang berlaku.  Pada kondisi demikian diharapkan kegiatan monitoring ini berdampak pada kepatuhan aparat dalam mengikuti aturan-aturan yang berlaku.
  • Dampak terhadap sistem
  1. Perbaikan sistem
    Usaha monitoring yang dilakukan secara terus menerus dengan perangkat yang dapat memantau seluruh proses pengelolaan keuangan daerah diharapkan dapat berdampak pada perbaikan sistem pengelolaan keuangan  di daerah. Perbaikan yang dimaksud mencakup dua hal:
  2. Menekan korupsi dan penyimpangan
    Dampak yang paling penting diharapkan dari usaha monitoring keuangan daerah ini adalah mendeteksi sejak dini gejala penyimpangan yang gejala itu kemudian disuarakan kepublik sehingga berbagai upaya penyimpangan menjadi  tereliminasi.
SISTEM DAN METODOLOGI MONITORING

Komponen dan Indikator

a.Komponen
Secara umum, monitoring keuangan daerah mencakup 3 komponen utama, yaitu: Taat aturan tata kelola, transpransi dan partisipasi publik.  Ketiga komponen tersebut diturunkan dari tiga prinsip utama Good governance yakni Supremasi hukum, transparansi dan partisipasi.
Adapun batasan-batasan dalam komponen diatas adalah sebagai berikut:
  1. Taat aturan tata kelola
    Segala kegiatan pengelolaan keuangan daerah yang berjalan beserta seluruh aspek-aspek yang melingkupinya merujuk pada     aturan yang telah ditetapkan
  2. Transparan
    Mekanisme akses publik yang diberikan pemerintah berkenaan dengan seluruh proses pemerintahan, khususnya dalam     pengelolaan keuangan daerah.
  3. Partisipasi
    Keterlibatan masyarakat dalam proses pengelolaan keuangan daerah.
Pilihan terhadap komponen monitoring dari tiga prinsip utama Good Governance didasari pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:  Pertama, terlalu besar dan luas cakupannya bila komponen itu diturunkan dari seluruh prinsip-prinsip good governance.  Luasnya cakupan akan cenderung membuat monitoring kurang fokus.
Kedua,  pilihan prinsip utama  good governance yang menjadi komponen dalam monitoring ini merupakan unsur fundamental dalam mewujudkan good governance.  Tiga prinsip utama good governance sebagai disebutkan diatas, bila berjalan semua akan mempengaruhi prinsip-prinsip lainya.
Ketiga, adanya berbagai keterbatasan dalam penyusunan sistem monitoring baik dari segi waktu, dana dan SDM sehingga membatasi komponen ruang lingkup dalam monitoring menjadi tidak dapat dihindari.
b.Indikator
Komponen monitoring sebagaimana disebutkan diatas belum dapat dijadikan alat untuk menilai atau mengukur suatu proses kegiatan.  Komponen tersebut harus diterjemahkan kedalam indikator-indikator yang lebih operasional.  Perumusan indikator tersebut adalah sebagai berikut:
  • Indikator dari komponen taat aturan. komponen taat aturan pada dasarnya mempertanyakan pengelolaan keuangan daerah, dalam hal ini apakah seluruh proses perencanaan dan pelaksanaan APBD telah sesuai dengan aturan yang berlaku?   Komponen taat aturan mencakup indikator: (a)    prosedur yang dijalankan (b) dokumen-dokumen yang tersedia (c) waktu  yang ditetapkan dan (d) pihak-pihak yang harus     terlibat dalam proses.
  • Indikator dari komponen transaparansiKomponen transparansi pada dasarnya mempertanyakan apakah proses dalam pengelolaan keuangan daerah mulai dari perencanaan, implementasi dan pertanggungjawaban telah dilakukan secara transparan.  Komponen transparan mencakup    indikator (a) publikasi proses (b) ketesedian dokumen untuk diakses dan (c) kesediaan aparat memberikan informasi yang  dibutuhkan masyarakat
  • Indikator dari komponen partisipasiKomponen partisipasi pada dasarnya mempertanyakan apakah proses pegelolaan keuangan daerah mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban telah melibatkan masyarakat.   Komponen partisipasi dalam pengelolaan keuangan daerah    mencakup indikator: (a) Media aspirasi  (b) forum publik dan (c) unsur-unsur masyarakat yang terlibat.
II.Indikator dan Sumber Referensi
Pengelolaan keuangan daerah merupakan bagian dari kegiatan pemerintahan yang segala sesuatunya mengacu pada aturan-aturan yang telah ditetapkan.  Berkenaan dengan hal tersebut diatas, menurunkan indikator monitoring keuangan daerah juga harus berdasarkan pada sumber-sumber resmi yang dapat dijadikan rujukan aparat pemerintah di lapangan.
Berikut ini tabel perumusan indikator dan sumber referensi:
Kegiatan Monitoring Dasar Hukum Pasal - Pasal
I. Prosedur Tata Kelola Keuangan Daerah

1. Penyusunan RPJP Daerah UU NO.25/2004
UU NO.32/2004
Pasal 5,9,10,11, 12,13,15,27, 34,
Pasal 150
2. Penyusunan RPJM Daerah UU NO.25/2004
UU NO.32/2004
Pasal 5,7,9,14,15,16,17,18,19
Pasal 150,151
3. Penyusunan RKPD UU NO.25/2004
UU NO.32/2004
Pasal 20,21,22,23,24,25,26,27
Pasal 150, 151
4. Penyusunan APBD UU NO.25/2004
UU NO.17/2003
Pasal 179,180,181,182
Pasal 16,17,18,19,20
5. Implementasi APBD
  1. Pengelolaan Kas APBD
  2. Pengadaan Barang/Jasa
UU NO.17/2003
UU NO.1/2004
KEPMENDAGRI No.29/2002
KEPPRES NO. 80/2003
Pasal 28, 29
Semua Pasal
Semua Pasal
Semua Pasal
6. Pertanggungjawaban APBD UU NO.1/2004
UU NO.17/2003
UU NO.24/2005
UU NO.32/2004
Pasal 51,52,52,54,56,57
Pasal 31, 32,33
Pasal 1,2,3,4,5,6,7,8
Pasal 184
II. Transparansi Tata Kelola Keuangan Daerah

1. Akuntabilitas dan Ketersediaan Dokumen UU NO.32/2004
UU NO.1/200
Pasal 20,43,181,182,183,190
Pasal 27, 67, 76, 151
2. Ketersediaan Aparat Memberikan Informasi yang Dibutuhkan Masyarakat UU NO.32/2004 Pasal 27,67, 76, 151
III. Partisipasi Masyarakat dalam Tata Kelola Daerah

1. Musrenbang UU NO.25/2004 SE BERSAMA KABAPPENAS
MENDAGRI 0259/M.PPN/I/2005
Pasal 1,10,11, 12,16,17,18,22,23,24,27
2. Penjaringan Aspirasi Masyarakat UU N0.32/2004 Pasal 45, 209
3. Dengar Pendapat (hearing) DPRD dengan masyarakat UU NO.32/2004 Pasal 4
III. Instrumen Monitoring

Instrumen yang digunakan dalam monitoring menggunakan formulir yang berisi pokok-pokok masalah untuk dilakukan pengecekan di lapangan. Formulir monitoring ini meliputi formulir untuk monitoring proses perencanaan, pelaksanaan dan pertanggung jawaban. Selain untuk memantau proses, disediakan pula formulir untuk memantau aspek transparansi dan partisipasi.
Perlu dipahami bahwa kondisi daerah dan permasalahan yang dihadapi sangat bervariasi. Oleh karena itu, tidak mungkin disusun instrumen yang rinci untuk masing-masing daerah. Instrumen pada panduan ini sifatnya umum yang berlaku di setiap daerah.
IV.Data Monitoring

Untuk keperluan mengisi cek list monitoring diperlukan sejumlah data-data tertentu.   Data-data tersebut meliputi:
  1. Prosedur kegiatan
    Prosedur adalah segala jenis kegiatan pengelolaan keuangan daerah yang harus dijalankan dalam rentang waktu yang telah ditetapkan dan dilaksanakan oleh  pihak-pihak tertentu..
  2. Dokumen
    Dukumen adalah rumusan dari suatu kegiatan dalam proses pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.
V.Sumber Data

Untuk memperoleh data-data monitoring dibutuhkan sumber data yang tepat.  Adapun yang dimaksud dengan sumber data adalah:
  • Pelaksanaan kegiatan
    Sumber data monitoring keuangan daerah yang paling utama adalah pelaksanaan setiap proses kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban.   Didalam kegiatan tersebut akan terlihat jelas kapan kegiatan itu dilaksanakan, siapa saja yang terlibat, masalah yang sedang dibahas, dokumen apa yang dipersiapkan dan dokumen apa yang akan dihasilkan.
  • Literatur
    Bila pelaksanaan langsung tidak dapat diikuti oleh pelaksana monitoring, maka sumber data lain adalah literatur.  Maksud literlatur adalah segala dokumen atau data yang dapat memberi informasi tentang perisitwa kegiatan, pihak-pihak yang terlibat, rumusan (dokumen) yang dihasilkan dari kegiatan, waktu pelaksanaan dll.
  • Narasumber
    Selain literatur, sumber data lain adalah  pihak-pihak yang terlibat dalam proses, atau pihak yang kredibel memberikan informasi seputar pengelolaan keuangan daerah.  Pihak-pihak yang dimaksud misalnya, aparatur pemda, anggota legislatif dan unsur masyarakat yang terlibat dalam proses pengelolaan keuangan daerah.
VI. Teknik Verifikasi lapangan
Formulir monitoring hanya berisi form-form pemantauan.  Pelaksana monitoring melakukan pengecekan dilapangan melalui sumber-sumber data dengan cara-cara sebagai berikut:

  • Observasi
    Kegiatan observasi adalah upaya monitoring dengan mengikuti proses  secara langsung pada tiap proses pengelolaan keuangan daerah mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pertanggung jawaban.  Apa yang perlu diamati dan dicatat dalam observasi adalah merekam proses dan mengamati apakah prosedur yang dilaksanakan, dokumen-dokumen yang tersedia, pihak-pihak yang terlibat dan waktu pelaksanaannya telah sesuai dengan aturan main yang telah ditetapkan.

  • Literatur
    Verifikasi lapangan menggunakan literatur adalah upaya melakukan pengamatan proses melalui sumber-sumber literatur yang mendukung.  Litelatur yang dimaksud dapat berupa dokumen hasil dari sebuah kegiatan atau dokumen proses itu sendiri, sumber media atau data-data pendukung lainya.

  • Wawancara
    Tehnik wawancara adalah upaya melacak proses dan kegiatan pengelolaan keuangan daerah melalui wawancara narusumber. Narasumber yang dimaksud adalah pihak-pihak yang terlibat dalam proses dan utamanya yang kridebel untuk memberikan informasi.
Pelaksanaan Monitoring
Penyusunan Rancangan

Sebelum melaksanakan monitoring, rancangan atau disain pelaksanaan monitoring perlu lebih dahulu dikembangkan. Hal ini mengingat banyak aspek yang akan terjadi dilapangan.  Rancangan ini diperlukan sebagai pedoman dalam melaksanakan monitoring dilapangan.
Secara umum, beberapa komponen utama yang perlu ada dalam rancangan Monitoring antara lain:  (1) penentuan fokus monitoring  (2) rancangan pengumpulan data (3)  penyusunan rencana kerja.
  • Penentuan Fokus dan Tujuan
    Monitoring memfokuskan pada perolehan informasi mengenai pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan pencermatan pada bagian manakah monitoring dilakukan. Pada saat perencanaankah, pelaksanaankah atau pada saat pertanggungjawaban?  Bila pada saat perencanaan, pada bagian manakah perencanaan itu dilakukan dan seterusnya.
  • Rancangan Pengumpulan Data
    Sesuai dengan  fokus monitoring yang yang telah direncankan perlu ditentukan rencana pengumpulan data. Dalam hal ini, ata apa saja yang akan dijaring, kegiatan apa yang mesti dipantau, dokumen apa yang harus dicari,  pihak-pihak manakah yang tepat menjadi narasumber. Selain itu yang perlu direncanakan dan dipersiapkan adalah alat-alat apa yang dibutuhkan untuk mendukung memperoleh data-data dilapangan.
  • Penyusunan Rencana Kerja
    Rencana kerja pelaksanaan monitoring  perlu disusun, mencakup berbagai kegiatan dalam monitoring.  Berikut ini merupakan salah satu contoh format rencana kerja penyelenggaraan monitoring:
Tabel 1. Rencana Kerja Pelaksanaan monitoring
No
Waktu Kegiatan
Hasil Yang Diharapkan
Pelaksanaan Tempat
Responden / Sumber data
Alat / Instrumen
1.






2.






3.






dll.






Pelaksanaan
Kegiatan pelaksanaan monitoring keuangan daerah pada dasarnya memantau siklus anggaran pemerintah daerah yang dimulai pada saat perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban.   Kegiatan dilakukan dengan cara mengisi form cek list  pada seluruh proses tersebut diatas dengan berbagai metode yang telah direncanakan sebelumnya.
Pengisian Cek list.(form cek list lihat lampiran)
  • Bila pelaksana monitoring mengikuti kegiatan secara langsung, sebelum mengisi cek list dilakukan pengamatan dengan penuh seksama seperti mencermati jenis kegiatan yang sedang berjalan, masalah yang dibahas, pihak-pihak yang terlibat, waktu pelaksanaan dll.  Selanjutnya  dari pengamatan itu dijadikan dasar untuk mengisi form cek list.
  • Bila pelaksana monitoring tidak dapat mengikuti proses secara langsung, upaya yang dapat dilakukan untuk mengisi cek list adalah dengan melakukan wawancara dengan narasumber yang relevan.  Narasumber tersebut adalah pihak-pihak yang terlibat dalam proses seperti pihak eksekutif, legislatif atau unsur masyarakat yang terlibat dalam proses.
  • Pelaksana monitoring dalam mengisi cek list dapat juga berdasar dokumen proses, seperti nolutulensi proses, dokumen produk kegiatan dll.
Analisa data

Analisis data pada monitoring keuangan daerah pada dasarnya untuk menjawab pertanyaan pokok, antara lain:
  1. Apakah prosedur pengelolaan anggara telah sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan?  Jika telah sesuai dengan aturan, sejauh mana? Dan Jika tidak mengapa aturan itu tidak dipatuhi? Rakomendasi apa yang mesti disusun?
  2. Apakah tiap prosedur pengelolaan anggaran yang dilaksanakan sudah cukup transparan? Jika  sudah transparan sejauh mana? Dan jika tidak mengapa? Rekomendasi apa yang perlu dibuat?
  3. Apakah  tiap prosedur pengelolaan anggaran sudah cukup melibatkan masyarakat? Jika melibatkan masyarakat sudah sejauh mana? Dan jika tidak, mengapa? Rekomendasi apa yang perlu dibuat?
Pemanfaatan Hasil
Sesuai dengan tujuan monitoring, yakni terciptanya tata pemerintahan yang bersih dan terselenggaranya pengelolaan keuangan daerah yang governance, maka hasil monitoring dapat dimanfaatkan untuk:
  1. Informasi kepada stakeholeder (anggota legislatif, pejabat pemda, tokoh masyarakat, jurnalis dll)  berkenaan dengan progres pengelolaan keuangan daerah.
  2. Menjadi bahan tambahan untuk advokasi kalangan aktivis bila dirasa hasil monitoringnya sangat buruk dan menyimpang
Kebijakan otonomi daerah telah melahirkan sejumlah perubahan-perubahan yang cukup penting, terutama di daerah. Di bidang politik, otonomi daerah berdampak positif bagi perkembangan demokrasi lokal. Indikatornya antara lain misalnya, berfungsinya DPRD sebagai lembaga legeslatif daerah. Pada era diberlakukannya UU No.5/1974, DPRD hanyalah kelengkapan eksekutif daerah.
Pada era otonomi daerah ini, DPRD benar-benar sebagai lembaga legeslatif dan mitra sejajar eksekutif daerah. Indikator lain masyarakat bisa turut berpartisipasi dalam setiap kebijakan pemerintah daerah. Hal tersebut bisa terjadi karena pendeknya rantai birokrasi yang menjadikan rakyat bisa dengan cepat mengikuti setiap kebijakan baru yang dibuat pemerintah daerah.
Di sisi lain kebijakan otonomi daerah juga memendam banyak persoalan. Di antara persoalan tersebut adalah lemahnya SDM daerah yang sangat berpengaruh terhadap produk kebijakan daerah. Hal ini terlihat misalnya dari banyaknya produk Perda yang bermasalah.Disinyalir misalnya, dalam rentang waktu setahun setelah otonomi daerah saja, dari 1053 Perda yang diinventarisasi Departemen Dalam Negeri, 105 Perda diantaranya bermasalah.
Pada konteks inilah, dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, penyusunan Perda, perlu mengikutsertakan masyarakat dengan tujuan agar dapat mengakomodir kepentingan masyarakat. Peran serta masyarakat tersebut akan mempermudah sosialisasi dan penerapan substansi apabila Perda ditetapkan dan diundangkan
I. Mengapa Partisipasi diperlukan

Kebijakan Otonomi Daerah telah melahirkan angin segar untuk pelibatan masyarakat, karena kebijakan ini diambil dengan tujuan meningkatkan pelibatan masyarakat. Pemerintahan lokal secara fisik memang lebih dekat dengan masyarakat sehingga masyarakat lebih mudah mengetahui kebijakan yang diambil pemerintah. Dan kebijakan yang diambil umumnya langsung berkaitan dengan keseharian masyarakat. Dampaknya jika ada kebijakan yang kurang sesuai masyarakat dapat segera mengkritisi kebijakan tersebut dan penyelenggara pemerintahan yang hidup ‘bersama’  masyarakatnya mau-tidak mau harus merespon aspirasi masyarakatnya.  Penyelengaraan pemerintahan lokal yang lebih dinamis ini telah menimbulkan suatu kebutuhan bersama untuk mengatur  pelibatan masyarakat.
II. Hak Masyarakat, Kewajiban Pemerintah dan Mekanisme Partisipasi

Hak Masyarakat

Sebagaimana tertuang dalam PP nomer 68 tahun 1999 berkenaan dengan  peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara, maka masyarakat mendapatkan hak-haknya sebagai berikut;
  1. Hak mencari dan memperoleh informasi mengenai penyelenggaraan negara
  2. Hak menyampaikan saran dan pendapat
  3. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara
  4. Hak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan hak-haknya diatas
Kewajiban Pemerintah
Sebagai konsekwensi adanya pengakuan terhadap hak masyarakat maka penyelenggara pemerintahan  mempunyai kewajiban untuk  mendengar pendapat masyarakat (yang berkepentingan) dalam proses perumusan dan penetapan  kebijakan yang menyangkut kepentingan masyarakat.  Dengan demikian penyelenggara pemerintahan sebagai penerima mandat masyarakat  berkepentingan untuk menjamin terlaksananya hak-hak masyarakat.  Dan terjaminnya hak-hak masyarakat  menjadi salah satu indikator  keberhasilan penyelenggaraan pamerintahan.
Mekanisme Partisipasi

Mekanisme yang memungkinkan  pelibatan aktif masyarakat minimal harus menjamin terlaksananya hak masyarakat  sehingga dalam mekanisme pelibatan masyarakat ini  minimal harus mengatur:
1. Penyampaian informasi tentang kebijakan yang akan diambil termasuk jadwal dan prosedur  pelibatan masyarakat
2. Tanggapan terhadap aspirasi masyarakat
3. Hasil akomodasi masyarakat dan
4. Keberatan
III. Tingkatan Dan Bentuk Partisipasi Masyarakat
Derajat
Partisipasi Masyarakat
Contoh
Tinggi Memiliki Kontrol Lembaga Pemerintah, legislatif, LSM, mendorong masyarakat, untuk mengindentifikasikan masalah, tujuan,  maksud dan kesimpulan-kesimpulan kunci. Lembaga memiliki kemauan membantu masyarakat dalam setiap langkah-langkahdalam menyelesaikan tujuan-tujuan tersebut.

Memiliki Kekuasaan yang terlegasi Lembaga – pemerintah, legislatif, LSM  –  mengidentifikasikan masalah dan menyampaikannya kepada masyarakat, mendefinisikan keterbatatasan serta membuat keputusan-keputusan yang dapat digabungkan dalam suatu rencana yang diterima

Keterlibatan dalam perencanaan Lembaga - pemerintah, legislatif, LSM – menyampaikan perencanaan tentative dan terbuka untuk menerima perubahan dari subjek yang dipengaruhi. Mengharapkan perubahan rencana paling sedikit dan mungkin lebih dari itu.

Saran Lembaga - pemerintah, legislatif, LSM – menyampaikan rencana dan mengundang tanggapan masyarakat. Rencana hanya dipersiapkan untuk dimodifikasi, jika memang diperlukan

Dikonsultasi Lembaga  - pemerintah, legislatif, LSM – mencoba menawarkan rencana. Mencari dukungan agar, memperoleh penerimaan atau memberi sanksi, sehingga pengadaan administrasi tercapai seperti yang diharapkan.

Menerima informasi sosialisasi Lembaga – pemerintah, legislatif, LSM – membuat perencanaan dan mengumumkannya. Masyarakat dikerahkan untuk tujuan mendengarkan informasi. Masyarakat berkumpul menjadi suatu yang diharapkan.
Rendah Tidak ada sama sekali Masyarakat tidak mengetahui sama sekali.
Sumber: Community participation for health for all. London, Community participation group of the United Kingdom for all network, 1991 dalam Suhardi Suryadi dan Julmansyah 2001
IV.  Alur Partisipasi Dalam Proses Penyusunan Peraturan Daerah
Dalam penyusunan peraturan daerah, partisipasi dikatakan optimal bila  masyarakat terlibat  secara aktif dari awal proses penyusunan hingga  peraturan daerah itu disahkan menjadi produk hukum.  Hal ini dapat dilakukan bila masyarakat dan lembaga legislatif saling berjalan sinergis untuk mewujudkan produk hukum yang terbaik untuk daerah.
Dalam fungsinya sebagai Lembaga legilslasi, DPRD perlu menyerap aspirasi sebanyak-banyaknya dari masyarakat (selain menyerap masukan dari inisiatif anggota DPRD atau masukan dari Pemda) untuk bahan penyusunan kebijakan daerah.   Semua aspirasi yang masuk dicatat dan didokumentasikan dengan baik.  Selanjutnya DPRD melakukan proses seleksi dengan memperhitungkan berbagai aspek seperti sumberdaya, sumber dana, tingkat keperluan dan berbagai keterbatasan-keterbatasan lainya.   Tujuan dari proses seleksi ini adalah untuk menyusun prioritas usulan-usulan yang akan dibahas lebih lanjut di DPRD.
Untuk mendapatkan partisipasi yang optimal, sebelum dibahas lebih lanjut di DPRD, usulan yang sudah diprioritaskan tersebut perlu disosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat luas.  Paling tidak masyarakat mengetahui dari sekian aspirasi yang masuk di DPRD ada priotitas yang akan dibahas lebih lanjut.  Langkah ini dilakukan selain untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, juga merupakan  bentuk Transparansi lembaga Legislasi kepada publik.  Dari sini masyarakat akan mengetahui aspirasi mana yang menjadi prioritas DPRD dan mengapa aspirasi tersebut yang dipilih.
Setelah disosialisasikan, DPRD perlu menyerap aspirasi dari masyarakat.   Aspirasi  dari masyarakat cukup penting karena akan menjadi bahan pertimbangan dalam pembahasan.  Upaya untuk menyerap aspirasi tersebut dapat dilakukan melalui dua cara, yakni cara pasif dan aktif.  Cara pasif DPRD menunggu reaksi masyarakat setelah usulan-usulan prioritas disosialisasikan.  Sedangkan cara aktif,  DPRD mengundang atau mengajak bekerjasama dengan elemen masyarakat yang berkepentingan untuk melakukan pembahasan.
Setelah mendapatkan masukan dari masyarakat, usulan prioritas di bahas di DPRD melalui Rapat Paripurna (I dan II).   Dari rapat ini, usulan-usulan prioritas tersebut akan ditetapkan untuk dibahas lebih mendalam dalam rapat-rapat komisi.  Jumlah usulan yang ditetapkan tergantung dari hasil pembahsan dalam rapat paripurna.
Selama sidang komisi, DPRD kembali membuka ruang publik untuk mendapatakan masukan-masukan dari masyarakat.  Bila perlu Draft Raperda yang telah dibahas di sidang komisi disosialisasikan dan dibahas bersama masyarakat untuk mendapatkan masukan-masukan.  Cara yang ditempuh sebagaimana telah disebutkan diatas, yakni melalui dua cara.  Cara pasif menunggu reaksi masyarakat setelah draft disebarluaskan.  Sedangkan Cara aktif mengajak berbagai elemen yang berkepentingan dimasyarakat untuk melakukan pembahasan bersama.
Selanjutnya setelah melakukan pembahasan disidang komisi, masyarakat perlu mengetahui proses pengesahan Raperda dalam sidang paripurna DPRD.  Keterlibatan masyarakat terlibat dalam proses pengesahan merupakan ujung dari proses partisipasi masyrakat dalam penyusunan Peraturan Daerah.
Alur proses Partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan daerah bisa dilihat dalam gambar berikut:
{mosimage}
I. Pendahuluan
Meningkatnya kebutuhan akan berbagai peraturan perundang-undangan tidak dapat dihindari, tidak saja untuk menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat saat ini (termasuk akibat diberikannya otonomi kepada daerah), tetapi merupakan perangkat yang dibutuhkan dalam era globalisasi.
Peningkatan kuantitas peraturan perundang-undangan tersebut seyogyanya diimbangi dengan peningkatan kualitas. Peraturan perundang-undangan hendaknya disusun secara hati-hati dan seksama dengan mengikuti syarat-syarat teknis dan juridis tanpa mengabaikan kaidah-kaidah filosofis dan sosiologis. Suatu kajian hukum/perundang-undangan perlu dilakukan dengan penelitian-penelitian kepustakaan dan empiris, guna memperoleh suatu peraturan dengan kualitas yang baik dan dapat berlaku efektif dalam masyarakat.
Penelitian terhadap peraturan perundang-undangan tidak saja dilakukan dalam rangka pembuatan rancangan peraturan, tetapi juga perlu dilakukan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, apakah peraturan tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, rasa keadilan, hak-hak asasi manusia, dan lain-lain.
II. Keperluan Penelitian

Sebuah penelitian perlu dilakukan karena :
  1. Hasil penelitian yang baik akan menjamin proses pengambilan keputusan darimana Rancangan Peraturan Daerah tersebut berawal
  2. Garis besar yang disarankan dalam penelitian dapat dijadikan sebagai peta untuk menuntun pembuat rancangan dalam mengumpulkan dan menyusun bukti-bukti yang ada.
  3. Garis besar yang sama memastikan bahwa para pembuat rancangan menyusun fakta-fakta tersebut secara logis.
  4. Laporan hasil penelitian merupakan perangkat kenadali mutu dari RUU
Sedangkan fungsi penelitian akan bermanfaat untuk:
  1. Memaparkan fakta-fakta apa adanya
  2. Memperlihatkan penjelasan atau bukti yang diperlukan untuk meyakinkan bahwa tujuan-tujuan yang dicapai akan berhasil.
III.  Metodologi Penelitian

Belum ada standar baku dalam membuat metodologi penelitian untuk penyusunan rancangan peraturan perundangan.  Berbagai alternatif metodologi terbuka kemungkinan digunakan asalkan hasilnya dapat membantu mencapai tujuan penelitian itu sendiri, yakni menjawab persoalan dalam rangka penyusunan rancangan peraturan daerah.
Salah satu metodologi penilitian yang dapat digunakan untuk keperluan penyusunan peraturan daerah adalah metodologi pemecahan masalah. Suatu laporan hasil penelitian dari seorang pembuat rancangan perlu menyertakan metodologi pemecahan masalah untuk menunjukkan bahwa rancangan undang-undang yang diusulkan bertumpu kepada dasar pemikiran yang berdasarkan pengalaman.  Ada empat langkah pemecahan masalah:
  1. Mengenali kesulitannya
    Umumnya sebuah produk peraturan perundangan seperti peraturan daerah dibuat karena ada kesulitan-kesulitan yang ingin dipecahkan.  Pembuat rancangan peraturan daerah dalam hal ini perlu mengenali lebih jauh letak kesulitan-kesulitan tersebut secara cermat.    Pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan dalam hal ini adalah kesulitan-kesulitan apakah yang terjadi? Apakah fakta-fakta dilapangan menunjukkan bahwa kesulitan-keulitan itu benar-benar terjadi?  Pada langkah awal pembuat rancangan peraturan daerah ini perlu membuat deskripsi dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi dengan disertai fakta-fakta yang ditemukan dilapangan.
  2. Mengusulkan dan menjamin penjelasannya
    Setelah deskripsi kesulitan di dipaparkan dengan disertai fakta-fakta dilapangan, maka langkah selanjutnya adalah meneliti lebih lanjut mengapa kesulitan-kesulitan dapat terjadi.  Penyebab-penyebab apa sajakah yang melatarbelakangi kesulitan tersebut.  Penelitian dalam hal ini diharapkan dapat membantu mencari akar masalah dari kesulitan-kesulitan yang ditemukan dilapangan secara cermat.
  3. Pengusulan Solusi
    Setelah penyebab dari kesulitas dapat diketahui dengan jelas, maka langkah selanjutnya adalah memberikan solusi.  Upaya memberikan solusi ini diharapkan mampu menjawab akar masalah dari kesulitan-kesulitan yang sejak semula diajukan.  Solusi ini dibuat sudah dengan sendirinya sudah memperhatikan dampak-dampak yang terjadi dimasyarakat bila solusi diterapkan dilapangan.  Dari pemberian solusi inilah selanjutnya dirinci menjadi rancangan peraturan daerah.
  4. Memantau dan Menilai pelaksanaan
    Pada akhirnya laporan hasil penelitian harus membuktikan bahwa rancangan undang-undang menyertakan mekanisme pemantauan dan penilaian yang cukup.  Para pembuat undang-undang memerlukan masukan untuk menentukan apakah perilaku sosial berperilaku sebagaimana yang ditentukan dan akan menghasilkan akibat sebagaimana yang diharapkan.
IV. Langkah-Langkah Penelitian

Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam proses Penelitian Raperda
1. Membentuk Tim Peneliti

Dengan keterbatasan-keterbatasan anggota DPRD untuk membantu melakukan kerja-kerja penelitian dalam penyusunan peraturan daerah, DPRD perlu membentuk tim peneliti. Tim ini idealnya mereka yang mengetahui tentang persoalan penelitian dan juga menyangkut persoalan-persoalan hukum/peraturan. Dalam hal ini mereka yang duduk dalam tim bisa dari kalangan anggota legeslatif sendiri yang dianggap mampu untuk itu atau pihak luar yang ditunjuk karena kemampuannya (pakar/akademisi) atau gabungan antara kalangan legeslatif dan pihak luar.
2. Melengkapi penelitian awal

Kerja tim peneliti adalah melakukan pengkajian dan penelitian terhadap permasalahan atau topik yang akan menjadi Perda. Pada proses kegiatan penelitian awal ini, paling tidak menyangkut:
  1. Studi literatur/pustaka
  2. Penelitian yang lengkap tentang undang-undang yang ada
  3. Menyerap dan mengkaji masukan dari berbagai pihak seperti pengacara, kaum akademisi, anggota parlemen, LSM, Pers dan berbagai kelompok yang memiliki kepentingan langsung dengan masalah yang akan menjadi Perda.
  4. Penelitian tentang perda terkait yang ada di daerah lain.
3. Menyusun Naskah Akademik (Kertas Kerja I)
Setelah melakukan penelitian awal, tim peneliti perlu merumuskan hasil penelitiannya ke dalam bentuk naskah akademik. Tujuan menyusun naskah akademis ini adalah sebagai acuan untuk merumuskan pokok-pokok pikiran yang akan menjadi bahan dan dasar bagi penyusunan rancangan peraturan daerah.
Muatan naskah akademis ini paling tidak bisa menjawab persoalan sebagaimana yang dijelaskan dalam metodologi penyelesaian masalah, yakni memperjelas peta masalah, mencari sebab-sebab dari timbulnya masalah yang dihadapi dan solusi-solusi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah.
Naskah akademik ini selanjutnya menjadi Kertas Kerja I tim peneliti untuk dikonsultasikan ke pihak yang lebih luas.
4. Melaksanakan pembahasan dengan elemen terbatas

Untuk menyempurnakan hasil penelitian awal, naskah akademik yang telah disusun dikonsultasikan kepada sejumlah elemen terbatas (di luar tim peneliti). Pihak-pihak tersebut bisa dari kalangan akademisi, LSM, praktisi hukum, tokoh masyarakat atau pihak-pihak yang bersentuhan langsung dengan masalah.
5. Penyempurnaan Naskah Akademik (Kertas Kerja Ii)

Setelah kertas kerja I dikonsultasikan elemen terbatas (di luar tim), maka hasil yang didapat adalah masukan-masukan. Berbagai masukan tersebut selanjutnya diolah sedemikian rupa sehingga akan menyempurnakan naskah akademik yang telah dibuat. Hasil penyempurnaan ini merupakan kertas kerja II tim peneliti untuk dikonsultasikan kepada pihak yang luas (publik). Kertas kerja II idealnya harus lebih sempurna dan lebih kuat posisinya dibandingkan dengan kertas kerja I.
6. Melaksanakan pembahasan dengan publik

Penyempurnaan akhir kertas kerja tim peneliti adalah melakukan konsultasi dengan publik melalui kegiatan seminar/diskusi umum
7. Menyusun draft Raperda

Setelah hasil penelitian mendapatkan penyempurnaan-penyempurnaan maka langkah selanjutnya adalah merumuskannya ke dalam Draft Raperda. Draf ini kemudian diserahkan oleh tim peneliti kepada pemberi mandat.
Undang-Undang
  • UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
  • UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
  • UU No.34/2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
  • UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara
  • UU No.22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
  • UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara
  • UU No.10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
  • UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
  • UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Menggantikan UU N0.22/1999
Peraturan Pemerintah
  • PP No.16/2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
  • PP No.25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom
  • PP No.84/2000 tentang Pedoman Organisai Perangkat Daerah
  • PP No.104/2000 tentang Dana Perimbangan
  • PP No.105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
  • PP No.106/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
  • PP No.107/2000 tentang Pinjaman Daerah
  • PP No.108/2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban Kepala Daerah
  • PP No.109/2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
  • PP No.110/2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD
  • PP No.129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah
  • PP No.2/2001 tentang Pengamanan dan Pengalihan Barang Milik/Kekayaan Negara dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah
  • PP No.11/2001 tentang Informasi Keuangan Daerah
  • PP No.20/2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
  • PP No.39/2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi
  • PP No.52/2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan
  • PP No.56/2001 tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
  • PP No.65/2001 tentang Pajak Daerah
  • PP No.66/2001 tentangRetribusi Daerah
  • PP No.76/2001 tentang Pedoman Umum Mengenai Desa
  • PP No.84/2001 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No.104/2000 tentang Dana Perimbangan
  • PP No.3/2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  • PP No.65 /2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal
  • PP No.72/2005 tentang Desa
  • PP No.7/2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
  • PP No.78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penggabungan dan Penghapusan Daerah
Keputusan Presiden
  • Keppres No.49/2000 tentang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
  • Keppres No.52/2000 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Tindak Lanjut Pelaksanaan UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
  • Keppres No.157/2000 tentang Pembentukan Tim Kerja Pusat Implementasi UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
  • Keppres No.159/2000 tentang Pedoman Pembentukan Badan Kepegawaian Daerah
  • Keppres No. 181/2000 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota 2001
  • Keppres No.5/2001 tentang Pelaksanaan Pengakuan Kewenangan Kabupaten/Kota
  • Keppres No.74/2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
  • Keppres No.131/2001 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota 2002
Keputusan Menteri Dalam Negeri
  • Kepmendagri No.188.2-198 tentang Pembentukan Tim Kerja Pusat Percepatan Implementasi tentang UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999
  • Kepmendagri No.16 tahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan Asosiasi Pemerintah Daerah dan Penetapan Wakil Asosiasi Perintah Daerah sebagai Anggota DPOD
  • Kepmendagri No.50 tahun 2000 tentang Pedoman Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah
  • Kepmendagri No.11 tahun 2001 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah dan Manual Adiministrasi Barang Daerah

Penyusunan Perda Partisipatif

Kebijakan otonomi daerah telah melahirkan sejumlah perubahan-perubahan yang cukup penting, terutama di daerah. Di bidang politik, otonomi daerah berdampak positif bagi perkembangan demokrasi lokal. Indikatornya antara lain misalnya, berfungsinya DPRD sebagai lembaga legeslatif daerah. Pada era diberlakukannya UU No.5/1974, DPRD hanyalah kelengkapan eksekutif daerah.
Pada era otonomi daerah ini, DPRD benar-benar sebagai lembaga legeslatif dan mitra sejajar eksekutif daerah. Indikator lain masyarakat bisa turut berpartisipasi dalam setiap kebijakan pemerintah daerah. Hal tersebut bisa terjadi karena pendeknya rantai birokrasi yang menjadikan rakyat bisa dengan cepat mengikuti setiap kebijakan baru yang dibuat pemerintah daerah.
Di sisi lain kebijakan otonomi daerah juga memendam banyak persoalan. Di antara persoalan tersebut adalah lemahnya SDM daerah yang sangat berpengaruh terhadap produk kebijakan daerah. Hal ini terlihat misalnya dari banyaknya produk Perda yang bermasalah.Disinyalir misalnya, dalam rentang waktu setahun setelah otonomi daerah saja, dari 1053 Perda yang diinventarisasi Departemen Dalam Negeri, 105 Perda diantaranya bermasalah.
Pada konteks inilah, dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, penyusunan Perda, perlu mengikutsertakan masyarakat dengan tujuan agar dapat mengakomodir kepentingan masyarakat. Peran serta masyarakat tersebut akan mempermudah sosialisasi dan penerapan substansi apabila Perda ditetapkan dan diundangkan
I. Mengapa Partisipasi diperlukan

Kebijakan Otonomi Daerah telah melahirkan angin segar untuk pelibatan masyarakat, karena kebijakan ini diambil dengan tujuan meningkatkan pelibatan masyarakat. Pemerintahan lokal secara fisik memang lebih dekat dengan masyarakat sehingga masyarakat lebih mudah mengetahui kebijakan yang diambil pemerintah. Dan kebijakan yang diambil umumnya langsung berkaitan dengan keseharian masyarakat. Dampaknya jika ada kebijakan yang kurang sesuai masyarakat dapat segera mengkritisi kebijakan tersebut dan penyelenggara pemerintahan yang hidup ‘bersama’  masyarakatnya mau-tidak mau harus merespon aspirasi masyarakatnya.  Penyelengaraan pemerintahan lokal yang lebih dinamis ini telah menimbulkan suatu kebutuhan bersama untuk mengatur  pelibatan masyarakat.
II. Hak Masyarakat, Kewajiban Pemerintah dan Mekanisme Partisipasi

Hak Masyarakat

Sebagaimana tertuang dalam PP nomer 68 tahun 1999 berkenaan dengan  peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara, maka masyarakat mendapatkan hak-haknya sebagai berikut;
  1. Hak mencari dan memperoleh informasi mengenai penyelenggaraan negara
  2. Hak menyampaikan saran dan pendapat
  3. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara
  4. Hak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan hak-haknya diatas
Kewajiban Pemerintah
Sebagai konsekwensi adanya pengakuan terhadap hak masyarakat maka penyelenggara pemerintahan  mempunyai kewajiban untuk  mendengar pendapat masyarakat (yang berkepentingan) dalam proses perumusan dan penetapan  kebijakan yang menyangkut kepentingan masyarakat.  Dengan demikian penyelenggara pemerintahan sebagai penerima mandat masyarakat  berkepentingan untuk menjamin terlaksananya hak-hak masyarakat.  Dan terjaminnya hak-hak masyarakat  menjadi salah satu indikator  keberhasilan penyelenggaraan pamerintahan.
Mekanisme Partisipasi

Mekanisme yang memungkinkan  pelibatan aktif masyarakat minimal harus menjamin terlaksananya hak masyarakat  sehingga dalam mekanisme pelibatan masyarakat ini  minimal harus mengatur:
1. Penyampaian informasi tentang kebijakan yang akan diambil termasuk jadwal dan prosedur  pelibatan masyarakat
2. Tanggapan terhadap aspirasi masyarakat
3. Hasil akomodasi masyarakat dan
4. Keberatan
III. Tingkatan Dan Bentuk Partisipasi Masyarakat
Derajat
Partisipasi Masyarakat
Contoh
Tinggi Memiliki Kontrol Lembaga Pemerintah, legislatif, LSM, mendorong masyarakat, untuk mengindentifikasikan masalah, tujuan,  maksud dan kesimpulan-kesimpulan kunci. Lembaga memiliki kemauan membantu masyarakat dalam setiap langkah-langkahdalam menyelesaikan tujuan-tujuan tersebut.

Memiliki Kekuasaan yang terlegasi Lembaga – pemerintah, legislatif, LSM  –  mengidentifikasikan masalah dan menyampaikannya kepada masyarakat, mendefinisikan keterbatatasan serta membuat keputusan-keputusan yang dapat digabungkan dalam suatu rencana yang diterima

Keterlibatan dalam perencanaan Lembaga - pemerintah, legislatif, LSM – menyampaikan perencanaan tentative dan terbuka untuk menerima perubahan dari subjek yang dipengaruhi. Mengharapkan perubahan rencana paling sedikit dan mungkin lebih dari itu.

Saran Lembaga - pemerintah, legislatif, LSM – menyampaikan rencana dan mengundang tanggapan masyarakat. Rencana hanya dipersiapkan untuk dimodifikasi, jika memang diperlukan

Dikonsultasi Lembaga  - pemerintah, legislatif, LSM – mencoba menawarkan rencana. Mencari dukungan agar, memperoleh penerimaan atau memberi sanksi, sehingga pengadaan administrasi tercapai seperti yang diharapkan.

Menerima informasi sosialisasi Lembaga – pemerintah, legislatif, LSM – membuat perencanaan dan mengumumkannya. Masyarakat dikerahkan untuk tujuan mendengarkan informasi. Masyarakat berkumpul menjadi suatu yang diharapkan.
Rendah Tidak ada sama sekali Masyarakat tidak mengetahui sama sekali.
Sumber: Community participation for health for all. London, Community participation group of the United Kingdom for all network, 1991 dalam Suhardi Suryadi dan Julmansyah 2001
IV.  Alur Partisipasi Dalam Proses Penyusunan Peraturan Daerah
Dalam penyusunan peraturan daerah, partisipasi dikatakan optimal bila  masyarakat terlibat  secara aktif dari awal proses penyusunan hingga  peraturan daerah itu disahkan menjadi produk hukum.  Hal ini dapat dilakukan bila masyarakat dan lembaga legislatif saling berjalan sinergis untuk mewujudkan produk hukum yang terbaik untuk daerah.
Dalam fungsinya sebagai Lembaga legilslasi, DPRD perlu menyerap aspirasi sebanyak-banyaknya dari masyarakat (selain menyerap masukan dari inisiatif anggota DPRD atau masukan dari Pemda) untuk bahan penyusunan kebijakan daerah.   Semua aspirasi yang masuk dicatat dan didokumentasikan dengan baik.  Selanjutnya DPRD melakukan proses seleksi dengan memperhitungkan berbagai aspek seperti sumberdaya, sumber dana, tingkat keperluan dan berbagai keterbatasan-keterbatasan lainya.   Tujuan dari proses seleksi ini adalah untuk menyusun prioritas usulan-usulan yang akan dibahas lebih lanjut di DPRD.
Untuk mendapatkan partisipasi yang optimal, sebelum dibahas lebih lanjut di DPRD, usulan yang sudah diprioritaskan tersebut perlu disosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat luas.  Paling tidak masyarakat mengetahui dari sekian aspirasi yang masuk di DPRD ada priotitas yang akan dibahas lebih lanjut.  Langkah ini dilakukan selain untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, juga merupakan  bentuk Transparansi lembaga Legislasi kepada publik.  Dari sini masyarakat akan mengetahui aspirasi mana yang menjadi prioritas DPRD dan mengapa aspirasi tersebut yang dipilih.
Setelah disosialisasikan, DPRD perlu menyerap aspirasi dari masyarakat.   Aspirasi  dari masyarakat cukup penting karena akan menjadi bahan pertimbangan dalam pembahasan.  Upaya untuk menyerap aspirasi tersebut dapat dilakukan melalui dua cara, yakni cara pasif dan aktif.  Cara pasif DPRD menunggu reaksi masyarakat setelah usulan-usulan prioritas disosialisasikan.  Sedangkan cara aktif,  DPRD mengundang atau mengajak bekerjasama dengan elemen masyarakat yang berkepentingan untuk melakukan pembahasan.
Setelah mendapatkan masukan dari masyarakat, usulan prioritas di bahas di DPRD melalui Rapat Paripurna (I dan II).   Dari rapat ini, usulan-usulan prioritas tersebut akan ditetapkan untuk dibahas lebih mendalam dalam rapat-rapat komisi.  Jumlah usulan yang ditetapkan tergantung dari hasil pembahsan dalam rapat paripurna.
Selama sidang komisi, DPRD kembali membuka ruang publik untuk mendapatakan masukan-masukan dari masyarakat.  Bila perlu Draft Raperda yang telah dibahas di sidang komisi disosialisasikan dan dibahas bersama masyarakat untuk mendapatkan masukan-masukan.  Cara yang ditempuh sebagaimana telah disebutkan diatas, yakni melalui dua cara.  Cara pasif menunggu reaksi masyarakat setelah draft disebarluaskan.  Sedangkan Cara aktif mengajak berbagai elemen yang berkepentingan dimasyarakat untuk melakukan pembahasan bersama.
Selanjutnya setelah melakukan pembahasan disidang komisi, masyarakat perlu mengetahui proses pengesahan Raperda dalam sidang paripurna DPRD.  Keterlibatan masyarakat terlibat dalam proses pengesahan merupakan ujung dari proses partisipasi masyrakat dalam penyusunan Peraturan Daerah.
Alur proses Partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan daerah bisa dilihat dalam gambar berikut:
{mosimage}
I. Pendahuluan
Meningkatnya kebutuhan akan berbagai peraturan perundang-undangan tidak dapat dihindari, tidak saja untuk menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat saat ini (termasuk akibat diberikannya otonomi kepada daerah), tetapi merupakan perangkat yang dibutuhkan dalam era globalisasi.
Peningkatan kuantitas peraturan perundang-undangan tersebut seyogyanya diimbangi dengan peningkatan kualitas. Peraturan perundang-undangan hendaknya disusun secara hati-hati dan seksama dengan mengikuti syarat-syarat teknis dan juridis tanpa mengabaikan kaidah-kaidah filosofis dan sosiologis. Suatu kajian hukum/perundang-undangan perlu dilakukan dengan penelitian-penelitian kepustakaan dan empiris, guna memperoleh suatu peraturan dengan kualitas yang baik dan dapat berlaku efektif dalam masyarakat.
Penelitian terhadap peraturan perundang-undangan tidak saja dilakukan dalam rangka pembuatan rancangan peraturan, tetapi juga perlu dilakukan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, apakah peraturan tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, rasa keadilan, hak-hak asasi manusia, dan lain-lain.
II. Keperluan Penelitian

Sebuah penelitian perlu dilakukan karena :
  1. Hasil penelitian yang baik akan menjamin proses pengambilan keputusan darimana Rancangan Peraturan Daerah tersebut berawal
  2. Garis besar yang disarankan dalam penelitian dapat dijadikan sebagai peta untuk menuntun pembuat rancangan dalam mengumpulkan dan menyusun bukti-bukti yang ada.
  3. Garis besar yang sama memastikan bahwa para pembuat rancangan menyusun fakta-fakta tersebut secara logis.
  4. Laporan hasil penelitian merupakan perangkat kenadali mutu dari RUU
Sedangkan fungsi penelitian akan bermanfaat untuk:
  1. Memaparkan fakta-fakta apa adanya
  2. Memperlihatkan penjelasan atau bukti yang diperlukan untuk meyakinkan bahwa tujuan-tujuan yang dicapai akan berhasil.
III.  Metodologi Penelitian

Belum ada standar baku dalam membuat metodologi penelitian untuk penyusunan rancangan peraturan perundangan.  Berbagai alternatif metodologi terbuka kemungkinan digunakan asalkan hasilnya dapat membantu mencapai tujuan penelitian itu sendiri, yakni menjawab persoalan dalam rangka penyusunan rancangan peraturan daerah.
Salah satu metodologi penilitian yang dapat digunakan untuk keperluan penyusunan peraturan daerah adalah metodologi pemecahan masalah. Suatu laporan hasil penelitian dari seorang pembuat rancangan perlu menyertakan metodologi pemecahan masalah untuk menunjukkan bahwa rancangan undang-undang yang diusulkan bertumpu kepada dasar pemikiran yang berdasarkan pengalaman.  Ada empat langkah pemecahan masalah:
  1. Mengenali kesulitannya
    Umumnya sebuah produk peraturan perundangan seperti peraturan daerah dibuat karena ada kesulitan-kesulitan yang ingin dipecahkan.  Pembuat rancangan peraturan daerah dalam hal ini perlu mengenali lebih jauh letak kesulitan-kesulitan tersebut secara cermat.    Pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan dalam hal ini adalah kesulitan-kesulitan apakah yang terjadi? Apakah fakta-fakta dilapangan menunjukkan bahwa kesulitan-keulitan itu benar-benar terjadi?  Pada langkah awal pembuat rancangan peraturan daerah ini perlu membuat deskripsi dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi dengan disertai fakta-fakta yang ditemukan dilapangan.
  2. Mengusulkan dan menjamin penjelasannya
    Setelah deskripsi kesulitan di dipaparkan dengan disertai fakta-fakta dilapangan, maka langkah selanjutnya adalah meneliti lebih lanjut mengapa kesulitan-kesulitan dapat terjadi.  Penyebab-penyebab apa sajakah yang melatarbelakangi kesulitan tersebut.  Penelitian dalam hal ini diharapkan dapat membantu mencari akar masalah dari kesulitan-kesulitan yang ditemukan dilapangan secara cermat.
  3. Pengusulan Solusi
    Setelah penyebab dari kesulitas dapat diketahui dengan jelas, maka langkah selanjutnya adalah memberikan solusi.  Upaya memberikan solusi ini diharapkan mampu menjawab akar masalah dari kesulitan-kesulitan yang sejak semula diajukan.  Solusi ini dibuat sudah dengan sendirinya sudah memperhatikan dampak-dampak yang terjadi dimasyarakat bila solusi diterapkan dilapangan.  Dari pemberian solusi inilah selanjutnya dirinci menjadi rancangan peraturan daerah.
  4. Memantau dan Menilai pelaksanaan
    Pada akhirnya laporan hasil penelitian harus membuktikan bahwa rancangan undang-undang menyertakan mekanisme pemantauan dan penilaian yang cukup.  Para pembuat undang-undang memerlukan masukan untuk menentukan apakah perilaku sosial berperilaku sebagaimana yang ditentukan dan akan menghasilkan akibat sebagaimana yang diharapkan.
IV. Langkah-Langkah Penelitian

Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam proses Penelitian Raperda
1. Membentuk Tim Peneliti

Dengan keterbatasan-keterbatasan anggota DPRD untuk membantu melakukan kerja-kerja penelitian dalam penyusunan peraturan daerah, DPRD perlu membentuk tim peneliti. Tim ini idealnya mereka yang mengetahui tentang persoalan penelitian dan juga menyangkut persoalan-persoalan hukum/peraturan. Dalam hal ini mereka yang duduk dalam tim bisa dari kalangan anggota legeslatif sendiri yang dianggap mampu untuk itu atau pihak luar yang ditunjuk karena kemampuannya (pakar/akademisi) atau gabungan antara kalangan legeslatif dan pihak luar.
2. Melengkapi penelitian awal

Kerja tim peneliti adalah melakukan pengkajian dan penelitian terhadap permasalahan atau topik yang akan menjadi Perda. Pada proses kegiatan penelitian awal ini, paling tidak menyangkut:
  1. Studi literatur/pustaka
  2. Penelitian yang lengkap tentang undang-undang yang ada
  3. Menyerap dan mengkaji masukan dari berbagai pihak seperti pengacara, kaum akademisi, anggota parlemen, LSM, Pers dan berbagai kelompok yang memiliki kepentingan langsung dengan masalah yang akan menjadi Perda.
  4. Penelitian tentang perda terkait yang ada di daerah lain.
3. Menyusun Naskah Akademik (Kertas Kerja I)
Setelah melakukan penelitian awal, tim peneliti perlu merumuskan hasil penelitiannya ke dalam bentuk naskah akademik. Tujuan menyusun naskah akademis ini adalah sebagai acuan untuk merumuskan pokok-pokok pikiran yang akan menjadi bahan dan dasar bagi penyusunan rancangan peraturan daerah.
Muatan naskah akademis ini paling tidak bisa menjawab persoalan sebagaimana yang dijelaskan dalam metodologi penyelesaian masalah, yakni memperjelas peta masalah, mencari sebab-sebab dari timbulnya masalah yang dihadapi dan solusi-solusi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah.
Naskah akademik ini selanjutnya menjadi Kertas Kerja I tim peneliti untuk dikonsultasikan ke pihak yang lebih luas.
4. Melaksanakan pembahasan dengan elemen terbatas

Untuk menyempurnakan hasil penelitian awal, naskah akademik yang telah disusun dikonsultasikan kepada sejumlah elemen terbatas (di luar tim peneliti). Pihak-pihak tersebut bisa dari kalangan akademisi, LSM, praktisi hukum, tokoh masyarakat atau pihak-pihak yang bersentuhan langsung dengan masalah.
5. Penyempurnaan Naskah Akademik (Kertas Kerja Ii)

Setelah kertas kerja I dikonsultasikan elemen terbatas (di luar tim), maka hasil yang didapat adalah masukan-masukan. Berbagai masukan tersebut selanjutnya diolah sedemikian rupa sehingga akan menyempurnakan naskah akademik yang telah dibuat. Hasil penyempurnaan ini merupakan kertas kerja II tim peneliti untuk dikonsultasikan kepada pihak yang luas (publik). Kertas kerja II idealnya harus lebih sempurna dan lebih kuat posisinya dibandingkan dengan kertas kerja I.
6. Melaksanakan pembahasan dengan publik

Penyempurnaan akhir kertas kerja tim peneliti adalah melakukan konsultasi dengan publik melalui kegiatan seminar/diskusi umum
7. Menyusun draft Raperda

Setelah hasil penelitian mendapatkan penyempurnaan-penyempurnaan maka langkah selanjutnya adalah merumuskannya ke dalam Draft Raperda. Draf ini kemudian diserahkan oleh tim peneliti kepada pemberi mandat.
Undang-Undang
  • UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
  • UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
  • UU No.34/2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
  • UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara
  • UU No.22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
  • UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara
  • UU No.10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
  • UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
  • UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Menggantikan UU N0.22/1999
Peraturan Pemerintah
  • PP No.16/2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
  • PP No.25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom
  • PP No.84/2000 tentang Pedoman Organisai Perangkat Daerah
  • PP No.104/2000 tentang Dana Perimbangan
  • PP No.105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
  • PP No.106/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
  • PP No.107/2000 tentang Pinjaman Daerah
  • PP No.108/2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban Kepala Daerah
  • PP No.109/2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
  • PP No.110/2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD
  • PP No.129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah
  • PP No.2/2001 tentang Pengamanan dan Pengalihan Barang Milik/Kekayaan Negara dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah
  • PP No.11/2001 tentang Informasi Keuangan Daerah
  • PP No.20/2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
  • PP No.39/2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi
  • PP No.52/2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan
  • PP No.56/2001 tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
  • PP No.65/2001 tentang Pajak Daerah
  • PP No.66/2001 tentangRetribusi Daerah
  • PP No.76/2001 tentang Pedoman Umum Mengenai Desa
  • PP No.84/2001 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No.104/2000 tentang Dana Perimbangan
  • PP No.3/2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  • PP No.65 /2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal
  • PP No.72/2005 tentang Desa
  • PP No.7/2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
  • PP No.78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penggabungan dan Penghapusan Daerah
Keputusan Presiden
  • Keppres No.49/2000 tentang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
  • Keppres No.52/2000 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Tindak Lanjut Pelaksanaan UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
  • Keppres No.157/2000 tentang Pembentukan Tim Kerja Pusat Implementasi UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
  • Keppres No.159/2000 tentang Pedoman Pembentukan Badan Kepegawaian Daerah
  • Keppres No. 181/2000 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota 2001
  • Keppres No.5/2001 tentang Pelaksanaan Pengakuan Kewenangan Kabupaten/Kota
  • Keppres No.74/2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
  • Keppres No.131/2001 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota 2002
Keputusan Menteri Dalam Negeri
  • Kepmendagri No.188.2-198 tentang Pembentukan Tim Kerja Pusat Percepatan Implementasi tentang UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999
  • Kepmendagri No.16 tahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan Asosiasi Pemerintah Daerah dan Penetapan Wakil Asosiasi Perintah Daerah sebagai Anggota DPOD
  • Kepmendagri No.50 tahun 2000 tentang Pedoman Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah
  • Kepmendagri No.11 tahun 2001 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah dan Manual Adiministrasi Barang Daerah

Peringatan bagi Pemimp

Makin hari kegalauan itu tumbuh makin pesat, tetapi berhentilah mengatakan bangsa ini bobrok. Hentikan tudingan bahwa bangsa ini tenggelam. Tidak! Bangsa ini sedang bangkit dan akan makin tinggi berdirinya. Lihatlah rakyat di sana-sini, bangun sebelum pagi, penuhi pasar rakyat, padati jalan dan kelas, menyongsong kehidupan. Dengan sinar lampu apa adanya mereka coba sinari masa depan sebisanya. Petani, guru, nelayan, pedagang, atau tentara di tepian republik jalani hidup berat penuh tanggung jawab. Di tengah kepulan polusi pekat, rakyat kota menyelempit mencari masa depan. Mereka rebut peluang, jalani segala kesulitan tanpa pidato keprihatinan. Rakyat yang tegar dan tangguh. Denyut geraknya membanggakan.
Kegalauan republik ini bukan bersumber pada rakyat, melainkan pada pengurus negara yang seakan berjalan tanpa target. Deretan agenda penting dan urgen jadi wacana, tetapi tidak kunjung jadi realitas.
Pengurus republik sukses membangun kekesalan kolektif dan menanam bibit pesimisme. Pimpinan kini menuai kekecewaan. Harapan, kepercayaan, pengertian, toleransi, kesabaran, dan permakluman rakyat kepada pemimpin dikuras terus. Apakah dikira stok permakluman itu tanpa batas?
Dengan hormat saya sampaikan: stok itu ada batasnya dan sudah menipis. Semua ingin lihat hasil. Tak mau lagi dengar keluh kesah, tak hendak dengar kata prihatin keluar dari pemimpin. Republik ini perlu pemimpin yang hadir untuk menggelorakan percaya diri, bukan menularkan keprihatinan. Pemimpin tak boleh kirim ratapan, pemimpin harus kirim harapan.
Sebatas pidato dan wacana
Hari ini Indonesia memasuki era demokrasi etape ketiga. Kepresidenan periode kedua. Tidak pernah ada dalam sejarah republik ini seorang anak bangsa dipilih jadi pemimpin dengan suara sebanyak saat Presiden Yudhoyono di tahun 2009. Semua persyaratan untuk melakukan dan menuntaskan langkah-langkah besar ada di sana. Tapi mana langkah besar itu: infrastruktur ekonomi? Kepastian hukum? Integritas di sekolah? Tegas kepada pengemplang pajak? Pemangkasan benalu APBN? Konsistensi kebijakan? Reformasi birokrasi? Jaminan kebinekaan bangsa? Perlindungan warga bangsa?
Harapan yang tinggi untuk membereskan agenda penting baru sebatas pidato dan wacana. Republik perlu realitas. Pemerintah memang punya capaian, tetapi jika ada keberanian untuk menggelontorkan terobosan-terobosan besar di sektor penting, maka capaian itu akan melonjak. Kekecewaan tumbuh bukan semata karena pemerintah tak membawa hasil, melainkan karena terlalu banyak peluang terobosan dan perubahan yang disia-siakan. Sebutlah soal energi atau infrastruktur sistem logistik (jalan, pelabuhan, bandara, dan lain-lain), terobosan di sini bisa membuat ekonomi melejit. Atau terobosan besar dalam penegakan hukum. Perusak kebinekaan didiamkan, pengemplang pajak tak dijerat. Hukum tegak kokoh tanpa kompromi bagi rakyat kecil, tapi hukum loyo lunglai di depan rakyat besar.
Ini semua dampak absennya keberanian menerobos. Semua serba alakadarnya. Amunisi politik yang dahsyat itu tak digunakan. Republik ini butuh pemimpin yang mau turun ke lapangan, pemimpin kerja dan bukan pemimpin upacara. Rakyat tidak perlu pengumuman hasil rapat, tapi ingin lihat implementasinya.
Lihat sejarah kita, gamblang sekali. Republik ini didirikan oleh orang-orang yang berintegritas. Integritas itu membuat mereka jadi pemberani dan tak gentar hadapi apa pun. Bukan pencitraan, tapi integritas dan keseharian yang apa adanya membuat mereka memesona. Mereka jadi cerita teladan di seantero negeri.
Kini republik membutuhkan pemimpin yang berani tegakkan integritas, berani perangi ”jual-beli” kebijakan dan jabatan, pemimpin yang mau bertindak tegas melihat APBN untuk rakyat ”dijarah” oleh mereka yang punya akses. Ya, pemimpin yang bernyali menebas penyeleweng tanpa pandang posisi atau partai, dan bukan pemimpin yang serba mendiamkan seakan tidak pernah terjadi apa-apa.
Republik ini perlu pemimpin yang mendorong yang macet, membongkar yang buntu, dan memangkas berbenalu. Pemimpin yang tanggap memutuskan, cepat bertindak, dan tidak toleran pada keterlambatan. Pemimpin yang siap untuk ”lecet-lecet” melawan status quo yang merugikan rakyat, berani bertarung untuk melunasi tiap janjinya. Republik ini perlu pemimpin yang memesona bukan saja saat dilihat dari jauh, tetapi pemimpin yang justru lebih memesona dari dekat dan saat kerja bersama.
Bukan pemimpin yang selalu enggan memutuskan dan suka melimpahkan kesalahan. Bukan pemimpin yang diam saat rakyat didera, lembek saat republik dihardik negara tetangga, tapi lantang dan keras justru saat diri pribadi atau keluarganya tersentuh. Pemimpin yang tak gentar dikatakan mengintervensi karena mengintervensi adalah bagian dari tugas pemimpin dan pembiaran tidak boleh masuk dalam daftar tugas seorang pemimpin.
Jika Presiden Yudhoyono tidak segera mengubah cara menjalankan pemerintahan, maka saya harus mengingatkan bahwa bangsa Indonesia bisa memasuki persimpangan jalan yang berbahaya.
Jalan pertama adalah meneruskan kepemimpinan sampai di 2014 agar proses demokrasi berjalan normal tapi rakyat mencicipi hasil yang alakadarnya, deretan peluang kemajuan hilang tanpa bekas. Keterlambatan dan pembiaran jadi ciri beberapa tahun ke depan. Bahkan lunglainya penegakan hukum adalah resep mujarab menuju negara kacau.
Jalan kedua mulai menyeruak. Jalan berbahaya tapi suara ini mulai berkembang sebagai respons atas kelambatan dan pembiaran sistemik ini: berhenti di tengah jalan dan berikan kepada orang lain untuk memimpin. Suara macam ini bisa merusak pranata siklus demokrasi yang dibangun dengan sangat susah payah. Suara ini tumbuh karena keyakinan bahwa lewat jalan terjal ini bisa terjadi pembongkaran atas pembiaran dan kelambanan; agar rakyat tak dirugikan terus-menerus.
Tak optimal
Semua tahu sistem presidensial menjamin presiden bisa bekerja sebagai eksekutor pemerintahan dan melindunginya agar tak dapat diberhentikan oleh alasan politis. Hari ini yang dihadapi Indonesia situasi sebaliknya. Periode dijamin aman oleh konstitusi, tetapi presiden tak optimal jalankan otoritasnya. Keterlambatan berjejer dan pembiaran berderet. Periode fixed lima tahun itu bukan mengamankan agar kerja cepat, kini malah jadi penyandera bangsa dari gerak kemajuan cepat.
Memang presiden bukan dewa atau superman. Tidak pantas semua masalah ditumpahkan ke pundak pemimpin. Akan tetapi, presiden bisa menentukan suasana republik. Pemimpin adalah dirigen yang menghadirkan energi, nuansa, dan aurora di republik ini. Pemimpin bisa fokus menguraikan masalah strategis dan urgen bagi percepatan pelunasan janji-janjinya.
Presiden Yudhoyono harus sadar bahwa caranya menjalankan pemerintahan itu memiliki efek tular. Kelugasan, ketegasan, keberanian, kecepatan, keterbukaan, kewajaran, kemauan buat terobosan, dan perlindungan kepada anak buah bahkan kesederhanaan protokoler itu semua menular. Tapi kebimbangan, kehati-hatian berlebih, kelambatan, ketertutupan, formalitas kaku, pembiaran masalah, orientasi kepada citra dan ketaatan buta pada prosedur itu juga menular. Menular jauh lebih cepat dan sangat sistemik.
Rakyat republik ini sudah kerja keras. Lihat di segala penjuru Indonesia. Mulai dari kampung kumuh-sumuk tak jauh dari istana, di puncak-puncak pegunungan dingin, di tepian pantai sebentangan khatulistiwa: rakyat republik ini serba kerja keras. Mereka mau maju, mereka mau hadirkan kehidupan yang lebih baik bagi anak cucunya. Dan, yang pasti mereka tak biasa tanya siapa yang jadi pemimpin. Buat rakyat banyak tak terlalu penting ”siapa”-nya, yang penting lunasi semua janjinya.
Ini adalah sebuah peringatan apa adanya, semata-mata agar Indonesia tidak menemui persimpangan jalan itu. Ingat, rakyat negeri ini sudah bekerja keras dan ”berlari” cepat. Pengurus negara harus memilih mengimbangi kecepatan rakyat atau ditinggalkan rakyat.

Prosedur Pengadaan barang dan jasa di Pemerintahan

Pengadaan barang dan jasa di Pemerintahan (Bagian I: Pengertian Umum)

Banyak rekan yang menghubungi saya setelah tulisan tentang sertifikasi pengadaan di blog ini saya masukkan yang menanyakan tentang proses pengadaan di instansi pemerintah. Juga ada yang menelepon dan “curhat” mengenai kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh panitia lelang di sebuah instansi sehingga perusahaannya “dikalahkan” dalam pelelangan tersebut.
Rupanya, sebagian besar terjadi karena ketidaktahuan terhadap Keppres No. 80 Tahun 2003 dan perubahannya, sehingga banyak hal-hal yang kelihatan sepele namun cukup fatal dalam aturan sehingga sah untuk digugurkan. Ada juga yang rupanya benar-benar “dipermainkan” oleh panitia lelang.

Karena itulah saya mencoba untuk menuliskan sedikit informasi mengenai tata cara pengadaan barang dan jasa dalam lingkup pemerintahan. Dan karena materinya cukup luas dan panjang, agar mudah dipahami, saya mencoba untuk membagi menjadi beberapa tulisan, agar pembaca yang sudah paham pada satu tahapan dapat langsung menuju kepada tahapan lainnya.
Dalam tulisan ini saya akan mencoba memasukkan beberapa kejadian-kejadian yang pernah saya alami maupun pengalaman teman yang lain, agar dapat memperkaya isi tulisan. Juga hal-hal yang harus diperhatikan oleh rekanan pada saat mengikuti pelelangan sehingga tidak mengalami masalah.
Nah, mari kita mulai :)
Pengertian Umum
Seperti yang telah saya tuliskan disini, bahwa proses pengadaan barang ataupun jasa dalam institusi pemerintah tidak semudah pengadaan di institusi swasta. Seluruh pengadaan barang yang pembiayaannya melalui APBN/APBD, baik sebagian atau keseluruhan, harus mengacu kepada aturan yang berlaku (Keppres No. 80 Tahun 2003, Bagian Kedua Pasal 2; bagian ketujuh pasal 7)
Ada beberapa istilah yang digunakan dalam proses pengadaan ini, diantaranya:
  1. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah pejabat yang diangkat oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran sebagai pemilik pekerjaan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa
  2. Penyedia barang/jasa, adalah badan usaha atau perseorangan yang menyediakan barang/jasa
  3. Barang, adalah benda dalam berbagai bentuk dan uraian, yang meliputi bahan baku, bahan setengah jadi, barang jadi/peralatan yang spesifikasinya ditetapkan oleh pengguna barang/jasa
  4. Khusus jasa, terbagi atas 3 jenis, yaitu Jasa Pemborongan, Jasa Konsultasi dan Jasa lainnya
Untuk istilah lebih lengkap, silakan membuka Keppres No. 80 Tahun 2003 Pasal 1 dan Perpres No. 8 Tahun 2006 Pasal 1
Istilah-istilah ini harus dipahami terlebih dahulu, karena dalam pelaksanaan pengadaan, banyak aturan-aturan yang berbeda untuk setiap jenis pengadaan. Khususnya pada pengadaan barang dan pengadaan jasa konsultasi.
Swakelola
Nah, apakah seluruh pengadaan atau kegiatan di institusi pemerintah itu harus dilaksanakan dalam bentuk pelelangan ?
Sesuai dengan aturan, ada 2 (dua) pelaksanaan pengadaan, yaitu dengan menggunakan penyedia barang/jasa (pihak ketiga) atau dengan cara swakelola (dikelola sendiri oleh institusi itu)
Sebelum kita masuk lebih jauh ke pengadaan, saya akan jelaskan sedikit tentang swakelola.
Swakelola adalah pekerjaan yang direncanakan, dikerjakan dan diawasi sendiri oleh institusi, dimana dalam pelaksanaannya dapat dilaksanakan oleh PPK, instansi pemerintah lain atau kelompok masyarakat/LSM penerima hibah.
Pekerjaan yang dapat dilakukan dengan swakelola adalah:
  • pekerjaan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan teknis SDM pada institusi yang bersangkutan (misalnya diklat, beasiswa, kunjungan kerja);
  • pekerjaan yang operasi dan pemeliharaannya memerlukan partisipasi masyakarat;
  • pekerjaan yang dari segi besaran, sifat, lokasi, atau pembiayaan tidak diminati oleh penyedia barang/jasa;
  • pekerjaan yang secara rinci/detail tidak dapat dihitung/ditentukan terlebih dahulu, sehingga apabila dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa akan menanggung resiko yang besar;
  • penyelenggaraan diklat, kursus, penataran, seminar, lokakarya, atau penyuluhan;
  • pekerjaan untuk proyek percontohan (pilot project) yang bersifat khusus, yangbelum dapat dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa;
  • pekerjaan khusus yang bersifat pemrosesan data, perumusan kebijakan pemerintah, pengujian di laboratorium, pengembangan sistem tertentu dan penelitian oleh perguruan tinggi/lembaga ilmiah pemerintah;
  • pekerjaan yang bersifat rahasia bagi instansi pengguna barang/jasa.
Nah, dari penjelasan diatas maka cukup jelas apa saja yang boleh dilaksanakan secara swakelola. Di luar dari daftar tersebut, harus dilaksanakan melalui penyedia barang/jasa.
Ada satu contoh kesalahan persepsi yang terjadi.
Disebuah institusi dilakukan pengadaan komputer dan server dengan cara swakelola, dimana kepala laboratorium langsung memberi beberapa unit komputer dan server ke toko komputer tanpa melalui proses lelang. Setelah ditanya mengapa melakukan hal tersebut, mereka berdalih, “Loh, ini khan pekerjaan yang bersifat rahasia, karena komputer dan server ini nanti akan digunakan untuk mengolah data ujian yang sifatnya amat rahasia.” :)
Disini terlihat jelas ketidakpahaman terhadap substansi dari Kepres dan pengertian mengenai pekerjaan yang sifatnya “rahasia” tersebut. Yang rahasia adalah “pekerjaannya” dan bukan “barangnya.” Jadi proses pengadaan barangnya tetap harus terbuka dan transparan, tetapi nanti setelah diadakan, maka penggunaannya masuk dalam kategori rahasia. Contoh pengadaan yang sifatnya rahasia adalah pengadaan perangkat untuk peluru kendali, instalasi nuklir, atau untuk intelijen negara :)
Panitia Pengadaan
Apabila sebuah pengadaan barang/jasa dilakukan dengan menggunakan pihak ketiga, yaitu melalui penyedia barang dan jasa, maka proses pengadaannya harus melalui panitia atau pejabat pengadaan.
Panitia pengadaan dibentuk bila nilai pengadaan di atas Rp. 50.000.000 (Lima Puluh Juta Rupiah), sedangkan dibawah itu cukup dengan pejabat pengadaan.
Jumlah panitia pengadaan minimal 3 orang dan berjumlah ganjil sesuai dengan nilai pengadaan dan harus berasal dari pegawai negeri, baik dari instansi sendiri maupun instansi lainnya.
Panitia pengadaan harus memahami tentang prosedur pengadaan, jenis pekerjaan yang diadakan maupun substansi pengadaan, tidak memiliki hubungan keluarga dengan pejabat yang mengangkat dan menetapkan sebagai panitia dan memiliki sertifikat pengadaan barang/jasa pemerintah.
Khusus untuk aturan mengenai kepemilikan sertifikat pengadaan barang/jasa pemerintah, sesuai dengan Surat Edaran Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas No. 0021/M.PPN/01/2008 Tanggal 31 Januari 2008, maka sertifikat pelatihan/bimbingan teknis pengadaan barang dan jasa, untuk sementara, sampai tanggal 31 Desember 2008 dapat diberlakukan sebagai sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa.
Dalam klausul mengenai panitia juga ditegaskan, bahwa panitia harus memahami substansi dari pengadaan. Apabila di institusi itu tidak ada orang yang memahami mengenai substansi, maka disilakan untuk mengambil orang dari unit/institusi lain. Contoh, sebuah institusi hendak mengadakan perangkat server dan kelengkapannya, sedangkan di institusi itu tidak ada seorangpun yang memahami tentang server, maka dapat mengambil panitia dari bagian data atau institusi yang menangani TI.
PPK, bendaharawan, dan pejabat yang bertugas melakukan verifikasi surat permintaan pembayaran (SPP) dan/atau pejabat yang bertugas menandatangani surat perintah membayar (SPM)  dilarang duduk sebagai panitia/pejabat pengadaan. Pegawai pada BPKP, Itjen, Inspektorat Utama, dan unit pengawas lainnya juga dilarang menjadi panitia/pejabat pengadaan pada institusi lain. Mereka hanya bisa menjadi panitia/pejabat pengadaan pada institusi masing-masing.
Penyedia Barang/Jasa
Bukan hanya panitia saja yang memiliki persyaratan, tapi penyedia barang/jasa juga memiliki persyaratan untuk dapat mengikuti kegiatan pengadaan. Persyaratan penyedia barang/jasa adalah:
  • memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjalankan usaha. (dalam ketentuan ini jelas bahwa penyedia barang/jasa harus mengikuti aturan yang berlaku mengenai bentuk usaha, seperti Surat Ijin Usaha dan aturan-aturan lainnya);
  • memiliki keahlian, pengalaman, kemampuan teknis dan manajerial untuk menyediakan barang/jasa (hal ini nantinya dapat dibuktikan pada penilaian kualifikasi perusahaan tersebut).
  • tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak pailit, kegiatan usahanya tidak sedang dihentikan, dan/atau direksi yang bertindah untuk dan atas nama perusahaan tidak sedang dalam menjalani sanksi pidana;
  • secara hukum mempunya kapasitas menandatangani kontrak. (atau yang lebih jelas adalah penandatangan kontrak haruslah orang yang namanya tertera di dalam akte pendirian perusahaan atau orang yang diberi kuasa penuh (misalnya melalui RUPS) untuk bertindak untuk dan atas nama perusahaan itu);
  • sebagai wajib pajak sudah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir, dibuktikan dengan melampirkan bukti tanda terima penyampaian SPT PPh tahun terakhir, dan fotokopi SSP PPh Pasal 29;
  • dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir pernah memperoleh pekerjaan menyediakan barang/jasa, baik di lingkungan pemerintah maupun swasta termasuk pengalaman subkontrak, kecuali penyedia barang/jasa yang baru berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun;
  • tidak masuk dalam daftar hitam (sebuah daftar yang dikeluarkan oleh institusi pemerintah yang berisi daftar perusahaan yang “bermasalah” dalam proses pelelangan di satu tempat sehingga tidak diperbolehkan mengikuti pelelangan si seluruh institusi pemerintah lainnya);
  • memiliki alamat tetap dan jelas serta dapat dijangkau dengan pos (“jelas” disini juga berarti bahwa alamat tersebut memang benar alamat perusahaan yang bersangkutan, bukan alamat yang hanya sekedar “diakui” saja);
Khusus untuk tenaga ahli yang ditugaskan dalam pelaksanaan pekerjaan Jasa Konsultasi, persyaratannya adalah:
  • memiliki NPWP dan bukti penyelesaian kewajiban pajak (ini yang kadang sulit bagi tenaga ahli kita);
  • lulusan perguruan tinggi negeri atau swasta yang telah terakreditasi atau yang lulus ujian negara atau perguruan tinggi luar negeri yang ijazahnya telah disahkan oleh Depdiknas;
  • mempunya pengalaman di bidangnya.
Selain persyaratan di atas, pegawai negeri, pegawai BI, pegawai BHMN/BUMN/BUMD dilarang menjadi penyedia barang/jasa, kecuali yang bersangkutan mengambil cuti di luar tanggungan negara.
Untuk penilaian mengenai persyaratan penyedia barang/jasa tersebut akan melalui proses penilaian kualifikasi, baik pra kualifikasi maupun pasca kualifikasi, yang akan dibahas pada bagian II.
Nah, lumayan “singkat” khan pelaksanaan penyediaan barang/jasa pemerintah ini. Sebenarnya semua ini dilaksanakan agar proses pengadaan dapat dilaksanakan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel.
Kalau dalam pelaksanaannya ada yang “jauh” dari tujuan tersebut, tak lain dan tak bukan adalah tindakan dari beberapa “oknum.”
Atruan tetap aturan yang bagaimanapun pasti ada celah untuk dilanggar. Namun, untuk mewujudkan bangsa yang baik, seyogyanya aturan dapat ditegakkan secara murni dan konsekwen.
Bagian I ini saya akhiri disini, agar mudah dalam proses pembacaan, karena pada bagian ke II saya akan fokus kepada proses pelaksanaan pengadaan barang/jasa.
Sebagai info, pada bagian II, saya hanya akan fokus kepada pelaksanaan pengadaan barang/jasa lainnya dan bukan kepada jasa konsultasi. Karena di lapangan, proses pengadaan yang paling banyak dilaksanakan adalah barang/jasa lainnya.

 

Pengadaan barang dan jasa di Pemerintahan (Bagian II: Jenis dan Metode)

Pada bagian I telah dijelaskan mengenai pengertian umum dari pengadaan barang/jasa. Juga telah disampaikan mengenai persyaratan panita/pejabat pengadaan dan penyedia barang/jasa.
Sebelum melanjutkan, saya kembali menginformasikan bahwa pada tulisan kali ini saya hanya akan membahas mengenai Pengadaan Barang/jasa pemborongan/jasa lainnya dan bukan Jasa Konsultasi. Karena metode dari 2 jenis ini amat berbeda. Jadi memang terpisah secara aturan pada Keppres No. 80 Tahun 2003.

Pada bagian ini saya akan mencoba mengutip pasal demi pasal yang ada, juga pelaksanaan di lapangan serta kendala yang dihadapi dan pengalaman langsung dalam menghadapi kendala tersebut.
Prakualifikasi dan Pascakualifikasi
Pada bagian I, telah disebutkan persyaratan penyedia barang/jasa yang dapat mengikuti kegiatan pengadaan barang/jasa. Untuk memastikan setiap perusahaan memenuhi persyaratan tersebut, perlu dilakukan penilaian terhadap kualifikasi atas kompetensi dari masing-masing perusahaan.
Metode penilaian terhadap kualifikasi ini terdiri atas 2 metode, yaitu Prakualifikasi dan Pascakualifikasi.
Prakualifikasi adalah proses penilaian kompetensi dan kemampuan usaha serta pemenuhan persyaratan terhadap perusahaan SEBELUM pemasukan dokumen penawaran. Artinya, hanya perusahaan yang memenuhi kualifikasi-lah yang dapat memasukkan penawaran. Metode ini dilaksanakan untuk pelelangan yang bersifat kompleks (termasuk pelelangan diatas 50 M)
Pascakualifikasi adalah proses penilaian kompetensi dan kemampuan usaha serta pemenuhan persyaratan terhadap perusahaan SETELAH pemasukan dokumen penawaran. Pada umumnya, prinsip pelelangan menggunakan proses ini (Kecuali Jasa Konsultasi yang wajib menggunakan Prakualifikasi). Bahkan untuk pelelangan umum untuk pengadaan barang/jasa pemborongan/jasa lainnya, sifatnya adalah wajib (kecuali yang bernilai di atas 50M).
Proses ini dilakukan dengan meminta perusahaan yang ikut pelelangan untuk dapat mengisi formulir isian kualifikasi. Contoh formulir tersebut dapat dilihat disini.
Permasalahan di lapangan pada saat proses kualifikasi yang sering terjadi adalah:
  1. Panitia meminta semua dokumen-dokumen pendukung kualifikasi, seperti contoh-contoh kontrak yang telah dilakukan selama 4 bulan terakhir.
    Sebenarnya, sesuai dengan Pasal 14 Angka 8 telah disebutkan bahwa proses kualifikasi wajib disederhanakan dengan tidak meminta seluruh dokumen yang disyaratkan, melainkan cukup dengan formulir isian saja.
  2. Panitia meminta dokumen lain, selain yang telah ditetapkan oleh Keppres. Misalnya kartu tanda keanggotaan asosiasi tertentu.
    Sesuai dengan pasal 14 angka 6 juga telah disebutkan bahwa panitia dilarang menambah persyaratan kualifikasi selain dari peraturan di Keppres ini, atau ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jadi, apabila ketentuan tentang kartu anggota atau kartu apapun itu ditetapkan oleh undang-undang, maka dapat dimasukkan sebagai persyaratan. Namun tetap harus sesuai dengan konteks dari pelelangan.
  3. Panitia mempersyaratkan domisili perusahaan harus berada pada satu daerah yang sama dengan institusi penyelenggara lelang.
    Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip terbuka/bersaing dan adil. Yang tidak boleh adalah penyedia barang/jasa berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 4 Butir g)
  4. Panitia mempersyaratkan dilakukannya legalisasi ke notaris bagi dokumen-dokumen peserta lelang (misalnya akta dan dokumen pajak).
    Hal ini sama sekali tidak diatur dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 dan akan memberatkan peserta lelang, dimana hal tersebut bertentangan dengan Pasal 14 angka 6, 7 dan 8
  5. Peserta tidak melampirkan dokumen pajak yang dipersyaratkan.
    Walaupun pada prinsipnya untuk penilaian kulifikasi, namun khusus untuk Dokumen Pajak tetap harus melampirkan COPY Bukti tanda terima penyampaian SPT PPh tahun terakhir dan laporan (minimal) 3 bulan terakhir untuk PPh Pasal 25 atau Pasal 21/Pasal 23 atau PPn (Keppres No. 80 Tahun 2003 Pasal 11 Angka 1 butir e dan Penjelasan Keppres Bab II Butir A.1.b.1.e)
  6. Peserta tidak memiliki Kemampuan Dasar (KD) pada bidang dan sub bidang yang sesuai untuk bukan usaha kecil.
    Perhitungan KD dilihat dari pengalaman pekerjaan yang sejenis dengan rumus KD=2 NPt (Khusus Jasa Pemborongan) atau KD = 5 NPt (Untuk Barang dan Jasa Lainnya). NPt adalah Nilai pekerjaan tertinggi dengan bidang dan sub bidang yang sesuai. Contoh, sebuah perusahaan pernah mengadakan perangkat komputer melalui sistem pengadaan pada sebuah instansi dengan nilai Rp. 500 Juta dan pernah juga mengadakan perangkat meubelair dengan nilai Rp. 750 Juta. Maka, KD perusahaan ini untuk pengadaan perangkat komputer adalah 5 x 500 Juta atau 2,5 M sedangkan KD untuk perangkat meubelair adalah 5 x 750 Juta atau 3,75 M. Artinya, nilai maksimal pengadaan komputer yang dapat diikuti adalah pelelangan dengan pagu anggaran 2,5 M dan untuk meubelair sebesar 3,75 M.
  7. Peserta tidak memilik dukungan keuangan dari Bank dengan nilai minimal 10% dari nilai proyek untuk pekerjaan jasa pemborongan dan minimal 5% untuk pekerjaan pemasokan barang/jasa lainnya.
Nah, itulah sebagian dari proses penilaian kualifikasi dari sebuah perusahaan yang dilaksanakan pada sistem pengadaan barang.
Metode Pengadaan Barang/Jasa
Selain kualifikasi, ada beberapa hal lagi yang harus diperhatikan oleh penyedia barang/jasa, yaitu:
  1. Metode Pemilihan Penyedia Barang/Jasa
  2. Metode Penyampaian Dokumen Penawaran
  3. Metode Evaluasi Penawaran
Nah…lumayan ribet khan :D
Untuk bisa mengikuti pelelangan atau pengadaan di kantor pemerintah, hal-hal itulah yang harus diperhatikan.
Selanjutnya, saya akan mencoba sedikit menjelaskan masing-masing metode dan kondisi di lapangan dari metode-metode tersebut.
  1. Metode Pemilihan Penyedia Barang/Jasa.
    Pernah membeli koran Media Indonesia ? Kalau belum, coba beli terbitan hari apa saja (bukan promosi lhooo). Lihat pada kolom pengadaan. Biasanya ada belasan bahkan puluhan iklan pengadaan dari berbagai instansi di seluruh Indonesia. Lengkap dengan berbagai persyaratannya :) Kemudian, kalau anda mencoba jalan-jalan ke kantor pemerintahan, pengumuman lelang serupa juga ada yang ditempel pada papan pengumuman. Namun, ada beberapa dari pengumuman tersebut yang tidak dimasukkan ke dalam koran.Nah, disisi lain, juga mungkin pernah mendengar, tiba-tiba dalam sebuah proyek sudah ada pemenangnya, tanpa pernah diinformasikan di media massa.Bagaimana ini terjadi ?Hal ini terjadi karena metode pemilihan penyedia barang dan jasa itu juga berbeda, beda. Untuk pengadaan barang/jasa pemborongan/jasa lainnya, metode pemilihannya terbagi atas 4 (empat) jenis, yaitu: 
    • Metode Pelelangan Umum
      Metode inilah yang merupakan prinsip utama pengadaan barang, yaitu dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi institusi. Biasa dilakukan untuk pengadaan dengan nilai diatas Rp. 100 Juta
    • Metode Pelelangan Terbatas
      Secara prinsip, sistem pengumumannya sama dengan pelelangan umum, tetapi di dalam pengumuman tersebut sudah mencantumkan nama penyedia barang/jasa yang dianggap mampu untuk mengerjakan. Jenis ini biasanya digunakan untuk pekerjaan yang penyedianya diyakini terbatas saja, dan untuk pekerjaan yang kompleks
    • Metode Pemilihan Langsung
      Merupakan metode pemilihan yang membandingkan sebanyak-banyaknya penawaran dan sekurang-kurangnya 3 penawaran dari penyedia barang/jasa yang telah lulus prakualifikasi. Metode ini cukup diumumkan melalui papan pengumuman resmi institusi atau bila memungkinkan melalui internet. Metode ini biasanya digunakan untuk pekerjaan yang bernilai di antara Rp. 50 Juta sampai Rp. 100 Juta.
    • Metode Penunjukan Langsung
      Metode ini langsung menunjuk 1 (satu) penyedia barang/jasa dengan cara melakukan negosiasi teknis maupun harga. Biasanya digunakan dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus. Termasuk apabila nilai pengadaan dibawah Rp. 50 Juta
  2. Metode Penyampaian Dokumen Penawaran
    Kemudian, bagaimana cara sebuah penyedia barang/jasa memasukkan penawaran setelah melihat adanya pengumuman pelelangan/pengadaan di sebuah instansi ? Jangan berpikir bahwa pemasukannya cukup dengan membawa “company profile” dan daftar harga, kemudian datang di kantor dan bernegosiasi. Tentu saja tidak seperti itu :) Metode penyampaiannya juga diatur di dalam Keppres No. 80 Tahun 2003, dimana metode tersebut dibagi menjadi 3 jenis metode, yaitu: 
    • Metode Satu Sampul
      Dalam metode ini, dokumen-dokumen administrasi, teknis dan penawaran harga dimasukkan ke dalam satu sampul tertutup kepada panitia/pejabat pengadaan.Tolong berhati-hati dalam pemasukan dokumen-dokumen ini. Baca BAIK-BAIK Dokumen Pengadaan yang diberikan pada saat mendaftar untuk mengikuti sebuah pelelangan. Karena banyak hal yang kelihatannya sepele namun dapat digunakan oleh panitia untuk menggugurkan penawaran sebuah perusahaan. Contohnya, jangan menuliskan apa-apa pada sampul, selain yang dipersyaratkan pada dokumen lelang. Juga perhatikan baik-baik persyaratan dokumen administrasi yang harus dilampirkan. Jangan sampai tertinggal satupun. Misalnya jaminan penawaran atau dokumen kualifikasi. Karena, apabila dokumen telah diserahkan, sama sekali dilarang untuk menyusulkan dokumen lainnya. Karena masuk dalam kategori post bidding.Juga perhatikan setiap kalimat pada dokumen lelang, jangan sampai ada keharusan untuk menjilid dokumen administrasi dalam bentuk buku namun tidak dilaksanakan (pernah saya temui kejadian di sebuah pelelangan, sebuah perusahaan digugurkan karena tidak menjilid dokumennya, dan itu sah karena telah disampaikan di dalam dokumen lelang dan telah disetujui pada saat rapat penjelasan pekerjaan/aanwijzing)Apabila dokumen pelelangan dikirim melalui pos, maka sampul ini ditutup lagi dengan sampul penutup. Dimana pada sampul penutup inilah dituliskan nama dan alamat dari institusi yang dituju.
    • Metode Dua Sampul
      Metode ini memisahkan antara dokumen administrasi dan teknis dengan dokumen harga. Dokumen administrasi dan teknis dimasukkan di dalam satu sampul (sampul I) dan diberi label “Dokumen Administrasi dan Teknis”, sedangkan dokumen harga dimasukkan ke dalam sampul lainnya (sampul II) dan diberi label “Dokumen Harga.” Kedua sampul ini kemudian dimasukkan ke dalam satu sampul, yaitu sampul penutup dan diserahkan kepada panitia pada saat penyerahan dokumen. Apabila dokumen dikirim melalui pos, maka sampul ini harus dibungkus lagi ke dalam satu sampul untuk pengiriman.Yang harus diperhatikan pada metode ini adalah proses pelabelan dari setiap sampul. Jangan sampai tertukar dan jangan sampai ada kesalahan dalam pelabelannya. Juga, jangan sampai ada dokumen administrasi yang “kesasar” masuk ke dalam dokumen harga.Saya pernah mengalami beberapa perusahaan dinyatakan gugur karena dokumen asli jaminan penawaran berada di dalam sampul harga. Sedangkan untuk membuka sampul harga harus menyelesaikan penilaian administrasi dahulu. Akibatnya, dokumen tersebut dianggap tidak ada.
    • Metode Dua Tahap.
      Metode ini sama dengan metode dua sampul. Yang membedakan adalah, sampul administrasi dan teknis serta sampul harga tidak diserahkan pada waktu yang bersamaan.
  3. Metode Evaluasi Penawaran.
    Beberapa waktu yang lalu, pada beberapa pemberitaan yang dimuat di media massa, saya cukup geli membaca pemberitaan tentang kecurangan yang dituntut oleh penyedia barang/jasa terhadap suatu proses lelang. Mereka banyak yang menuntut, karena merasa harga penawarannya terendah, malah dikalahkan oleh panitia. Sedangkan sudah jelas-jelas panitia pada berita tersebut melakukan evaluasi sistem nilai. Ini adalah bukti ketidaktahuan mereka terhadap aturan.Dalam proses lelang, tidak selamanya harga terendah yang pasti menang. Karena beberapa kegiatan menuntut adanya kualitas yang tinggi dimana sebagian besar berbanding terbalik dengan harga. Oleh sebab itu, maka metode evaluasi penawaran juga terdiri atas beberapa jenis, yaitu: 
    • Metode Evaluasi Sistem Gugur
      Metode ini melakukan penilaian secara berjenjang. Yang pertama dinilai adalah dokumen administrasi. Apabila sesuai dengan yang dipersyaratkan maka dilanjutkan dengan penilaian teknis. Perusahaan yang administrasinya kurang lengkap, langsung digugurkan saat itu juga dan tidak mengikuti penilaian teknis.Selanjutnya dilakukan penilaian teknis terhadap spesifikasi barang/jasa yang ditawarkan. Apabila sesuai dengan yang dibutuhkan maka langsung dilanjutkan dengan pembukaan harga. Bagi perusahaan yang tidak lulus teknis, langsung digugurkan saat itu juga, walaupun harganya termurah.Kemudian, seluruh perusahaan yang telah lulus administrasi maupun harga, dibuka penawaran harganya. Dan harga terendahlah yang dinyatakan memenangkan pengadaan.Namun, di dalam pelaksanaan sehari-hari, sistem ini biasanya dibalik. Pada saat pembukaan penawaran, langsung membuka harga penawaran dari seluruh peserta. Yang diperiksa administrasi dan teknisnya adalah perusahaan yang berada pada urutan 1 hingga 3 yang terendah di dalam penawaran harganya. Metode evaluasi sistem gugur ini yang paling sering digunakan di dalam pelelangan. Keuntungannya adalah cepat dalam memberikan hasil akhir. Metode evaluasi ini paling sering disandingkan dengan Metode Pemilihan Pelelangan Umum dan Metode Penyampaian Dokumen Satu Sampul.
    • Metode Evaluasi Sistem Nilai.
      Metode inilah yang tadi saya sebutkan sering tidak dipahami oleh penyedia barang/jasa. Metode evaluasi ini dilakukan dengan memberikan nilai angka tertentu kepada setiap unsur di dalam penawaran. Kemudian membandingkan jumlah nilai dari setiap penawaran peserta, dimana nilai tertinggilah yang dinyatakan menang.Biasanya, metode ini dilakukan untuk pekerjaan yang sangat memperhatikan kualitas teknis dibandingkan dengan harga. Karena pada beberapa jenis pekerjaan, harga biasanya tidak menipu. Dimana semakin mahal harga suatu barang, maka semakin baik juga kualitasnya.Beberapan perbandingan yang sering digunakan adalah 60:4, 70:30 dan 80:10, malah pada beberapa lelang menetapkan 90:10 untuk perbandingan nilai teknis dan harga.Sangat besar kemungkinan penawaran dengan harga terendah dikalahkan dengan sistem ini. Namun, untuk mencari kualitas barang ataupun pekerjaan, metode inilah yang terbaik.
    • Metode Evaluasi Biaya Selama Umur Ekonomis.
      Sistem evaluasi ini mirip dengan evaluasi sistem nilai. Dimana nilai ditetapkan kepada barang dengan melihat umur ekonomisnya, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan di dalam dokumen pengadaan.Evaluasi ini biasanya digunakan kepada proses pengadaan yang sangat memperhatikan nilai susut barang.Saat ini, masih jarang pengadaan barang/jasa yang menggunakan evaluasi ini.
Nah, demikian penjelasan mengenai Jenis dan Metode yang digunakan pada pengadaan barang/jasa pada institusi pemerintah.

 

Pengadaan barang dan jasa di Pemerintahan (Bagian III: Prosedur)

Pada tulisan di bagian I telah dibahas mengenai pengertian umum pengadaan barang/jasa juga mengenai persyaratan penyedia barang/jasa. Pada bagian II, dibahas mengenai jenis dan metode pengadaan barang/jasa termasuk tata cara evaluasi yang digunakan pada saat pengadaan baran/jasa.
Tulisan kali ini akan membahas mengenai prosedur dan tahapan yang dilaksanakan untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa secara umum.
Saya akan mencoba untuk membahas setiap langkah sesuai dengan aturan yang ada dan hal-hal yang harus diperhatikan, baik oleh penyedia barang/jasa maupun oleh panitia.

Contoh di bawah ini adalah untuk Pengadaan Barang/Jasa Pemborongan/Jasa lainnya dengan Metode Penilaian Kualifikasi secara Pascakualifikasi, Metode Pemilihan Penyedia Barang/jasa secara Lelang Umum, Metode Penyampaian Dokumen Penawaran Satu Sampul dan Metode Evaluasi Penawaran Sistem Gugur.
  1. Pengumuman.
    Pengumuman pelelangan sebenarnya bertujuan untuk memberikan informasi seluas-luasnya kepada masyarakat tentang rencana pengadaan barang/jasa. Pengumuman dilaksanakan selama 7 (tujuh) hari kerja dimana pada hari pertama pengumuman dilaksanakan melalui media cetak/koran (untuk nilai di atas 1 Milyar, dipasang pada koran nasional dan propinsi, sedangkan dibawah 1 Milyar cukup pada koran propinsi, kecuali penyedia barang/jasa untuk pekerjaan tersebut kurang dari 3 perusahaan di propinsi tersebut, maka diumumkan juga di koran nasional).
    Selain melalui koran, maka pengumuman juga harus ditempel pada papan pengumuman institusi dalam jangka waktu 7 hari kerja.
    Nah, dalam pelaksanaannya, banyak yang cukup “aneh” dilakukan oleh pengguna barang/jasa di dalam menyampaikan pengumuman di media massa, utamanya koran nasional. Dimana di dalam Keppres telah jelas bahwa pengumuman tersebut harus menjelaskan secara singkat jenis pekerjaan dan perangkat yang akan diadakan, waktu pengambilan dokumen serta persyaratan peserta. Namun, banyak diantara pengumuman tersebut hanya mencantumkan nama kegiatan dan sebuah kalimat “Untuk informasi lebih jelas, silakan datang ke kantor…..” Atau “untuk informasi lebih detail, silakan melihat papan pengumuman yang ditempel pada…” Kalau seperti ini, untuk apa diumumkan di surat kabar ?
  2. Pendaftaran dan Pengambilan Dokumen Penawaran.
    Pendaftaran dan pengambilan dilaksanakan 1 (satu) hari setelah pengumuman sampai dengan satu hari sebelum batas akhir pemasukan dokumen.
    Untuk penyedia barang/jasa agar memperhatikan baik-baik persyaratan yang tertulis di pengumuman untuk pendaftaran ini. Karena banyak instansi yang mempersyaratkan bahwa yang mendaftar haruslah pemilik perusahaan yang namanya ada di dalam akta pendirian perusahaan atau yang memiliki wewenang untuk bertindak atas nama perusahaan dengan bukti otentik tertentu.
    Sebenarnya, persyaratan ini bertujuan agar pada saat pendaftaran langsung dilaksanakan penandatanganan Pakta Integritas (untuk informasi ini silakan lihat disini pada pertanyaan nomor 51).
    Hal lain yang harus diperhatikan sebelum mendaftar adalah persyaratan-persyaratan untuk membawa dan memperlihatkan dokumen-dokumen tertentu untuk dapat mengambil dokumen penawaran tersebut.
  3. Rapat Penjelasan (Aanwijzing).
    Aanwijzing dilaksanakan paling cepat 4 (empat) hari kerja sejak tanggal pengumuman. Hal ini agar penyedia barang/jasa memiliki cukup waktu untuk mempelajari dokumen dan mempersiapkan hal-hal yang dianggap kurang jelas agar dapat ditanyakan sewaktu rapat penjelasan.
    Aanwijzing ini tidak bersifat wajib, dan ketidakikutsertaan dalam acara ini tidak dapat dijadikan alasan untuk menggugurkan peserta. Yang berhak ikut di dalam aanwizjing adalah peserta yang sudah mendaftar untuk mengikuti pelelangan.
    Hasil aanwijzing bersifat mengikat kepada seluruh peserta, baik yang ikut maupun yang tidak mengikuti dan menjadi salah satu lampiran dari Dokumen Pengadaan.
    Pada kegiatan inilah seluruh peserta dapat menyampaikan pertanyaan dan meminta informasi serta penjelasan seluas-luasnya kepada panitia, baik hal-hal yang bersifat administrasi maupun teknis. Setiap perubahan terhadap dokumen akan dicatat dan dimasukkan ke dalam Berita Acara Aanwijzing. Diharapkan pertanyaan dapat dituntaskan pada acara ini, karena setelah aanwijzing tidak diperbolehkan lagi peserta berkomunikasi dengan panitia untuk mempertanyakan aspek-aspek administrasi maupun teknis.
  4. Pemasukan Penawaran.
    Pemasukan dokumen penawaran dilaksanakan 1 hari setelah aanwijzing dan batas akhirnya minimal 2 hari setelah penjelasan. Lama waktu pemasukan disesuaikan dengan kompleksitas pelelangan. Bisa 2 hari (misal untuk ATK) dan bisa juga sampai 30 hari kerja.
    Dalam pemasukan dokumen penawaran, beberapa hal yang harus diperhatikan oleh penyedia barang/jasa, yaitu: Dokumen yang dimasukkan harus diyakini sudah dalam kondisi lengkap, jangan sampai ada tertinggal 1-pun dokumen, baik administrasi maupun teknis. Karena kekurangan 1 dokumen, apalagi yang bersifat vital, dapat menggugurkan penawaran itu. Pemasukan dokumen juga harus memperhatikan batas akhir waktu pemasukan, karena selisih 1 menit saja dari batas akhir, dapat menyebabkan penawaran ditolak.
  5. Pembukaan Dokumen Penawaran
    Pembukaan dokumen biasanya dilaksanakan pada hari terakhir pemasukan dokumen. Pada saat pembukaan inilah biasanya ketegangan pertama dialami oleh penyedia barang dan jasa, dan bahkan bisa berujung pada keributan. Hal ini disebabkan, pada pembukaan dokumen, seluruh dokumen yang sudah masuk dicek satu persatu dan diperiksa kelengkapannya. Hasil dari pembukaan dokumen adalah sebuah berita acara yang berisi “lengkap” atau “tidak lengkap” dari dokumen penawaran. Namun, walaupun pemeriksaan kelengkapan dilakukan saat pembukaan ini, tahapan ini tidak menggugurkan peserta, karena pengguguran peserta baru dilakukan saat evaluasi. Tapi, kalau pembukaan saja sudah tidak lengkap, mana bisa dinyatakan lulus administrasi :D
    Disinilah biasanya penyebab keributan yang terjadi, sesama peserta akan saling berusaha menjatuhkan dengan menuntut kekurangan dari dokumen peserta. Hal ini terjadi karena kurang jelasnya hal-hal yang harus dilampirkan dalam dokumen pelelangan yang membuka kesempatan multitafsir. Juga karena kurang tegasnya panitia lelang saat pembukaan dokumen.
    Sistem satu sampul juga membuka dokumen harga pada saat pembukaan dokumen, sehingga seluruh peserta dapat melihat harga satu sama lain.
  6. Evaluasi Dokumen Penawaran
    Inilah saat “hidup – mati” bagi peserta. Karena pada tahapan inilah penilaian dokumen administrasi, teknis maupun harga mereka dilakukan. Penentuan siapa yang memenangkan pelelangan juga akan dilihat pada tahapan ini.
    Secara umum, ada 3 evaluasi yang dapat dilakukan pada tahapan ini, yaitu evaluasi / koreksi aritmetika harga (sebenarnya untuk kontrak lumpsum dapat tidak dilaksanakan), evaluasi administrasi, dan evaluasi teknis. Evaluasi administrasi akan mengecek semua dokumen administrasi secara detail, utamanya kebenaran dan keterbaruan (up to date) dari dokumen-dokumen tersebut. Pada tahapan ini, panitia juga dapat mengecek kepada pihak yang mengeluarkan dokumen mengenai kebenaran dokumen yang telah dikeluarkan. Pada tahap ini, panitia harus benar-benar melakukan evaluasi sesuai dengan persyaratan yang telah dituliskan di dalam dokumen pengadaan dan tidak boleh menambah atau mengurangi syarat apapun. Panitia jugaperlu menghindari penilaian yang sifatnya bias atau tidak substantif. Jangan sampai hanya karena dokumen penawaran dari peserta tidak dijilid spiral atau dijilid buku maka langsung digugurkan dengan alasan administrasi.
    Pada tahapan ini panitia harus jeli, karena banyak juga akal-akalan peserta pengadaan. Misalnya dalam dokumen teknis, mereka hanya melakukan salin tempel (copy paste) antara spesifikasi yang diminta oleh panitia dengan spesifikasi yang ditawarkan. Hasilnya, pasti sesuai dengan permintaan dan lulus teknis. Namun, panitia harus membandingkan spesifikasi tersebut dengan brosur yang mereka lampirkan, sehingga tidak asal menilai lulus saja.
    Semua hasil evaluasi harus dimasukkan dalam berita acara evaluasi yang ditandatangani oleh seluruh panitia.
  7. Klarifikasi dan Pembuktian Kualifikasi
    Dalam tahapan pengadaan dengan penilaian Pascakualifikasi, penilaian terhadap kualifikasi perusahaan dilakukan setelah evaluasi. Pada tahapan ini, panitia harus mengecek kebenaran dari data kualifikasi yang telah dimasukkan oleh peserta. Seperti kebenaran SIUP, Pajak, bahkan domisili perusahaan. Panitia juga dapat melakukan kunjungan ke perusahaan untuk melihat langsung apakah benar perusahaan tersebut ada atau cuma perusahaan fiktif. Juga dapat dilakukan pemanggilan kepada perusahaan untuk mengklarifikasi dokumen-dokumen yang telah dimasukkan terhadap dokumen aslinya.
  8. Usulan, penetapan dan pengumuman pemenang
    Patut dicatat bahwa kewenangan penentuan pemenang itu bukan berada pada panitia, melainkan pada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Panitia pengadaan hanya sekedar mengusulkan pemenang. PPK menetapkan berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilaksanakan oleh panitia.
    Setelah ditetapkan oleh PPK, pemenang diumumkan oleh panitia melalui papan pengumuman institusi.
  9. Sanggahan
    Peserta pengadaan berhak melakukan sanggahan apabila hasil pengadaan dianggap tidak sesuai dengan aturan yang berlaku  atau terjadi penyimpangan atau KKN selama proses pengadaan. Disini juga sering terjadi kesalahan prosedur sanggahan. Sanggahan terdiri atas 2 tahap, yaitu sanggahan pertama yang ditujukan kepada PPK dan sanggahan banding yang ditujukan kepada atasan PPK yaitu Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dengan tembusan institusi pengawasan (Inspektorat). Kadang saking tidak sabarnya, peserta langsung melakukan sanggahan dengan tembusan kemana-mana. Saya pernah melihat sendiri surat sanggahan yang ditujukan ke Presiden Republik Indonesia, Wakil Presiden, Ketua MPR, Ketua DPR, dan lain-lain, dan lain-lain yang memenuhi halaman pertama. Yakinlah bahwa surat tersebut tidak akan diindahkan karena dari segi prosedur saja sudah tidak sesuai. Sanggahan banding yang ditembuskan kepada inspektorat atau BPK/BPKP sudah pasti akan ditindaklanjuti.